Tuesday, August 27, 2013

Perubahan Sikap Mental terhadap Petani dan Pertanian


Tulisan ini sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 pada 17 Agustus 2013. Pemikiran dimaksud adalah hasil dari upaya melihat kondisi pada saat ini dan kemudian dicoba diproyeksikan ke 17 Agustus 2045, di mana pada saat itu, yaitu 32 tahun dari sekarang, bangsa Indonesia diharapkan dengan sangat meriah dan sukacita sedang memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-100. Apakah harapan tersebut akan terwujud?

Apabila kita tarik ke belakang, yaitu kembali ke tahun 1945, atau 68 tahun yang lalu, periode 20 tahun pertama (1945-1965) sering dikatakan sebagai bukan periode pembangunan. Bahkan sering dinilai periode tersebut sebagai periode ketika banyak terjadi kekacauan. Periode kedua (1965-1998) diberi julukan sebagai periode pembangunan, yaitu periode usaha bangsa Indonesia mempercepat proses untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan dan ditetapkan dalam GBHN melalui Ketetapan MPR.

Meski demikian, sejarah ternyata mencatat krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis multidimensi telah membuat Indonesia belum bisa mencapai sebagaimana yang telah digariskan. Bahkan Indonesia mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada periode awal kemerdekaan berada setara atau di bawah posisi Indonesia, misalnya Korea Selatan dan Taiwan. Artinya, sejarah membuktikan bahwa 33 tahun membangun secara terencana dan terkoordinasi ternyata hasilnya belum bisa mencapai seperti yang telah ditetapkan.


Era Reformasi, yang sudah mencapai 15 tahun apabila ditandai dengan pergantian sistem pemerintahan dari era Orde Baru, ternyata masih menyimpan banyak pertanyaan. Memang tidak dapat disanggah bahwa kebebasan menyampaikan pendapat atau sering dikatakan dalam konteks yang lebih luas lagi, yaitu demokrasi, hidup sangat subur di dalam iklim sosio-politik sekarang.

Namun indikator-indikator yang menggambarkan kapasitas ekonomi nasional masih menunjukkan tanda-tanda belum kokoh, misalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah menembus lebih dari 10.000, impor pangan yang relatif besar, kesempatan kerja yang terbatas, tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, ketimpangan atau kesenjangan sosial yang relatif meningkat, konflik sosial yang sering terjadi, serta berlanjutnya guremisasi pertanian dan petani Indonesia. Saya ingin menyoroti aspek guremisasi pertanian ini secara khusus mengingat semua kesalahan pembangunan pada akhirnya akan diserap oleh indikator guremisasi.

Pertanian dalam semua budaya pasti menjadi landasan perkembangan peradaban pada tahap-tahap selanjutnya. Jadi, dapat dipastikan bahwa perkembangan budaya itu akan didirikan di atas landasan pertanian. Pemahaman ini menunjukkan bahwa cara pandang atau sikap mental suatu bangsa terhadap petani dan pertanian akan menentukan apakah bangsa tersebut peradabannya atau budayanya akan berkembang atau tidak. Ukuran inilah yang akan saya pakai apakah Indonesia akan mencapai masa keemasan pada tahun 2045, 32 tahun lagi dari sekarang, atau tidak.


Apa ukuran sikap mental atau cara pandang tersebut? Di Jepang, pada saat Tokugawa naik takhta pada tahun 1600-an awal, dibangun stratifikasi sosial baru, yaitu samurai, petani, industriawan, dan terakhir pedagang. Cara pandang dan sikap mental bangsa Jepang lebih dari 400 tahun yang lalu telah menempatkan petani pada strata kedua dalam masyarakat.

Di Amerika Serikat, Abraham Lincoln mendirikan Kementerian Pertanian yang sebelumnya tidak ada untuk mengurusi petani agar menghasilkan produk yang selain mencukupi juga berkualitas tinggi. Sikap mental dan cara pandang Abraham Lincoln juga luar biasa mengingat bukan hanya pada eranya USDA (United States Department of Agriculture) didirikan. Ia juga melahirkan Morrill Act 1862 dan Homestead Act 1862, yang masing-masing menjadi landasan berdirinya Land Grant Universities dan penyediaan lahan petani sekitar 65 ha per unit.

Pada saat krisis ekonomi 1933, Franklin D. Roosevelt (FDR) memandang bahwa solusi ekonomi AS hanya dapat diselesaikan oleh “The Forgotten Men”, yaitu petani dan buruh, bukan oleh Wall Street. Pada era ini, FDR melahirkan Agricultural Adjustment Act 1933 yang menjadi fondasi bagi kemakmuran petani AS hingga sekarang ini.


Apabila Jepang dan AS terlalu jauh jarak sosialnya dengan kita, kita bisa melihat Korea Selatan atau Taiwan. Posisi Taiwan jauh tertinggal dari Indonesia pada saat sebelum Perang Dunia II, sedangkan Korea Selatan kurang-lebih sama dengan kita. Apa cara pandang atau sikap mental kedua negara tersebut terhadap pertanian dan petaninya? Luar biasa.

Kedua negara ini menerjemahkan land reform sebagai syariat atau perilaku hapusnya simbol-simbol penjajahan. Mengapa? Karena simbol penjajahan itu adalah ketidakadilan. Dalam situasi masyarakat agraris yang masih berlaku pada saat itu, ketidakadilan itu pasti ada dalam distribusi lahan. Selain itu, ketidakadilan tersebut juga bersenyawa dengan feodalisme. Karena itu, kedua bangsa tersebut menyelesaikan syariat pertama terlebih dulu, yaitu land reform, sebelum masuk ke perilaku yang lebih mendalam dan meluas.

Selain land reform, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sangat jelas dalam keberpihakannya terhadap petani dan dunia pertanian. Dan buahnya adalah sekarang mereka telah menjadi negara maju. Diukur dengan salah satu ukuran, yang walaupun tidak sempurna tetapi penting, yakni melalui pendapatan per kapita. Taiwan US$ 38.749, Jepang US$ 36.266, Korea Selatan US$ 32.272, dan Indonesia pada tahun 2012 yang lalu menurut IMF dalam ukuran purchasing power parity (PPP) adalah US$ 4.977. Dari data tersebut nampak bahwa pendapatan Taiwan ternyata 7,78 kali lipat dibanding pendapatan Indonesia.


Apakah sudah ada perubahan positif dalam hal sikap mental atau cara pandang bangsa Indonesia terhadap petani dan pertanian saat ini? Mungkin kita bisa mengujinya dengan menjawab pertanyaan yang sangat penting: Mengapa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) dan UU Land Reform 1961, yang mengatur batas atas dan batas bawah kepemilikan lahan, tidak (belum ?) pernah dilaksanakan? Mengapa masih terus terjadi guremisasi, yaitu makin menyempitnya lahan pertanian dan makin terhimpitnya para petani?! Padahal itulah tandanya para petani dan dunia pertanian yang semakin miskin dan semakin terpinggirkan?!

Memang kita perlu menyelesaikan hal-hal mendetail (mikro ekonomi) seperti masalah impor beras, kedelai, garam, gula, bawang, buah-buahan atau daging sapi. Tetapi, jauh lebih penting lagi adalah mempersiapkan jalan lurus yang strategis dan fundamental bagi NKRI 2045, yakni 32 tahun lagi dari sekarang.

Semuanya harus dimulai dari membangun sikap mental atau cara pandang baru terhadap petani dan pertanian sebagai landasan perkembangan peradaban selanjutnya. Tanpa itu, kita hanya akan mempersiapkan kuburan masa depan bagi anak-cucu kita. Merdeka!

Agus Pakpahan,
Ekonom Kelembagaan
KORAN TEMPO, 16 Agustus 2013

No comments: