Tuesday, March 17, 2009

100 Tahun Sjahrir: Inspirator untuk Bangsanya


Sudah banyak ulasan dan karya mendalam tentang tokoh Sutan Sjahrir (1909-1966). Atributnya beragam, mulai dari kontroversial, jauh dari ingar-bingar di atas panggung, dipuja pengagum, hingga dihujat lawan-lawan politiknya.

Dibanding Soekarno dan Mohamad Hatta, ketokohan Sjahrir menyimpan lebih banyak tanda tanya, apalagi termasuk salah satu tokoh yang sengaja dilupakan, padahal pada era awal persiapan proklamasi kemerdekaan Sjahrir merupakan satu dari triumvirat Indonesia di samping Soekarno dan Hatta.

Tanda tanya-tanda tanya itu justru merangsang minat orang untuk menguak harta karun seorang beretnis Minang tetapi terbang tinggi melewati batas-batas etnis primordialnya. Setelah 100 tahun ”terkubur”, di saat mencari-cari tokoh panutan dan apresiasi sosok-sosok terlupakan, muncul di antaranya nama Sutan Sjahrir.

Di antara upaya mengais-ngais warisannya, melesat spontan genealogi cara berpikir Sjahrir, di antaranya intelektualitas, kedalaman hati, kebebasan batin, dan komitmen pada keluhuran martabat manusia—sifat-sifat adiluhung umumnya elite negeri ini di awal-awal kemerdekaan.

Panelis Herry Priyono membuat metafor cara berpikir either-or (salah satu dari dua). Ada dua ciri either-or, pertama yang bersifat praktis, lainnya eksistensial. Sjahrir menempatkan either-or sebagai cara menghidupi realitas, ketegangan antara aksi dan refleksi, individualitas dan sosialitas.

Cara berpikir ”salah satu dari dua” itu diamini penanggap Jakob Oetama. Sosok Sjahrir yang tidak hitam putih, tetapi either-or menunjukkan ia seorang pemikir yang tidak terbatasi ada di sana dan tidak ada di sini. Sjahrir menghadapi dilema yang kemudian dicoba diatasi dengan mendukung sosialisme kerakyatan yang intinya negara kesejahteraan. Kesejahteraan untuk seluruh rakyat dengan kebebasan yang manusiawi yang dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan fleksibilitas.

Either-or, mirip istilah berpikir nggiwar (lateral thinking)-nya Mangunwijaya, yang jika dikembangkan bisa berpengaruh lebih luas dalam mencari jalan keluar membangun kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Sosok Sjahrir sebagai pemikir sekaligus politisi merupakan inspirator seumur-umur bagi bangsanya, Indonesia.

Kematangan dalam hidup nasional di bidang politik, ekonomi, dan budaya tergantung dari seberapa besar kemampuan merangkul dan menghidupi ketegangan eksistensial ini tidak sebagai problem, tetapi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara. Dan inilah harta karun warisan terbesar Sjahrir, yakni kita tidak terjebak dalam dikotomi kapitalisme atau komunisme, individualitas atau kolektivitas, deregulasi atau regulasi.

Ketika kedalaman dan kematangan berpikir Sjahrir ditempatkan dalam kondisi Indonesia saat ini, sebulan menjelang Pemilu 2009, terlihat perbedaan mencolok dalam cara berdemokrasi di tingkat elite Indonesia. Kata panelis Rocky Gerung, ada instalasi politik modern seperti partai, parlemen, pemilu, MA, tetapi sesungguhnya yang mengalir dalam instalasi itu adalah politik demagogi. Para demagog bekerja keras merebut, memperbesar, dan melanggengkan kekuasaan—persis petuah Niccolo Machiavelli abad XVI.

Menurut Sjahrir, analisis politik perlu daya pikir yang kuat sekaligus keteguhan hati pada keadilan. Dengan daya pikir itu politik merupakan pendidikan demokrasi, bukan perburuan, pembesaran, dan pelanggengan kekuasaan.

Humanis Indonesia
Sjahrir dalam konteks perjuangan sebuah bangsa tidak bisa disejajarkan dengan Nehru, kata panelis Budiman Sudjatmiko, tapi mungkin dengan Ali Jinnah dari Pakistan atau seagung Mohamad Iqbal. Begitu juga menempatkan Sjahrir hanya sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia atau pimpinan partai sosialis, atribut itu terlalu kecil bagi Sjahrir.

