Monday, March 30, 2009

Sinyal dari Sektor Properti


Kinerja sektor properti melemah. Permintaan kredit perumahan melamban, sementara kredit bermasalah cenderung meningkat.

Berita (Kompas, 23/3) tersebut kita percaya karena diungkapkan Direktur Utama Bank Tabungan Negara Iqbal Latanro. Apalagi, bank pelat merah itu dominan menguasai pasar kredit perumahan nasional.

Hal itu juga kita terima sebagai pesan atau sinyal dari sektor properti sebagai konfirmasi kondisi yang selama ini mencemaskan kita, yakni semakin memburuknya perekonomian nasional. Daya beli masyarakat semakin menurun, terkait dengan semakin banyaknya pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau kontrak.

Kalaupun masih ada sisa daya beli, kemungkinan konsumen juga menahan diri untuk belanja. Mereka tentu mengutamakan daya tahan kebutuhan harian yang tidak bisa ditunda ketimbang misalnya membeli rumah, meskipun rumah juga kebutuhan primer.

Akan tetapi, hal yang dikhawatirkan dan patut diwaspadai adalah memburuknya kemampuan pekerja kelas menengah ke bawah untuk tetap memenuhi kewajiban cicilan rumahnya.

Pengalaman krisis finansial 1998 menunjukkan banyak pekerja kelas menengah ke bawah yang baru mulai mencicil rumah terpaksa kehilangan rumah satu-satunya karena melemahnya kemampuan bayar akibat PHK. Saat bersamaan, suku bunga juga memang melonjak. Mereka gagal bayar, dan rumah pun disita bank.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi juga mengutarakan kecemasannya melihat kondisi dunia usaha yang semakin merosot di berbagai sektor lainnya. Kondisi itu tentu memengaruhi kemampuan perusahaan untuk terus mempertahankan pekerja.

Sektor pertekstilan, misalnya, kini memasuki era banting-bantingan harga, jual rugi produk, untuk melawan produk Vietnam yang lebih murah. Banyak di antara perusahaan yang sudah tidak bisa membayar pokok utang meskipun masih berupaya keras untuk memenuhi kewajiban cicilan bunga kreditnya.

Bukan bermaksud mendramatisasi suasana dan kondisi dunia usaha itu. Persoalan ini diungkapkan, diketengahkan, supaya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pemburukan kondisi ekonomi domestik bergerak terasa relatif lebih cepat. Koreksi asumsi makro perekonomian kian tertekan ke bawah. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 4 persen tahun ini. Lapangan kerja kian sempit.

Pada sisi lain, upaya penanggulangan persoalan krisis terasa sangat lamban. Penyerapan anggaran negara saja masih minim, apalagi stimulus yang dijanjikan belum juga kunjung terealisasi.

Oleh karena itu, dalam hiruk-pikuk kampanye partai politik —yang efektivitasnya juga digugat melalui forum ini kemarin— kita dan seperti juga pengusaha kembali bertanya, siapa lagi yang peduli soal pemburukan ekonomi ini? Pemerintah mesti punya sense of crisis.

Tajuk Rencana KOMPAS, 24 Maret 2009

No comments: