Monday, April 18, 2011

Riwayat Hidup Rosihan Anwar


H. Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922; adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sejarawan, sastrawan, bahkan budayawan. Rosihan yang memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, tercatat telah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing.

Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.

Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya.


Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bersama Usmar Ismail, pada 1950 ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.

Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.


Rosihan Anwar menikahi Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi, yang terhitung kerabat M. Husni Thamrin, pahlawan nasional dari Betawi, pada 1947. Pasangan ini dikaruniai tiga anak dan sejumlah cucu. Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.

Rosihan Anwar meninggal dunia Kamis pagi jam 08.15 WIB di Rumah Sakit Metropolitan Media Center (MMC) Jakarta dalam usia 89 tahun, diduga karena gangguan jantung.

http://id.wikipedia.org/wiki/Rosihan_Anwar


Rosihan Dirawat Tiga Rumah Sakit Sebelum Wafat

Wartawan senior Rosihan Anwar, 89 tahun, sudah dirawat tiga rumah sakit dalam sebulan terakhir, sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir. "Iya dia sudah ke RS MMC, RS Medhistra dan RS Harapan Kita," ujar Alma Tania, cucu Rosihan yang ditemui usai keluar dari Kamar Jenazah, RS MMC Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (14/4)

Rosihan baru saja menjalani operasi jantung by pass sekitar 1-2 pekan lalu. Tapi, kata Alma, tiba-tiba tadi pagi tubuhnya terkulai. "Setelah makan, tiba-tiba napasnya sesak dan tubuhnya terkulai sehingga di bawa ke sini," kata dia.

Padahal, awalnya Rosihan sempat sarapan di teras. Lalu serangan terjadi di sana. Sarapan pagi tadi, merupakan sarapan pertama setelah operasi jantung di RS Harapan Kita. Pihak keluarga menduga kematian Rosihan karena sakit jantungnya tersebut.

Dianing Sari
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/04/14/brk,20110414-327387,id.html

Rosihan dan Para Pemimpin Bangsa


Pada awal 1950, harian Pedoman yang saya pimpin adalah harian yang tertinggi oplahnya. Banyak yang menganggap besarnya oplah karena saya tergabung dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang saat itu menjadikan Pedoman sebagai koran partainya. Sebenarnya bukan PSI yang mendanai, melainkan saya yang menawarkan, karena PSI tidak punya uang untuk bikin koran.

Dengan Pedoman sebagai koran internal, orang menganggap saya memiliki perbedaan ideologi dengan Presiden Soekarno. Banyak yang menganggap hubungan saya dengan Soekarno sangat buruk. Padahal saya memiliki pandangan sendiri tentang ideologi, yaitu sosialis kerakyatan. Ini membuat saya sedih, mengapa hubungan saya dengan Soekarno harus diasosiasikan seperti itu.


Saya akui bahwa kritik saya terhadap Soekarno banyak tidak disetujui orang. Tapi bukan berarti saya bermusuhan dengan Soekarno. Bahkan, ketika saya hampir mati pada 1961, saat Pedoman dicabut izin terbitnya oleh Soekarno, tidak pernah ada rasa benci.

Saya selalu berada di pihak oposisi, tapi tetap bersahabat baik dengan Soekarno. Khususnya saat revolusi kemerdekaan. Hampir setiap malam Soekarno memanggil saya sebelum tidur. Dia mengajarkan soal seks kepada saya, padahal saya sudah menikah dan punya anak.

Suatu waktu saya melihat ada yang janggal dari Soekarno di sebuah resepsi pernikahan. Saya merasa orang besar ini akan jatuh. Karena apa? Ketika bersalaman di resepsi itu, tangannya ditepiskan beberapa pejabat militer. Saya kira orang-orang militer itu adalah orangnya Soeharto.


Lain Soekarno lain pula kisah saya dengan Soeharto. Saya bertemu Soeharto pertama kali di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada 7 Juli 1949. Sebagai Pemimpin Redaksi Harian Pedoman, saya bertugas melaporkan penjemputan Panglima Besar Jenderal Sudirman dari Wonosari ke Yogyakarta.

Pak Dirman sebagai pemimpin perang gerilya dikabarkan tidak menyetujui garis kebijakan politik para pemimpin bangsa yang hadir dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Konferensi itu sendiri membahas soal penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda. Sebelum KMB diadakan, para pemimpin republik harus menandatangani persetujuan Roem-Van Roijen.

Demi menghindari selisih paham antarpemimpin republik ini, Sultan Hamengku Buwono IX meminta Soeharto membawa Pak Dirman kembali ke Yogyakarta. Maka pagi-pagi sekali di dekat Malioboro, wartawan foto Ipphos, Frans Sumardjo Mendur memperkenalkan saya dengan Soeharto, yang waktu itu berpangkat letnan kolonel. Pertama kali melihat Soeharto, ia berpakaian seragam putih dan menyetir sendiri mobil Land Rover-nya.

Sebelumnya saya tidak pernah kenal dengan Soeharto. Saat di mobil itu dia tersenyum sambil mengulurkan tangan, saya duduk di sampingnya, sedangkan Frans di belakang. Sepanjang perjalanan dari Yogya hingga ke Wonosari, dia tidak berbicara sama sekali. Begitu pula ketika perjalanan menggunakan mobil harus berganti dengan menggenjot sepeda. Soeharto tidak juga berbicara kepada saya.

Menurut saya, Soeharto bukanlah tipe orang yang suka basa-basi. Kata-katanya hemat sekali. Dalam perjalanan ke Wonosari hanya sekali ia berbicara, saat mempersilakan saya minum air kelapa muda. "Mari minum degan," katanya.


Sembilan jam bersepeda, akhirnya kami sampai di desa tempat Pak Dirman berada. Itulah pembicaraan kedua saya dengan Soeharto. Saya minta wawancara secepatnya dengan Pak Dirman. Tapi kata dia besok pagi saja, sekarang istirahat dulu.

Saya juga merasa, Soeharto tidak mudah dekat dengan orang lain. Setelah Soeharto menjadi presiden, saya baru bertemu lagi ketika ada kunjungan Presiden Nixon pada 1970. Waktu itu dia ngobrol dengan saya, saat sarapan pagi dilakukan. Hadir pula di sana Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Sudjatmoko.

Saat sarapan itu, Soeharto saya kasih masukan soal bagaimana cara membuka hubungan dengan Presiden Nixon. Masukan ini saya dapat setelah malam hari sebelumnya saya mewawancarai Nixon di Hotel Sheraton. Mendengar masukan itu, Soeharto tertawa senang.

Paling aneh menurut saya, ketika Soeharto menganugerahi saya Bintang Mahaputra pada 1971. Tapi ternyata, tiga tahun kemudian, 24 Januari 1974, Soeharto membredel Pedoman karena memuat berita hubungan Tien Soeharto dengan beberapa perusahaan swasta.

Pemberitaan itu membuat Soeharto geram kepada saya. Soeharto pun memanggil saya ke Bina Graha. Di sana saya dimarahi habis-habisan dan langsung dihadapkan kepada pengusaha-pengusaha Cina yang namanya saya beritakan. Dan mereka disuruh bilang: tidak punya hubungan dengan Ibu Tien.


Setelah itu, Pedoman memuat pengumuman penyesalan -saat ini semacam hak jawab. Namun tetap saja dua bulan kemudian surat izin cetak dan surat izin terbit Pedoman dicabut.

Cerita saya dengan Soeharto berakhir saat dia mulai sakit-sakitan. Saya dengar dari Bob Hasan bahwa Soeharto sering menyebut nama saya ketika teringat peristiwa penjemputan Pak Dirman di Wonosari.

Beberapa kali pula Bob Hasan meminta saya datang menjenguk ke Cendana, tapi saya menolaknya. Bahkan, beberapa waktu kemudian, ketika saya datang di peluncuran buku anak Ruslan Abdul Gani, Bob tetap menyuruh saya datang. Namun, belum sempat saya menjenguknya, dua minggu kemudian Soeharto mangkat.

Setelah reformasi 1998 bergulir, kepemimpinan Soeharto berganti dengan B.J. Habibie. Presiden ketiga RI ini sudah mengenal baik saya dan keluarga sejak dulu. Istrinya, Ainun, juga teman baik istri saya, Zuraida Sanawi. Mereka memanggil kami dengan sebutan om dan tante.


Ketika istri saya meninggal, Habibie sempat marah kepada saya, karena tidak langsung diberi tahu soal kematian itu. Setelah mengucapkan belasungkawa, Habibie langsung memeluk saya. Dia sangat tahu bagaimana hubungan saya dengan Zuraida. Habibie bilang, dia yang menikah selama 48 tahun, rasanya berat sekali kehilangan Ainun. Apa lagi saya, yang sudah menikah dengan Zuraida selama 63 tahun.

Saya juga mengalami masa-masa berat seperti Habibie. Saya sering ke makam istri saya, dan menyapa, "Selamat pagi, Ma. Anak-anak baik-baik saja." Tapi suatu kali, saya dinasihati cucu, tidak baik bersikap seperti itu. Karena kehidupan mereka yang meninggal berbeda dengan yang masih hidup. Mereka sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi di dunia. So, the life must go on kata cucu saya. Nasihat ini pula yang ingin saya sampaikan kepada Habibie.

Sebelum mengenal Gus Dur, saya sudah berkawan baik dengan ayahnya, Wahid Hasyim. Dulu, kalau ngobrol bareng, Wahid Hasyim sering memegang tangan saya. Karena memang begitu cara orang-orang NU berkomunikasi.


Sama dengan Habibie, Gus Dur memanggil saya dan istri dengan sebutan om dan tante. Tidak sering kami bertemu, tapi Gus Dur dan saya selalu menyapa ketika berpapasan. Seperti ketika Gus Dur bertemu saya dan istri di Singapura. Dari jauh dia sudah berteriak, hai om, tante, sambil melambaikan tangannya.

Sampai kemudian saat dia menjadi presiden, tiba-tiba rumah saya ditelepon staf protokoler Istana. Kata staf itu, Gus Dur mau berkunjung ke rumah saya. Waktu itu saya bilang ke istri, apakah tidak apa-apa kalau presiden datang kemari? Ibu bilang tidak masalah, bahkan Gus Dur mau dimasakkan soto Betawi.

Ketika Gus Dur dan keluarga sampai di rumah saya, banyak sekali media yang meliput. Tapi mereka diharuskan menunggu di luar rumah. Selepas menyantap soto Betawi buatan istri saya, Gus Dur dan saya mengobrol. Begitu pula istri saya, yang mengobrol dengan Sinta Nuriyah. Istri saya senang karena soto Betawi buatannya habis. Zaman sekarang mana ada presiden yang mau datang ke rumah wartawan, dan ikut makan bersama?


Tentang Megawati, justru istri saya -bersama Ibu Herawati Diah- yang dekat dengannya. Mega selalu memanggil mereka dengan sebutan Tante Ida dan Tante Her. Hubungan saya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak sedekat presiden yang lain. Hanya pernah bertemu sekali dengan SBY, pada saat perayaan Hari Pers Nasional di Bandung. Kami bersalaman, lalu difoto dan dipajang besar-besar oleh harian Kompas. Tapi, that's all, hanya bersalaman.

Azan zuhur berkumandang, Rosihan menghentikan kisahnya dengan para pemimpin Republik. Suaranya sudah melemah. "Sudah, ya. Kalau disuruh cerita lagi, saya bisa harus menggunakan tabung oksigen lagi," ujarnya.

Sumber:
majalah.tempointeraktif.com

Berkubang di Lingkaran PSI


Hari itu libur Nyepi, Sabtu dua pekan lalu. Napas mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman ini tiba-tiba sesak. Seorang pria muncul dari dalam rumah, "Tunggu sebentar ya, Bapak sedang diobati." Rosihan kini harus hidup berdampingan dengan tabung oksigen; di rumahnya siap dua tabung oksigen. "Sekarang saya sudah siap. Kita mau bicara apa," katanya dengan tenang, seolah oksigen sudah tak menjadi masalah lagi. Dia berkisah tentang dirinya, sosialisme, dan Partai Sosialis Indonesia. "Saya sosialis. Saya pengikut Sjahrir...."

Bermula sewaktu saya sekolah di AMS A Yogyakarta. Waktu itu umur saya 18 tahun. Saya kos di rumah guru saya, Tjan Tjoe Siem, yang kemudian mengajar di Universitas Indonesia. Dia adalah keturunan Cina yang mualaf. Sudah empat generasi keluarganya muslim. Waktu itu dia masih single. Dia seperti bapak angkat saya. Di rumahnya ada bibliotik. Di situlah saya pertama membaca Das Kapital-nya Karl Marx.

Waktu itu saya sudah bisa bicara beberapa bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Di AMS, saya belajar klasik Barat.

Di sekolah, saya punya guru sejarah yang menyenangkan. Namanya H.J. van den Berg. Dia mengajari Karl Marx itu siapa, sosialisme itu apa. Cara mengajar dia lain. Dia mengajar menurut topik, dengan kapita selekta. Lalu dia membuat diktat 10 halaman, dia fotokopi, dan dia bagikan ke murid dengan gratis. Itu yang membuat saya tertarik.

Dari situ saya mengerti sedikit soal class struggle, penindasan, kapitalisme, kolonialisme yang mengisap, dan lain-lain.


Di kemudian hari, saya berkenalan dengan teman-teman seperti Soedjatmoko atau Koko, Sudarpo, juga Subadio Sastrasatomo (anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), yang biasa kami panggil Kiyuk. Mereka terkenal sebagai "The Sjahrir's Boys", lingkaran dalam kelompok Sjahrir. Kebetulan Sudarpo adalah senior saya waktu sekolah di Yogya. Waktu itu saya wartawan Merdeka, sekitar Oktober 1945. Kami banyak berdiskusi.

Saya belum kenal Sutan Sjahrir. Saya di Jakarta, sementara dia berada di pedalaman, di Yogya. Saya baru kenal Sjahrir waktu dia mengadakan konferensi pers pertamanya sebagai perdana menteri pada 14 Desember 1945. Orangnya kecil, simpatik.

Dengan begitu, saya mulai mengerti sosialisme lewat perkenalan dengan mereka. Jadi saya memahami sosialisme through the process of osmosis. Tidak langsung, tapi melalui suatu proses. Dan saya tidak ada keinginan untuk memperdalam lebih lanjut. Jadi pikiran-pikiran dasar pokok saja yang saya pahami. Yang menarik buat saya, seperti yang selalu ditekankan Subadio, sosialisme kerakyatan namanya. Yang mereka anut itu menekankan pada menselijke waardigheid, atau dalam bahasa Inggris, human dignity. Wah..., itu menarik buat saya.

Kalau orang Indonesia memiliki martabat kemanusiaan, dia mesti melepaskan dirinya dari kemiskinan, bisa bicara bebas, juga dihormati. Ini bagus untuk melawan penjajahan. Dengan martabat kemanusiaan, ia menjadi sadar akan derajatnya, martabatnya, tidak mau ditindas dan dizalimi. Di sisi lain, dia memiliki rasa kemanusiaan yang besar, mesti menolong yang miskin dan tertindas. That's all.

Sampai sekarang, saya setuju itu, tapi tidak mau komunisme. Saya tidak mau ada pertarungan kelas. Saya tidak mau ada diktator proletar.


Saya bersahabat dengan Koko, Sudarpo, Subadio. Dengan begitu, saya bisa bersahabat dengan Sjahrir. Karena dekat dan sepaham, saya menawarkan surat kabar Pedoman untuk dimanfaatkan PSI. Pada waktu itu, sekitar awal 1950-an, Masyumi membuat koran Abadi. Pemimpin redaksinya M. Suardi Tasrif. Dia satu kelas sama saya di AMS A di Yogya. Kemudian PNI (Partai Nasional Indonesia) bikin Suluh Indonesia. PKI bikin Harian Rakyat. Sementara PSI tidak punya duit untuk membuat koran. Jadi saya bilang, "Begini saja. Anggap koran saya koran PSI. Kalau kamu ada apa-apa, kasih tahu saya, saya muat. Tapi kamu jangan dikte-dikte saya, ya...."

Sampai sekarang saya berpendapat, wartawan tidak boleh menjadi anggota partai politik. Tidak boleh menjadi anggota Golkar. Tidak boleh menjadi anggota Demokrat. Wartawan mesti independen. Itu menunjukkan saya betul-betul bebas. Bahwa ada pengaruh pemikiran, itu beda lagi. Tapi, keluar, dia mesti independen. Itu saya pegang sampai sekarang. Tapi, dalam dunia pemikiran, habitat saya memang PSI. Saya sosialis. Saya pengikut Sjahrir.

Ternyata itu tak menjadi masalah bagi Pedoman. Ada seorang wartawan yang mengatakan, "Bung, ini Pedoman dipakai untuk keperluan PSI, koran PSI, tapi kenapa disukai?" Saya jawab, "Kenapa disukai, karena isinya tidak selalu tentang PSI."

Orang-orang PSI pun berterima kasih ke saya. PSI tidak keluar duit sepeser pun. Dan segala konsekuensinya saya terima. Saya sering mendapat cemoohan, "Oh..., Pedoman koran PSI. Oh..., Rosihan orang PSI, Rosihan sosialis." Betul. Tapi saya selalu menjawab cemoohan semacam itu dengan mengatakan, "Suka hati kamulah." Sikap saya selalu begitu.


Atau juga saya menjawab, "Ah, kamu cemburu. Oplah kamu berapa sih? Yang number one siapa? Saya kan?"

Saya kembali dikritik... sombong amat. Saya disebut arogan. Tetapi arogan saya bukan tanpa dasar, melainkan berdasar fakta. Koran saya memang nomor satu. Mereka tidak bisa mendekati Pedoman.

Tapi pada Pemilu 1955, untuk memenuhi formalitas dan ketentuan dapat dicalonkan dalam pemilihan umum, saya terima ajakan Soedjatmoko, supaya kami secara formal menjadi anggota PSI. PSI mengalami kekalahan dalam Pemilu 1955, dan saya tidak terpilih jadi anggota Konstituante. Saya kaget tentunya, tapi hal itu tidak melunturkan kepercayaan saya kepada perjuangan untuk sosialisme.

Bahkan, ketika PSI jatuh, saat dilarang Soekarno pada 17 Agustus 1960, saya dan Pedoman tak terpengaruh. Kami terus hidup. Baru 7 Januari 1961, saya mampus. Pedoman dilarang. Khalas.... Soekarno jengkel sama saya. Subandrio pernah bilang, "Sayang ya Rosihan, dia memilih pihak Sjahrir." Tapi saya tidak menyesal. Saya sosialis. Saya pengikut Sjahrir. Sekarang ini, saya pikir, malah sebuah kehormatan. Sampai sekarang, saya tidak menyesal.

Sumber:
majalah.tempointeraktif.com

Rosihan Anwar, Wartawan Kebetulan


Rosihan Anwar adalah sosok yang penuh warna. Pria kelahiran Kubang nan Dua, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922 ini menulis sajak, bermain sandiwara dan film, serta berbicara hampir tentang apa saja di diskusi dan seminar-seminar. Dan -ini yang penting- tiga perempat hidupnya dihabiskan dalam dunia jurnalistik.

Ia wartawan yang melintasi beberapa zaman: masa penjajahan Jepang, pemerintahan Soekarno, Soeharto, hingga masa reformasi. Dimulai di surat kabar Asia Raya, ia kemudian mendirikan majalah Siasat, juga koran Pedoman. Dia juga pengajar wartawan.

Rosihan disayang, dipuji, dicemooh, dimaki. Dia juga dibungkam. Bahkan tak hanya satu-dua kali.

Rumah sakit adalah tempat yang mungkin paling sering dikunjunginya sekarang. Ketika tulisan ini diturunkan, ia masih terbaring di ICCU Rumah Sakit MMC Kuningan, karena gangguan jantung. Rosihan, kini 89 tahun, masih menulis. Buku terakhirnya dalam proses penerbitan. Dia juga terus bicara. Panjang-lebar, dalam dua pertemuan, dia mengisahkan pernak-pernik hidupnya kepada wartawan Tempo Purwani Diyah Prabandari dan Cheta Nilawaty.

Hari itu libur Maulud Nabi. Kediaman wartawan senior Rosihan Anwar di pinggiran Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat, yang selalu ramai itu terlihat sepi. Pintu pagar dan rumah sama tertutup.


Tak lama, sosok yang ditunggu muncul: berbaju batik, necis. "Sebenarnya saya nih agak sesak," katanya. Inilah wawancara yang tertunda. Beberapa kali wawancara terpaksa dibatalkan karena ia harus ke rumah sakit. Hari itu, Selasa, 15 Februari, ia bercerita panjang: dua setengah jam.

Sejak kecil hingga sekolah menengah atas di zaman Belanda, sama sekali tidak terbayang dalam pikiran saya untuk menjadi wartawan. Dulu, cita-cita saya meneruskan belajar ke Universitas Leiden, Belanda. Sebab, saya belajar di sekolah AMS A bagian klasik Barat. Jadi saya belajar bahasa Latin, budaya Yunani.

Cita-cita ini tidak pernah kesampaian. Perang dengan Jepang pecah, pada 7 atau 8 Desember 1941, maka menguaplah segala yang saya bayangkan tadi. Habis. Khalas.