Dia seorang humanis Indonesia, yang muncul tidak hanya dengan tesis antifasisme dan kolonialisme, tetapi membangun nasionalisme Indonesia. Karena itu, dalam beberapa hal terjadi persentuhan dan pertemuan cara berpikir Sjahrir dengan sosok Tan Malaka—rekan dan pesaingnya di bawah permukaan, tetapi sama-sama bernasib dilupakan. Humanisme Sjahrir, konon, tidak semenukik Tan Malaka, menonjol dalam cara menyampaikan. Di antaranya Sjahrir menulis, ”...aku cinta negeri ini dan orang-orangnya... terutama barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang kalah. Jadi biasa saja, simpati kepada orang-orang yang ditindas.”

Sebagai sosialis, didefinisikan panelis Fadjroel Rachman, sebagai sosialisme berdasarkan kerakyatan (menyitir rumusan Lindsay Rae), Sjahrir menganjurkan dicapai tidak dengan kekerasan seperti Tan Malaka, tetapi dengan cara demokratis, yakni lewat partai tidak dengan kriteria ukuran jumlah pemilih, tetapi dengan perjuangan sosial demokrasi. Gagasan Sjahrir lebih tepat dikelompokkan sebagai gagasan filosof, filosof Indonesia, sebagaimana dicita-citakan Mohamad Iqbal bahkan Plato yang mengandaikan pemahaman ideal demokrasi bagi tumbuhnya kehidupan demokratis suatu negara atau kota (polis).

Diterapkan untuk Indonesia saat ini, dalam kondisi perpolitikan tereduksi sebagai perebutan kekuasaan, masih relevankah pemikiran dan cara berpikir Sjahrir? Masih, kata panelis Rachman Tolleng, ketokohan sentral Sjahrir berdasarkan data sejarah menonjol paling tidak dalam dua tahun pertama republik ini.
Bahkan orang-orang Partai Sosialis Indonesia tidak bosan-bosan mengatakan seandainya Sjahrir tidak ada, apakah Indonesia bisa merdeka. Sjahrir adalah ”kekecualian”, sosok serba kontroversial—mungkin wajar setiap manusia berprinsip biasanya kontroversial—dan telanjur dimarginalkan republik ini, sambung panelis Daniel Dhakidae yang menegaskan jasa Sjahrir dalam membela politics of value dengan memunculkan gerakan-gerakan antifasisme dengan alamat Jepang.

Peranan diplomasi
Ketersingkiran Sjahrir bersamaan dengan pengelabuan sejarah, menurut istilah Daniel Dhakidae, kemerdekaan merupakan hasil perang. Diplomasi adalah ”kecelakaan sejarah” sehingga sejak 1959—kembalinya ke UUD 1945—ditabalkan seruan rediscovery of our revolution, diplomasi adalah ”politik menyerahkan diri kepada kepentingan asing”; sesuatu yang kemudian diperkuat oleh berkuasanya Orde Baru yang dengan otomatis menempatkan militer sebagai pemilik terbesar kenikmatan dan privilese politik yang menentukan kehidupan negeri ini.

Padahal senyatanya diplomasi semacam komplemen, semacam pelengkap yang tidak kalah penting dibanding peranan militer. Tesis George MT Kahin membuktikan besarnya peran diplomasi itu dalam membangun citra Indonesia. Perlu dimunculkan ketokohan orang-orang seperti Sjahrir atau Amir Sjarifuddin—menyebut dua nama sebagai sosok-sosok yang sengaja dilupakan.

Di samping diplomasi dan politics of value, masih adakah kemungkinan menawarkan alternatif lain untuk negeri ini? Tantangan-tantangan yang dihadapi negeri ini, di tengah karut-marutnya perpolitikan dan merosotnya fatsoen politik—menurut istilah Budiman Sudjatmiko, ”Indonesia berada di atas panggung yang diretakkan” dan ”disorganisasi sosial”, eksistensi pemikiran seharusnya menjadi bahan merajut ke-Indonesia seperti awal negeri ini diciptakan.

