Tuesday, June 29, 2010

Yusril: Saya Akan Hadapi Semua


Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, siap menghadapi proses pemeriksaan dirinya sebagai tersangka. Kejaksaan Agung menjadwalkan pemeriksaan Yusril sebagai tersangka pada 1 Juli mendatang.

"Saya akan hadapi semua. Insya Allah, saya mengerti soal hukum," kata Yusril, Jumat (25/6/2010) malam.

Yusril ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Ia bahkan dicegah keluar negeri sejak Jumat.

"Ya, saya sudah tahu kalau dicegah keluar negeri," ujar Yusril.

Menurut Yusril, ia bertanggung jawab atas segala hal yang ia lakukan. "Tapi, saya tidak mengerti, kenapa pembuat kebijakan harus dihukum?" tanya Yusril.

Laporan wartawan KOMPAS Dewi Indriastuti
http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/06/25/2120384/Yusril.Saya.Akan.Hadapi.Semua.


KASUS SISMINBAKUM: Yusril Jadi Tersangka

Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka. Yusril disangka terlibat korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto, Jumat (25/6/2010) petang, menyampaikan, Yusril ditetapkan sebagai tersangka bersama-sama Hartono Tanoesoedibjo. Hartono adalah mantan Komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika, pelaksana Sisminbakum.

Padahal, Jumat siang, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M Amari yang ditanya wartawan soal status Yusril dan Hartono menyatakan akan lebih dulu mengkaji. “Hasil kajian minggu depan atau depannya lagi,” kata Amari.

KOMPAS.com
http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/06/25/20113720/Yusril.Jadi.Tersangka


Yusril Ihza Mahendra

Saya menciptakan blog saya, sebagai wahana komunikasi bertukar pikiran secara jernih, intelektual dan simpatik, atas dasar prinsip saling menghormati. Melalui blog ini, saya ingin berbagi pemikiran, pengalaman dan gagasan, yang barangkali akan bermanfaat untuk menambah wawasan dalam menyikapi berbagai peristwa yang terjadi di sekitar kita. Apa yang saya ungkapkan, mungkin saja bersifat subyektif, karena didasarkan pada titik pandang, falsafah dan keyakinan keagamaan yang saya anut.

http://yusril.ihzamahendra.com/


Penjelasan Tentang SISMINBAKUM

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Kejaksaan Agung meminta saya untuk menjadi saksi dan memberikan keterangan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemungutan biaya akses fee dan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM) Direkorat Jendral Adiministrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Departemen Hukum dan HAM atas nama tersangka Zulkarnain Yunus, Samsudin Manan Sinaga dan Romli Atmasasmita. Sebagai warganegara, saya tentu akan memenuhi permintaan itu, dan Insya Allah, akan hadir pada hari Selasa 18 November 2008.

Saya merasa sedih dan prihatin atas ditahannya ketiga pejabat dan mantan pejabat di Departemen Hukum dan HAM tersebut. SISMINBAKUM sebenarnya diciptakan dengan niat yang baik dan tujuan yang mulia untuk mengatasi kelambatan pelayanan birokrasi yang berdampak luas ke bidang ekonomi, dan sekaligus sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari segala bentuk penyelewengan.
Ketika saya masuk ke Departemen Hukum dan Perundang-Undangan (Depkumdang) –yang kemudian berubah menjadi Departemen Kehakiman dan HAM dan kemudian berubah lagi menjadi Departemen Hukum dan HAM sekarang ini– pada akhir tahun 1999, Pemerintah kita sedang berupaya keras memulihkan perekonomian nasional yang hancur akibat krisis moneter tahun 1997. Salah satu upaya pemulihan itu ialah jika iklim berusaha dibangun kembali, perusahaan-perusahaan swasta yang baru harus berdiri, yang ingin merger silahkan merger, termasuk yang ingin melakukan perubahan akta pendirian perusahaan karena perubahan pemegang saham dan susunan pengurusnya.

Kritik keras yang ditujukan kepada Departemen Kehakiman dan HAM ketika itu -termasuk kritik dari IMF dan Bank Dunia- ialah lambatnya departemen ini melayani proses pengesahan perseroan menjadi badan hukum. Di Singapura, Malaysia dan Hong Kong, proses itu hanya berlangsung satu sampai tiga hari. Kita memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan lebih satu tahun baru disahkan. Padahal tanpa pengesahan, perusahaan belumlah menjadi badan hukum, sehingga tidak dapat melakukan ikatan dan transaksi sebagaimana layaknya sebuah perusahaan yang berbadan hukum.


Saya menyaksikan sendiri ada belasan ribu permohonan yang tertunda, karena pengerjaannya dilakukan secara manual. Untuk mencek nama perusahaan baru yang akan didirikan saja, notaris dari seluruh Indonesia harus datang ke Departemen Kehakiman. Petugas harus membuka buku-buku tebal arsip nama perusahaan sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang ini. Keadaan seperti ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi, waktu yang panjang, bertele-tele dan membuka peluang terjadinya berbagai praktek percaloan dan pungutan liar. Dalam beberapa kali sidang kabinet, Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu, menyampaikan perintah agar Departemen Kehakiman segera membenahi sistem pelayanan pengesahan perseroan itu. Kalau tidak ada anggaran, dapat mengundang pihak swasta dan koperasi, kata Presiden.

Upaya untuk membenahi sistem pelayanan itu saya dengar sudah ada sejak Prof. Muladi menjadi Menteri Kehakiman. Keinginan untuk membangun pelayanan secara elektronis telah dimulai dengan berbagai pengkajian, namun belum sempat diputuskan dan dilaksanakan. Di era saya, upaya ini diteruskan sampai akhirnya diputuskan untuk membangun Sistem Administrasi Badan Hukum atau SISMINBAKUM itu. Keputusan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan pada tanggal 4 Oktober 2000. Pelayanan manual dapat diteruskan sebagaimana biasanya, namun kita perlu membangun jaringan teknologi informasi, sehingga proses pengesahan badan hukum itu dapat dilakukan secara elektronis, sehingga sampai ke Direktorat Jendral AHU Departemen Kehakiman dan HAM dapat lebih cepat dan sistematis. Sesuai arahan Presiden, kami berusaha untuk mengundang pihak swasta untuk menanam modal membangun jaringan itu. Sementara Koperasi Pengayoman Departemen Kehakiman dan HAM tidak memiliki modal yang cukup, di samping tidak mempunyai tenaga ahli yang mampu membangun dan mengoperasikan jaringan itu.

