Wednesday, August 28, 2013

Babad Garuda


Garuda sebagai simbol dalam ketatanegaraan di Nusantara sudah berlangsung nyaris seribuan tahun. Tarikh itu bisa diulur hingga ke masa Dharmawangsa Teguh di Kerajaan Medang, Jawa Timur. Oleh Henri Chambert-Loir (2009), era ini disebut-sebut sebagai “renaisans” pertama Nusantara saat tradisi penerjemahan kitab-kitab asing berlangsung dengan pesat dan sistematis. Pada saat yang sama, untuk pertama kalinya garudamukha dipakai sebagai simbol dan identitas kultural sekaligus penanda kekuasaan.

Itulah sebabnya, nama “Dharmawangsa” oleh masyarakat Jawa Kuno dan Bali dinisbatkan sebagai citra era peradaban madani, sejahtera, dan berkeadilan atau merdesa. Setidak-tidaknya ada lima raja di Jawa dan Bali yang menggunakan nama “Dharmawangsa”, yakni Dharmawangsa Teguh (Jawa Timur), Dharmawangsa Airlangga (Jawa Timur), Dharmawangsa Marakata Pangkaya (Bali), Dharmawangsa Kirtisi (Bali), serta Dharmawangsa Kertawardhana (Jawa Timur).


Ujian pertama renaisans ini muncul pada 1016 M, saat tragedi besar meletus, yakni ketika keluarga Dharmawangsa Teguh dibantai Worawari. Peristiwa ini dikenal sebagai mahapralaya atau kematian besar. Disebut “mahapralaya” bukan hanya karena keluarga raja dibantai, tapi juga lantaran hilangnya simbol keadaban dalam politik dan sekaligus kultural. Di masa ketika keadaban sirna oleh pembantaian besar itu, Airlangga lolos dengan membawa amanat pemuliaan, yakni garudamukha.

Mandat garudamukha yang dipundaki Airlangga sebagai angkatan muda terakhir yang lolos dari mahapralaya kemudian menjadi semacam babad baru tentang apa yang disebut “harapan”. Semua arkeolog dan peneliti kepurbakalaan bersepakat, garudamukha dikembalikan Dharmawangsa Airlangga sebagaimana peruntukannya pada masa Dharmawangsa Teguh, yakni lencana resmi kenegaraan, sebagaimana terbaca pada prasasti Malenga, prasasti Banjaran, dan prasasti Kembang Putih.

Oleh Dharmawangsa Airlangga, garudamukha dijadikan dua perlambangan sekaligus, yakni simbol kekuasaan politik yang adil-menyatukan dan kebudayaan yang bersemangatkan pada spiritualitas. Garudamukha adalah perpaduan politik raja dan spiritualitas dewa pasca mahapralaya 1016 M.

Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang masih mangkrak dan terancam "unfinished work".

Unfinished work
Di masa Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka pada 1945, garudamukha dikembalikan ke tengah gelanggang politik. Garuda dicoba dijadikan identitas bersama sebagai bangsa (budaya) dan sekaligus negara (politik). Sebagaimana takdirnya, ikhtiar ini tak pernah berjalan mulus dan selamanya menjadi unfinished work.

Garudamukha dalam tafsir modern yang kita warisi hingga saat ini adalah garuda yang perdebatannya tak pernah tuntas. Misalnya, kita tak pernah punya kata sepakat siapa perancang visual garuda ini, apakah Yamin, Sultan Hamid II, Basuki Resobowo, D. Ruhl Jr, ataukah Dullah. Belum lagi soal tafsir makna atas teks yang dinisbatkan pada garuda yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila; terutama pembacaan atas teks pada sila pertama.

Memang, pada 1945, saat negara genting pasca-Proklamasi, semuanya bisa dipermaklumkan. Perdebatan yang panas bisa dicairkan. Namun justru ini menjadi api dalam sekam. Katup magma yang tidur itu kemudian membuka perlahan setelah serangkaian pemilu pertama pasca-Indonesia Merdeka yang berlangsung dari 1955 hingga 1957 selesai kita gelar yang dengan bangga kita mendaku diri sebagai negara paling demokratis pada masanya.


Di Bandung, Sidang Konstituante gagal mengambil kata sepakat soal tafsir atas sila pertama Pancasila yang dikandung di dada sang garuda. Dengan didukung penuh serdadu yang dipimpin Nasution, Presiden Soekarno mengembalikan dasar negara sebagaimana muasalnya tanpa perubahan apa pun.

Indonesia pun berlayar di titian buih Demokrasi Terpimpin. Parlemen dibubarkan. Partai-partai yang dianggap cerewet atas teks Pancasila, terutama sila pertama, dibubarkan. Para penggiatnya dikejar dan dipenjarakan. Politik pun kemudian menegang di dua kutub: Komunis dan Tentara dengan buhul sentral Soekarno.

Garuda sebagai visual dan teks pada akhirnya kita dapatkan sebagai proyek kebangsaan sekaligus kenegaraan yang belum selesai, unfinished work. Penanda ketakberesan menyelesaikan proyek ini adalah meletusnya mahapralaya kedua pada 1965. Kita tahu, Nusantara, terutama Jawa dan Bali, dicekam oleh kegelapan dari pembantaian massal yang digerakkan secara masif dan sistematis oleh tentara, di mana kasusnya (lagi-lagi) tak pernah (di)selesai(kan).

Tiga puluh dua tahun setelah itu, kita dapatkan diri dikecoh habis-habisan bahwa garuda adalah proyek yang benar-benar sudah selesai. Di bawah moncong laras senapan serdadu, garuda “disuci-murnikan”. Di titimangsa ini garuda kehilangan nilai luhur keadabannya sebagaimana rancangan Dharmawangsa pada abad ke-10 M dan diberi tafsir oleh guru bangsa pada 1945 lewat frasa “Pancasila”. Garuda kita temukan sebagai dalih untuk sebuah proyek pemberangusan politik madani dan menjadi mandat kuasa untuk kaum kesatria.


Secara tafsir politik, Soeharto sukses besar memingit garuda agar tak terjamah oleh pikiran-pikiran di luar kredo “mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen”. Sedangkan secara kebudayaan, garuda tak ubahnya seperti burung emprit. Hilang kegagahan dan daya gugahnya.

Di wilayah kebudayaan inilah kita dapatkan pematung modern Nyoman Nuarta ternyata menyimpan mimpi besar, mengembalikan daya gugah garuda dalam sebuah karya monumental. Yakni, pembangunan taman kebudayaan raksasa Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali. Proyek patung Garuda Wisnu Kencana yang tingginya melebihi patung “Liberty” di New York ini boleh dibilang sebagai babak baru babad garuda. Resmi dibangun pada 1997 di Jimbaran, Bali, dengan harapan yang mengangkasa, proyek monumental ini terancam sebagai unfinished work kedua di sisi kebudayaan. Sudah hampir 17 tahun mimpi Indonesia melihat Sang Garuda berdiri kembali dengan gagah sebagai nilai keadaban bersama nyaris menjadi mimpi buruk kita sebagai bangsa.

Kita pun kemudian tahu, selama ini negara cum pemerintah sama sekali absen dalam proyek mengembalikan garuda sebagai ikon kebangsaan baru yang membanggakan dari sisi kebudayaan ini. Apalagi tahun mangkraknya proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) ini merayap makin mendekati tahun ke 1.000 ketika mahapralaya meletus pada 1016 M, yakni seribu tahun redupnya renaisans pertama Nusantara.

Muhidin M Dahlan;
Kerani di warungarsip.co
TEMPO.CO, 16 Agustus 2013

Tuesday, August 27, 2013

Perubahan Sikap Mental terhadap Petani dan Pertanian


Tulisan ini sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 pada 17 Agustus 2013. Pemikiran dimaksud adalah hasil dari upaya melihat kondisi pada saat ini dan kemudian dicoba diproyeksikan ke 17 Agustus 2045, di mana pada saat itu, yaitu 32 tahun dari sekarang, bangsa Indonesia diharapkan dengan sangat meriah dan sukacita sedang memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-100. Apakah harapan tersebut akan terwujud?

Apabila kita tarik ke belakang, yaitu kembali ke tahun 1945, atau 68 tahun yang lalu, periode 20 tahun pertama (1945-1965) sering dikatakan sebagai bukan periode pembangunan. Bahkan sering dinilai periode tersebut sebagai periode ketika banyak terjadi kekacauan. Periode kedua (1965-1998) diberi julukan sebagai periode pembangunan, yaitu periode usaha bangsa Indonesia mempercepat proses untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan dan ditetapkan dalam GBHN melalui Ketetapan MPR.

Meski demikian, sejarah ternyata mencatat krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis multidimensi telah membuat Indonesia belum bisa mencapai sebagaimana yang telah digariskan. Bahkan Indonesia mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada periode awal kemerdekaan berada setara atau di bawah posisi Indonesia, misalnya Korea Selatan dan Taiwan. Artinya, sejarah membuktikan bahwa 33 tahun membangun secara terencana dan terkoordinasi ternyata hasilnya belum bisa mencapai seperti yang telah ditetapkan.


Era Reformasi, yang sudah mencapai 15 tahun apabila ditandai dengan pergantian sistem pemerintahan dari era Orde Baru, ternyata masih menyimpan banyak pertanyaan. Memang tidak dapat disanggah bahwa kebebasan menyampaikan pendapat atau sering dikatakan dalam konteks yang lebih luas lagi, yaitu demokrasi, hidup sangat subur di dalam iklim sosio-politik sekarang.

Namun indikator-indikator yang menggambarkan kapasitas ekonomi nasional masih menunjukkan tanda-tanda belum kokoh, misalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah menembus lebih dari 10.000, impor pangan yang relatif besar, kesempatan kerja yang terbatas, tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, ketimpangan atau kesenjangan sosial yang relatif meningkat, konflik sosial yang sering terjadi, serta berlanjutnya guremisasi pertanian dan petani Indonesia. Saya ingin menyoroti aspek guremisasi pertanian ini secara khusus mengingat semua kesalahan pembangunan pada akhirnya akan diserap oleh indikator guremisasi.

Pertanian dalam semua budaya pasti menjadi landasan perkembangan peradaban pada tahap-tahap selanjutnya. Jadi, dapat dipastikan bahwa perkembangan budaya itu akan didirikan di atas landasan pertanian. Pemahaman ini menunjukkan bahwa cara pandang atau sikap mental suatu bangsa terhadap petani dan pertanian akan menentukan apakah bangsa tersebut peradabannya atau budayanya akan berkembang atau tidak. Ukuran inilah yang akan saya pakai apakah Indonesia akan mencapai masa keemasan pada tahun 2045, 32 tahun lagi dari sekarang, atau tidak.


Apa ukuran sikap mental atau cara pandang tersebut? Di Jepang, pada saat Tokugawa naik takhta pada tahun 1600-an awal, dibangun stratifikasi sosial baru, yaitu samurai, petani, industriawan, dan terakhir pedagang. Cara pandang dan sikap mental bangsa Jepang lebih dari 400 tahun yang lalu telah menempatkan petani pada strata kedua dalam masyarakat.

Di Amerika Serikat, Abraham Lincoln mendirikan Kementerian Pertanian yang sebelumnya tidak ada untuk mengurusi petani agar menghasilkan produk yang selain mencukupi juga berkualitas tinggi. Sikap mental dan cara pandang Abraham Lincoln juga luar biasa mengingat bukan hanya pada eranya USDA (United States Department of Agriculture) didirikan. Ia juga melahirkan Morrill Act 1862 dan Homestead Act 1862, yang masing-masing menjadi landasan berdirinya Land Grant Universities dan penyediaan lahan petani sekitar 65 ha per unit.

Pada saat krisis ekonomi 1933, Franklin D. Roosevelt (FDR) memandang bahwa solusi ekonomi AS hanya dapat diselesaikan oleh “The Forgotten Men”, yaitu petani dan buruh, bukan oleh Wall Street. Pada era ini, FDR melahirkan Agricultural Adjustment Act 1933 yang menjadi fondasi bagi kemakmuran petani AS hingga sekarang ini.


Apabila Jepang dan AS terlalu jauh jarak sosialnya dengan kita, kita bisa melihat Korea Selatan atau Taiwan. Posisi Taiwan jauh tertinggal dari Indonesia pada saat sebelum Perang Dunia II, sedangkan Korea Selatan kurang-lebih sama dengan kita. Apa cara pandang atau sikap mental kedua negara tersebut terhadap pertanian dan petaninya? Luar biasa.

Kedua negara ini menerjemahkan land reform sebagai syariat atau perilaku hapusnya simbol-simbol penjajahan. Mengapa? Karena simbol penjajahan itu adalah ketidakadilan. Dalam situasi masyarakat agraris yang masih berlaku pada saat itu, ketidakadilan itu pasti ada dalam distribusi lahan. Selain itu, ketidakadilan tersebut juga bersenyawa dengan feodalisme. Karena itu, kedua bangsa tersebut menyelesaikan syariat pertama terlebih dulu, yaitu land reform, sebelum masuk ke perilaku yang lebih mendalam dan meluas.

Selain land reform, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sangat jelas dalam keberpihakannya terhadap petani dan dunia pertanian. Dan buahnya adalah sekarang mereka telah menjadi negara maju. Diukur dengan salah satu ukuran, yang walaupun tidak sempurna tetapi penting, yakni melalui pendapatan per kapita. Taiwan US$ 38.749, Jepang US$ 36.266, Korea Selatan US$ 32.272, dan Indonesia pada tahun 2012 yang lalu menurut IMF dalam ukuran purchasing power parity (PPP) adalah US$ 4.977. Dari data tersebut nampak bahwa pendapatan Taiwan ternyata 7,78 kali lipat dibanding pendapatan Indonesia.


Apakah sudah ada perubahan positif dalam hal sikap mental atau cara pandang bangsa Indonesia terhadap petani dan pertanian saat ini? Mungkin kita bisa mengujinya dengan menjawab pertanyaan yang sangat penting: Mengapa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) dan UU Land Reform 1961, yang mengatur batas atas dan batas bawah kepemilikan lahan, tidak (belum ?) pernah dilaksanakan? Mengapa masih terus terjadi guremisasi, yaitu makin menyempitnya lahan pertanian dan makin terhimpitnya para petani?! Padahal itulah tandanya para petani dan dunia pertanian yang semakin miskin dan semakin terpinggirkan?!

Memang kita perlu menyelesaikan hal-hal mendetail (mikro ekonomi) seperti masalah impor beras, kedelai, garam, gula, bawang, buah-buahan atau daging sapi. Tetapi, jauh lebih penting lagi adalah mempersiapkan jalan lurus yang strategis dan fundamental bagi NKRI 2045, yakni 32 tahun lagi dari sekarang.

Semuanya harus dimulai dari membangun sikap mental atau cara pandang baru terhadap petani dan pertanian sebagai landasan perkembangan peradaban selanjutnya. Tanpa itu, kita hanya akan mempersiapkan kuburan masa depan bagi anak-cucu kita. Merdeka!

Agus Pakpahan,
Ekonom Kelembagaan
KORAN TEMPO, 16 Agustus 2013