Wednesday, December 4, 2019

Partai Politik dan Pendidikan Politik


Demokrasi itu sejatinya apa? Demokrasi adalah suatu sistem yang menjamin partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Demokrasi juga merupakan sistem yang dibangun atas konsep “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Untuk menggerakkan mesin demokrasi diperlukan pilar-pilar penting, khususnya partai politik. Parpol sebagai pilar demokrasi memiliki fungsi dan peran signifikan, baik secara internal maupun eksternal. Mengapa parpol signifikan?

Secara internal, parpol harus mampu menjadikan dirinya sebagai partai kader, tempat atau wadah bagi kader-kader yang notabene akan menjadi calon pemimpin.

Partai juga menjadi tempat pelatihan kepemimpinan yang seharusnya dibekali cukup ilmu, substansi sesuai dengan targetnya sebagai pemimpin di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif. Partai juga melakukan pelembagaan (institusionalisasi) nilai-nilai demokrasi.


Secara eksternal, parpol melakukan pendidikan politik, menyerap dan mengakomodasi aspirasi rakyat, melakukan pendewasaan politik.

Mengingat fungsi-fungsi itu, partai menjadi kunci utama yang mempunyai peran penting dalam proses demokrasi. Baik buruknya demokrasi, sehat beradabnya demokrasi yang kita jalani, akan sangat bergantung pada kualitas partai kita.

Secara umum menunjukkan bahwa partai di Indonesia belum mampu membangun dirinya sebagai institusi demokrasi. Konsistensi para elite politik masih sangat rendah untuk melakukan hal itu. Tarikan kepentingan yang mengutamakan vested interest lebih mengedepan. Ini jadi bukti pragmatisme dan oportunisme partai.


Realitas saat ini
Dinamika politik Indonesia berkembang cukup pesat sejak 1998, yang ditandai dengan makin menguatnya civil society, perubahan sistem kepartaian, peran DPR (parlemen), dan pemilihan umum. Parpol dan parlemen cenderung mendominasi kekuatan politik di Indonesia. Peran politik cukup menonjol.

Ingar-bingar politik Indonesia tak dapat dilepaskan dari aktivitas parpol dan DPR. Menguatnya peran parpol dan parlemen ini berpengaruh terhadap peta politik Indonesia meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Contohnya, fragmentasi parpol yang terjadi belakangan ini menyebabkan parpol tidak solid. Jumlah fraksi dari periode ke periode cenderung meningkat. Ironisnya, fragmentasi kepartaian semakin meningkat ketika kebijakan untuk menaikkan electoral threshold diterapkan.

Padahal, ketika electoral threshold dinaikkan, jumlah partai yang punya kekuatan signifikan di DPR menurun karena kekuatan politik semakin terkonsentrasi. Seiring dengan itu, jumlah fraksi partai juga kian mengecil sehingga pekerjaan DPR lebih mudah diprediksi. Masalahnya, tingkat ketidakpuasan massa terhadap parpol cenderung kian tinggi. Aspirasi dan kepentingan massa tak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal.

Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat, absen. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang jadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat namun pasti telah mendelegitimasi eksistensi parpol. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.


Karena itu, rakyat akan mencari solusi atau jalannya sendiri, baik melalui demonstrasi, protes, maupun gerakan-gerakan yang dibangun untuk menunjukkan soliditas dan eksistensinya. Muncul tokoh-tokoh politik perseorangan yang kian marak belakangan ini, seperti terbentuknya komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi. Juga gerakan kaum muda yang menginginkan adanya perubahan riil dan kemajuan Indonesia semakin mengedepan.

Gagalnya parpol melakukan terobosan-terobosan penting dalam mendorong peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat akan memunculkan lebih banyak lagi komite-komite/komunitas-komunitas baru atau gerakan-gerakan massa baru yang menuntut perubahan dan menawarkan tokoh-tokohnya. Atas nama keterpurukan ekonomi, meningkatnya jumlah kemiskinan dan pengangguran dan kekecewaan masyarakat terhadap elite politik, ke depan sulit dihindarkan munculnya gerakan-gerakan massa baru. Kecenderungan departaisme seiring dengan menguatnya peran tokoh tersebut tampaknya akan berlangsung terus apabila partai tak melakukan reformasi.

Pergulatan politik ke depan akan diwarnai oleh maraknya kompetisi antartokoh yang ada seperti yang kita saksikan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden satu dekade belakangan ini. Keinginan untuk merampingkan jumlah partai untuk mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif semakin menguat. Ini diharapkan sebagai langkah awal merealisasikan terbentuknya pemerintahan yang didukung partai yang memperoleh suara mayoritas (50 persen + 1) di parlemen. Dengan cara itu, pemerintah relatif lebih mudah menghadapi hadangan parlemen, dan parpol diharapkan dapat bekerja lebih profesional.


Problematika parpol
Absennya beberapa fungsi yang tak dilakukan parpol membuat kepercayaan rakyat kepada parpol menurun drastis. Parpol belum menjadi partai kader, tetapi lebih mengandalkan peran ketokohan seorang ketua partai atau ketua dewan pembina sebagaimana ditunjukkan selama ini. Pembenahan partai tampak semakin sulit di tengah maraknya kasus korupsi yang dialami partai atau politisi di parlemen. Upaya untuk menyehatkan politik Indonesia tak kunjung menjadi realitas di saat distorsi justeru makin intensif.

Sejak 1999 Indonesia dikuasai parpol. Politik menjadi cukup dominan. Dan dampaknya sangat krusial terhadap sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah perubahan dan terobosan politik yang dibuat selama ini cenderung melompat-lompat dan tak substansial. UU Pemilu yang semestinya menjadi payung hukum yang kuat dan memberikan kepastian dalam pelaksanaan pemilu, realitasnya malah memunculkan gugatan-gugatan berupa judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai payung hukum, UU Partai Politik diharapkan dapat memperbaiki sistem kepartaian yang ada, tetapi yang muncul justru kontroversi dan ketidakpuasan. Padahal, baik buruknya parpol akan berpengaruh terhadap penguatan dan peningkatan efektivitas sistem pemerintahan. Bahkan, praktik sistem presidensial banyak menghadapi kendala di tengah pelaksanaan sistem multipartai.


Rekomendasi
Penyederhanaan sistem kepartaian sangat relevan untuk diterapkan dalam rangka menciptakan sistem multipartai sederhana, yaitu sederhana dalam jumlah partai dan dalam pengelompokan ideologis. Kepengurusan partai pusat dan daerah minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan ketua-ketua departemen. Parpol baru boleh ikut pemilu apabila minimal sudah berusia lima tahun dari sejak didirikan atau dibentuk. Penguatan pelembagaan partai politik diperlukan untuk mendorong partai kader dan kemandirian dana. Perlu pelembagaan kewajiban parpol untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, artikulasi/agregasi kepentingan, komunikasi politik, pengaderan dan perekrutan.

Sebagai konsekuensi partai kader, partai dilarang memiliki underbouw. Partai hanya boleh mengefektifkan cabang dan ranting-rantingnya. Satgas partai dilarang menyerupai simbol-simbol dan atribut militer. Partai dituntut untuk memperketat sistem dan pola perekrutan keanggotaan partai, membangun sistem kaderisasi dan kepemimpinan, serta memiliki program yang jelas dalam memenuhi fungsi-fungsinya.

Salah satu problem partai politik di Indonesia adalah ketiadaan political merit system. Partai-partai di Indonesia pada akhirnya tidak dapat menjalankan fungsi politik, yaitu pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ideologi yang kuat sebagai landasan dalam menyusun platform dan tidak adanya proses kaderisasi parpol yang baik.


UU Partai Politik perlu direvisi. UU Partai Politik harus mengatur syarat-syarat umum perekrutan dan sistem pengaderan yang diterapkan oleh partai politik, dan fungsi pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan. Ini penting untuk mengurangi kecenderungan pola partai massa yang hanya sibuk menjelang pemilu, sistem keanggotaan yang sangat longgar, tidak ada seleksi ketat dalam perekrutan keanggotaan, dan partai yang tak memiliki sistem pengembangan kaderisasi dan pemimpin yang kuat. Karena itu, partai gagal membangun kader-kader yang berdedikasi dan berkarakter.

Agar sistem partai kader bisa tercipta, underbouw partai politik tidak dibutuhkan lagi. Ini juga dimaksudkan agar ada pembatasan yang jelas antara political society dan civil society, dan parpol harus dibedakan dengan ormas. Selain itu, kemandirian parpol diperlukan agar parpol tidak senantiasa mencari "cantolan" ke penguasa sehingga intervensi kepengurusan partai oleh penguasa juga dapat diminimalkan.

Demokrasi Indonesia akan terancam jika parpol terikat pada kepentingan donatur parpol, sedangkan bantuan negara kepada parpol membuat maraknya pembentukan partai baru.

Pengalaman Pemilu 2019 seharusnya jadi tonggak perbaikan institusi partai agar hasil pemilu yang akan datang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Pascapemilu rakyat bisa menyaksikan kinerja pemerintah yang lebih berpihak ke nasib rakyat. Dengan demikian, ada korelasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

R Siti Zuhro,
Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 2 November 2019

Saturday, November 9, 2019

Deschooling vs Deislamisasi


The rise of Nadiem Makarim sebagai Mendikbud merupakan proyek sekulerisasi sebagai deislamisasi Indonesia tahap akhir. Melalui kepemimpinan baru Kemendikbud ini, dan UU Pesantren yang baru disahkan, syarat-syarat budaya bagi sebuah bangsa sekuler dan terjajah akan dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif.

Setelah sistem persekolahan massal dijadikan instrumen teknokratik bagi masyarakat industri sekuler sejak Orde Baru, proses deislamisasi itu semakin memperoleh kekuatan dan momentumnya di bawah rezim ini.

Sekulerisasi adalah deislamisasi karena dirancang untuk menjauhkan Islam dari kehidupan ekonomi dan politik untuk memfasilitasi penjajahan nekolimik.


Namun sesungguhnya sejak 1970an itu juga, Ivan Illich, seorang pastor Katholik di Mexico, justru menganjurkan deschooling. Illich yang pernah berkunjung ke pesantren Pabelan di Magelang, melihat konsep deschooling dalam praktek di lingkungan pedesaan Jawa. Anjuran deschooling itu oleh Illich mungkin memang bukan untuk mencegah deislamisasi, namun untuk mencegah pendunguan massal dalam rangka pembentukan masyarakat industri yang sekuler.

Illich berhasil membedakan antara persekolahan dan pendidikan, serta melihat bahwa persekolahan justru merusak pendidikan. Pada saat elite Indonesia masih menilai radikalisme sebagai ancaman bagi investasi, di tangan Makarim, sistem persekolahan paksa massal ini tidak saja menjadi instrumen teknokratik menyiapkan masyarakat industri, tapi sekaligus instrumen deradikalisasi sebagai proxy deislamisasi.


Sudah sejak 10 tahun lalu, saya menganjurkan agar komunitas pendidikan mulai memikirkan kembali deschooling: mengurangi dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan dengan memberi tugas-tugas pendidikan yang lebih besar pada keluarga sebagai satuan pendidikan yang sah, dan juga pada masyarakat, terutama masjid bagi komunitas muslim.

Di samping persekolahan makin terbukti tidak efektif, pendidikan bagi semua hanya mungkin oleh semua. Pendidikan tidak mungkin dilaksanakan secara efektif dengan memperbesar persekolahan. Bahkan Ki Hadjar Dewantara menegaskan tri sentra pendidikan: keluarga, masyarakat, dan perguruan.


Perlu dicermati bahwa persekolahan diciptakan semula untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja trampil sejak revolusi industri sekitar 200 tahun silam. Saat gereja Anglikan Inggris dan Katholik Roma bersikap ambiguous terhadap keluarga, maka memang pendidikan di Barat sangat mengandalkan persekolahan bagi regenerasi nilai-nilai Barat yang sekuler. Lalu sejarah menyaksikan secara lambat tapi pasti lembaga keluarga di Barat mengalami degradasi yang sangat serius. Bahkan saat ini pernikahan sesama jenis, dan LGBT sudah dinyatakan legal di banyak negara Barat.

Dalam konteks keluarga itulah kita mesti mencermati bahwa menyerahkan tugas-tugas pendidikan hanya pada persekolahan akan memperlemah keluarga dan masjid. Masjid bertugas melengkapi pendidikan dalam keluarga. Persekolahan boleh diberi tugas yang bersifat melengkapi seperti memberikan kecakapan-kecakapan teknis. Bagi muslim, pembentukan adab dan akhlaq hanya bisa dilakukan secara efektif di rumah dan di masjid.

Perlu dipahami bahwa keluarga, masjid dan pesantren, adalah benteng terakhir Islam di Indonesia. Persekolahan adalah ancaman laten bagi ketiga lembaga ini. Namun segera perlu dicatat bahwa sejak lama kantong-kantong Islam adalah kantong-kantong perlawanan terhadap penjajahan.


Pembukaan dan UUD 45 yang asli adalah rumusan perlawanan muslim menghadapi penjajahan itu. Penjajah tahu bahwa agar penjajahan baru nekolimik bisa berlangsung, instrumen penjajahan harus diubah wajahnya agar nampak lebih bersahabat dan mulia: persekolahan, bukan tank, bedil dan mesiu.

Oleh karena itulah umat Islam Indonesia perlu segera meninggalkan paradigma schooling ini, lalu mengambil paradigma learning (belajar). Bagi umat Islam, pendidikan tidak boleh lagi diwujudkan dalam pembesaran persekolahan hingga ke pesantren-pesantren, tapi justru mengurangi persekolahan dengan memperluas kesempatan belajar di rumah dan di masyarakat, terutama di masjid-masjid dengan kurikulum yang mandiri dan lebih mengutamakan relevansi personal dan spasial/lokal, bukan mutu global mbelgedhes.

Gunung Anyar, 24/10/2019

Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD, M.RINA
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Zona Satu News
http://www.zonasatunews.com/tokoh-opini/daniel-m-rosyid-deschooling-vs-deislamisasi/

Tuesday, October 8, 2019

Parpol, KPK, Politik Peradaban


Pada tahun 1982, dalam tulisan berjudul "Kita Perlu Satu Parpol Lagi?" (Kompas, 18/1/1982), saya menyampaikan betapa tidak terakomodasinya beberapa kalangan strategis masyarakat dalam sistem kepartaian kala itu.

Pembangunan ekonomi Orde Baru yang berlangsung sejak pertengahan akhir 1960-an telah menjadi alat intervensi mengubah komposisi dan distribusi struktur demografi 20 tahun kemudian, yakni pada 1980-an.

Walau tak signifikan secara kuantitas, unsur kaum terpelajar bebas mulai terlihat di dalam struktur demografi itu. Dan, bergabung dengan kalangan muda yang berartikulasi mendorong kelahiran Orde Baru (1967-1998) serta mereka yang tak puas dengan reorganisasi partai politik, pertambahan jumlah kaum terpelajar bebas ini kian membesar.


Inilah yang mendorong saya mengusulkan perlunya sebuah parpol baru. Sebab, Golkar, PPP, dan PDI, parpol-parpol yang diakui pemerintah kala itu, tak lagi mampu menampung aspirasi kebebasan kaum terpelajar. Dua tahun kemudian, justru posisi parpol berada dalam tekanan negara otoriter. Ini saya gambarkan dalam tulisan "Partai: Wakil Pemerintah untuk Rakyat?" (Kompas, 7/2/1984).

Pada masa itu parpol bukan saja tidak lagi bertindak sebagai wakil rakyat, melainkan juga secara ironis menjadi wakil pemerintah untuk rakyat. Dengan kata lain, di dalam sistem kepartaian masa itu, secara substansial, tak ada lagi wakil rakyat di dalam parlemen.