Dalam suasana krisis ekonomi di masa itu, tidak mudah mencari pihak swasta yang mau menanamkan modal di bidang IT. Perusahaan-perusahaan bahkan dijual dengan harga diskon oleh BPPN. Inilah kenyataan yang kita hadapi pada tahun 2000 itu. Hanya ada dua perusahaan yang berminat menanamkan modal dan setelah dilakukan penilaian, maka diputuskan agar koperasi bekerjasama dengan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) untuk membangun jaringan itu. Keputusan menunjuk Koperasi agar bekerjasama dengan PT SRD itu saya tanda-tangani sebagai Menteri Hukum dan Perundang-Undangan selaku Pembina Koperasi, berdasarkan pembahasan dan usulan dari Direktorat Jendral AHU dan Koperasi. Seorang akuntan publik juga dimintai pendapat dan penilaian atas proposal kerjasama itu. Tidak ada proses tender di sini, karena tender berlaku apabila kita menggunakan dana APBN. Dalam proyek ini, justru pihak swasta yang diundang untuk menanamkan modalnya.


Satu hal yang memerlukan pengkajian yang lebih mendalam untuk melaksanakan proyek ini ialah, bagaimanakah caranya kita membayar pihak swasta yang membangun dan mengoperasikan jaringan IT ini. Pada waktu itu belum ada ketentuan yang mengatur kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam membangun jaringan IT. Kepada siapakah biaya penggunaan jaringan itu akan dibebankan, termasuk pula pertanyaan, apakah biaya itu harus dianggap sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997. Pejabat Direktorat Jendral AHU saya minta untuk berkonsultasi dengan Departemen Keuangan untuk mengklarifikasi masalah ini. Pada akhirnya didapat kesimpulan bahwa biaya akses menggunakan jaringan IT itu bukanlah obyek yang harus dikenakan PNBP.

Jaringan itu adalah ibarat jalan untuk menuju Departemen Kehakiman dan HAM, sementara seluruh proses pengerjaan pengesahan perseroan, mulai dari pengecekan nama, seluruhnya dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan HAM. Bagi pelanggan, yakni para notaris yang mau menggunakan jaringan IT itu, mereka membayarnya kepada pihak swasta dan koperasi yang membangun dan mengoperasikan jaringan itu. Para notaris itu adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Departemen Kehakiman, namun mereka tidak digaji oleh negara. Biaya penggunaan jaringan IT itu dipungut oleh notaris dari klien mereka –yakni para pengusaha yang ingin membentuk perseroan– yang ingin menggunakan SISMINBAKUM untuk mempercepat proses pengecekan nama perusahaan dan mengesahkannya. Uang itu kemudian dibayarkan langsung kepada koperasi dan PT SRD. Jika klien atau notarisnya tidak mau, mereka dapat mengurus pengesahan itu secara manual, tanpa harus membayar penggunaan jaringan IT kepada koperasi dan PT SRD. Namun, baik melalui jaringan IT ataupun manual, mereka tetap harus membayar biaya pelayanan pengesahan yang disetor sebagai PNBP. Begitu pula biaya mencetak berita negara untuk mengumumkan pengesahan perusahaan itu, dibayarkan kepada PT Percetakan Negara.

Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 1997, menegaskan bahwa pengenaan PNBP dilakukan antara lain terhadap hasil dari pengelolaan sumberdaya alam, hasil pengelolaan keuangan negara, hasil pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan, termasuk pula pendapatan yang dikenakan karena negara memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kami berpendapat bahwa menggunakan jalur IT dalam proses pengesahan sebuah perseroan, adalah suatu kemudahan menuju kepada pelayanan yang diberikan Pemerintah, namun bukan pelayanan itu sendiri. Karena kemudahan itu dibangun dan dioperasikan oleh koperasi dan swasta, maka pembayaran dilakukan kepada mereka. Kalau tidak mau menggunakannya, dan mereka ingin menggunakan cara manual, para notaris tidak perlu membayar. Sama halnya dengan mencetak berita negara, diserahkan kepada PT Percetakan Negara, yang juga dibayarkan langsung kepada mereka, dan bukan sebagai PNBP. Dalam hal percetakan negara, malah tidak ada alternatif, sepanjang yang saya ketahui Departemen Kehakiman dan HAM selalu menyerahkan kepada PT Percetakan Negara untuk mencetak semua berita negara yang berisi pengumuman Pemerintah. Demikian pula pencetakan setiap lembaran negara yang berisi semua peraturan perundang-undangan.


Setelah proses pembangunan jaringan IT tersebut selesai, saya melaporkan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Beliau menyambut gembira selesainya proyek itu dan kemudian meminta Wakil Presiden Megawati untuk meresmikan beroperasinya SISMINBAKUM. Sejak itu, para notaris dari seluruh tanah air yang telah dilatih menggunakan sistem ini –yang biaya pelatihannya dibebankan kepada koperasi dan swasta— dan diberi password untuk mengakses data nama perusahaan dan mengajukan permohonan pengesahan, dapat melakukannya dengan kecepatan yang luar biasa. Notaris dari daerah tidak perlu mondar-mandir ke Departemen Kehakiman di Jakarta untuk mencek nama perusahaan dan mengesahkannya, kalau mereka mau menggunakan jalur IT ini. Untuk mencek nama perusahaan, notaris dapat mencarinya langsung di bank data, setelah semua nama perusahaan yang ada di install ke dalam data base, hanya dalam hitungan menit. Begitu pula proses pengesahan dilakukan secara online.

Proses pengesahan perseroan yang dulunya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun, telah dapat dilayani hanya dalam waktu tiga hari. Para pengusaha yang mendirikan perusahaan merasa senang karena pelayanan yang begitu cepat dan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan menggunakan cara manual. Saya mendengar pada tahun 2008 ini, SISMINBAKUM mendapat penghargaan ISO 9006 sebagai bentuk pelayanan yang baik bagi masyarakat. Dampak dari proses yang begitu cepat dalam pengesahan perseroan ini ke bidang ekonomi, terutama penyerapan tenaga kerja dan pajak, memang belum pernah dihitung. Namun dampak itu secara kualitatif tentu cukup besar.

Saya diberhentikan menjadi Menteri Kehakiman dan HAM di bawah Presiden Abdurrahman Wahid tidak lama setelah SISMINBAKUM beroperasi. Saya digantikan oleh Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak dan Mahfud MD. Saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM lagi di bawah Presiden Megawati pada bulan Agustus 2001 sampai dengan Oktober 2004. Sejak itu Menteri Kehakiman dan HAM yang telah berubah menjadi Menteri Hukum dan HAM dijabat oleh Hamid Awaludin dan Andi Mattalata. Saya menyadari bahwa pada tahun 2003, BPKP melayangkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM yang menyarankan agar biaya akses SISMINBAKUM dimasukkan ke dalam PNBP dan dikategorikan sebagai pelayanan kepada masyarakat. Saya meminta kepada Dirjen AHU Zulkarnain Yunus pada waktu itu, untuk menanggapi saran BPKP itu dan membahasnya bersama dengan Departemen Keuangan. Semua pihak menyadari bahwa kalau biaya akses itu harus dimasukkan ke dalam PNBP maka negara harus menyediakan dana APBN untuk membangun sistem itu, atau mengambil alih investasi swasta untuk dijadikan sebagai usaha yang dilakukan oleh negara. Jika proses ini selesai maka Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan biaya akses SISMINBAKUM itu dijadikan obyek PNBP. Langkah menyelesaikan masalah ini telah ditempuh oleh Menteri Kehakiman Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata. Setelah membahas bersama-sama dengan Departemen Keuangan, mereka sepakat untuk menjadikan jaringan IT SISMINBAKUM itu sebagai Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Departemen Hukum dan HAM, setelah perjanjian kerjasama antara Koperasi Pengayoman dengan PT SRD berakhir tahun 2010 nanti, dan PT SRD sesuai perjanjian BOT akan menyerahkan seluruh aset SISMINBAKUM kepada Koperasi Pengayoman.


Ketika proses penyelesaian SISMINBAKUM ini tengah berlangsung, saya membaca pemberitaan media bahwa beberapa pejabat Dirjen AHU Departemen Hukum dan HAM diperiksa Kejaksaan Agung dengan dugaan melakukan korupsi biaya akses SISMINBAKUM, yang seharusnya menurut kejaksaan harus disetorkan ke kas negara. Saya ingin menegaskan bahwa di kalangan internal Pemerintah sendiri terdapat silang pendapat mengenai biaya akses SISMINBAKUM itu, apakah obyek PNBP atau bukan. Saya berpendirian bahwa biaya akses itu adalah cost yang harus dibayar oleh pelanggan, dalam hal ini notaris, karena mereka menggunakan jalur IT yang dibangun oleh swasta dan koperasi. Sama halnya jika pengguna jalan ingin menggunakan jalan tol, mereka membayar biaya tol kepada perusahaan swasta yang membangun dan mengoperasikan jalan tol itu. Di antara perbedaan pendapat mengenai PNBP itu, baiklah kita kembalikan kepada undang-undang PNBP itu sendiri.

Sesuatu dijadikan obyek PNBP atau tidak, haruslah didasarkan kepada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Silang pendapat antara Departemen Kehakiman dan HAM dengan BPKP bisa saja terjadi, namun akhirnya Presidenlah yang berwenang memutuskan dan menandatangani Peraturan Pemerintah itu, apakah sesuatu itu menjadi obyek PNBP atau bukan. Kalau Presiden memutuskan hal itu PNBP, maka PNBP-lah dia. Kalau Presiden tidak memutuskannya, maka biaya itu bukan PNBP.

Sejak SISMINBAKUM diberlakukan pada tahun 2001 telah dua kali diterbitkan PP mengenai PNBP di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni PP Nomor 75 Tahun 2005, dan PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditanda-tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Pebruari 2007. Dalam kedua PP ini disebutkan biaya pengesahan perseroan sebesar Rp. 200.000 per pengesahan, sementara biaya akses SISMINBAKUM tidak dicantumkan sebagai PNBP. Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam suratnya kepada Menteri Hukum dan HAM tanggal 8 Januari 2007 mengatakan antara lain bahwa biaya SISMINBAKUM belum ditetapkan sebagai PNBP dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005. Untuk itu, katanya, tarif PNBP-nya “perlu segera diusulkan untuk ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”. Kalaupun diusulkan, maka keputusan akhir yang menyatakan biaya itu PNBP atau bukan adalah di tangan Presiden. Namun PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditandangani Presiden tanggal 15 Pebruari 2007 itu ternyata tidak memasukkan biaya akses SISMINBAKUM sebagai PNBP.


Kalau ingin dijadikan sebagai PNBP, seperti telah saya katakan, perusahaan milik swasta yang bekerjasama dengan koperasi itu diambil alih saja oleh Pemerintah, kemudian diterbitkan PP baru yang menetapkan biaya akses SISMINBAKUM sebagai PNBP. Atau, menempuh solusi yang diajukan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, yakni membentuk Badan Layanan Umum (BLU) dibawah Departemen Hukum dan HAM untuk mengambil alih jaringan IT SISMINBAKUM yang dibangun dan dioperasikan oleh koperasi dan swasta setelah perjanjian BOT mereka berakhir tahun 2010 nanti. Dengan demikian, persoalan ini dapat diselesaikan menurut mekanisme UU PNBP itu sendiri, bukan melihatnya sebagai masalah pidana.