Di Jakarta, saya mesti berusaha bekerja. Kiriman wesel dari ayah saya, Anwar, yang pada zaman kolonial menjadi anggota pangreh praja Belanda -demang di Sumatera Barat, berarti sama dengan bupati di Jawa- berhenti. Jadi, saya mesti cari duit untuk hidup mandiri.

Di surat kabar, ada pengumuman mencari pemuda-pemuda tamatan sekolah menengah atas untuk mengikuti kursus kilat menjadi jaksa yang dilakukan pemerintah Jepang atau Gunseikan. Tempo latihan enam bulan. Selama belajar, saya mendapat tunjangan 50 rupiah atau 50 gulden. Akhirnya saya ikut ujian, dan lulus. Saya pun sudah siap masuk asrama.


Tapi apa gerangan? Sebelum masuk, saya ketemu dengan abang Usmar Ismail, yaitu dr Abu Hanifah. Waktu itu dia bekerja di rumah sakit umum pusat atau CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis), sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dia sudah saya anggap sebagai abang sendiri. Saya panggil dia broer. Abang saya ini mengatakan, "Rosihan, tadi saya bicara dengan Sukardjo Wirjopranoto, Pemimpin Umum Surat Kabar Asia Raya. Kamu mau masuk di Asia Raya atau tidak? Ada lowongan."

Saya putuskan, iyalah, masuk Asia Raya. Saya batal menjadi jaksa. Di Asia Raya, saya diterima oleh pengawas Jepang, Yoshio Nakatani. Sistem waktu itu, semua bisa dijalankan oleh orang Indonesia, tapi mesti ada supervisor atau penghubung (shido-kan). -Nakatani juga menjadi penerjemah. Orang ini kecil, sopan, dan baik hati. Tidak seperti orang Jepang lain, yang kerjanya menampar dan memaki orang Indonesia.

Saya bekerja di Asia Raya dengan tugas ganda. Sebagai asisten Nakatani saya mesti mengoreksi terjemahannya ke bahasa Indonesia. Lalu menjadi semacam deskman untuk berita luar negeri yang diterima dari kantor berita Jepang, Domei. Bos saya, redaktur luar negeri bernama Burhanuddin Mohammad Diah (B.M. Diah).

Tuhan menakdirkan di situlah saya berjumpa dengan seorang gadis Betawi yang sangat cantik, yang rupanya koyo Londo atau seperti Belanda. Pokoknya, ia terkenal waktu itu sebagai salah satu bunga mawar atau ros van Batavia. Namanya Zuraida Sanawi, atau bisa dipanggil Ida Sanawi. Ida adalah sekretaris di redaksi dan sekretaris pemimpin umum surat kabar Asia Raya. Dia kemudian menjadi istri saya.


Saat itu saya sama sekali tidak memiliki pengalaman. Tidak ada senior yang mengajari saya. Tapi saya percaya penuh pada diri sendiri. Ini karena saya sekolah di AMS Yogya. Harap dicatat, pada zaman kolonial, jumlah sekolah menengah atas hanya delapan buah. Jadi, tidak gampang masuk AMS waktu itu. Pertama, orang tua harus mampu membayar sekolah. Saya masih ingat uang sekolah saya di AMS per bulan 14,5 gulden. Itu lebih banyak daripada gaji juru tulis yang hanya 10 gulden. Bayangkan, kalau ayah saya bukan demang, mana bisa saya sekolah di sana?

Selain itu, otak mesti sedikit cerdas. Sebab, jika tidak pintar, mana bisa lulus ujian masuk. Di sini pula saya harus belajar lima bahasa: Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Latin. Saya ambil jurusan klasik Barat. Sehingga bisa dibayangkan, di satu sisi kepala saya mumet, tapi di sisi lain saya pede luar biasa.
Karena itu, sampai sekarang, orang yang tidak mengenal saya lebih mesra suka mengatakan, Rosihan itu orangnya arogan, angkuh. Saya selalu jawab, sesuka hatimulah.

Pada akhir zaman Jepang, posisi saya di redaksi Asia Raya adalah reporter politik. Setelah proklamasi, Asia Raya masih terbit sebentar, sampai sekitar awal September 1945. Kemudian orang-orang yang bekerja di Asia Raya mengambil alih percetakan Belanda, De Java Bode, tempat Asia Raya dicetak. Kemudian kami terbitkan surat kabar Merdeka pada 1 Oktober 1945. Pemimpin umum serta pemimpin redaksinya B.M. Diah. Sedangkan saya menjadi redaktur pertama. Yang lain tidak bernafsu.


Saat itu keadaan tidak pasti. Jepang berkuasa. Pemuda melawan. NICA sudah bergerak. Banyak teman kabur ke pedalaman (luar Jakarta). Di Jakarta tidak aman. Yang tinggal di Jakarta hanya orang yang nekat. Jadi hanya ada sedikit wartawan.

Meski tidak banyak wartawan, tetap ada kompetisi dengan koresponden media asing. Waktu itu mereka dinamakan war correspondent. Maka saya harus bekerja begitu rupa, tidak boleh mengalah terhadap mereka yang lebih berpengalaman.

Seperti telah saya katakan, saya ini cukup pede. Kalau tidak mengerti, saya berlaku pura-pura mengerti. Selebihnya, karena Merdeka satu-satunya koran di Jakarta, kami jaya. Uang masuk, meski gaji saya tidak seberapa. Waktu itu dibayar dengan uang Jepang. ORI alias Oeang Repoeblik Indonesia belum keluar, dan uang NICA tidak kita terima.

Tapi kami tidak mengkhawatirkannya. Waktu itu, uang tidak begitu penting. Sebab, di masyarakat terdapat semangat gotong-royong yang murni.

Rosihan Anwar mulai lelah. "Istirahat sebentar, ya. Saya perlu minum," katanya. Dia meninggalkan ruang tamu rumahnya yang luas. Tak lama, dia kembali. Sambil berjalan, ia bercerita ringan tentang memoar yang hampir selesai. Buku tersebut banyak mengisahkan ihwal istrinya, Ida Sanawi. Dia pun mengisahkan traumanya dengan komputer. Ketika dia sedang menulis, tiba-tiba file-nya hilang. "Ada yang hilang. Saya panik, dan sampai sesak napas," kisahnya. Setelah kejadian itu, dia tak pernah lupa mengkopi hasil ketikannya.


Ia juga sempat menjelaskan beberapa foto dan lukisan yang menghiasi dinding ruang tamunya. "Itu repro karya Affandi," ia menunjuk lukisan seperti potret diri. "Kita lanjutkan ya...."

Saya banyak berbeda pendapat dengan B.M. Diah. Pada 1946, karena tak seide, saya keluar dari surat kabar Merdeka. Dia berpendapat, Merdeka punya dia. Saya berpendapat, Merdeka adalah milik bersama para wartawan. Jadi saya bilang "good bye".

Pada 4 Januari 1947, bersama Soedjatmoko, saya mendirikan majalah politik, Siasat. Terbitnya dibantu oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, berupa bantuan modal dan kertas cetak yang jumlahnya tidak banyak. Selebihnya kami mandiri. Dalam waktu enam minggu, Siasat mencapai oplah 12 ribu. Buat zaman itu, ini hebat sekali.

Selagi saya memimpin Siasat, saya ditawari Haji Djunaidi, mantan pemilik surat kabar Pemandangan. Dia ingin membuat koran yang dimulai dengan huruf P. Saya usulkan nama Pedoman. Baru dua bulan terbit, koran itu dibredel Belanda karena membela Republik. Jadi, pada 31 Januari 1949, Pedoman mati.
Setelah perjanjian Roem-Royen pada Juli 1949, yang memutuskan akan ada Konferensi Meja Bundar, Pedoman boleh terbit kembali. Kali ini Haji Djunaidi tak lagi ikut. Dia kapok. Dengan susah payah, kami meneruskannya.


Tapi, alhamdulillah, saya banyak hoki. Seperti juga saat saya diboikot orang-orang kiri pada sekitar 1951. Waktu itu Pedoman sempat tidak terbit beberapa hari. Alasannya, saya mendukung kebijakan kabinet Natsir yang sedang membersihkan pengaruh kiri di kebun-kebun di Jawa Barat. Mereka marah. Buruh percetakan di bawah SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) mogok.

Lalu kami berunding di salah satu ruangan di gedung parlemen. Sebab, anggota-anggota parlemen dari golongan kiri juga memboikot. Jadi saya mesti cari kompromi. Waktu itu mereka puas menghina saya..., "Mampus loe." Tapi akhirnya Pedoman terbit juga. Eh, begitu terbit, malah oplahnya meloncat menjadi 15 ribu. Padahal sebelumnya hanya 6.000.

Namun hoki tak selalu ada. Karena saya selalu beroposisi, akhirnya Soekarno, yang tadinya baik ke saya pada zaman revolusi, menjadi marah. Pada 7 Januari 1961, Pedoman dilarang terbit. Khalas.

Sebenarnya beberapa pemimpin media berusaha bersama untuk memperjuangkan kebebasan pers. Misalnya pada 1956, sewaktu diadakan konferensi editor Belanda-Indonesia di Zurich, Swiss, saya, B.M. Diah, Adam Malik, Mochtar Lubis, Suardi Tasrif, Sumadi M. Wonohito (Kedaulatan Rakyat), dan Moh Supardi menandatangani deklarasi bersama, akan membela kemerdekaan pers. Penandatanganan dilakukan di pesawat ketika meninggalkan Kemayoran menuju Zurich. Pada waktu itu mulai kelihatan gejala atau gara-gara Soekarno mau berkuasa, mau menerapkan demokrasi terpimpin.


Tantangan lain, misalnya, ketika rezim Soekarno memberikan persyaratan ke media, harus menerima Manipol Usdek (manifesto politik bersendikan lima unsur: UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, kepribadian Indonesia). Saya pemimpin redaksi Pedoman yang paling besar ikut menerima. Kepentingan saya, mesti menyelamatkan dan melindungi Pedoman selama mungkin. Jadi, saya tanda tangan saja. Habis cerita.

Eh, ternyata Mochtar Lubis, yang saat itu sedang dikenai tahanan rumah oleh Soekarno, mengirim surat pengaduan ke IPI (International Press Institute). Tahu-tahu, saya diskors.

Saya pun menjelaskan kenapa saya menerima Manipol Usdek, meski pada akhirnya tetap tak ada gunanya. Toh, akhirnya saya juga dibredel. IPI menerima penjelasan saya, dan mencabut skorsing ke saya. Saya tidak peduli lagi. Persetan dengan kalian.

Sementara itu, setelah Pedoman dibredel, saya menjadi koresponden beberapa surat kabar asing. Namun kemudian terjadi peristiwa September 1965, yang berbuntut jatuhnya Soekarno. Pada 1968, Pedoman hidup kembali. Kami mulai berjuang lagi, meski banyak pesaing yang sudah tegak, seperti Kompas.

Tantangan di sisi lain juga saya hadapi. Dalam Kongres PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Palembang pada 1970, saya menang dalam pemilihan ketua umum, bersama Jakob Oetama sebagai sekretaris jenderal. Saya mengalahkan B.M. Diah dan Manai Sophiaan, dengan beda suara 54. Tapi Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani tidak setuju saya ketua. Dia menggunakan B.M. Diah dan Manai. Sejalan dengan politik Soeharto waktu itu, pemerintah ingin menguasai seluruh perpolitikan di Indonesia, termasuk PWI.


Akhirnya Menteri Penerangan Laksamana Boedihardjo tetap mengakui B.M. Diah dan Manai Sophiaan. Saya dan pendukung tidak terima. Akhirnya PWI pecah: PWI Rosihan-Jakob Oetama, satu lagi PWI B.M. Diah-Manai Sophiaan. Tapi kemudian dilakukan perundingan. Pada waktu itu, untuk pertama kali, PWI memiliki dua ketua umum dan dua sekjen.

Sementara itu, saya juga terus mengurus Pedoman. Pada masa pemerintahan Soeharto, Pedoman tetap beroposisi. Beberapa waktu setelah peristiwa Malari, pada 15 April 1974, Pedoman kembali dimatikan. Anehnya, sebelum itu, saya diberi anugerah Bintang Mahaputra.

Akhirnya, saya kembali lagi jadi free-lancer untuk The Straits Times, New Straits Time, Asiaweek, dan Hindustan Times. Saya kadang menulis kolom di Kompas, juga media lain. Saya kerap diminta menulis obituari kalau ada orang mati.

Tetapi kemudian semua sudah tak lagi saya kerjakan. Saya tinggal menjadi kolumnis di tabloid Cek & Ricek. Saya juga menulis buku. Naskah buku tentang istri saya sudah siap.

Sumber:
majalah.tempointeraktif.com