Kegelisahan moral-intelektual
Dua tinjauan politik yang saya buat ketika masih berstatus mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ciputat ini merupakan refleksi kegelisahan moral-intelektual tentang posisi parpol. Tentu, dalam konteks teoretis, pelemahan akut parpol kala itu terdorong "kecelakaan" struktural, yaitu perubahan paradigma berpikir penguasa baru yang lebih menekankan kemampuan teknikal demi pembangunan ekonomi, nyatanya tak selangkah jalan dengan iklim budaya parpol yang lebih menekankan ideologi.

Sebagai akibatnya, sistem politik mengarah kepada apa yang disebut Karl Jackson dalam "The Bureaucracy in the Political Context: Weakness and Strength" (1978), sebagai bureaucratic polity: sistem politik sebuah masyarakat di mana keputusan-keputusan penting tingkat nasional tidak didasarkan pada artikulasi kepentingan massa, tetapi ditetapkan kelompok elite birokrasi secara sepihak. Sebagai akibatnya, parpol di dalam bureaucratic polity ini secara substansial menjadi idle (menganggur).


Persoalannya adalah bagaimana nasib suara rakyat? Dapatkah dipertanggungjawabkan secara etis bahwa di dalam sebuah masyarakat "demokrasi", seperti secara retorikal acap diungkapkan penguasa Orde Baru, aspirasi dan peran rakyat diabaikan dalam pembuatan kebijakan strategis tingkat nasional?

Bukankah tanpa menyertakan suara rakyat dengan jalan agregasi dukungan melalui parpol akan menimbulkan kesewenangan penguasa dan mengarah kepada political decay alias pembusukan politik, seperti postulasi Samuel Huntington, dan berakhir pada kehancuran bangsa secara keseluruhan?

Pertanyaan-pertanyaan yang mengungkapkan kegelisahan moral dan intelektual inilah yang mendorong pemikiran tentang betapa pentingnya penguatan parpol pada masa itu. Menggunakan perspektif Joel S Migdal dalam Strong Societies and Weak States (1988), penguatan parpol identik dengan the new distribution of social control (pembagian baru pengawasan sosial) guna menciptakan keseimbangan kekuasaan di dalam sebuah masyarakat politik.

Dengan kata lain, meruntuhkan kepongahan penguasa di dalam birokrasi negara melalui penguatan parpol sebagai agensi pengawas atas nama dan dukungan rakyat.


Saya suka dengan frasa the past is unfinishable (masa lampau tak pernah bisa berakhir). Frasa yang diciptakan pemikir Regis Debray dalam Civilization: How We All Became American (2019) ini menggambarkan bahwa pada esensinya, berbeda dengan budaya (seperti salah satu bahasa di wilayah Amazon), melalui proses hybridization (pencangkokan), peradaban tak pernah punah.

Dengan sedikit "meracau", kita juga bisa mengatakan bahwa parpol adalah salah satu agensi peradaban. Melalui logika silogisme, juga saya gunakan dengan cara "meracau", kemunculan parpol kembali ke panggung politik pasca-Orde Baru menunjukkan berkinerjanya frasa the past is unfinishable.

Dengan kata lain, walau telah ditekan oleh rezim "semi-otoriter" sedemikian rupa selama tiga dekade, melalui proses pencangkokan dengan elemen-elemen extrastate forces (kekuatan ekstra-negara, seperti kaum terpelajar, pers, dan penggiat masyarakat madani), parpol tetap sintas.


Menjauh dari politik peradaban
Persoalannya adalah bahwa kesintasan parpol ini mengubah struktur politik secara drastis. Sementara pencangkokannya dengan elemen-elemen kekuatan ekstra-negara melekang, parpol-parpol secara kolektif membongkar struktur dan sistem bureaucratic polity, dan menggantikannya dengan apa yang saya sebut  "rezim partai politik".

Ini berakibat ganda. Pertama, secara langsung atau tidak, parpol-parpol telah menggantikan kekuatan kaum birokrat di dalam negara. Dalam posisi ini, hampir semua kebijakan negara merupakan refleksi kepentingan partai politik. Kedua, dalam lebih ironi lagi, sama seperti di bawah bureucratic polity, rakyat tetap tak bisa berbuat apa-apa di bawah "rezim partai politik".

Hasilnya, seperti juga kaum birokrat dalam masa bureaucratic polity di masa Orde Baru, terdapat kesan "kepongahan" di kalangan petinggi parpol. Dalam arti kata lain, jika pepatah the persons can do no wrong lebih ditujukan kepada para penguasa Orde Baru. Kini, pada masa "rezim partai politik", suara itu lebih tepat ditujukan kepada elite parpol yang kini berkuasa.


"Kepongahan" inilah, menurut saya, yang menyebabkan parpol menjauh dari "politik peradaban". Apa yang saya maksud dengan frasa terakhir ini adalah, menggunakan konsep hibrida Regis Debray di atas, sikap keterbukaan konstruktif dalam mengakomodasi suara akal-budi di luar dirinya ketika mengambil keputusan publik.

Dalam pelaksanaannya, "politik peradaban" merupakan artikulasi kekuasaan seseorang atau sekelompok orang yang bukan saja terkikis dari rasa "pongah", melainkan juga mengakomodasi secara kontinu kinerja agen-agen yang berfungsi sebagai kekuatan korektif.

Dalam konteks "politik peradaban" inilah kita harus melihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diketahui, sama seperti parpol yang bangkit kembali dan dewasa di masa reformasi 1998, kelahiran KPK merupakan usaha korektif dari kesalahan-kesalahan fundamental penyelenggaraan kekuasaan di dalam bureaucratic polity masa Orde Baru. Maka, sesuai dengan tugasnya, KPK secara tanpa pandang bulu melakukan aksi koreksinya atas setiap aktor kekuasaan yang melanggar.


Untuk ini, "posisi peradaban" KPK bahkan jauh lebih kuat. Sebab, sementara perpanjangan napas keberadaan parpol dewasa ini tegak pada basis buying votes, seperti diungkap dalam disertasi Burhanuddin Muhtadi (2018), KPK tegak justru di atas akal-budi.

Ini bukan saja dibuktikan berbagai survei tentang tingginya tingkat kepuasan rakyat atas kinerjanya, melainkan juga memperoleh dukungan agensi-agensi "peradaban" lain. Selain rakyat biasa, pusat-pusat keagamaan dan organisasi civil society serta media massa, pusat peradaban itu adalah perguruan tinggi.

Maka, melalui logika silogisme yang sebenarnya, bukankah usaha parpol melemahkan KPK, dengan rekayasa legislasinya di parlemen, sama dengan langkah menjauh dari "politik peradaban"? Dan bukankah para elite parpol harus menyadari bahwa dengan "politik peradaban" yang sama di masa Orde Baru, kaum terpelajar telah gelisah secara moral dan intelektual karena parpol dilemahkan dan dijauhkan dari rakyat? Bukankah dengan kegelisahan itu, melalui proses hibridasi peradaban, kaum terpelajar yang sama, mendukung dan berusaha menguatkan peranan parpol di dalam sistem politik Indonesia?

Fachry Ali,
Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
KOMPAS, 7 Oktober 2019

Wednesday, September 18, 2019

Ketika Berkuasa Habibie Dihujat, Setelah Tiada Baru Dipuja


Indonesia sejak akhir 1997 didera krisis. Mula-mula krisis moneter, meningkat menjadi krisis ekonomi, sebelum akhirnya berubah menjadi krisis kepercayaan. Belakangan krisis di Indonesia disebut sebagai krisis multidimensi, karena telah berjalin berkelindan di antara krisis politik, krisis hukum, dan krisis ekonomi.

Puncak dari krisis multidimensi itu ialah mundurnya HM Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, padahal jabatan tersebut baru diembannya sejak 11 Maret 1998.

Konsekuensi logis dari mundurnya Presiden Soeharto ialah naiknya Wakil Presiden BJ Habibie ke kursi kepresidenan.


Dalam krisis multidimensi, betapapun naiknya Habibie ke kursi kepresidenan sah secara konstitusional, namun suara yang mempersoalkan posisi Habibie terdengar sangat nyaring.

Habibie yang berterus terang mengaku sebagai murid Soeharto, dianggap sebagai kroni Orde Baru, dan karena itu tidak berhak melanjutkan masa jabatan Soeharto.