Dengan peran aktif sepintas Sjahrir sebagai rujukan yang tidak sempat meluas, perjalanan Indonesia mau dibawa ke mana? Pilihlah di antara dua kemungkinan, kata panelis Rosihan Anwar. Belajarlah dari China dan India! China berhasil membangun negeri miskin jadi kaya raya, India sukses membangun sumber daya manusia—tentu dengan sisi-sisi negatifnya—merupakan bahan belajar dan tempat menengok.

Memungut istilah agama, diperlukan satu pertobatan—dalam arti sekuler sebagai kemauan eksistensial untuk memungut sisi-sisi baik-positif dari warisan tokoh-tokoh besar semacam Sutan Sjahrir. Selintas bagaimana tokoh-tokoh besar sosialis semacam Soedjatmoko mewarnai pergulatan pemikiran humanistik untuk negeri ini, tetapi privilese pemegang kuasa yang antifasis dan militeristik cenderung ”memuntes”-nya. Perlu dimunculkan buku-buku sejarah yang benar, semacam real history dan bukan unreal his story seperti yang diharapkan penanggap Rais Abin.

Singkat kata, demikian panelis Sabam Siagian, ketokohan Sjahrir menjadi inspirator bagi bangsa ini, yang menawarkan pemahaman politik sebagai nilai luhur mewujudkan kesejahteraan rakyat dan bukan berburu kekuasaan. Perjuangan kemanusiaan memang tidak semudah caleg mengumpulkan suara terbanyak untuk beringsut posisi dari caleg menjadi anggota legislatif! Tobat! Tobat! Tobat!

ST SULARTO
KOMPAS, 13 Maret 2009


Sutan Syahrir atau Sutan Sjahrir atau Soetan Sjahrir, negarawan, Perdana Menteri Indonesia pertama (Padangpanjang, 5 Maret 1909–Zürich, Swiss, 9 April 1966).

"Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

"Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita."

3 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

"Disaat kita jatuh miskin, kita menjadi proletariat, menjadi komunis paling revolusioner. Disaat kita bangun, kita bangkit menjadi kapitalis paling tiranik"
( Theodore Herzl, Bapak Zionisme )

KULYUBI ISMANGUN said...

ETIKA KSATRIA DALAM BUDAYA KEJAWEN

Seorang ksatria harus berbahagia ketika maju berperang demi kebenaran karena dengan begitu pintu surga akan terbuka baginya tanpa diminta. Bagi seorang ksatria yang tidak maju berperang berarti dia akan mengabaikan kewajiban dan kehormatannya
ETIKA KSATRIA PATIH GADJAH MADA
1. Abikamika: Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi ke bawah, dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongannya.

2. Prajňa: Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama, serta dapat dijadikan panutan masyarakat.

3. Utsãha: Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif, dan inovatif (pelopor pembaharuan), serta rela mengabdi tanpapamrih untuk kesejahteraan rakyat.

4. Atmasampat: Pemimpin mempunyai kepribadian berintegritas tinggi, moral yang luhur serta objektif, dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan untuk kemajuan bangsanya (organisasi yang dipimpinnya).

5. Sakya Samanta: Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan secara efektif, efisien, produktif, dan berani menindak secara adil yang bersalah tanpa pilih kasih.

6. Aksuda Parisakta: Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan, pandai berdiplomasi, serta menyerap aspirasi bawahan dan rakyatnya.

KULYUBI ISMANGUN said...

IBRAHIM DATUK SUTAN MALAKA :

Seorang nachoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari pelabuhan.

Taufan yang mengancam di waktu depan, bisa menyebabkan kapal itu menunda perjalanannya atau juga memukul kembali atau membelokkan pelayarannya ke kiri-kanannya bahkan juga memukul kembali ataupun menenggelamkan kapal itu.

Syukurlah kalau nachodanya berpengalaman lama serta mengetahui karang dan gerakan udara dilautan yang di tempuh, kini ataupun di hari depan.

Tetapi tiadalah dunia akan mendapat kemajuan seperti sekarang, kalau semua nachoda tidak mau berangkat sebelum keadaan udara laut dan cuaca sungguh di ketahui lebih dahulu.

