Tuesday, January 29, 2013

Pikiran Benih Perbuatan


Orang Inggris punya ungkapan: You are what you think. Pepatah Arab mengatakan: Innamal afkaru ummahatul a’mal. Sesungguhnya pemikiran itu induk perbuatan. Telah banyak kajian psikologi dilakukan yang hasilnya membenarkan formula di atas.

Bahwa perbuatan seseorang itu pada mulanya berakar pada pemikiran. Orang yang selalu berpikir untuk menjadi orang kaya, maka dia akan lebih peka melihat setiap peluang usaha dan tindakan yang mendatangkan kekayaan. Begitu pun orang yang pikirannya selalu ingin korupsi dan maling, maka yang dicari adalah peluang untuk mewujudkan pikirannya dalam tindakan nyata.

Kalau seseorang dalam pikirannya tidak ada pikiran untuk mencuri, kalaupun ada peluang, maka dia tidak akan tergerak karena memang dalam hati dan pikirannya tidak ada ketertarikan ke arah sana. Hubungan antara pikiran dan orientasi tindakan sangatlah mudah diamati dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan terdekat. Dalam dunia kampus, mahasiswa yang tengah menulis skripsi atau disertasi akan sangat familier dan peka dengan urusan literatur yang mendukung risetnya.


Tukang ojek yang pikirannya selalu mengharapkan penumpang, matanya sangat peka kalau ada orang yang membutuhkan jasa ojek. Demikianlah, betapa dekatnya hubungan antara pikiran dan tindakan, sehingga para orang bijak, pendidik, bahkan kitab suci, selalu mengajarkan agar cawan hati dan pikiran jangan sampai diisi untuk menampung sampah berupa pikiran dan keinginan yang kotor. Lebih celaka lagi, jangan sampai kita menjadi pemulung sampah pikiran dan emosi sebagai bahan gosip yang sama sekali tidak produktif, bahkan destruktif.

Di era keterbukaan dan ketersediaan media komunikasi semacam telepon seluler, Facebook dan Twitter, mudah sekali dijumpai sampah-sampah pikiran dan emosi yang pada urutannya akan menggerakkan tindakan. Perilaku porno dan kejahatan seksual pada awalnya berada dalam pikiran yang dipasok oleh sampah-sampah informasi.

Penelitian psikologi mengatakan bahwa pikiran dan imajinasi yang tertampung dalam sel-sel otak sesungguhnya tak ada bedanya apakah itu sekadar imajinasi atau realitas empiris. Semuanya terekam dalam sel-sel syaraf otak yang disebut synapses. Jadi ketika otak membayangkan sesuatu, hal itu telah terjadi pada tataran imajinasi dan pemikiran dan akan terwujud menjadi tindakan dan realis empiris ketika ada peluang.


Hasil kajian ini mengingatkan saya pada ayat al-Quran yang menyatakan: Allah mengetahui apa yang kamu perlihatkan dan apa yang tersembunyi dalam dirimu. Lebih lanjut lagi Nabi Muhammad mengajarkan, janganlah kita suka berandai-andai dengan pikiran negatif karena pikiran itu merupakan doa. Lagi-lagi, hasil kajian neuro-psikologi memperkuat sabda Nabi tersebut bahwa ide, gagasan, imajinasi, dan keinginan yang hidup dalam memori sel otak merupakan kekuatan yang senantiasa memerlukan saluran untuk menjelma menjadi kenyataan. Memori dalam sel otak itu bagaikan penghuni sebuah kota yang saling berkenalan dan berdiskusi sehingga melahirkan pemikiran sintetis yang terkadang mengejutkan. Thinking out of the box.
Oleh karena itu, sangat masuk akal, berbagai temuan teknologi yang hebat-hebat seperti pesawat terbang itu pada mulanya adalah mimpi dan imajinasi. Bahkan, benih perubahan sosial dan revolusi sebuah bangsa pada mulanya merupakan imajinasi sekelompok orang, yang kemudian menyebar menjadi gagasan kelompok dan massa yang pada urutannya menjadi kekuatan raksasa bagaikan air bah atau tsunami.


Benih pikiran akan semakin terang dan powerful kalau dihayati dan dipahami secara mendalam melalui proses perenungan panjang dalam suasana hening, sebagaimana Muhammad merenung di Gua Hira. Atau Musa di Bukit Sinai. Atau Sidharta Gautama di bawah Pohon Bodhi. Pikiran positif-konstruktif yang terang pada urutannya akan melahirkan tindakan yang terarah dengan disertai kemantapan. Pikiran yang kacau akan melahirkan tindakan yang juga kacau.

Pikiran besar dan mulia akan melahirkan tindakan besar dan mulia. Sebaliknya, pikiran kerdil juga akan melahirkan tindakan yang kerdil. Demikianlah, kita mesti mengajari dan menanamkan pada anak-anak kita gagasan besar dan terpuji agar nantinya mereka jadi pelaku sejarah dengan tindakan besar dan terpuji.

Tak kalah pentingnya, siapa pun yang menjadi pemimpin, entah dalam tubuh pemerintahan ataupun perusahaan, mesti menyadari bahwa kepemimpinan itu bermula dari imajinasi, pikiran, dan wawasan yang kemudian dituangkan dalam program dan tindakan. Pemimpin itu adalah juga pemimpi.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 25 Januari 2013

Saturday, January 12, 2013

Lautan Tumpuan Kekuasaan Dunia


Sepanjang tahun 2013, hampir bisa dipastikan China di bawah kepemimpinan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) Xi Jinping —yang akan menjadi Presiden China bulan Maret menggantikan Hu Jintao— akan menjadi lebih agresif dibandingkan dua dekade sebelumnya. Persoalan domestik dan internasional yang dihadapi China pada tahun ini terfokus pada pengukuhan diri sebagai kekuatan global dengan kemampuan setara negara-negara Barat.

Selama masa reformasi dan keterbukaan China tiga dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dan kemampuan perdagangan China yang masif dan impresif telah menempatkan negara berpenduduk terbanyak di dunia ini sebagai peluang sekaligus sebagai ancaman bagi dunia. Menjadi peluang untuk melebarkan kerja sama ekonomi, dan menjadi ancaman karena perilaku politik internasional yang didukung kekuatan militernya.

China di bawah Xi Jinping akan memproyeksikan kekuatan yang berbeda dengan kebangkitan negara-negara adidaya, seperti Inggris dan AS, dalam dua abad terakhir. Mempertahankan balance of power, dalam konteks hubungan dan norma internasional yang terbentuk akibat dua Perang Dunia dan Perang Dingin, menjadi usang ketika bentuk-bentuk baru kekuasaan dan kekuatan militer mencari keseimbangan dinamis terus-menerus.

Kebangkitan China sebagai kekuatan global berbeda secara signifikan dengan kebangkitan Inggris dan AS sebagai kekuatan hegemoni masing-masing pada abad ke-19 dan 20. Dunia berusaha mengendalikan China menjadi kekuatan hegemoni serta mendesak sejumlah perubahan perilaku dan kepercayaan politik China untuk menyesuaikan diri dengan norma internasional yang dipahami negara-negara Barat.

Perbedaan yang dihadapi China dengan kekuatan global lain adalah jumlah penduduknya yang sangat besar. Selama 50 tahun, jumlah penduduk China bergerak dari 550 juta orang menjadi 1,3 miliar orang pada tahun 2010. Tanpa kebijakan satu anak yang berlangsung sejak tahun 1979, pertambahan penduduk China diperkirakan mencapai 300 juta orang, sekitar tiga kali jumlah penduduk Jepang.


Dampak Keseimbangan
Dalam konteks pertambahan penduduk ini, proyeksi politik internasional China memang menjadi cenderung agresif dalam rangka memenuhi kebutuhan keamanan pangan dan melindungi kepentingan nasionalnya. Sengketa klaim tumpang tindih di Laut China Timur dengan Jepang, dan di Laut China Selatan dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, menjadi proyeksi kepentingan nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan keamanan pangan ini.

Tahun 2013, konflik laut akan menjadi mandala baru bagi China dalam rangka mengukuhkan kekuatan guna melindungi kepentingan nasionalnya di seluruh dunia. Akses ke lautan akan menjadi legitimasi China untuk beraksi dan melakukan klaim kedaulatan dan kekuasaan, yang berdampak langsung terhadap keseimbangan dinamis kekuatan-kekuatan besar, termasuk kebijakan “poros Asia” sebagai politik menyeimbangkan kembali (rebalancing) kehadiran kekuatan AS.

Selama ini, China memiliki narasi sejarah sendiri terkait laut teritorial di utara dan tenggara kawasan Asia. Beijing memiliki interpretasi sendiri atas Konvensi PBB tentang Hukum Laut, khususnya pada pasal-pasal kebebasan navigasi dan lintas murni (innocent passage) di perairan teritorial dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Bagi China, lautan adalah sumber pangan penting. Dalam angka, 86 persen nelayan
dan petambak ikan dunia terletak di Asia, dengan China menduduki urutan teratas, mencakup 8,1 juta nelayan dan 4,5 juta petambak ikan. Ikan memang menjadi menu penting dalam diet makanan orang-orang Asia.

Harian Asian Wall Street Journal melaporkan, pekan lalu otoritas Argentina menangkap dua kapal nelayan China di dalam wilayah ZEE negara itu di kawasan Patagonia, memuat 10 metrik ton cumi dan ikan. Konsumsi China akan produk lautan mencapai sekitar 50 juta metrik ton pada tahun 2010, sangat masif dibandingkan India, Indonesia, Vietnam, AS, dan Jepang yang mencapai kurang dari 15 juta metrik ton.


Konflik Terbuka
Sejumlah studi klasik tentang kekuatan laut dan politik dunia menunjukkan bahwa kekuasaan dunia sebagian besar dilaksanakan melalui kendali di lautan. Studi-studi ini juga menunjukkan bahwa perubahan posisi kepemimpinan dunia selalu terkait dengan pergeseran distribusi kekuatan laut.

Semua kekuatan dunia yang memiliki keterlibatan signifikan dan mampu mengejawantahkan politik global selalu mengandalkan kekuatan laut sebagai tumpuan. Ini pernah terjadi pada masa imperium Turki, imperialisme Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, dan lainnya, ataupun pada era pasca-Perang Dunia yang menghadirkan hegemoni AS.

China di bawah Sekjen PKC Xi Jinping tidak akan terhindar dari perubahan posisi kepemimpinan dunia yang mengandalkan kekuatan laut sebagai tumpuan kekuasaan. Di bawah kepemimpinan generasi ke-5, China perlu merumuskan manuver dan mekanisasi geopolitik, diplomasi risiko tinggi, dan strategi akbar. Bukan sekadar untuk mengukuhkan klaim kedaulatan di Laut China Timur dan Laut China Selatan, melainkan juga untuk mengawal keamanan pangan bagi penduduknya.

Konflik terbuka, khususnya di Kepulauan Diaoyu atau Senkaku, akan menjadi jalan panjang serta pengalihan persoalan politik China pada umumnya, ketika desakan melaksanakan perestroika dan glasnost ala Rusia menjadi tuntutan nyata dari dalam dan luar negeri. Sekaligus juga akan menjadi ajang uji coba kekuatan laut China yang dikembangkan saat ini.

Rene L Pattiradjawane
Wartawan Kompas
KOMPAS, 3 Januari 2013