Dan hanyalah berkat kegigihan dua guru besar hukum tata negara, Ismail Sunny dan Yusril Ihza Mahendra, di dalam membela keabsahan konstitusional posisi Presiden Habibie, para pengeritik yang umumnya bukan pakar hukum tata negara, akhirnya bungkam.


Dari Teknolog ke Cendekiawan Muslim
Sejatinya Habibie bukanlah seorang politisi. Dia seorang teknolog yang oleh Presiden Soeharto dipanggil pulang dari Jerman untuk mengembangkan teknologi di Indonesia.

Kariernya di pemerintahan sejak 1974 hingga 1998 tidak pernah bergeser dari urusan teknologi: perkapalan, persenjataan, hingga pesawat terbang.

Sebagai satu-satunya teknolog dengan karier mencorong di bidangnya, tidak salah jika Habibie menjadi kesayangan Presiden Soeharto. Semua programnya didukung oleh Presiden.

Puncak prestasinya ialah keberhasilannya membuat pesawat terbang, dan menguji coba penerbangannya pada 10 Agustus 1995. Atas prestasinya itu Habibie dipuji, namun Habibie juga dicibir.

Para pengeritiknya memplesetkan pesawat terbang produk Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Gatotkaca/Tetuko, menjadi “sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku” (yang membeli tidak kunjung datang, yang datang tidak kunjung membeli).

Alhasil, IPTN dikritik sebagai proyek penghamburan uang.


Kritik terhadap Habibie mulai mengeras sejak dia menjadi Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1990. Betapapun jauh sebelumnya telah berdiri organisasi cendekiawan atau sarjana berlatar belakang agama tanpa ada sesuatu pihak yang menyatakan keberatan, namun ketika ICMI berdiri, berbagai tuduhan miring kepada organisasi itu berhamburan. Yang paling utama adalah, ICMI dituduh sektarian!

Dalam posisi sebagai Ketua Umum ICMI, Habibie dipercaya oleh Soeharto menjadi Ketua Harian Dewan Pembina Golongan Karya. Maka ketika komposisi anggota MPR periode 1993-1998 dianggap lebih proporsional dari segi pemeluk agama, Habibie dianggap sebagai otak dibalik terbentuknya MPR yang “ijo royo-royo”. Sebuah koran terkemuka, tidak kuasa menahan diri dan memelesetkan “ijo royo-royo” menjadi “ijo loyo-loyo”.


Langkah Kuda Habibie
Habibie sendiri bagai tidak peduli terhadap berbagai kritik dan cemoohan itu. Ia terus bekerja, dan kadang-kadang menyampaikan pikirannya, tidak peduli pikirannya menyentuh bidang kerja koleganya sesama menteri.

Demikianlah misalnya, suatu ketika Menristek BJ Habibie berpolemik secara terbuka dengan Menteri Pendidikan Fuad Hasan. Namun, dibalik sikap yang apa adanya dan penuh percaya diri, Habibie sangat menghormati para senior.

Maka, ketika para senior yang tergabung dalam Petisi 50 ––sebuah kelompok pengeritik Presiden Soeharto yang terdiri dari negarawan senior seperti M Natsir, Manai Sophian, AH Nasution, dan Ali Sadikin–– mengeritik industri strategis yang dikomandani Habibie, respons yang diberikan berbeda.

Habibie justru mengundang seluruh anggota Petisi 50 berkunjung ke IPTN, industri senjata Pindad, dan industri kapal laut PAL. Langkah Habibie itu bukan saja mengejutkan jagat politik, tetapi juga mengubah peta politik nasional.


Para penandatangan Petisi 50 yang sejak 1980 dibunuh hak-hak sipilnya oleh rezim Orde Baru, tiba-tiba hadir dan menjadi tamu kehormatan dari menteri kesayangan Presiden Soeharto.

Di tengah perdebatan apakah langkah Habibie seizin Soeharto atau tidak, publik dikejutkan oleh hadirnya salah seorang penandatangan Petisi 50 yang juga Juru Bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono, di Istana. Bersama Ketum MUI kala itu, KH Hasan Basri, Ketum PP Muhammadiyah KH A Azhar Basyir, dan Rois Aam PBNU KH Ilyas Ruhiyat; dalam posisi sebagai Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Harjono bertemu Presiden Soeharto.

Sesudah itu publik menyaksikan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung mengunjungi seniornya yang lama dipenjara oleh rezim Orde Baru, Letnan Jenderal HR Dharsono. Puncaknya, tentu saja pertemuan dua prajurit tua, Jenderal Nasution dan Jenderal Soeharto.


Habibie Dicemooh oleh Kaum Radikal dan Intoleran
Perlahan namun pasti, Habibie telah berubah dari seorang ilmuwan yang seolah tidak peduli dengan dunia sekitar, menjadi pemimpin organisasi yang berani melakukan langkah-langkah berisiko tinggi.

Ketika KPU ragu untuk mengesahkan hasil Pemilu 1999, Presiden Habibie tidak ragu membubuhkan tandatangannya mengesahkan hasil Pemilu 1999 yang dimenangkan oleh PDI Perjuangan.

Presiden yang sempat diragukan kemampuannya itu, dalam masa kurang dari dua tahun telah terbukti mampu menurunkan kurs rupiah dari kisaran Rp 16.000 – Rp 17.000, menjadi Rp 6.500 per-U$ dollar. Dan antrean panjang rakyat untuk memperoleh sembako pun berhasil dihentikannya dalam waktu yang singkat.


Menteri Pangan dan Hortikultura Kabinet Habibie saat itu, AM Saefuddin bercerita dalam masa jabatannya yang singkat itu, dia tidak pernah pulang sebelum tengah malam. “Setiap pukul 23.00 jelang tengah malam, Presiden Habibie selalu menelepon untuk mengecek ketersediaan sembako,” ujar Saefuddin yang kini menjadi Ketua Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Dalam masa jabatannya yang singkat, Habibie berhasil membentuk berbagai undang-undang yang kelak menjadi landasan bagi pelaksanaan reformasi dan demokrasi Indonesia.

Habibie yang ramah, juga seorang yang tegas. Selama masa kepemimpinannya, dia menegaskan semua pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) hanya boleh dilakukan di gedung DPR. Dan memang, selama Habibie menjadi Presiden, tidak ada satupun panitia khusus atau panitia kerja yang bersidang di hotel mewah. Jangankan di hotel mewah, di hotel kelas melati pun tidak ada. Semuanya diselesaikan di gedung parlemen!


Habibie yang pekerja keras dan berprestasi itulah yang oleh lawan-lawan politiknya dianggap potensial memenangkan pemilihan presiden. Oleh karena itu, berbagai upaya menjegal Habibie dilakukan. Mulai isu Habibie berkewarganegaraan ganda, sampai cara-cara kasar yang tidak terhormat di ruang sidang paripurna MPR.

Pagi itu, 1 Oktober 1999, sebagai kepala negara, Presiden Habibie datang ke MPR untuk menghadiri upacara pelantikan anggota DPR/MPR periode 1999-2004. Di luar dugaan, kedatangan Presiden yang sah itu disambut dengan teriakan mencemooh “Huuu ....,” oleh sebagian anggota DPR/MPR. Sebagian “anggota yang terhormat” itu menolak berdiri saat Presiden Habibie memasuki ruangan sidang.

Merespons sikap radikal dan intoleran sebagian “anggota yang terhormat” itu, Presiden Habibie tersenyum dengan mata bulatnya yang berpendar disertai lambaian tangan persahabatan. Dan dari cerita mantan Pimred Republika, Parni Hadi, dalam talk show mengenang Habibie di sebuah stasiun televisi mengenai apa yang dilakukan Habibie pada saat dicemooh sebagian anggota DPR/MPR dengan teriakan “Huuu ....” itu, Habibie mengatakan, saat mendengar teriakan itu dirinya malah mengucapkan atau mendaraskan doa (dzikir) melalui mulut dan hatinya. Ini sebuah sikap yang luar biasa!