Colombus tidak akan sampai ke Amerika, kalau Ia bergantung pada pengetahuan yang sudah pasti, yang sudah di uji kebenarannya saja. Dia akan berbalik setengah pelayaran setelah menemui mara bahaya, kalau Ia cuma bergantung kepada teorinya ahli bumu Toscanelli saja. Semangat adventure, mencoba-coba sesuatu yang mengandung bahaya mautpun mesti dilakukan. Berbahagialah suatu negara dan masyarakatnya yang mempunyai semangat adventure itu.

Memang lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita di tebus oleh jiwa yang bersemangat adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan semua cabang ilmu.

Dalam revolusi Indonesia sekarang banyak jalan yang belum kita ketahui. Semua jalan masih kedepan asinglah buat kita. Berjalan ke depan berarti adventure, percobaan yang mungkin membawa maut. Perjalanan yang pasti cuma perjalanan ke belakang, yakni kembali kejalan yang kita jalani 350 tahun belakangan ini. Artinya ini kembali mencari jalan penjajahan, kembali menjadi budak jajahan…..berkhianat, kepada turunan sekarang dan anak cucu. Inilah saja sekarang jalan yang pasti terang.

Bahwasanya perjalanan masyarakat kita terutama berarti perjalanan politik ekonomi sebagai garis besarnya. Garis besar dalam politik-ekonomi kita sebagai raitnya masyarakat Indonesia, dalam dunia penuh pertentangan ini, mungkin bertentangan dengan garis besarnya politik-ekonomi negara lain ialah negara kapitalis. Mungkin garis besar kita terpaksa memutar dari garis besar politik-ekonominya negara lain, mungkin mem-viaduci atau menyelundupi kebawah satu terowongan.

Bagaimanapun juga ahli politik ekonomilah yang berhak menentukan garis besar dalam perjalanan politik-ekonomi masyarakat Indonesia dalam revolusi sekarang ini.

Timbulnya satu golongan yang bangga menamai dirinya "acedemice" di Indonesia ini sudah mulai memonopoli semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu. Di Philipina dan Hindustan, memang percobaan memonopoli itu sudah memperlihatkan hasilnya. Disana sudah masuk betul paham diantara segolongan rakyat, bahwa umpamanya yang memimpin politik itu harusnya satu Mr dan memimpin ekonomi itu mesti suatu Dr dalam ekonomi.

Kalau kita ikuti logika semacam itu, jadinya seorang leek bukan bertitel tidak boleh meraba-raba ilmu. Selanjutnya pula seorang Drs (yang baru 75% atau 75 ½% Dr) dalam ekonomi mestinya takluk pula pada seorang Profesor dalam ekonomi. Jadi menurut pikiran pasar "The men on the street" dengan logika semacam ini kalau seorang Drs (ekonomi) umpamanya menulis 3 buku, maka sorang Dr (ekonomi) mesti sekurangnya menulis 4 buku dan satu Profesor jauh lebih banyak dari yang di belakang ini. Dilaksanakan di Indonesia ini, kalau ahli ekonomi kita yang sudah "diakui" itu ialah Drs Moh. Hatta menulis setengah lusin buku tentang ekonomi, maka Dr Samsi mestinya menulis sekurangnya 9 buku dan Prof. Sunario Kolopaking selusin ataupun lebih.

Dalam hal politik para Mr-lah yang mesti memimpin politik kita sekarang, ialah menurut logika pasar tadi juga.

Tetapi apakah bukti yang kita lihat?

Sedangkan Drs (75% atau 75 ½% Dr) Moh. Hatta menulis lebih setengah lusin, Dr Samsi dan Prof. Sunario Kolopaking sedikit sekali kelihatan buah penanya. Sedangkan di dunia politik Mr Iwa Koesoema Soemantri umpamanya sedikit terdengar suaranya dan cuma dalam kalangan P.B.I-nya saja, tetapi warganegaranya sejawat kita Mr Slamet, sudah sampai suaranya ke "Sri" Ratu dan seluruh rakyat Nederland serta dunia Imperialis lainnya.

Demikianlah kalau kita ikuti paham yang di masukkan oleh Imperialisme Barat. Menurut paham itu kalau diambil akibatnya, maka yang bertitel itulah saja yang berhak merundingkan dan memimpin perkara ini atau itu. Yang tidak mepunyai "cap" dari sekolah akademi Barat itu menurut kehendak mereka janganlah di percayai. Tidak ada yang lebih dikenal oleh penyakit ke-akademinya itu daripada sosial science, termasuk ilmu masyarakat itu pula.

Kita membenarkan sama sekali keperluan latihan akademi dalam ilmu seperti kimia, listrik, dan tehnik. Tetapi inipun tidak berarti bahwa yang ulung dan berhak bersuara dalam ilmu semacam itu mestinya hanya keluaran akademi saja. Cukuplah disini disebutkan bahwa pembikin beberapa teori yang amat berharga dalam hal listrik di jaman listrik ini seperti Michael Faraday Cuma keluaran sekolah sebenggol (rendah) saja. Thomas Edison, penemu (inventor) listrik diusir oleh gurunya dari kelas satu atau dua di sekolah rendah tadi pula karena…..bodoh.

Penuh contoh lain-lain dalam ilmu seperti tersebut diatas: tehnik, kimia, matematika ataupun BIOLOGY. Banyak ilmu yang dijalani dan teori penting yang dibentuk oleh hokum akademicia. Sebaliknya banyak pula contoh yang membuktikan bahwa akademici itu Cuma tukang hafal saja, tukang "catut" ilmu orang lain saja. Semuanya membuktikan bahwa "title" itu Cuma satu surat "pas" saja dalam dunia kecerdasan, bukanlah kecerdasan sendiri!

Apalagi dalam ilmu masyarakat, seperti politik dan ekonomi!

Dalam hal ini dua aliran yang bertentangan sudah nyata ialah aliran politik-ekonominya Proletariat dan Borjuis. Aliran Proletariat di pelopori oleh Karl Marx seorang Dr Filsafat (bukan ekonomi) dan pengikutnya, serta aliran borjuis oleh para Profesor ekonomi di sekolah tinggi seperti Rotterdam. Kedua aliran itu tidak bisa diperdamaikan seperti klas Proletariat tidak bisa diperdamaikan dengan klas borjuis. Hidupnya suatu klas diatas berarti matinya klas yang lain dan sebaliknya. Begitulah pula teori masing-masing klas itu sehidup semati denga klasnya sendiri!

Kita akui penuh bahwa aliran yang kita pakai ialah aliran Marx, yang berdasarkan pertentangan dalam hal sosial, politik dan ekonomi. Dengan pisau analyse-nya yang bersifat pertentangan (dialektika) dua klas dalam masyarakat (Proletariat melawan borjuasi) inilah kita mencoba menaksir arahnya politik dunia bergerak menuju kedepan.

Dalam revolusi Indonesia mau tidak mau kita wajib menaksir arahnya politik ekonomi dunia itu bergerak. Dalam taufan gelombangnya politik ekonomi dunia itulah kita dipaksa oleh keadaan mengemudikan kapal negara kita yang berdasarkan politik ekonomi pula. Bertolak atau tidaknya dari pelabuhan, membelok ke kiri atau kekanannya kita disebabkan taufan gelombang politik ekonomi yang menentang kita, serta timbul atau tenggelamnya kapal negera kita dalam adventure dalam revolusi, ini sebagian tergantung dari taksiran kita tadilah pula.

Tidak ada pengalaman yang sudah-sudah bagi kita di Indonesia boleh dipakai, karena sifatnya revolusi memangnya satu percobaan baru, lepas dari pengetahuan yang sudah-sudah dan pengalaman yang lampau. Pengalaman di negara lain seperti di Perancis, dan Sovyet Rusia mesti kita perhatikan. Tetapi memperhatikan dan mempelajarinya tiadalah meniru-niru saja. Yang kita kemukakan ialah cara (methode) berfikir, ialah Materialisme Dialektika. Yang harus kita pelajari dari negara lain bagaimana para pemimpin masyarakat disana melaksanakan metode berfikir tadi dalam keadaan suasana di negara lain itu, mengambil contoh yang baik dan menyingkirkan kesalahan yang diperbuat di negara asing.

