Tuesday, March 3, 2009

Antara Rupiah dan Dolar


Bagi kita orang Indonesia, tidak ada kebanggaan sama sekali bila di saku kita hanya ada uang Rp 1000 (seribu rupiah). Kenapa? Karena uang ‘segitu’ hanya cukup untuk bayar toilet atau parkir sepeda motor.

Akan tetapi bila simbol Rupiah (Rp) tersebut kita ganti dengan Dollar AS ($) dengan kurs valuta per $ 1 = Rp 12.000, maka $ 1.000 (seribu dollar) di saku kita akan ‘simsalabim’ menjadi setara dengan Rp 12.000.000 (dua belas juta rupiah).

Dengan uang Rp 12.000.000 (dua belas juta rupiah) ini maka bagi kita orang Indonesia sama dengan punya kemampuan untuk menghidupi seorang buruh pabrik selama setahun dengan gaji rata-rata Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) per bulan.

Huebaaat bukan !!!???

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

Sjahrir di Pantai

Senin, 09 Maret 2009

GOENAWAN MOHAMAD

SAYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Beberapa jam sesudah itu bom meledak.

Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Catalina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.

Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam belas kotak buku itu tak jadi dibawa—untuk selama-lamanya—kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.

Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di dalam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar jendela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.

Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjahrir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada peperangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah menduga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.

l l l

Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari 1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang, ia menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, bermain, bergurau.

Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta—selalu sangat sayang kepada buku-bukunya, selalu rapi dengan benda-benda itu—marah.

Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cucu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perempuan, Lily dan Mimi.

Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. ”Mereka… adalah teman terbaik yang saya miliki,” katanya tentang anak-anak Banda itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri....

Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matematika, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menyewa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.

Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar, atau mendaki gunung di sebelah sana.

l l l

Anak-anak, permainan, pantai—mungkin itulah kiasan terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulan-kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore:

”Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan daun kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut dalam…

”Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”

Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh ”manfaat” di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikumpulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.

Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang buangan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu berubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga tak diakhiri akalbudi.

Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: ”Sesungguhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya yakini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bahkan sebaliknyalah yang benar—akalbudi bertakhta hanya sepanjang impuls, dorongan, gairah membiarkannya...”

Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa emosi jadi ”terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah ”penalaran abstrak” tanpa ”pengalaman” (”ervaring”).

Sjahrir memang menyukai Nietzsche. ”Nietzsche itu kebudayaan, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu genius,” tulisnya kepada adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietzsche menyebut, mengikuti Schiller, adanya ”dorongan bermain”, Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan ”api hidup abadi” yang ”bermain, seperti si anak dan sang seniman”, dalam arti ”membangun dan menghancurkan, tanpa dosa...”.

Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya?

l l l

Saya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. ”Di sini benar-benar sebuah firdaus,” tulisnya tentang Banda Neira pada awal Juni 1936.

Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya sejak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal—bermain dengan anak-anak dan mengajar. ”Seakan-akan ia, dalam bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang tanpa ketegangan, pertikaian, dan problem”.

Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyukai politik. ”Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bukan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dahsyat, menarik, bergairah—terkadang luhur, sering kotor, namun sepenuhnya manusiawi—yang kita sebut politik. Ia tak merasakan ada panggilan….”

Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia mengelakkannya?

Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi bersama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesawat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke alamat yang terjamin.

Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Catalina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak terhindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-anak, rantau antah berantah—mungkin dalam hal-hal ini Sjahrir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai ”kelupaan yang aktif”.

Namun di dalam kabin itu ”kelupaan” (Vergeszlichkeit) tak mungkin jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pilot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pasti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cuaca dan situasi perang.

Pesawat Catalina itu bukan ”the only possible non-stop flight”, untuk ”terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan rencana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi. Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan, gairah.

Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”, Sjahrir percaya, kebudayaan Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik dan adat yang ”semi-feodal”, bukan dengan mengelap-elap candi tua.

Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya hanya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia menulis tentang perlunya ”nuchterheid” dan ”zakelijkheid”, sikap berpertimbangan dan lugas—pada saat ketika ia juga menyambut Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar bagaikan Dionysius.

Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang diunggulkan tata sosial burjuis—tata yang mengandung kontradiksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani menjelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandung sifat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, kelugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, industri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur kehidupan politik.

Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam sikapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa ”anti-politik” ketika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang tertinggal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang menyebabkannya dibuang ke Banda Neira.

l l l

Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiapkan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan konflik kekuasaan.

Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tanpa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang digambarkan tak terpesona oleh politik?

Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Soekarno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira.

April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam setelah Sjahrir wafat: ”Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia...”. n