Thursday, November 8, 2018

Terselap Menjadi Manusia


Manusia tidak menganyam jaring kehidupan. Kita adalah seutas benang di dalamnya. Apa yang kita lakukan terhadap jaring, sama artinya: kita melakukannya terhadap diri kita sendiri. Semua yang ada (di dalam jaring) memiliki keterikatan satu sama lain. Semua saling terhubung.
(Kepala Suku Seattle dari suku asli Amerika, Suquamish dan Duwamish).

Laporan khusus Panel Para Ahli Perubahan Iklim (IPCC) pada 8 Oktober lalu telah  membawa kabar mencemaskan melalui Laporan Khusus Pemanasan Global 1,5° Celsius. Laporan itu mempertegas ancaman besar bagi keberlanjutan Bumi akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Kenaikan suhu 1,5° Celsius selayaknya menjadi pilihan jika ingin menghindarkan Bumi dari bencana apokaliptik.

Laporan tersebut disusul laporan Living Planet Report 2018 dari organisasi lingkungan WWF International awal pekan ini, Selasa (30/10/2018). Laporan ini ibarat “barang sama dengan kemasan berbeda” jika disandingkan dengan laporan IPCC. Pesan yang disampaikan WWF memperkuat pesan IPCC: kehancuran ekosistem semakin dekat. Maka harus ada pilihan lain dalam cara mengonsumsi.


Kita saat ini telah tiba pada Era Anthropocene ––istilah yang diperkenalkan Paul Crutzen. Era ketika peran manusia demikian dominan. Pertama kalinya dalam sejarah kehidupan lebih dari empat miliar tahun, aktivitas manusia berdampak pada lingkungan dalam skala planet.

Era ini juga disebut sebagai Era Percepatan Luar Biasa (Great Acceleration) karena di era ini terjadi perubahan drastis terhadap ekosistem. Ledakan penduduk mencapai lebih dari 7,6 miliar, memberikan tekanan luar biasa pada alam untuk pemenuhan kebutuhan terutama pada energi, tanah, dan air. Eksploitasi berlebihan karena keserakahan mengonsumsi dan aktivitas pertanian telah menyebabkan tekanan pada kehati (keanekaragaman hayati).

Kehidupan manusia ditopang oleh alam. Kebutuhan akan pangan dan semua produk konsumsi berasal dari alam. Aktivitas manusia terutama dalam aktivitas ekonominya demi memenuhi kebutuhan konsumsinya telah meninggalkan “Jejak Ekologis” yang selama ini tersembunyi. “Jejak Ekologis” merupakan harga ekologis yang harus kita bayar akibat eksploitasi alam untuk pemenuhan bahan baku, proses produksi, hingga rantai suplai.


Aktivitas ekonomi diperkirakan telah menggunakan sumber daya alam senilai 125 triliun dollar AS per tahun (sekitar Rp 1.875 juta triliun, dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS). Sementara luas tanah yang terbebas dari aktivitas manusia tersisa tinggal  25 persen. Diperkirakan luasan itu akan tinggal tersisa 10 persen pada tahun 2050 apabila tingkat penggunaan sumber daya alam bertahan seperti sekarang. Pertanian, skala besar dan skala subsisten tercatat bertanggung jawab pada 40% dan 33%  konversi hutan sepanjang tahun 2000-2010. Sementara, 27% deforestasi terjadi akibat urbanisasi, pembangunan infrastruktur, dan pertambangan.

Tanpa alam yang sehat mustahil manusia masih bisa terus membangun dan berkembang. Ancaman berupa menurunnya kualitas tanah, kekurangan air, dan iklim ekstrem telah menjadi pemikiran tentang kinerja ekonomi makro dan aktivitas finansial.

Degradasi lahan akibat tekanan permintaan akan produk telah mengakibatkan hilangnya kehati. Salah satu rumah kehati yaitu hutan tropis yang merupakan rumah kehati dalam jumlah tinggi. Laporan WWF menggarisbawahi berapa banyak kehati yang telah punah. Secara garis besar terjadi penurunan populasi spesies sekitar 60 persen antara tahun 1970-2014.


Sementara tingkat kepunahan saat ini mencapai 100 hingga 1.000 kali lipat dibanding saat aktivitas manusia belum dominan dalam mempengaruhi kesehatan alam. Namun di sisi lain disadari bahwa nasib jutaan spesies belum menjadi pusat perhatian pengambil kebijakan dan mendorong percepatan perlindungan kehati.

Akan tetapi tidak banyak pihak yang menyadari bahwa pemulihan hutan tropis, rumah besar kehati (keanekaragaman hayati), tak akan pernah mampu mengembalikan atau memulihkan keanekaragaman itu dari fungsi ekosistem yang telah telanjur hilang. Belum lagi peran rumit serangga dan organisme mikro yang menjadi penghubung dalam jejaring ekosistem.

