Thursday, September 1, 2016

Manusia Dubuk


Dubuk atau hyena adalah binatang jenis anjing atau serigala yang tulang punggungnya membentuk diagonal dengan leher dan kepalanya. Binatang ini amat menyebalkan dilihat dari etika manusia.

Mereka yang rajin menonton tayangan National Geographic akan sering menyaksikan "kebinatangan" kelompok ini. Mereka selalu muncul dalam gerombolan. Kerja mereka hanya merampok hasil kerja keras binatang lain, seperti macan, singa dan binatang buas lainnya.

Tampaknya mereka tak pernah bekerja keras memburu mangsanya. Gerombolan serigala masih lebih terhormat walaupun mereka ramai-ramai dalam memburu korbannya.


Simbol kepengecutan
Di kalangan binatang pun, dubuk tidak terhormat. Singa sering membunuh mereka, dan jasadnya tidak pernah mereka makan, tetapi dibiarkan saja untuk menjadi santapan burung-burung bangkai. Mengapa alam mengizinkan makhluk semacam ini tetap terus hidup?

Kepengecutan merupakan ciri utama kaum dubuk. Semakin besar gerombolannya, mereka semakin berani. Dan ketika dalam kelompok kecil, mereka tak berkutik. Apalagi sendirian, pasti akan ngacir, takut lehernya dipatahkan singa.

Itulah sebabnya manusia bangga mengidentifikasikan diri dengan keberanian binatang-binatang tertentu, seperti elang, singa, jaguar, dan cheetah. Mereka ini pekerja keras dalam memburu korbannya, dan melakukannya sendirian. Simbol-simbol binatang pemberani itu sangat digemari para raja dan kesatria. Namun, tak seorang pun memilih simbol dubuk meskipun seorang bajak laut, perampok bank, geng motor, dan mereka yang suka tawuran.

Dubuk adalah simbol kepengecutan. Beraninya bergerombol. Bangsa dubuk tak pernah punya pahlawan. Kepahlawanan adalah keberanian seseorang. Bangsa dubuk hanya mengenal perebutan dari hasil kerja keras orang-orang lain. Mereka kaum konsumtif yang rakus. Mereka tidak mau kerja keras dan tidak mengenal arti kerja keras yang produktif. Mereka menunggu keberhasilan orang lain yang akan dijarah rayah habis-habisan secara bergerombol dan ramai-ramai.


Banyak bangsa maju yang berprinsip seperti tabiat singa dan rajawali. Mereka pemuja keberanian individual. Mereka menganggap negara sebagai rumah kaum pemberani, bukan rumah kaum pengecut yang licik. Pemujaan keberanian individual yang terlalu tinggi itu menyebabkan mereka tak segan-segan menghargai kaum kriminal sebagai bagian dari mitos keberanian bangsanya. Mereka yang gugur membela nama negara-bangsanya dihormati sebagai pahlawan.

Apa yang tidak dimiliki kaum dubuk adalah kepercayaan diri personal. Kepercayaan diri baru muncul setelah berada dalam gerombolan. Semakin besar gerombolan, kepercayaan diri dan keberanian muncul. Tak ada seorang pun koruptor yang tertangkap basah dengan gagah berani mengakui perbuatannya.

Bahkan, koruptor yang tertangkap dengan gagah berani bersikap layaknya pahlawan, karena merasa temannya banyak. Itulah mental dubuk. Kepercayaan diri yang tinggi sebagai seorang dubuk adalah tanda kepahlawanan kaum dubuk.


Mentalitas dubuk
Bagaimana gejala mental dubuk ini kini ada di mana-mana? Padahal di tengah persaingan dalam dunia modern yang semakin keras ini, keunggulan personal amat diperlukan. Hanya mereka yang berani bekerja keras, mandiri, biasa mengasah kecerdasan, tahan banting, dan pantang menyerah akan memenangi persaingan.

Bagi yang bermental dubuk, yang pemalas, konsumtif, dan pendidikan tanggung akan kalah dalam persaingan dan kekerasan dunia modern. Mereka hanya dapat mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan dalam kelompok senasib. Tawuran seharusnya tak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan bermutu, di kompleks kaum terdidik, tetapi di gerombolan putus sekolah, pengangguran dan pemabuk, serta pejabat-pejabat yang tanggung mentalitasnya, yakni terdidik tetapi tetap bodoh.

Pada 1977, Mochtar Lubis pernah menyinggung mental dubuk ini di majalah Budaya Jaya, kemudian diterbitkan sebagai buku, dan menjadi populer dalam mengungkapkan sisi jelek watak bangsa ini. Antara lain ia menyebut adanya sikap kurang tanggung jawab. Saling lempar tanggung jawab apabila terjadi kesalahan yang berdampak kepada publik, merupakan kisah lama yang masih terus berulang.

Mengakui kesalahan dan mundur dari jabatan belum menjadi sikap mental kita. Seekor singa yang luka sehabis bertempur melawan korbannya, lebih tahu diri, yakni menyingkir dari kelompoknya dan mati sendirian.


Juga disebutkan adanya sikap munafik yang keras kepala membenarkan atas tingkah lakunya yang jelas-jelas salah di depan publik. Bagi kaum dubuk, merampas kerja keras binatang lain itu adalah kebenaran. Itulah sebabnya mereka dapat “ketawa-ketiwi” sehabis merampok uang negara.

Mental feodal juga dimiliki kaum dubuk. Mereka ramai-ramai berebut jabatan basah, bukan untuk memikul tanggung jawab, melainkan semata-mata untuk bermalas-malasan demi memanfaatkan tanda tangannya yang bernilai miliaran rupiah. Kaum feodal juga sedikit-sedikit memamerkan kekuasaannya dan kekuatan kelompoknya apabila mendapat kritik tajam.

Mochtar Lubis juga menyebutkan sifat malas dan kurang kerja keras. Kerja keras baru dilakukan ketika merampas harta yang seharusnya mereka jaga tanggung jawabnya. Ini berkaitan dengan sifat bermewah-mewah, boros, dan tak hemat. Hasil jarahan cepat-cepat digunakan untuk memborong rumah mewah dan mobil mewah.

Anda dapat menilai sendiri mana pemimpin dubuk dan mana pemimpin singa, yang tetap gagah berani meskipun sendirian.

Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 22 Agustus 2016