Wednesday, February 8, 2017

Mengajarkan Ilmu dengan Mudah


Tak mudah menjadi guru itu. Kalau mudah, tentu setiap orang adalah guru. Sudah menjadi guru pun, ternyata tak semua guru bisa mengajar dengan baik. Kita semua punya guru favorit, disukai banyak murid, karena ia pandai mengajar, membuat kita mudah paham.

Setiap individu, dalam berbagai kesempatan sebenarnya berada dalam posisi harus menjadi guru, harus mengajarkan sesuatu. Tapi sebagaimana guru-guru di sekolah, ada orang yang sanggup jadi guru yang baik, ada yang tidak. Sering orang berdalih, dia tidak berbakat jadi guru. Tapi sering kali yang terjadi adalah, tidak ada keinginan untuk mengajarkan sesuatu dengan baik.

Bagaimana mengajarkan sesuatu dengan mudah?

Pertama, kita sendiri harus menguasai bahan yang hendak kita ajarkan. Kalau bagian ini terpenuhi, kita mungkin sudah melampaui lebih dari 50% kebutuhan untuk mengajarkan sesuatu dengan mudah. Masalah terbesar para pengajar adalah, mereka tidak menguasai materi. Paham, tapi hanya sebagian. Itulah sebabnya penjelasan dari para ahli biasanya mudah kita cerna.

Ini adalah bagian terbesar dari masalah pendidikan kita. Banyak guru yang tak paham dengan materi yang ia ajarkan. Ia sekedar menjadi tukang hafal. Selebihnya, ia melafalkan materi di depan kelas, dengan hafalan, atau membaca buku teks. Ia berharap murid-muridnya ikut jadi penghafal seperti dirinya.


Syarat kedua adalah adanya keinginan untuk berbagi. Ingat, sekali lagi, mengajar itu berbagi. Kita membagikan apa yang kita tahu. Karena ingin berbagi, ada tujuan yang hendak kita capai, yaitu sampainya pengetahuan ke orang lain. Pengajaran jadi berbeda nuansanya bila yang mengajarkan berniat memamerkan pengetahuannya, atau ingin merendahkan orang lain. Untuk bisa mengajarkan dengan mudah, perasaan seperti itu harus dihilangkan.

Hal berikutnya yang penting dalam pengajaran adalah, berempati pada orang yang kita ajar. Ada ungkapan setengah bercanda yang mengatakan bahwa orang yang sangat cerdas sulit menjadi guru yang baik. Yang bisa jadi guru yang baik adalah orang yang tidak terlalu cerdas. Ia dulu mengalami banyak kesulitan dalam belajar, sehingga tahu bagaimana kesulitan murid-muridnya sekarang. Orang-orang cerdas tidak akan pernah memahami kesulitan itu.

Yang terpenting dalam hal ini bukan soal pintar atau tidak, tapi soal empati. Coba bayangkan bagaimana kita menjelaskan suatu hal kepada anak kecil. Apa yang kita lakukan? Kita akan mulai menjelaskan dari hal yang sudah dia pahami, memakai kosa kata sederhana, sesuai perbendaharaan kata yang sudah dia miliki. Prinsip ini berlaku bagi pengajaran di semua tingkat. Karena itu, ketika kita hendak mengajar, kita perlu mengenali siapa yang hendak kita ajar. Pengenalan latar belakang pendengar adalah salah satu komponen penting dalam analisis kebutuhan training.

Langkah berikutnya adalah menyiapkan berbagai metode untuk membuat orang paham. Sering kali diperlukan penjelasan melalui berbagai pendekatan atau sudut pandang. Di sinilah penguasaan materi berperan. Orang yang paham materi secara utuh, dapat melihat masalah dan menjelaskannya dari berbagai sudut pandang. Ia akan dapat dengan mudah membangun analogi, simulasi, atau pemodelan, yang membuat orang mudah memahami masalah yang dibahas.


Hambatan terbesar dalam pengajaran adalah ketiadaan keinginan untuk mengajarkan. Banyak orang berpengetahuan yang menganggap hanya dia yang bisa menguasai sesuatu, sehingga enggan mengajarkan pada orang lain. Orang lain dia anggap tak akan bisa menguasai pengetahuan itu. Ada pula orang yang takut tersaingi. Takut orang yang dia ajari kelak menjadi lebih ahli.

Mendidik dan mengajari adalah bagian yang sangat penting dalam kepemimpinan. Kepemimpinan yang sukses salah satu ukurannya adalah keberhasilan sang pemimpin mendidik kader-kader, dengan keahlian setara dengan dirinya, atau lebih tinggi. Tidak sedikit pemimpin yang gagal memahami aspek ini. Mereka mengira, menjadi pemimpin hebat itu adalah kalau ia bisa berdiri bak menara tinggi, di tengah orang-orang yang tak mampu menyamainya, sehingga ia menjadi sangat menonjol.

Singkat kata, mengajar itu sebenarnya adalah soal menjadi tunduk merunduk, merendahkan diri di hadapan orang-orang yang menjadi tujuan kita berbagi. Seperti kita duduk bersama anak-anak, menjadikan pandangan mata kita sejajar dengan mereka, lalu mulai berkomunikasi dengan empatik.

Hasanudin Abdurakhman,
Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
DETIKNEWS, 30 Januari 2017


Teach It Easy

Awal tahun 2007 saya mulai bekerja di industri manufaktur. Dalam keadaan pengalaman nol di bidang industri saya harus mengurus berbagai hal berkenaan dengan persiapan produksi sebuah perusahaan baru.