Namun, insiden 1 Oktober 1999 yang dilakukan oleh kaum 'radikal' dan 'intoleran' itu dinilai anggota parlemen AM Fatwa sebagai sikap yang memalukan. Fatwa langsung mengajukan interupsi kepada Pimpinan Sementara Majelis, Suyitno Hardjosudiro.

Pimpinan Sidang, saya minta anggota Majelis yang berteriak ‘Huuu ....’ agar dikoreksi, karena tidak baik tindakan seperti itu dilakukan terhadap kepala negara. Ini bukan gedung bioskop. Ini sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terhormat,”  kata Fatwa dalam interupsinya.

Pernyataan Fatwa itu kemudian dijawab oleh ketua sidang.

Memang harus demikian sesuai dengan koreksi Saudara,” kata Suyitno membenarkan sikap Fatwa.


Habibie Kalah, Habibie Menang
Cemooh kepada Habibie tidak berhenti sampai di situ. Dalam pemandangan umum menanggapi laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie, ada anggota parlemen yang menggunakan kata-kata kasar seperti “tidak becus”. Anggota yang lain mengejek Presiden dengan menirukan cara bicara Habibie. Tak tanggung-tanggung, ada anggota MPR dalam sidang paripurna berpidato sembari memarodikan gaya bicara Habibie mirip aktor lawak dari Yogyakarta.

Akhirnya, seperti sudah diduga sebelumnya, laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR. Meski ada penolakan itu, oleh para pendukungnya, betapapun Habibie didesak untuk terus maju. Namun Habibie memilih untuk tidak maju kembali dalam arena pemilihan presiden. Habibie dalam beberapa kesempatan mengaku merasa tidak bermoral jika dia terus maju sementara MPR telah menolak laporan pertanggungjawabannya.


Lalu merajukkah Habibie? Ternyata tidak! Saat KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dilantik menjadi Presiden RI, Habibie hadir tetap dengan mata bulatnya yang berpendar-pendar, senyumnya yang ramah menyapa setiap orang dengan gayanya yang spontan.

Habibie memang dikalahkan, tetapi sejatinya dialah sang pemenang. Dia telah memenangkan pertarungan menjadi demokrat sejati yang bermartabat. Dia tak mau atau tak sudi jadi sosok yang hipokrit.

Selamat jalan Pak Habibie. Teladan kenegarawanmu abadi. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.

Lukman Hakiem,
Peminat Sejarah, Staf Ahli Fraksi PPP MPR-RI 1999-2004
REPUBLIKA, 14 September 2019

Thursday, September 5, 2019

Curahan Hati Orang Asli Papua (OAP), John Kogoya


Saya tidak bisa memaksa siapapun harus sependapat dengan saya, maka silahkan masing-masing berjalan sesuai dengan pendapat dan pikirannya.

Tapi saya hanya mau menyampaikan alasan, kenapa saya sebagai Orang Asli Papua (OAP) memilih setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), terserah bila sebagian kecil OAP menganggap saya pengkhianat. Tapi ini beberapa alasan saya yang sangat mendasar:

1. Sejak saya dilahirkan ke bumi tidak pernah merasa terjajah oleh siapapun, kebetulan saya lahir bukan pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Saya bebas kemana saja di seluruh pelosok Indonesia tanpa gangguan apapun.

Papua adalah bagian sah dari NKRI.

2. Saya tidak pernah diperlakukan diskriminasi oleh saudara-saudara saya suku manapun. Bahkan saya melihat banyak saudara OAP yang menikah dengan suku-suku lain selain Papua.

3. Tidak ada satupun hak yang dimiliki oleh WNI lain selain Papua yang tidak dimiliki oleh OAP dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya banyak hak khusus yang dimiliki OAP yang tidak dimiliki oleh WNI lain. Saya sudah jalan ke hampir seluruh wilayah NKRI. Di sana orang Papua tidak disebut pendatang, tapi di Papua ada istilah pendatang dan pribumi.

4. Di Papua saya melihat jarang sekali OAP yang punya kios, jarang yang bisa bertani secara moderen atau jadi nelayan besar, jadi tukang seperti saudara-saudara saya WNI yang lain. Artinya, kalau Papua pisah dari NKRI maka Papua akan mundur 2 abad ke belakang. Kelas Papua hanya kelas jual pinang. Karena itu saya mau mendorong saudara-saudara saya Papua agar mau belajar yang baik, bekerja keras, sehingga seluruh OAP dapat mencapai taraf hidup yang lebih baik.

Papua bagian dari rumpun bangsa Melanesia.

5. Saya sudah pernah jalan-jalan ke beberapa negara tetangga wilayah Melanesia, saya belum pernah menemukan negara manapun di wilayah Melanesia yang lebih maju dan lebih sejahtera daripada Papua. Bahkan hampir seluruh kebutuhan dasar warga PNG dipasok dari Papua. Karena saudara kita di Melanesia sana dikuasai oleh orang Asing.

6. Demikian pula hampir-hampir seluruh kebutuhan dasar Papua di kirim dari provinsi lain. Sehingga kalau Papua pisah dari NKRI maka seluruh kebutuhan pokok Papua akan diimpor dari luar, betapa menderitanya Papua kalau itu terjadi, apalagi kalau kita di embargo.

7. Fakta sejarah membuktikan bahwa Papua tidak pernah berdiri sendiri dalam suatu pemerintahan sendiri. Tidak pernah ada kerajaan di Papua. Tapi hanya kelicikan penjajah Belanda-lah yang telah membayar sekelompok pengkhianat, lalu diberikan bendera Bintang Kejora dan lagu Hai Tanahku Papua yang dianggap sebagai lagu kebangsaan. Semua simbol-simbol Negara boneka tersebut murni buatan dan ciptaan Belanda, bukan karya, buatan atau ciptaan anak Papua sendiri. Jadi dimana kebanggaan dan kehormatan Papua?

Sebagian tokoh-tokoh Papua yang cukup masyhur dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.

8. NKRI selalu dituduh melakukan pelanggaran HAM dan genosida terhadap orang Papua, tapi kenyataannya sejak dahulu, nenek moyang kita OAP hingga zaman modern sekarang selalu perang suku. Hanya karena persoalan kecil kita bisa saling bunuh dan saling makan sesama saudara, entah sudah berapa ribu jatuh korban karena perang suku. Justru NKRI-lah melalui aparat keamanannya yang telah selalu berusaha mendamaikan kita dan mengajarkan peradaban.

9. Di dalam hukum dan pemerintahan, orang Papua tidak dibedakan dengan suku lain. Banyak OAP yang jadi menteri, banyak yang jadi Jenderal, bahkan seluruh Gubernur dan Bupati / Walikota semuanya OAP. Saya optimis bahwa suatu saat Presiden RI adalah OAP apabila kita mau belajar keras mengisi kemampuan dan meluaskan wawasan kita.

10. Saya sangat cinta dan bangga kepada Papua, tetapi saya lebih bangga sebagai bagian dari NKRI. Karena apabila saya hanya menjadi Papua maka saya sangat kerdil. Tetapi apabila saya NKRI maka saya lebih kaya. Saya bisa memiliki pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sumatera dan lain-lain. Dan saya punya saudara ribuan suku serta bemacam-macam agama di Indonesia. Karena NKRI dibentuk bukan atas dasar ras, agama, suku bangsa dll. Tapi NKRI dibentuk atas dasar Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu).

Salam Persatuan dari John Kogoya
Free West Papua
freewestpapua-indonesia.com

Thursday, August 8, 2019

Perginya Ulama Pengawal Pancasila


Sorot matanya sangat tajam. Ingatannya masih prima. Gaya bicaranya tegas dan fasih. Di usia yang lebih dari 90 tahun, sosok kharismatik ini masih sanggup membaca apa pun saja, termasuk membacakan kitab kuning (balah) di hadapan para santri dengan tanpa menggunakan alat bantu kacamata.

Kiai Maimun Zubair, akrab dipanggil Mbah Moen, adalah sosok yang tak bisa diceritakan dalam satu-dua kali kesempatan. Luas pengetahuan dan dalamnya keteladanan membuat kita harus bekerja keras untuk menampung samudra ilmu dan teladan yang diwariskannya.