Penghancuran satu habitat bisa melenyapkan satu produk tertentu karena serangga sebagai pembantu proses penyerbukannya telah lenyap. Hilangnya satu mata rantai ekosistem akan menghancurkan mata rantai lainnya.


Kesadaran akan pentingnya lingkungan dan ekosistem bagi keberlanjutan planet dan kehidupan manusia telah ada sejak lahirnya Hari Bumi pada tahun 1992. Namun demikian, eksploitasi terhadap alam tak kunjung surut melainkan justru semakin masif. Fungsi alam di luar fungsi ekonominya sebagai penyedia barang dan jasa, tersisihkan dari imajinasi banyak pembuat kebijakan.

Fungsi lain alam yang terkait dengan kehidupan sosial, spiritual, agama, dan kultural seperti yang telah dihayati masyarakat asli atau masyarakat adat, tak pernah dikalkulasi dan menjadi basis pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.

Semenjak pencanangan Hari Bumi, konferensi demi konferensi yang berisikan diskusi dan negosiasi terkait penyelamatan bumi, pembangunan berkelanjutan, dan penyelamatan keanekaragaman hayati terus bergulir. Semakin banyak dan semakin masif. Frasa-frasa baru bermunculan silih berganti.


Kita masih ingat, enam tahun lalu pada konferensi merayakan Rio+20, lahir frasa “The Future We Want” (Masa Depan yang Kita Inginkan). Berlelah-lelah semua elemen warga dunia dimintai pendapat tentang masa depan yang mereka inginkan. Hasilnya?

Enam tahun setelahnya, sampah plastik menjadi momok baru, bahkan dalam tubuh manusia telah ditemukan remah-remah plastik. Penghancuran hutan terus berlangsung dan pelaku bisa melenggang dengan menunggangi peraturan hukum yang seperti jaring: berlubang banyak. Perburuan, pembunuhan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi tetap marak bahkan meningkat karena modus dan teknologi yang semakin canggih.

Manusia terseret pada ide gigantisme. Meraksasa, mengejar ukuran. Schumacher menangis dari balik kubur. Ide “kecil itu indah” yang dia tawarkan terpuruk ke sudut-sudut gelap keserakahan. Dengan ukuran masif, maka kerusakan lingkungan yang terjadi pun menjadi sangat masif.


Seperti diucapkan Presiden Dewan Internasional WWF, Pavan Sukhdev dalam salah satu sajiannya, manusia terjebak dalam penjara konsep “too big to fail”. Ketika suatu korporasi terlalu besar, maka kejatuhannya bakal membawa risiko yang amat besar sehingga logika (ekonomi) mengatakan: jangan biarkan dia jatuh.

Manakala sebuah perusahaan besar kalah dalam persidangan pun, eksekusi tak berjalan atau pendekatan persuasif  didahulukan. Pameo “pedang hukum majal ke atas tajam ke bawah” terus hidup langgeng.

Namun seiring lahirnya berbagai komitmen global, semuanya pada akhirnya mengerucut pada komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang disepakati anggota PBB pada akhir tahun 2015 dalam bentuk dokumen, Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development.


Tahun 2020 menjadi tahun krusial sebagai langkah antara untuk mencapai TPB. Pada tahun itu komitmen Perjanjian Paris terkait isu perubahan iklim untuk menurunkan emisi karbon telah dimulai, sementara Target Aichi dalam isu keanekaragaman hayati pada tahun yang sama juga memiliki target untuk dicapai.

Tahun 2020, seperti pandangan WWF, akan menjadi tahun penting. Penentu sikap kita manusia sebagai salah satu elemen ekosistem dan Bumi: akan menjadi penghancur atau penyelamat Bumi.

Megutip kalimat penutup Living Planet Report 2018, “Kami adalah generasi pertama yang memiliki gambar jelas akan nilai alam dan dampak luar biasa yang kita timbulkan. Kita mungkin merupakan generasi terakhir yang bisa bertindak untuk membalikkan arah kecenderungan ini. Saat ini hingga 2929 akan menjadi momen menentukan dalam sejarah.”


Namun, saat ini manusia sungguh sedang kehilangan jati dirinya sebagai Homo Sapiens ––makhluk yang mampu berpikir seturut nalar, ketika nalar bersentuhan dengan nafsu keserakahan. Mereka lupa bahwa kehancuran ekosistem dan jejaringnya akan menelan dirinya sendiri karena manusia adalah benang dalam jejaring ekosistem.

Manusia kini seakan telah terselap atau tiba-tiba lupa akan dirinya sebagai manusia yang sejati, Homo Sapiens, makhluk yang berpikir .…

Brigitta Isworo Laksmi
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 6 November 2018