Friday, March 13, 2015

Dari Mana Datangnya Polisi?


Dikisahkan bahwa kepolisian pertama ada di zaman Majapahit, ketika Patih Gajah Mada membentuk pasukan bersenjata “Bhayangkara” untuk menjaga keamanan kerajaan. Saya tak punya cukup pengetahuan untuk membuktikan bahwa ini bukan hanya imajinasi. Yang tampaknya luput dalam sejarah ini adalah pentingnya membedakan sebuah kerajaan abad ke-14 dari sebuah republik di abad ke-21.

Sebuah kerajaan abad ke-14 menegaskan sumber legitimasinya pada diri seorang penguasa yang berakar di sebuah dinasti dan didukung sederet mithos. Sebuah republik sama sekali beda: Republik Indonesia mengedepankan diri (dan diterima) sebagai sebuah kekuasaan yang sah melalui revolusi.

Revolusi 1945 itu sederhana tapi ajaib. Mao Zedong pernah mengatakan bahwa kekuasaan datang dari laras bedil, tapi hari 17 Agustus itu tak ada bedil yang dipakai untuk mendirikan kedaulatan. Yang kedengaran hanya sebuah pernyataan “atas nama bangsa Indonesia”. Dengan suara Bung Karno yang agak menggeletar membaca paragraf-paragraf pendek yang diketik tergesa-gesa, sebuah nation dinyatakan ada. Serentak dengan itu, juga sebuah Negara. Begitu saja: dari imajinasi.


Baru kemudian, Negara itu berubah dari imajinasi menjadi sebuah administrasi. Dengan kata lain, dari sebuah antusiasme menjadi sebuah rasionalitas.

Dalam proses itulah polisi datang. Atau mungkin datang kembali. Kita ingat tokoh Jacques Pangemanann dalam novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer: seorang pengagum Prancis yang yakin dirinya merupakan bagian dari rasionalitas -dasar kekuasaan Eropa yang modern. Apa yang dikatakan Foucault tentang sejarah Prancis abad ke-17 dan ke-18 pun dianggap berlaku di wilayah yang dikuasai Nederland di abad ke-20: “Polisi menandai sebuah program rasionalitas pemerintahan.”

Dari sanalah datangnya polisi, juga setelah Pangemanann -setelah Revolusi 1945. Artinya setelah sebuah Negara disusun dengan pelbagai peraturan dan lembaga pengawasan pun dipasang.

Namun berbeda dari yang digambarkan Foucault, tak pernah terjadi pemerintahan, apalagi di Indonesia, yang mirip Panoptikon: sistem politik yang mampu membuat penduduk merasa kehidupan mereka sedang terus-menerus diawasi.


Mungkin karena Revolusi 1945 telah menerobos hierarki kekuasaan yang lama dan membuat kehendak sama-rata-sama-rasa jadi sah. Revolusi seperti itu menandai tak kekalnya kekuasaan yang bertahan pada ketidaksetaraan, kekuasaan yang disertai pengawasan yang satu arah -kekuasaan seperti yang digambarkan Foucault: “Di tepiannya, orang sepenuhnya dilihat tanpa mampu melihat; di menara pusat, orang sepenuhnya melihat tanpa bisa dilihat.”

Dalam pengalaman kita, keadaan “dilihat sepenuhnya” atau “melihat sepenuhnya” itu tak pernah terjadi. Polisi (dengan “P”, yang dalam makna yang luas adalah sehimpun institusi pengaturan dan pengawasan) mungkin saja punya ambisi untuk itu. Tapi Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan pulau yang 17 ribu, tak akan terjangkau oleh “penglihatan” siapa pun. Sementara itu, Polisi (dengan “P”) sesungguhnya tak pernah terwujud, sebagaimana Birokrasi (dengan “B”), sebagai sarana rasionalitas, tak pernah terbentuk. Yang ada di Indonesia adalah aparat kekuasaan yang retak-retak dan liku-liku kantor pemerintahan yang ruwet.

Dan selalu ada perlawanan.


Saya selalu teringat sebuah adegan yang diceritakan seorang reporter beberapa tahun yang lalu. Di tepi sebuah jalan ke arah luar kota Jakarta, ia pernah melihat dua orang polisi menjemur lembar-lembar rupiah di rumput. Reporter itu kemudian tahu, uang itu dikeluarkan kedua polisi itu dari kotak korek-api yang dilemparkan para sopir truk besar yang melintas di sana. Uang itu basah. Akhirnya reporter itu juga tahu: sebelum para sopir melemparkan uang sogok itu ke luar jendela ke arah kedua polisi itu -agar perjalanan tak diganggu- lembar-lembar rupiah itu mereka ludahi. Itu tanda penghinaan dan rasa muak diam-diam.

Hubungan kekuasaan selalu punya saat yang rapuh. Bahkan ketika tak seimbang. Terutama ketika ia tak lagi didukung taklid dan keyakinan, sebagaimana di zaman ini. Mereka yang lemah, yang tertindas, selalu punya siasat bertahan dan melawan. Michel de Certeau punya deskripsi yang bagus tentang itu: sementara yang berkuasa punya “strategi”, mereka yang daif punya “taktik”. Dalam kiasan De Certeau, taktik itu adalah la perruque -seperti ketika buruh mengambil waktu kerja di perusahaan majikannya untuk dirinya sendiri. La perruque itu yang juga dipakai para sopir untuk menyuap agar tak ditanyai polisi dan para pelanggar agar lepas dari hukuman. La perruque bahkan menular ke kantor polisi, peradilan, dan kantor kementerian: para bawahan tak mau patuh karena para atasan tak pernah acuh.

Itu sebabnya di Indonesia Polisi tak datang.

Goenawan Mohamad
http://www.tempo.co/read/caping/2015/02/15/129732/Dari-mana-datangnya-polisi

Monday, March 2, 2015

Politik Amien Rais


Keberadaan pemegang saham sebagai pihak dominan dalam sebuah perusahaan sangat lazim. Namun, keberadaan pemegang saham dalam konteks partai politik, sebenarnya tidak lazim dan tidak sehat.

Di Indonesia hampir seluruh partai politik dikelola seperti perusahaan oleh pemegang saham. Mereka sering memaksakan kehendak agar partai diurus sesuai keinginan mereka. Mereka sangat kuat dalam mendominasi pengelolaan partai politik bersangkutan. Tidak heran bila kemudian penentuan figur-figur sentral dalam kepengurusan partai politik, terutama ketua umum, harus melalui persetujuan pemegang saham tersebut.

Keinginan Amien Rais untuk menjadikan Zulkifli Hasan tampil sebagai ketua umum dan meminta Hatta Rajasa mundur dari pencalonan dalam Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 28 Februari- 3 Maret mendatang merupakan contoh paling aktual dari hal tersebut.

Sebagaimana diketahui, ada dua kandidat kuat ketua umum PAN pada kongres nanti, yakni Zulkifli Hasan dan Ketua Umum incumbent Hatta Rajasa.

Amien Rais, Hatta Rajasa, dan Zulkifli Hasan.

Dalam sejumlah kesempatan Amien Rais meminta para pemilik suara untuk memilih Zulkifli Hasan —notabene besan— sebagai ketua umum dalam kongres nanti. Di saat yang sama Amien Rais juga meminta Hatta Rajasa untuk mundur dari bursa pencalonan. Amien Rais berdalih hal itu dimaksudkan untuk melanjutkan tradisi PAN selama ini, dimana ketua umum cuma menjabat satu periode.

Padahal, pembatasan jabatan satu periode tidak diatur di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai (AD-ART). Amien Rais berdalih pembatasan jabatan ketua umum satu periode dilakukan untuk regenerasi kepemimpinan partai. Hemat penulis, regenerasi kepemimpinan partai tetap dapat dilakukan tanpa harus memberikan batasan satu periode bagi jabatan ketua umum. Bila merujuk jabatan-jabatan publik —mulai dari bupati/walikota, gubernur hingga presiden— pembatasan jabatan lazimnya dilakukan dua periode, bukan satu periode.

