Tuesday, May 9, 2017

Kampus dan Radikalisme


KOMPAS edisi Minggu 7 Mei 2017 menyajikan headline "Rektor diminta Cegah Radikalisme". Ini permintaan Menristekdikti pada para rektor dalam acara Deklarasi Semangat Bela Negara dari Semarang untuk Indonesia di UNNES, Sabtu (6/5/2017) kemarin.

Hemat saya, seruan semacam ini baik, tapi tidak akan efektif. Mengapa? Karena seruan ini tidak berpijak pada analisis sosiologi yang sahih atas kemunculan radikalisme.

Pertama, kampus adalah pasar gagasan yang di era digital ini semakin menjadi market place of ideas. Kampus bertugas membangun kemampuan berpikir kritis bagi mahasiswa. Di kampus mereka belajar mengunyah berbagai gagasan untuk membangun gagasan baru mereka sendiri ––dalam lingkungan yang lebih terkendali.


Kedua, kebangkitan radikalisme adalah gejala yang bersifat global. Di Indonesia, radikalisme hampir selalu dikaitkan langsung dengan Islam, walau ini tidak dinyatakan secara terus terang. Dan cara ini justru berbahaya!

Kesalahan terbesar media utama (mainstream) bukan saja pada penyebaran hoax tapi pada penyembunyian fakta. Kesalahan media tidak hanya pencampuradukan kebenaran dengan kebathilan, tapi juga penyembunyian atas fakta kebenaran.

Radikalisme terjadi di mana-mana, termasuk di negara-negara yang mayoritas beragama Katolik, Kristen atau Budha dan Hindu. Ini juga sekaligus sering dikaitkan dengan rasisme. Di AS ras kulit putih Kristen menganggap kelompoknyalah yang paling patriotik.


Ketiga, penyebab kemunculan paham radikal itu hanya satu yaitu ketidakadilan alias ketimpangan, baik sosial, ekonomi, politik maupun hukum. Jadi sikap radikal itu bukan sebab, tapi akibat dari ketidakadilan dan ketimpangan yang dibiarkan terus terjadi oleh para penguasa yang seharusnya justru menegakkan keadilan.

Keempat, sekularisme ––sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik–– yang dianut banyak negara-bangsa di dunia adalah paham radikal. Pancasilaisme sebenarnya juga merupakan paham yang radikal. Karena setiap isme apapun yang mampu menggelorakan dan inspiratif bagi para pendukungnya niscaya selalu bersifat radikal.


Kelima, yang menganut paham, sesungguhnya bukan hanya negara, manusia dan kelompok tapi juga lembaga. Bahkan Ivan Illich menyebut persekolahan ––sebagai lembaga–– telah dan sedang melakukan monopoli radikal atas sistem pendidikan. Inilah yang saya namakan sekolahisme. Hal yang terakhir ini adalah paham yang memperjuangkan persekolahan sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pendidikan yang sah. Sama seperti paham radikal lain yang memposisikan diri sebagai paham yang paling benar dan penganutnya adalah paling patriotik.

Jadi, daripada sibuk dengan pencegahan munculnya paham radikal di kampus-kampus, lalu membubarkan organisasi yang dituding radikal, lebih baik Pemerintah memastikan penegakan keadilan tanpa pandang bulu. Termasuk meninggalkan paham sekolahisme yang memandang keluarga dan masyarakat bukan merupakan satuan pendidikan yang sah. Karena satu-satunya yang dianggap sah dan paling benar hanyalah sekolahisme.

Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid Ph.D
Guru Besar ITS, Surabaya
www.portal-islam.id, 8 Mei 2017