Akan tetapi malangnya sampai sekarang kita tidak mendapatkan dan tidak bisa mendapatkan bahan yang cukup buat dalam dan luar Indonesia. Apalagi dalam keadaan tahanan sekarang, dimana kita terputus dengan perhubungan luar rumah yang kita dipaksa mendiami. Brosur ini terpaksa di tulis terhenti-henti disebabkan keadaan kita dalam tiga bulan ini (pindah-pindah tempat atau terganggu kesehatan).

Tetapi denga memakai cara berfikir yang sudah jaya dipakai di lain tempat dan bahan yang sudah kita terima, apa yang sudah kita taksir 3 bulan lampau sudah menjadi bukti pada masa BROSUR ini hampir ditulis umpamanya saja PERTENTANGAN HEBAT antara DUNIA SOSIALIS dan DUNIA KAPITALIS berhubung dengan itu pula KEMUNGKINAN PERANG DUNIA KE-3.

Bahan baru, boleh jadi akan kita peroleh besok atau lusa. Kesimpulan (conclusion) kita boleh jadi kelak terpaksa diubah di sana-sini. Tetapi sebab kita rasa cukup memperhatikan garis besar dalam hal METHODE BERFIKIR yang dipakai dan politik ekonomi sekarang, maka kemungkinan perubahan simpulan (conclusion) itu tidak akan merombak sama sekali kesimpulan POLITIK EKONOMI kita tentang LUAR dan DALAM Indonesia. Berhubungan dengan itu tiadalah mungkin banyak perubahan (kalau perlu) yang mesti di derita oleh ORGANISASI, PROGRAM, TAKTIK serta STRATEGI yang kita anjurkan kelak!

Bagaimanapun juga tiadalah kita perlu perlu selangkahpun juga kembali ke ahli politik ekonominya kaum borjuis besar, tengah, kecil -- ke ahli politik ekonominya kaum akademisi di Indonesia atau lainnya. Tiadalah kita perlu menempel-nempelkan ujar atau amanat professor ini atau itu, akademis ini atau pun buat di jadikan "buku" dan disampaikan kesana-sini kepada Rakyat dan Proletariat Indonesia.

Kita sebaliknya akan melindungi Rakyat dan Proletariat Indonesia dari segala percoabaan akademisi yang akan membawa kembali politik ekonomi Indonesia kebawah telapak kaki Imperialisme atau menimbulkan pengharapan yang tidak-tidak diantara Rakyat dan Proletariat Indonesia.

Cukup sudahlah pengalaman yang kita terima dari akademisi itu umpamanya tentang Distribusi dan Koperasi yang di gembar-gemborkan dan di "praktekkan" di jaman kempei Jepang. DISTRIBUSI dan KOPERASI yang disajikan kepada kita sebagai puncak pendapatan akademis di masa kampetai itu mungkin baik buat satu golongan kecil di salah satu tempat, ialah buat tempat bersarangnya TUKANG CATUT. Tetapi buat Rakyat Murba prakteknya ekonomi semacam itu semata-mata satu kebohongan KAPITALISME dan IMPERIALISME belaka.

Buat kita POLITIK itu tidak bisa dipisahkan daripada EKONOMI dan begitu juga EKONOMI tidak bisa dipisahkan daripada POLITIK. Sering kita dengar di kalangan kita sendiri, bahwa POLITIK adalah concentrasi dan pemusatan ekonomi. Dijaman Kampetai Jepang tidak akan kita pikirkan membikin BADAN EKONOMI ini ataupun itu, karena MACHTFACTOR (perkara kekuasaan) untuk memeriksa dan menghukum yang bersalah, umpamanya tukang catut tadi tidak ada pada kita.

POLITIK EKONOMI yang bisa dan patut kita praktekkan dalam masa BERJUANG ini, REVOLUSI sekarang tidak lain dan tidak bukan melainkan POLITIK EKONOMI BERJUANG dan ORGANISASI_POLITIK EKONOMI dijaman MERDEKA 100%.

Syahdan akhirnya, benar atau tidaknya sesuatu faham atau teori SOSIAL dalam satu masyarakat yang berdasarkan pertentangan Proletar borjuis bukanlah diputuskan oleh "title", sebagai pengesahan borjuis saja, tetapi terutama oleh golongan Proletariat yang menantang!

Lawu 10 Juni 1946

TAN MALAKA