Pembatasan jabatan satu periode juga dilihat publik sebagai sebuah hal tidak lazim. Pendapat publik itu terekam melalui survei terbaru Lembaga Survei Indonesi (LSI). Survei LSI mengenai “Partai Politik di Mata Publik: Evaluasi atas Kinerja Partai dan Regenerasi Politik,” menunjukkan 58,9% responden menginginkan kepemimpinan di partai dibatasi dua periode.

Survei ini secara tidak langsung menunjukkan keinginan Amien Rais agar ketua umum PAN cukup satu periode saja terlihat agak berlebihan dalam memandang isu regenerasi. Sudah menjadi rahasia umum bila Amien Rais memegang peran dominan selama 17 tahun perjalanan PAN. Penentuan ketua umum hingga arah koalisi PAN harus melalui persetujuannya. Maklum saja Amien Rais merupakan pendiri partai berlambang matahari terbit tersebut.

Hatta Rajasa dan Amien Rais.

Namun, hal itu tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi Amien Rais untuk terus tampil dominan seperti pemegang saham. Dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik cuma akan membuat partai politik bersangkutan tidak kunjung bertransformasi menjadi partai modern, dimana mekanisme kontestasi diserahkan kepada kader-kader, bukan daulat orang-orang tertentu.

Di samping itu, dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik juga akan membuat partai politik bersangkutan tidak terinstitusionalisasi dengan baik. Menurut Scott Mainwaring (1998: 67-81), salah satu dimensi penting untuk melihat apakah sebuah partai politik telah terinstitusionalisasi dengan baik adalah tidak adanya dominasi personal dari seorang elite politik.

Dewasa ini dominasi personal seorang tokoh memang seakan telah menjadi fenomena umum dari kehidupan partai politik di Indonesia. Partai Demokrat sangat bergantung kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan identik dengan Megawati Soekarnoputri. Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat mewarnai setiap langkah dan kebijakan Partai Gerindra.

Partai Hanura tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kepemimpinan Wiranto. Demikian pula dengan Amien Rais yang selalu menampilkan diri sebagai tokoh sentral di PAN, sehingga seolah-olah setiap kader yang hendak mencalonkan diri sebagai ketua umum harus mendapatkan restu politik dari tokoh gerakan reformasi 1998 tersebut.


Dominasi personal tersebut boleh jadi kemudian akan berujung kepada tren aklamasi dalam proses pemilihan ketua umum. Selain PAN dalam waktu dekat sejumlah partai politik lain juga akan menggelar kongres atau munas untuk memilih ketua umum. Partai Hanura akan menggelar munas bulan ini. Partai Demokrat melakukan kongres pada Maret mendatang. Satu bulan kemudian giliran PDIP menggelar kongres.

Para elite masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menang secara aklamasi tanpa ada calon lain tampil sebagai rival potensial. Meskipun telah berusia cukup tua figur-figur seperti SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, dan Amien Rais tidak akan dengan sukarela melepaskan kendali dan pengaruh politik mereka di partai politik masing-masing.

Dalam konteks itu keputusan Hatta Rajasa untuk tetap maju dalam bursa pencalonan ketua umum PAN dalam kongres mendatang —meskipun tanpa restu politik sang pendiri partai— akan menjadi ujian serius bagi eksistensi politik Amien Rais di masa depan. Kongres yang akan berlangsung di Bali akhir pekan ini akan menjadi ukuran bagi publik untuk melihat apakah Amien Rais masih memiliki pengaruh cukup kuat dalam menentukan arah perjalanan PAN atau tidak.

Bila Hatta Rajasa terpilih kembali untuk kali kedua sebagai ketua umum, maka dapat dikatakan pengaruh Amien Rais di PAN mulai luntur dan usang. Namun hal itu justru merupakan kabar baik bagi PAN sebagai langkah awal menuju partai modern yang tidak lagi melulu bergantung kepada titah seorang Amien Rais.

Bawono Kumoro,
Peneliti Politik di The Habibie Center
KORAN SINDO, 27 Februari 2015