Sekali waktu, saya pernah sowan ke Kiai Maimun di kediamannya, di Sarang, Rembang. Saya ingat sekali, Mbah Moen bercerita panjang lebar tentang bagaimana ajaran Islam merespons dinamika perkembangan zaman. Mbah Moen menegaskan, Islam menghargai kebhinekaan.

Tafsir dari Mbah Moen lebih progresif dan kontekstual.

Dari Mbah Moen saya mendapatkan ilmu soal makna kata lita'arafu dalam surat Al-Hujurat (49): 13; Ya ayyuhan-nas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila lita'arafu. Makna saling mengisi dan bekerja sama jauh lebih progresif dan kontekstual dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang berkembang selama ini yang cenderung mengartikan lita'arafu dengan hanya sebatas saling mengenal.

Saling mengisi adalah kata kunci yang ingin dikemukakan Mbah Moen. Indonesia yang berdiri di atas bangunan kebhinekaan dan keragaman suku, bangsa, budaya dan agama, harus ditopang kesadaran individunya untuk saling mengisi dan bekerja sama satu dengan yang lainnya.

Tafsir ini, bagi saya pribadi, melesat melampaui zamannya. Bagi saya, tafsir semacam ini tak akan lahir dari pribadi yang tak memiliki kejernihan mata batin serta rasa cinta Tanah Air yang mendalam.


Maret 2017, ketika turbulensi politik meningkat dan isu kebhinekaan memanas, Kiai Maimun sebagai mustasyar (penasihat) PBNU menjadi tuan rumah Silaturahim Ulama Nusantara di Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Sebanyak 99 ulama berkumpul dipimpin Mbah Moen. Pertemuan itu menghasilkan rumusan yang sangat brilian dan menyejukkan umat.

Kelak rumusan itu diberi tajuk "Risalah Sarang". Ada lima poin penting yang dihasilkan di forum ini. Pertama, Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tak dapat dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri.

Kedua, pemerintah diimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi isu sosial termasuk dengan menerapkan kebijakan yang lebih berpihak ke yang lemah (afirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah di berbagai kasus yang muncul.


Ketiga, pemerintah dan para pemimpin masyarakat diimbau terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu menyikapi informasi-informasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana sehingga terhindar dari dampak negatif.

Keempat, para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin NU agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggung jawab, adil, dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI.

Kelima, mengusulkan diselenggarakannya forum silaturahmi di antara seluruh elemen bangsa guna mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan perkembangan di masa depan, dan rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa.


Pengayom umat dan visi kebangsaan
"Risalah Sarang" adalah salah satu bukti betapa karisma Mbah Moen sebagai pengayom umat tak bisa dimungkiri. Di hadapan kiai-kiai sepuh yang lain, dengan tegas Mbah Moen memaparkan argumen dan visi kebangsaan yang membuat peserta merasa seperti disiram air sejuk keteladanan. Sosok Mbah Moen juga tak bisa dilepaskan dari kegigihannya dalam menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang dirahmati Allah SWT.

Bagi Mbah Moen, Indonesia adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan dapat ampunan dari Allah). Pikiran-pikiran ke-Indonesiaan yang cerdas sering diungkapkan beliau dalam pelbagai forum di depan khalayak ramai saat mengisi pengajian. Salah satunya misalnya tentang dimensi keberkahan dalam hari kemerdekaan RI. Bagi Mbah Moen, tak ada yang kebetulan. Semua telah ditulis dan ditakdirkan Allah SWT, termasuk tanggal, bulan, dan tahun.

Tanggal 17 memiliki ikatan kuat dengan jumlah rakaat shalat wajib yang dijalankan umat Islam dalam tempo sehari semalam. Dalam lambang Garuda Pancasila terdapat dua sayap dengan jumlah bulu 17 di kanan dan 17 di kiri. Mbah Moen menjelaskan angka 17 ini merupakan jumlah rukun shalat, yakni (1) niat, (2) takbiratul ihram, (3) berdiri i’tidal, (4) membaca surat Al-Fatihah, (5) rukuk, (6) thuma’ninah dalam rukuk, (7) i’tidal (berdiri bangun dari rukuk), (8) thuma’ninah dalam i’tidal, (9) sujud pertama, (10) thuma’ninah dalam sujud, (11) duduk di antara dua sujud, (12) thuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud, (13) sujud kedua, (14) thuma’ninah dalam sujud, (15) duduk tahiyat, (16) membaca tasyahud akhir, (17) salam. Sedangkan 17 bulu di sayap kiri berarti jumlah rakaat shalat wajib.

Menciptakan akronim PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD '45).

Sementara Agustus atau bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Masehi merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Kita juga ingat Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam sistem penanggalan Hijriah. Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Muslim. Angka 45 yang merujuk tahun kemerdekaan berarti setiap orang Islam harus membaca syahadat (saat tahiyat awal atau akhir) sebanyak empat dan lima kali. Malam empat kali, saat shalat Maghrib (2x) dan Isya (2x). Siang lima kali, Subuh (1x), Dzuhur (2x), dan Ashar (2x).

Di lain kesempatan, Kiai Maimun berpesan kepada nahdliyin. Pesan ini selalu diulang-ulang dengan maksud menanamkan kesadaran kecintaan Tanah Air dan merawat kebhinekaan. Pesan itu berisi wejangan bahwa Kantor PBNU memiliki korelasi dengan empat pilar kebangsaan. P berarti Pancasila. B berarti Bhinneka Tunggal Ika. N berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan U adalah Undang-Undang Dasar 1945. Pesan ini khas dan otentik lahir dari gagasan dan pemikiran jernih KH Maimun Zubair.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita harus menundukkan kepala seraya melangitkan doa. Putra terbaik bangsa, sosok pengayom umat dan pribadi yang gigih berjuang untuk kemaslahatan bangsa dan negara telah berpulang di Tanah Suci, Makkah Al-Mukarramah.

Tak ada cara terbaik mengenang kematian selain mengenang kebaikan dan keteladanannya. Sebagaimana dikatakan Rumi, “Tatkala kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati para kekasih”. Selamat jalan, Mbah Moen. Selamat jalan pengayom umat dan pengawal Pancasila.

A Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
KOMPAS, 7 Agustus 2019


8 Nasehat Mbah Moen

1. Ora kabeh wong pinter kuwi bener.”
(Tidak semua orang pintar itu benar).

2. “Ora kabeh wong bener kuwi pinter.”
(Tidak semua orang benar itu pintar).

3. “Akeh wong pinter ning ora bener.”
(Banyak orang yang pintar tapi tidak benar).

4. “Lan akeh wong bener senajan ora pinter.”
(Dan banyak orang benar meskipun tidak pintar).

5. “Nanging tinimbang dadi wong pinter ning ora bener, luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter.”
(Namun daripada jadi orang pintar tapi tidak benar, lebih baik jadi orang benar meskipun tidak pintar).


6. “Ono sing luwih prayoga yoiku dadi wong pinter sing tansah tumindak bener.”
(Ada yang lebih bijak, yaitu jadi orang pintar yang senantiasa berbuat benar).

 7. “Minterno wong bener kuwi luwih gampang tinimbang mbenerake wong pinter.”
(Memintarkan orang yang benar itu lebih mudah daripada membenarkan/meluruskan orang yang pintar).

8. “Mbenerake wong pinter kuwi mbutuhke beninge ati, lan jembare dhodho.”
(Membenarkan/meluruskan orang yang pintar itu membutuhkan hati yang bening dan dada yang lapang).

KH. Maimun Zubair
(Rembang, 28 Oktober 1928 – Mekkah, 6 Agustus 2019)

Friday, July 19, 2019

Jokowi Dapat Semuanya, Prabowo Berikan Seluruhnya


Dari pertemuan Lebak Bulus (13 Juli 2019), ada pertanyaan penting: Jokowi dapat apa, dan Prabowo dapat apa? Siapa yang untung, siapa yang rugi?

Kalau mau dijawab singkat, itulah judul tulisan kali ini. Yaitu, Jokowi dapat semuanya, sedangkan Prabowo memberikan seluruhnya. Jokowi dapat ‘full package’ dan Prabowo menyerahkan segalanya.

Yang diperoleh Jokowi dan yang diberi Prabowo barangkali tidak ternilai secara material. Maksudnya, saya tidak tahu berapa yang pantas dibayar untuk legitimasi jabatan presiden. Mau Anda sebut Rp 25 Triliun? Atau Rp 50 Triliun? Wallahu A’lam.

Tapi jangan salah paham. Saya hanya mencoba menggambarkan betapa mahalnya legitimasi jabatan presiden 2019 yang diperlukan oleh Jokowi dari Prabowo. Jangan sampai ditafsirkan ada deal Rp 25 T atau Rp 50 T. Nanti bisa menjadi fitnah. Sekali lagi, saya hanya mencoba untuk memberikan ‘price tag’ andaikata jabatan presiden itu layak diuangkan.


Sekarang, legitimasi itu telah dikantongi Jokowi dengan senyuman lepas dan penuh makna. Senyuman yang menunjukkan kepuasan yang utuh. Tidak sompel. Ini bisa terjadi karena Prabowo juga menyerahkan legitimasi itu dengan ‘sepenuh hati’. Betul-betul tulus. Itu terlihat dari suasana gembira ria. Ada puja-puji yang menyenangkan bagi semua hadirin. Termasuklah para broker yang mencarikan legitimasi itu.

Prabowo tampak ikhlas sekali menyerahkan legitimasi yang diperlukan Jokowi tersebut. Begitulah saya membaca ekspresi wajah dari jenderal ini. Tulus ikhlas bagaikan Anda menjual sesuatu dengan harga yang Anda harapkan dari pembeli. Nah, sekali lagi, jangan sampai salah tafsir. Kata ‘harga’ di sini bukan transaksional sifatnya. Ini hanya untuk membantu kita dalam melihat krusialnya legitimasi itu.

Itu isu yang pertama. Isu lainnya adalah pendapat banyak orang bahwa Prabowo pintar memilih tempat (stasiun MRT). Pendapat itu menyebutkan, Prabowo secara halus, merendahkan Jokowi. Direndahkan karena bertemu di stasiun. Bukan di tempat yang mulia seperti Istana, hotel, rumah Prabowo dan seterusnya.


Mohon maaf, logika ini perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena nilai legitimasi dari Prabowo itu tidak tergantung pada tempat penyerahannya. Kita ambil satu contoh yang mirip dengan legitimasi jabatan presiden itu. Katakanlah Anda baru saja lulus study S3 di Harvard University, Oxford atau Cambridge. Kemudian rektornya, entah karena alasan apa, menyerahkan ijazah S3 Anda di toilet kampus. Apakah tempat penyerahan itu akan membatalkan gelar anda? Tentu saja tidak!

Begitu pula dengan legitimasi dari Prabowo. Tidak berkurang nilainya sedikit pun bagi Jokowi ketika itu diberikan Prabowo di stasiun kereta. Bahkan sekiranya Prabowo mengajak Jokowi ke toilet untuk menyalami dia dan mengucapkan selamat, juga tidak cacat sedikit pun asalkan disiarkan langsung oleh televisi dan ditonton jutaan orang.

Tidak terhormatkah di toilet? Sangat keliru. Itu tadi, kalau ijazah S3 Anda diserahkan oleh rektor di toilet, apakah gelar Anda tak berlaku?

Menurut saya, Jokowi tidak memerlukan penyerahan legitimasi dari Prabowo di tempat yang terhormat. Yang dia perlukan adalah ucapan selamat yang disaksikan oleh publik, baik itu rekaman video apalagi siaran langsung. Singkirkanlah perasaan Anda bahwa pemberian legitimasi di stasiun MRT merupakan penghinaan terhadap Jokowi. It doesn’t work that way, guys.


Persoalan lainnya adalah logika lucu yang perlu diluruskan tentang pertemuan Jokowi-Prabowo. Bahwa kesediaan Prabowo bertemu merupakan strategi mantan Danjen Kopassus itu untuk satu tujuan besar yang tidak bisa dipahami oleh publik. Banyak yang yakin bahwa Prabowo memenuhi undangan naik MRT plus makan siang di Senayan itu adalah taktik untuk memenangkan sesuatu.

Bapak-ibu sekalian. Tidak ada yang salah untuk tetap menaruh harapan bahwa ‘strategi’ Prabowo itu akan berakhir dengan kemenangan. Inilah harapan yang sangat patut dikagumi. Karena, harapan itu mencerminkan suasana batin yang cukup kuat. Menunjukkan bahwa para pendukung Prabowo tidak mudah menyerah. Tidak gampang putus asa. Ini hebat luar biasa!

Hanya saja, harapan itu tak punya referensi yang memadai untuk disebut realistis. Harapan itu bergantung sepenuhnya pada ‘divine intervention’ (kehendak Tuhan). Tak salah kalau disebut mukjizat.


Orang yakin akan ada kejutan besar dalam waktu dekat ini. Dasarnya adalah pengajuan gugatan PAP (pelanggaran administrasi pemilu) ke Mahkamah Agung (MA). Sebagian orang percaya Prabowo akan menang dan otomatis menjadi presiden yang syah. Jokowi akan dilucuti. Prabowo-Sandi yang akan dilantik.

Semudah itukah? Rasanya tak mungkin. Memang tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. Tetapi, sebatas perkiraan realistis manusia, sangat tidak mungkin. Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Misalnya, apakah masuk akal dengan satu ketukan palu MA semuanya berbalik untuk Prabowo? Apakah para hakim MA akan berani tampil beda dibanding para hakim MK?

Dengan peta kekuatan institusional yang ada saat ini, apakah Anda yakin ‘kemenangan’ Jokowi bisa dianulir? Apakah orang-orang kuat Jokowi rela presiden mereka disingkirkan lewat selembar keputusan MA? Wallahu A’lam. Bagi saya, skenario ini jauh panggang dari api!

Terus, strategi apa lagi?

Kawan, semua sudah selesai. Jokowi sudah berhasil mendapatkan semua yang dia perlukan. Dan Prabowo sudah memberikan seluruh yang dia miliki.

Asyari Usman
Penulis adalah wartawan senior
Eramuslim.com, 16 Juli 2019

Tuesday, June 4, 2019

Narko, Tragedi Jenderal Parako


Siapa sutradara dibalik penahanan mantan Komandan Jenderal Kopassus?

Narko. Begitulah panggilan akrab teman-temannya. Lelaki Jawa kelahiran Medan 65 tahun lalu. Ia  berperawakan sedang, agak gempal dan berkulit sawo matang. Ciri khasnya, berkumis hitam dan tebal.

Itulah sosok Soenarko, perwira komando, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1978. Soenarko dari Korps Infanteri dan Erfi Triassunu dari Korps Zeni, sejak lulus pendidikan komando pada 1979, bersama-sama di Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha). Nama lain sebelum berganti menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Saat bintang dua (mayor jenderal), keduanya dipercaya menjadi Panglima Kodam. Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda. Erfi sebagai Pangdam Cenderawasih. Soenarko memang lebih banyak tugas operasi di Aceh. Sedangkan Erfi lebih banyak tugas operasi di Papua.

Mayjen Erfi Triassunu sebagai Pangdam Cenderawasih (kiri) dan Mayjen Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda (kanan).

Mereka bersama Budiman (Zeni), Marciano Norman (Kavaleri), Leonardus JP Siegers (Artileri Pertahanan Udara/Arhanud), dan Andi Geerhan Lantara (Infanteri) berhasil menjadi pangdam. Budiman sebagai Pangdam Diponegoro, Marciano menjadi Pangdam Jaya, Siegers selaku Pangdam Bukit Barisan, dan Geerhan menggapai Pangdam Tanjung Pura.

Budiman puncak kariernya sebagai KSAD, Norman menjadi Kepala BIN, Erfi selaku Wakil Kepala BIN, Geerhan sebagai Irjen Mabes TNI, Siegers menjadi Koorsahli Panglima TNI, dan Soenarko sebagai Komandan Pussenif.

Jabatan-jabatan Narko adalah mimpi atau keinginan dari para perwira komando. Sebab tidak semua perwira komando bisa menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Begitu juga bagi para infanteris. Tentu semua berkeinginan menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri. Komandan Korps Infanteri.

Infanteri adalah korps induk militer. Sekitar 75-80 persen personel TNI AD adalah Infanteri.  Narko spesial, karena berhasil menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Pangdam Iskandar Muda, serta Komandan Pussenif. Walau berhenti pada pangkat mayor jenderal, semua mengakui kemampuan tempur Narko.


Sekurangnya ia sembilan kali bolak balik ke medan tempur di Timor Timur, Papua, dan Aceh. Sigap nan tegap, waspada dan wibawa, melekat pada diri Soenarko sebagai prajurit komando yang berjiwa satria. Bagi nusa bangsa dan negara, ia pantang menyerah di medan laga.

Di bawah panji Merah Putih, di atas persada negeri. Para prajurit komando, berjanji demi Tuhan: rela binasa membela Ibu Pertiwi. Memuja Indonesia, mencintai Tanah Air. Sebagai warga baret merah jiwanya bergelora, lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga.

Namun, kini ia seperti dizalimi. Menghadapi mimpi buruk! Jenderal Narko ditetapkan sebagai tersangka makar! Ia disangka menyelundupkan senjata untuk memancing kerusuhan aksi protes terhadap hasil pemilu presiden di seputaran gedung Bawaslu, tanggal 21-22 Mei 2019. Prajurit para komando (Parako) itu kini harus mendekam di rumah tahanan Polisi Milter Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.

Kasus ini tentu mengherankan bagaimana polisi bisa menetapkannya sebagai tersangka?

Semula pada 18 Mei 2019, Narko diminta hadir ke Markas Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI di Cilangkap. Dia menjadi saksi kasus dugaan kepemilikan senjata illegal. Namun ketika ia diperiksa sebagai saksi, muncul surat penangkapan dan penahanan dari Mabes Polri terhadap dirinya. Ironis!


Bagaimana sesungguhnya  koordinasi pimpinan Mabes Polri dengan pimpinan Mabes TNI, sehingga bisa menetapkan seorang mantan Komandan Jenderal Kopassus dari saksi menjadi tersangka? Mengapa sedemikian mudah pimpinan TNI menyerahkan jenderal mantan komandan pasukan elite-nya  kepada polisi untuk ditahan? Siapa berada dibalik penetapan Jenderal Soenarko sebagai tersangka? Mengapa sampai berani menuduh salah satu putra terbaik TNI sebagai tersangka makar dan kepemilikan senjata illegal?

Sebegitu nistakah seorang Soenarko yang hidupnya didarmabaktikan untuk bangsa dan negaranya. Lalu berbuat konyol menyelundupkan sepucuk senjata? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikiran saya sebagai wartawan.

Saya tidak kenal Jenderal Soenarko. Jumpa pun belum pernah. Tetapi saya tidak bisa menerima informasi begitu saja, termasuk dari pemerintah sekali pun. Ada sesuatu yang ‘janggal’ dalam konferensi pers yang dilakukan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko, pada 21 Mei 2019 lalu.

Sebuah pernyataan yang harus ditelusuri, kerena menyangkut nama baik seseorang bahkan Korps TNI dan Kopassus. Bagi saya terlalu prematur untuk menyebut seorang jenderal Kopassus dengan dugaan melakukan makar hanya dengan alasan penyelundupan satu pucuk senjata api.


Strategi media
Sebagai praktisi media yang mempelajari ilmu komunikasi, saya paham bagaimana strategi media mengkonstruksi berita, sehingga tertanam di benak publik. Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Profesor Dr Ibnu Hamad, membagi strategi media menjadi tiga, yakni: priming, framing, dan signing.

Priming berkaitan dengan waktu pemberitaan, kapan berita itu ditayangkan kepada publik. Framing atau pembingkaian, menonjolkan aspek pemberitaan tertentu yang dianggap mewakili kepentingan institusi media. Terakhir, signing. Sebuah tanda dalam pemberitaan, sehingga berita tepat sasaran dan publik bisa mengingatnya dengan mudah.

Melalui tiga strategi tersebut, sekecil apa pun beritanya akan dapat menghabisi seseorang. Bahkan seorang pahlawan pun bisa dijungkirbalikkan sebagai pengkhianat negara. Kemudian masyarakat yang menelan mentah-mentah berita tersebut dipaksa membenarkan atau mengamini berita tersebut.

Label yang dilemparkan media ke tengah publik itu dianggap sebuah kebenaran sempurna. Tanpa ada yang mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta yang sudah terlanjur dikonsumsi publik.


Itulah kelakuan buruk media yang berselingkuh dengan bisnis dan kekuasaan. Hak publik dinistakan. Tak peduli hak-hak seorang Jenderal Soenarko, sekali pun. Seperti kata rekan saya, Doktor Dudi Iskandar, “Abang masih percaya dengan media mainstream? Berkoar-koar demi hak asasi manusia (HAM) di satu sisi, namun melakukan pelanggaran HAM publik pada sisi berlawanan.” Ia sedang menyindir kasus yang menerpa Soenarko.

Pantas saja jika mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (Akmil 1976), mantan Sesmenko Polhukam Letjen (Purn) Yayat Sudrajat (Akmil 1982), dan mantan Kepala Bais TNI Mayjen (Purn) Zaky Anwar Makarim (Akmil 1971) yang duduk di meja konferensi pers pada 31 Mei 2019 lalu, berang terhadap awak media yang cenderung menjadi humas pemerintah. “Kalian jahat terhadap kami, purnawirawan!

Sahabat Soenarko, yakni Erfi Triassunu juga geram atas perlakuan terhadap rekannya sesama lulusan Akmil 1978 dan sama-sama lulusan pendidikan komando. Mereka menuding telah terjadi pengadilan oleh pers terhadap Jenderal Soenarko.

Trial by the Press. Peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada. Beritanya menjadi tidak berimbang, sehingga tokoh yang diberitakan tidak diberikan kesempatan pembelaan. Tanpa hak jawab dari versinya.


Teman-teman Soenarko yang umumnya berasal dari Kopassus melakukan pembelaan sebagai harga diri korps. Termasuk di antaranya mantan Komandan Jenderal Kopassus, Letjen (Purn) Agus Sutomo (Akmil 1984).

Kolonel Infanteri (Purn) Sri Radjasa Chandra mantan staf intelijen Kodam Iskandar Muda, saat Soenarko sebagai Pangdam, menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tentang senjata yang dituduhkan Menko Polhukam Wiranto dkk tersebut.

Tuduhan Polri yang merilis sengketa senjata api illegal jenis M4 Carbine milik Soenarko yang dikirim dari Aceh, 21 Mei 2019 lalu, dinilainya sangat bertolak belakang dengan faktanya. Yang benar adalah senjata itu dikumpulkan dari bekas kombatan GAM, yakni jenis M16 A1.  “Saya kaget dan tidak menyangka adanya kebohongan publik dan pemelintiran opini ke arah sana,” ujar Sri Radjasa.


Pantas pula jika Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu marah, karena purnawirawan jenderal disebut makar dan kini ditahan. Ia tidak setuju dengan langkah Wiranto dkk.

Bagi Ryamizard, Mayjen (Purn) Kivlan Zen maupun Soenarko adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang telah memperjuangkan keutuhan negara. “Tidak ada niat mereka mau kudeta atau pun makar. Mereka adalah pejuang sejati,” kata Ryamizard.

Menurut Suryo Prabowo, pengalaman tempur Soenarko di daerah operasi tidak sebanding dengan Wiranto. Tidak layak Wiranto dkk memperlakukan Soenarko seperti itu.

Inilah era post-media, era post-journalisme. Bukan lagi pers, namun publik yang kini harus mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta dari pers. Dunia sudah terbalik-balik. #End

Selamat Ginting
Wartawan Senior Republika
selamatgintingassociates.blogspot.com