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan tahun 2000 tentang pemberlakuan SISMINBAKUM adalah tindakan jabatan yang berisi kebijakan untuk mengatasi kelambatan dan kekecewaan masyarakat atas pelayanan pengesahan perseroan dan sekaligus memangkas ekonomi biaya tinggi. Sebagai kebijakan, tindakan itu bukanlah tindakan pribadi, karena kebijakan itu terus berlanjut sampai sekarang, sementara telah enam kali Menteri Kehakiman dan HAM berganti sampai Menteri Andi Mattalata sekarang ini. Jika di kemudian hari, kebijakan itu dinilai keliru, maka pejabat penerusnya dapat memperbaiki kebijakan itu. Masalah ini, sekali lagi, haruslah dilihat dalam konteks hukum administrasi negara, bukan melihatnya dari sudut hukum pidana.

Terakhir saya ingin menegaskan adanya anggapan bahwa biaya akses SISMINBAKUM itu bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) Keppres Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasal tersebut menyatakan “Departemen/lembaga tidak diperkenankan mengadakan pungutan dan atau tambahan pungutan yang tidak tercantum dalam undang-undang atau peraturan pemerintah”. Kalau Kepres ini dijadikan sebagai dasar, maka Kepres itu sendiri tidak berlaku surut karena SISMINBAKUM telah diberlakukan sejak tahun 2001. Asas nullum dilectum dalam KUHP menegaskan bahwa hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.


Di samping itu, Departemen Kehakiman dan HAM tidaklah memungut biaya akses SISMINBAKUM. Para pendiri perusahaan dan notaris yang ingin menggunakan jalur IT dalam mencek nama perusahaan dan memproses pengesahannya, membayar biaya akses langsung kepada koperasi dan perusahaan swasta yang membangun dan mengoperasikan jalur IT itu. Kalau mereka tidak mau menggunakan jaringan IT itu, seperti telah saya katakan, mereka tidak perlu membayar. Apa yang dipungut oleh Departemen Kehakiman dan HAM ialah biaya pengesahan yang sudah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah sebagai PNBP.

Demikian penjelasan saya, mudah-mudahan penjelasan ini dapat menjernihkan berbagai persoalan terkait dengan SISMINBAKUM yang akhir-akhir ini menjadi pemberitaan di berbagai media massa.

Jakarta, 16 November 2008

Yusril Ihza Mahendra
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/11/17/penjelasan-tentang-SISMINBAKUM/#more-291

Monday, June 21, 2010

M Dzikron: Amerika Butuh Infus dari Indonesia


Pada saat negara-negara di Benua Amerika dan Eropa menjauhi Barack Obama, Indonesia justru paling lengket bak perangko. Ini ditunjukkan oleh dekatnya hubungan pribadi antara SBY dan Obama. Padahal, di luar itu ada maksud lain yang hendak dilancarkan AS. Amerika saat ini sedang sekarat, dia kan butuh infus. Satu-satunya infus paling gampang ya dari Indonesia, ujar pengamat pertambangan ITB M Dzikron kepada Indonesia Monitor, Rabu, (10/3).

Indonesia ini, lanjut Dzikron, istilahnya merupakan “sapi perah” bagi Amerika. “Arti sebenarnya, perekonomian Amerika saat ini masih kacau. Itu membutuhkan recovery yang relatif lama. Untuk menutup ekonomi Amerika yang morat-marit, yang paling mungkin hanya dari Indonesia,” kata staf pengajar di Universitas Islam Bandung (Unisba) itu.

Menurut Dzikron, saat ini Amerika sedang terpojok. Di beberapa negara Eropa, Amerika Latin, dan Timur Tengah, Amerika tidak mendapatkan tempat. “USA di Amerika Latin dilawan, di Eropa dilawan, di Timur Tengah memang ada teman-temannya, tapi untuk membiayai perang Irak, perang Afghanistan, dan Pakistan, keuangan Amerika babak belur. Satu-satunya negara yang baik, selalu loyal sama dia, ya Indonesia,” katanya.


Kekayaan minyak dan gas dari Indonesia yang akan tersedot ke Amerika bisa dikalkualsi. “Kalau dari konversi minyak dan gas saja kira-kira 1,5 juta barrel per hari, dan kalau dihitung 1 barrel minyak per hari harganya 70 dolar AS. Maka 1,5 juta barrel kali 70 dolar AS per hari, sudah ketahuan berapa,” katanya.

Dalam bidang Migas, Amerika menguasai 70 persen. Konversi produksinya kira-kira begini. “Misalnya kita per hari memproduksi minyak 1 juta barrel. Dari 1 juta barrel per hari, yang 700 ribu adalah kavling-nya Amerika. Kemudian, pemerintah akan bilang ekspor naik. Padahal kalau yang ekspor orang asing, ya pemasukannya bukan untuk Indonesia. Jadi terminologi ekspor yang terjadi hari ini harus direvisi,” katanya.

Kalau konteksnya pertambangan, sebenarnya sudah berlaku UU Minerba (Mineral dan Batubara) tahun 2009, yang salah satunya ada kewajiban bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan processing di Indonesia. Tapi faktanya sampai hari ini belum dilakukan. Mereka masih menggunakan masa transisi UU itu. Misalnya Freeport, yang diolah di dalam negeri baru 25 persen, sisanya diangkut semua ke Amerika.


Hasil tambang seperti emas, batubara, gas, minyak, itu kata Dzikron, lebih banyak yang diangkut ke Amerika dibanding yang diproses di sini. “Persepsi saya, yang dominan main di Indonesia, sebanyak 70 persen adalah Amerika, sementara Eropa 10 persen, swasta nasional 10 persen dan Pertamina 10 persen,” paparnya.

Dalam konteks pasar finansial, kata Dzikron, Amerika juga dalam keadaan terpuruk. “Pasar industri manufaktur dihantam Jepang, Cina, dan Korea. Nah, sekarang mendapat suntikan dari Indonesia,” tegasnya.

Mengapa AS lebih suka Indonesia? Sebab, jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia relatif tidak rewel. “LSM-LSM dulu ada yang keras, sekarang tak ada lagi yang komplain soal kontrak ulang pertambangan atau perusahaan Amerika. Jadi, Indonesia ini good boy-lah bagi Amerika,” ungkapnya.

Sri Widodo
www.indonesia-monitor.com

Monday, June 14, 2010

Masterpiece karya Allah: Menemukan Kembali al-Qur’an


Rata-rata 4 kali perminggu saya mengalami forum dengan ratusan atau ribuan orang. Kalau di luar negeri, tentulah audiensnya puluhan atau ratusan, kecuali di Malaysia. Sekitar 85% audiensnya adalah orang beragama Islam. Forum itu sendiri 60% acara Kaum Muslimin, 30% umum, 10% forum khusus saudara non-Muslim. Perjalanan keliling itu berlangsung puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir ini frekuensinya meningkat sekitar 30%.

Tentu sangat banyak saya berguru pada mereka, sangat tidak seimbang dengan amat sedikitnya manfaat yang saya bisa kontribusikan. Saya, sendiri atau bersama Kiai Kanjeng, berposisi amat berterima kasih kepada publik, sementara hak kami untuk diterimakasihi sangat sedikit.

Saya kisahkan di sini satu hal: bahwa saya tidak pernah menyia-nyiakan perjumpaan dengan banyak orang untuk melakukan semacam direct research kecil-kecilan. Mungkin lebih bersahaja: jajak pendapat, tentang sejumlah hal prinsipil nilai orang hidup berbangsa, beragama dan bernegara. Serta sejumlah konteks aktual yang durasi dan akurasinya tidak berlaku terlalu lama. Itupun lebih saya persempit lagi: yakni sejumlah jajak pendapat dengan berbagai-bagai kalangan Ummat Islam.

Yang hasilnya terlalu lucu, naif atau sangat kurang berpengetahuan, sebaiknya tidak saya paparkan, agar saya tidak menjadi komoditas bagi penjaja tema pelecehan Islam. Umpamanya saya bertanya: “Rasulullah menyatakan bahwa Ummat Islam akan terbagi menjadi 73 bagian, yang diterima Allah hanya satu. Anda semua ini termasuk yang 72 atau yang 1?”. 100% ummat yang saya jumpai di berbagai wilayah, strata dan segmen, menjawab sama: “Yang 1″.

Yang paling terasa pada publik Islam adalah ketidaksanggupan massal untuk membedakan antara kemungkinan, kenyataan dan keinginan. Jawaban “Yang 1″ itu rata-rata tidak mereka kejar ke dalam diri mereka sendiri apakah itu keinginan, kemungkinan ataukah kenyataan. Terlalu jauh kalau saya menuntut mereka agar cukup memiliki parameter untuk mengukur tingkat kemungkinan dan kadar kenyataan mereka akan diterima Allah atau tidak, sebab kelihatannya ruang batin mereka sudah sangat dipenuhi oleh keinginan, yang tak terurai secara rasional dan intelektual.

Terkadang saya menggoda: “Ibu-ibu, Bapak-bapak, mohon maaf saya sendiri menemukan diri saya di antara yang 72 golongan. Saya penuh dosa dan ketersesatan, sehingga sama sekali tidak berani menyatakan bahwa saya akan pernah diterima oleh Allah. Kelihatannya kans saya untuk masuk neraka lebih besar dibanding masuk sorga.”

Sering saya menyesal atas pernyataan seperti itu, karena jelas saya memberi beban pikiran dan kegelisahan hati yang menambah keruwetan hidup mereka yang sudah sangat ruwet oleh Indonesia. Apalagi mereka rata-rata tidak punya kapasitas untuk mengidentifikasi apakah pernyataan saya itu bersifat intelektual ataukah bernuansa kultural —sebagaimana sahabat kita yang kaya menawari kita “Ayo mampir dong ke gubug saya…”. Padahal harga rumahnya 5 M.

Di saat lain saya bertanya: “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: Sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad, ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100% menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang saya menggoda: “Mohon maaf saya sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Mekkah saja pekewuh. Bahkan ketika berthawaf saya hanya berani melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab saya tidak merasa pantas bertamu ke rumah Allah. Bau saya busuk, kelakuan saya buruk, tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Terkadang saya terpeleset untuk mengungkapkan: “Coba Sampeyan sebut satu saja Nabi dan Rasul yang pernah menyatakan bahwa dirinya baik. Setahu saya hampir semua menyatakan dirinya dhalim”.

Di saat lain, rajin saya bertanya kepada Ummat Islam: “Apa bekal utama manusia untuk menjadi Muslim yang baik?”

100% menjawab: “Qur’an dan Hadits”. Sungguh-sungguh sangat lama saya merindukan ada jawaban yang berbeda, dan sampai hari ini belum Allah perkenankan. Memang begitu sucinya, begitu sakral dan utamanya Kitab Suci Allah dan penuturan Rasul-Nya, sehingga Ummat Islam kebanyakan lupa pada kalimat kecil di Kitab Suci itu sendiri: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece…” Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim.

Karya Allah yang tertunggul dan tertinggi derajatnya bukan Malaikat, bukan al-Qur’an, melainkan manusia.

Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukan al-Qur’an, melainkan akal.

Tidak fair kalau bekal utama manusia untuk menjadi Muslim adalah al-Qur’an. Pertama, zaman pasca-Muhammad hingga sekarang jauh lebih singkat dibanding pra-Muhammad sejak Adam as. Kedua, kalau Qur’an adalah modal utama, harus kita pastikan bahwa semua Nabi, Rasul dan ummat manusia sebelum Muhammad bukanlah Muslim. Dengan kata lain harus kita batasi kepercayaan dan wacana Islam hanya dimulai sejak kerasulan Muhammad. Ketiga, al-Qur’an bukan makhluk hidup. Ia tidak bisa menjadi subyek aktif atas proses berlangsungnya kehidupan manusia. al-Qur’an bukan pelaku perubahan, pembangunan sejarah dan peradaban ummat manusia. al-Qur’an itu alat perubahan.


Keempat, untuk menyebut secara sederhana: al-Qur’an 100% sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai manusia, yakni aktivitas akal. al-Qur’an jangan disodorkan kepada kambing, meskipun ia punya otak. Sedikit ke cabang: otak itu hardware. Untuk membuat otak melakukan pekerjaan berpikir, diperlukan software yang bernama akal. Al-’aql. Akal tidak terletak, atau sekurang-kurangnya tidak berasal-usul dari dan di dalam kepala manusia, melainkan berasal dari semacam mekanisme dialektika yang dinamis dari luar diri manusia, mungkin semacam gelombang elektromagnetik yang berpendar-pendar di seluruh lingkup alam semesta, namun dikhususkan menggumpal dan mengakurasi ke seputar ubun-ubun kepala setiap manusia.

Oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan; “Apakah engkau tidak berpikir?” “Apakah engkau tidak menggunakan akal?”

Masyarakat Barat dan Jepang, Korea, Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas. Tetapi memang tidak mengherankan jika Ummat Islam stuck dalam hal ijtihad. Al-fikr itu pikiran, kata kerjanya yatafakkar, berpikir. Al-aql itu akal: bahasa Indonesia hanya kenal kata kerja “mengakali” dari kata dasar akal. Mengakali itu pekerjaan sangat mulia: ialah memandang dan memperlakukan segala sesuatu dengan daya akal. Tetapi “mengakali” dalam bahasa Indonesia adalah menipu, mencurangi, menyiasati dalam konotasi negatif.

Agak aneh Allah memerintahkan “Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amr di antara kalian”, tetapi yang terjadi adalah ketaatan kepada para penerus Rasul atau yang dianggap oleh umum atau yang menganggap dirinya penerus Rasul —namun tanpa tradisi ijtihad, sementara ulul amr, “petugas urusan-urusan” tak pernah ditegasi konteks dan subyeknya. Apakah Ulama mengurusi petani dan pertanian sehingga ditaati? Apakah Ustadz mengurusi pasar dan penggusuran sehingga dipatuhi? Apakah Kiai mengurusi, menguasai, memahami, mengerti dan mendalami teknologi, industri, ketatanegaraan, konstitusi dan hukum, pemetaan sosial masyarakat, hutan, sungai, laut, sehingga dipatuhi?

Hampir tak pernah terdengar fatwa tentang kehidupan nyata manusia dan masyarakat. Barusan ada fatwa satu tentang nuklir: cabang bilang haram, pusat bilang halal. Bagaimana kok ada organisasi cabangnya haram pusatnya halal. Bagaimana ada makhluk tak jelas Malaikat atau Setan. Ada satu lagi saya simpan fatwa tentang jual beli dang ganti rugi: mudah-mudahan jangan ada versi counter fatwa, karena fatwa itu tidak didasari konsiderasi ilmiah dan penelitian rasional apapun.

Islam tumbuh di Musholla dan Masjid, bertahan kerdil dalam kesempitan dan kejumudan. Pengadilan Agama hidup dari konflik-konflik rumahtangga, tidak berurusan dengan keadilan keuangan rakyat, dengan keadilan atas sungai dan hutan, dengan keadilan politik, perekonomian, ekosistem, internet —sesekali muncul dari pintu belakang fatwa dan pernyataan keadilan halal dan haram tentang Presiden wanita haram, beberapa tahun kemudian berbalik menjadi halal berdasar sisi kepentingan yang sedang disangga.

Pemain-pemain sepakbola diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih oleh expert sepakbola, pelatih dan official. Kiai, Ulama, Ustadz diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih berdasarkan mata pandang industri dan kepentingan komersial. Orang Islam terlalu jauh meninggalkan akal sebagai modal utama kemuslimannya. Mereka salah sangka terhadap al-Qur’an, dan kurang peka memikirkan kemungkinan bahwa Iblis dan Setan sejak zaman dahulu kala sudah fasih membaca Quran dan mungkin menghapalnya, sebagai satu bagian strateginya untuk mengalahkan manusia.

Emha Ainun Nadjib, Budayawan
http://www.padhangmbulan.com/kolom-emha/masterpiece-karya-allah-menemukan-kembali-al-quran/

Saturday, June 5, 2010

Lebih Baik Mengundurkan Diri


Berita dari Tokyo, kemarin (2/6/2010), sungguh menarik. Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama mengundurkan diri karena tak mampu menggenapi janji pemilunya.

Bagi kita di Indonesia, meskipun tidak bisa dibandingkan secara sejajar, hal seperti itu terasa amat menarik. Bahkan, janggal. Di negeri kita, budaya mundur tidak ada atau bahkan mungkin ”tidak kita kenal”.

Barangkali orang malah mengatakan, amat sayang meninggalkan jabatan yang diinginkan banyak orang. Perlu dipahami bahwa jabatan bisa diburu, bahkan dalam banyak kasus bisa ”dibeli”, tetapi kepemimpinan tidak bisa. Jabatan bisa direkayasa, kepemimpinan tidak.

Apa yang dilakukan Hatoyama menjelaskan akan hal itu. Perdana Menteri Jepang itu mengundurkan diri karena merasa tidak bisa memenuhi janji kampanye pemilu.

Saat kampanye pemilu dulu, Hatoyama berjanji akan membongkar habis pangkalan militer Amerika Serikat di bagian selatan Pulau Okinawa, Jepang selatan. Akan tetapi, ia kini mengatakan hal yang sebaliknya, yakni tetap akan mempertahankan pangkalan militer AS itu.


Pangkalan militer itu, Futenma, hanya akan dipindahkan ke Okinawa bagian utara. Tentu saja, keputusan tersebut mengecewakan. Itu berarti, tentara AS tetap akan berpangkalan di Jepang. Tentara AS yang ditempatkan di Jepang berjumlah 47.000 orang, dan lebih dari separuhnya ditempatkan di Okinawa.

Sangat wajar kalau Hatoyama dari Partai Demokrat Jepang, yang menjadi perdana menteri sejak September lalu, dinilai tidak bisa memegang janji. Ia yang dulu diharapkan akan mengangkat pamor Jepang kembali kini dinilai sebagai pemimpin yang tidak tegas, lemah. Padahal, ketika akhir tahun lalu partainya berhasil mengalahkan Partai Demokrat Liberal yang sudah berkuasa lebih dari 50 tahun, rakyat Jepang berharap besar kepadanya.

