Friday, April 7, 2017

Pemisahan Agama dan Negara


Hubungan antara agama dan negara itu bukan permasalahan sederhana yang bisa diungkapkan dalam satu-dua kalimat sebagaimana isi pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Barus, Sibolga, Sumatera Utara, Jumat pekan lalu (24/3). Sebab, hal itu dengan mudah dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam sejarah pemikiran politik di tanah air, debat intelektual tentang hubungan agama dengan negara pernah dilakukan antara Soekarno dan Mohammad Natsir sebelum kita merdeka. Debat mereka berkisar sekularisme di Turki dan kitab Al-Islam wa Ushulul Hukm karya Ali Abdurraziq, seorang pemikir Islam dari Mesir pada zaman itu.

Debat hubungan agama dengan negara menjadi topik hangat dalam sidang-sidang BPUPKI ketika the founding fathers merumuskan falsafah bernegara kita, yang berujung dengan kompromi. Baik melalui Piagam Jakarta 22 Juni maupun kompromi pada 18 Agustus 1945 yang melahirkan kesepakatan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara kita.

M Natsir (kiri) dan Bung Karno (kanan).

Debat berulang dalam sidang konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang sekali lagi berupaya mencari jalan tengah, jalan kompromi yang dapat diterima semua golongan. Dekrit kembali ke UUD 1945 akhirnya diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955. Termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang menerimanya sebagai “sebuah kenyataan” meski di konstituante partai itu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara kita, negara Republik Indonesia (RI) adalah jalan tengah antara negara Islam dan negara sekuler. Indonesia tidak merdeka menjadi sebuah negara berdasar Islam dan juga tidak berdasar sekularisme yang seperti dikatakan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI, yakni “negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan”. Negara berasas falsafah Pancasila adalah kompromi yang dapat menyatukan pendukung Islam dengan pendukung sekularisme.

Jalan tengah yang bersifat kompromistis itu tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan “pemisahan politik dengan agama” oleh Presiden Jokowi. Apalagi, ajakan tersebut diungkapkan tanpa memahami dengan sungguh-sungguh latar belakang historisnya dan implikasi-implikasi politiknya yang bisa mendorong kembalinya debat filosofis tentang landasan bernegara kita. Dalam konteks kita membangun bangsa dan negara dewasa ini, ajakan seperti itu lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.

Prof Yusril Ihza Mahendra (kiri) dan Prof Zainal Abidin Ahmad (kanan).

Dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, ketuhanan ditempatkan dalam urutan kelima sesudah empat sila yang lain. Sila ketuhanan itu malah dapat diperas menjadi ekasila, yakni gotong royong. Dalam kompromi pada 22 Juni dan 18 Agustus 1945, sila ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, yang menandakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama kita dalam membangun bangsa dan negara.

Dalam konteks historis seperti itu, secara filosofis mustahil kita akan memisahkan agama dengan negara dan memisahkan agama dengan politik. Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu bersifat ahistoris atau tidak punya pijakan sejarah sama sekali. Para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim, dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat seperti itu.

Di Eropa pada zaman renaisans memang ada polemik pemisahan antara gereja dan negara (scheiding van kerk en staat/separation of church and state), tapi bukan pemisahan agama dengan negara. Institusi dan kepemimpinan gereja Katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara memang sangat mungkin dipisahkan. Tetapi, pemisahan agama dengan politik adalah sesuatu yang sukar untuk dilakukan.

Bung Karno, Masyumi, M Natsir, Pancasila dan Bung Hatta.

Dr Notohamidjojo, seorang pemimpin Partai Kristen Indonesia di masa lalu, menulis dalam bukunya, Iman Kristen dan Politik, bahwa tidaklah mungkin agama Kristen dipisahkan dengan politik. Prof Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi, menulis pula dalam bukunya, Membentuk Negara Islam. Dalam bukunya itu Zainal menyatakan, barang siapa bisa memisahkan gula dari manisnya, maka bisalah dia memisahkan Islam dari politik.

Ajaran Kristen, kata Notohamidjojo, ada di dalam otak dan hati pemeluk Kristen dan keyakinan itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi sikap serta perilaku politik tiap pemeluk Kristen. Begitu juga agama Islam. Hanya orang yang otak dan hatinya sekuler (menganggap agama itu perkara sampingan) yang bisa memisahkan agama dengan politik. Selama seseorang itu sungguh-sungguh beriman dengan ajaran agamanya, mustahil baginya dapat memisahkan agama dengan politik.

Dalam membangun bangsa dan negara kita yang masih banyak ditandai perilaku korup para pemimpin dan politikusnya, memperkuat etik keagamaan dalam berpolitik justru menjadi sangat penting. Saya ingat ucapan filsuf Jerman Immanuel Kant: barang siapa mencari sistem moral yang paling kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam ajaran agama. Saya berkeyakinan bahwa pandangan Kant itu sejalan dengan falsafah negara kita, Pancasila.

Yusril Ihza Mahendra,
Ketua Umum Partai Bulan Bintang
JAWA POS, 1 April 2017