Kini, tingkat popularitas Hatoyama anjlok drastis, dari lebih 70 persen menjadi hanya 17 persen. Hatoyama sendiri mengakui ”tidak mampu menjadikan karakter utama —teguh, pantang menyerah, dan berpendirian tegas— Jepang menjiwai politik”.

Memang, janji pemilu tidak bisa dianggap remeh, terutama bagi negara-negara yang rakyatnya sudah sadar dan melek politik serta tidak mudah lupa. Janji adalah utang dan utang harus dilunasi. Janji bukan sekadar pemanis kampanye atau hanya bagian dari marketing politik yang tidak harus dilaksanakan.

Karena itu, memenuhi atau mengingkari janji yang pernah diucapkan akan menjadi ukuran kualitas sang pemimpin. Sebab apa lagi yang bisa dipegang dari seorang pemimpin kalau bukan ucapan dan perbuatannya. Bagi Hatoyama, lebih baik mundur daripada dianggap sebagai pemimpin yang dusta. Mengundurkan diri adalah bentuk pertanggungjawabannya.

Tajuk Rencana KOMPAS, 3 Juni 2010


Yukio Hatoyama (lahir di Tokyo, Jepang, 11 Februari 1947; umur 63 tahun) adalah Perdana Menteri Jepang. Ia menjabat sebagai perdana menteri mulai 16 September 2009 menggantikan Taro Aso. Ia berasal dari Partai Demokratik Jepang yang mengakhiri kekuasaan dari Partai Demokratik Liberal. Pada 2 Juni 2010, Yukio dilaporkan telah mundur dari jabatannya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Yukio_Hatoyama


DPJ Cari Pemimpin Baru Setelah PM Hatoyama Mundur

Partai Demokrat Jepang atau DPJ berjuang mencari pemimpin baru setelah Perdana Menteri Yukio Hatoyama mengundurkan diri, Rabu (2/6). Menteri Keuangan Naoto Kan kemungkinan besar akan menggantikan Hatoyama.

”Saya akan mengundurkan diri. Kinerja pemerintah tidak merefleksikan keinginan rakyat. Saya minta maaf kepada Anda sekalian para anggota parlemen karena telah menimbulkan kesulitan besar,” kata Hatoyama, dengan mata berkaca-kaca.

Naik ke puncak kekuasaan delapan bulan lalu dalam pemilu bersejarah setelah menghentikan lebih dari 50 tahun kekuasaan kubu konservatif, Hatoyama mencuri perhatian para pemilih Jepang dengan janji melakukan perubahan di pemerintahan. Merasa tidak mampu memenuhi janji itu, Hatoyama pun memilih mundur.

Kala itu, Hatoyama berjanji memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa. Penduduk Okinawa telah lama mengeluhkan kebisingan pesawat tempur, polusi, dan kejahatan terkait kehadiran 47.000 tentara AS di Pangkalan Militer Futenma itu.

Dengan alasan ketegangan yang tengah terjadi di Semenanjung Korea, Hatoyama mengatakan adanya potensi ketidakstabilan di Asia Timur dan perlunya pakta keamanan AS-Jepang. ”Kerja sama antara Jepang dan AS tidak bisa dihindarkan bagi perdamaian dan keamanan Asia Timur. Maka, saya meminta warga Okinawa, dengan sangat menyesal, untuk menanggung beban ini,” ujarnya.

Alasan kedua pengunduran diri Hatoyama adalah skandal pendanaan politik yang turut menyeret orang nomor dua DPJ, Ichiro Ozawa. Ozawa, yang digambarkan sebagai ”shogun bayangan”, juga mengundurkan diri kemarin.

Politik kita harus bebas dari uang. Kita harus sepenuhnya bersih guna merevitalisasi partai kita,” ujar Hatoyama.


Keempat
Hatoyama menjadi perdana menteri Jepang keempat yang mundur dalam empat tahun terakhir. Spekulasi memang telah bergulir selama beberapa hari bahwa Hatoyama akan mundur setelah angka dukungan baginya —yang saat mulai berkuasa di atas 70 persen— merosot tajam menjadi tinggal 17 persen.

Pengunduran diri itu jelas karena dia mengabaikan suara rakyat,” kata Mizuho Fukushima, pemimpin Partai Demokrat Sosial, mitra koalisi DPJ, yang didepak dari kabinet karena menolak keputusan soal Futenma.

Saya memiliki harapan besar saat dia berkuasa, tetapi sekarang saya sangat kecewa karena ternyata dia kurang memiliki kepemimpinan,” ujar Mieko Ohashi, karyawan di Tokyo.

Partai oposisi, yakni Partai Demokratik Liberal (LDP), mengkritik pengunduran diri Hatoyama dan menyebutnya sebagai perubahan untuk mengilapkan penampilan partai di mata pemilih. ”Kalau ini jawaban mereka kepada pemilih, mereka seharusnya membubarkan parlemen dan mencari mandat publik baru,” kata pemimpin LDP Tadamori Oshima.

Analis meyakini, turunnya angka persetujuan bagi DPJ disebabkan duet Hatoyama-Ozawa. ”Kini setelah keduanya pergi, DPJ bisa menunjukkan kepada pemilih bahwa mereka bisa memerintah lebih baik,” kata Tsuneo Watanabe dari lembaga pemikir Tokyo Foundation. Jepang akan menggelar pemilu majelis tinggi pada bulan Juli.

Perdana menteri baru akan dipilih pada Jumat. Naoto Kan dipandang lebih lugas dan berpikiran terbuka. Selain Kan, Menteri Luar Negeri Katsuya Okada, Menteri Transportasi Seiji Maehara, dan Wakil Menteri Keuangan Yoshihiko Noda juga diperkirakan akan meramaikan bursa pemilihan pengganti Hatoyama.

KOMPAS, 3 Juni 2010


Jepang Pasca-Hatoyama

Mundurnya Yukio Hatoyama dari kursi perdana menteri memperpanjang episode pergantian kepemimpinan yang ”rutin” terjadi di Jepang empat tahun terakhir.

Hatoyama mundur setelah popularitasnya menurun drastis akibat keputusannya mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa. Dalam kampanye tahun lalu, Hatoyama berjanji akan memindahkan pangkalan militer AS ke luar Pulau Okinawa, kalau perlu ke luar wilayah Jepang. Namun, ketegangan antar-dua Korea dan makin aktifnya angkatan laut China menjadi dasar Hatoyama mempertahankan pangkalan AS di Okinawa.

Lewat pemilu majelis rendah Agustus 2009, Hatoyama bersama partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat Jepang (DPJ), menyingkirkan Partai Demokratik Liberal (LDP) yang telah berkuasa 55 tahun. Pengunduran diri Hatoyama membuat masa depan DPJ dan politik Jepang dalam tanda tanya besar.

Selain Hatoyama yang dikritik tidak konsisten, Ichiro Ozawa —dikenal sebagai king maker dan ahli strategi pemenangan pemilu— juga mundur sebagai Sekretaris Jenderal DPJ. Sorotan publik pada Ozawa meningkat sejak terungkapnya skandal pendanaan politik sehingga tiga mantan pembantu Ozawa diadili. Skandal ini turut memperlemah kepercayaan publik kepada DPJ yang mengampanyekan good governance dan transparansi sebagai salah satu agenda politiknya.


Kompleksitas masalah
Ketidakpuasan publik juga dipicu ketidakjelasan visi dan arah pembangunan ekonomi pemerintahan Hatoyama. Berasal dari keluarga mapan, Hatoyama dinilai tidak dapat memecahkan persoalan riil masyarakat Jepang, terutama meningkatnya rasa tidak aman sosial-ekonomi akibat liberalisasi ekonomi pemerintahan LDP dua dekade terakhir, berpuncak pada masa PM Junichiro Koizumi yang pro-bisnis.

Selama ini, isu-isu populis menjadi daya tarik DPJ. Dalam kampanyenya, Hatoyama dan para tokoh DPJ mengumandangkan slogan ”Putting People’s Lives First” dalam bentuk kebijakan-kebijakan konkret, antara lain memberikan tunjangan bulanan 26.000 yen kepada setiap anak di Jepang. Namun, dengan alasan pengetatan anggaran Hatoyama memotong separuhnya menjadi 13.000 yen.

Sampai dekade 1980-an, Jepang terkenal dengan sistem kerja seumur hidup dan hubungan harmonis antara pengusaha dan pekerja. Meningkatnya arus globalisasi dan munculnya pesaing ekonomi seperti Korsel dan China memaksa sektor swasta Jepang berubah. Saat ini, lebih dari 17 juta pekerja di Jepang masuk kategori pekerja tidak tetap (irregular workers), dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh berbeda dibanding pekerja tetap (full time workers). Itu berarti, 34 persen dari total angkatan kerja, meningkat dari 25 persen pada 1999 dan 15 persen pada 1984.

Pemerintahan Hatoyama berusaha membela kalangan pekerja tidak tetap dengan mengajukan rencana undang-undang yang melarang sistem borongan (dispatch labour) dan kontrak kerja sehari (one-day contracts) di sektor manufaktur.

Inisiatif Hatoyama disambut dingin kalangan pebisnis ataupun pekerja karena dinilai hanya meningkatkan angka pengangguran. Kalangan bisnis merasa tetap dapat mencegah peningkatan full time workers dengan memperbesar jumlah pekerja sub-kontrak (sub-contract workers) dengan hak dan perlindungan kerja lebih minimal.


Pasca-Hatoyama
Ironisnya, pengunduran diri Hatoyama terjadi saat indikator ekonomi makro Jepang menunjukkan angka mencengangkan. Pertumbuhan ekonomi tahunan dalam triwulan pertama tahun 2010 mencapai 4,9 persen, melampaui angka pertumbuhan ekonomi masa Koizumi yang berkisar 3 persen. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi minus 15,9 persen dalam triwulan I-2009, ini jelas merupakan kemajuan fenomenal.

Namun, masyarakat Jepang tahu, peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh pemulihan kembali permintaan ekspor produk manufaktur Jepang seiring pulihnya ekonomi global dari krisis, bukan karena kerja keras Hatoyama.

Menurunnya popularitas DPJ dalam waktu kurang dari setahun dikhawatirkan akan memperpanjang ketidakpastian politik. Meski mampu mengontrol suara mayoritas dalam majelis rendah, namun kemungkinan gagalnya DPJ mempertahankan mayoritas suara di majelis tinggi dalam pemilu 11 Juli mendatang akan berdampak luas. Termasuk bakal terhambatnya rencana kebijakan fiskal yang sedang dirancang pemerintahan DPJ untuk mengurangi porsi utang pemerintah jangka panjang.


Seperti yang dihadapi Barack Obama di AS, platform politik DPJ yang populis melahirkan konsekuensi peningkatan belanja pemerintah, yang banyak dibiayai utang dari pasar finansial. Menggunungnya utang Pemerintah Jepang yang mencapai lebih dari 200 persen dari GDP memerlukan pemecahan mendesak di tengah kemungkinan ancaman perluasan krisis utang Yunani.

Seperti kebanyakan negara maju yang terhantam krisis global, Jepang telah mengalirkan uang ke sektor finansial untuk mencegah memburuknya ekonomi. Meski dinilai berhasil menstabilkan pasar dan mendorong pemulihan ekonomi, kondisi ini dapat berdampak buruk dalam jangka panjang. Tanpa reformasi fiskal yang cermat, rasio utang pemerintah terhadap GDP Jepang diprediksi menjadi 250 persen pada tahun 2015.

Itu semua memberikan gambaran, pengganti Hatoyama akan menghadapi permasalahan politik, ekonomi, dan sosial yang begitu kompleks. Tidak heran jika kelak ia juga akan turut memperpanjang daftar para pemimpin Jepang yang mundur di tengah masa jabatannya.

Syamsul Hadi,
Pengajar Ekonomi Politik Internasional di FISIP UI
KOMPAS, 4 Juni 2010