Salah satu masalah yang saya hadapi adalah mesin-mesin yang diimpor sudah tiba di pelabuhan, dan harus diurus proses kepabeanannya (custom clearance). Tentu saja saya tak tahu apa yang harus dilakukan.

Waktu itu kami masih menumpang di kantor perusahaan grup, menunggu kantor dan pabrik kami selesai dibangun.

Karena karyawan juga masih sedikit, banyak hal yang dimintakan bantuannya kepada karyawan perusahaan grup, dan mereka dibayar ekstra atas bantuan ini. Termasuk juga dalam urusan impor tadi.


Saya minta asisten manajer yang mengurusi ekspor impor untuk mengajari saya, dan dia setuju. Di ruang rapat dia menyodorkan kertas bertuliskan istilah-istilah yang biasa dipakai dalam kegiatan ekspor impor.

Bapak ngerti nggak istilah-istilah ini?” tanya dia.

Nggak.” jawab saya.

Aduh, inilah susahnya kalau harus mengajari orang yang tidak punya latar belakang perdagangan internasional,” kata dia ketus.

Saya melongo. Kalau saya punya latar belakang perdagangan internasional, tentu saya tidak perlu bertanya sama dia. Tapi sudahlah. Saya perlu urusan saya beres, jadi saya dengarkan dia dengan sabar.

Dia menjelaskan ini itu, yang sebenarnya tidak jelas juga. Akhirnya berbekal sedikit informasi saya berurusan dengan perusahaan jasa kepabeanan (forwarder) yang dia tunjuk.

Banyak dokumen kurang ini itu, ribut, sampai akhirnya barang bisa tiba ke pabrik meski terlambat dari jadwal.


Setelah itu kami pindah kantor. Menjelang pindah kantor dia menawarkan. “Nanti kalau mau ekspor hubungi saya, biar saya bantu.” katanya. Saya cuma mengangguk.

Di kantor baru, saat akan impor saya undang forwarder. Saya minta mereka menjelaskan apa yang harus kami siapkan, dan apa yang mereka urus. Juga berapa lama waktu yang diperlukan.

Berdasarkan itu kami mulai melakukan proses custom clearance untuk impor kami selanjutnya. Saya tidak perlu tahu detil soal impor, yang penting cukup untuk keperluan mengeluarkan barang kami dari pelabuhan. Walhasil, impor kami lancar tanpa masalah. Saat mau ekspor pun begitu. Semua berjalan lancar.

Saat ketemu dia lagi beberapa bulan kemudian setelah kami pindah, dia bertanya, “Pak, kapan mau mulai ekspor? Kan saya mau bantu.

Oh, kami sudah jalan beberapa kontainer, kok.” jawab saya.

Eeeee, kenapa nggak bilang-bilang? Emang sudah bisa sendiri?

Saya jawab dengan senyuman saja.


Akhir tahun 2011 di perusahaan tempat saya bekerja, kami membeli alat untuk analisa kimia, namanya gas chromatography. Alat ini dibeli dalam rangka produksi produk baru di tempat kami.

Untuk keperluan ini saya merekrut seorang karyawan yang berlatar belakang ilmu kimia. Perekrutan karyawan ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan saat kami berunding soal produksi produk baru ini.

Namun dalam perjalanannya kemampuan karyawan ini selalu dipertanyakan oleh orang QC di pihak pelanggan. “Kalau dia orang yang tidak pernah pakai alat ini dan tidak punya kemampuan analisa dengan alat ini percuma. Mending dia dikirim ke Jepang untuk ditraining.” tulis dia dalam email.

Saya keberatan, karena selain berbiaya tinggi hal itu menurut saya mubazir. Menurut saya alat ini fungsinya adalah alat quality control. Artinya, sekedar alat ukur untuk menguji sesuatu, bukan alat analisis seperti kalau seseorang menggunakannya di bidang riset.

Jadi, usulan itu saya tolak, tapi saya beri jaminan kepada dia bahwa staf yang saya rekrut akan bisa memakai alat tadi saat diperlukan. Dia punya pengalaman banyak di bidang kimia, walau belum pernah memakai alat ini.


Prinsip saya, kalau cuma soal cara memakainya, staf saya bisa belajar dari penjual alat. Dan itulah yang kami lakukan. Selebihnya, sesuai kesepakatan, orang QC dari Jepang ini yang akan mengajarkan.

Karena khawatir soal kemampuan kami, pihak perusahaan induk pergi ke pelanggan ini, melihat proses pelaksanaan pengukuran. Mereka merekam pelaksanaan itu dan mengirimnya ke kami.

Saya saksikan videonya, cuma kegiatan menakar, menimbang, dan membuat larutan. Di bagian tertentu larutan harus dikocok. “Ini salah satu teknik penting, know how yang diperlukan. Kalau tidak biasa melakukan analisa tidak akan bisa melakukan teknik ini.” katanya. Halah, cuma begitu saja.

Beberapa bulan kemudian  orang ini datang. Saya pikir dia akan segera mengajar. Eh, dia malah minta staf saya ditraining di perusahaan grup. Untuk apa?

Harus dicek dulu apakah dia sudah bisa pegang pipet dan bikin larutan dengan benar,” kata dia.

Saya sebenarnya keberatan, tapi malas ribut. Saya suruh saja staf saya ikut training, menggunakan gas chromatography, diajari oleh staf lokal di sana.


Kembali ke perusahaan kami, saya suruh staf tadi mempraktekkan hasil trainingnya. Ia melakukan pengukuran. Tamu saya tadi minta hasil pengukuran. Dia tidak pernah mengajari staf saya, langsung minta saja. Kami serahkan hasilnya, dan hasilnya benar. Lalu, apa kesulitan yang dia khawatirkan selama ini?

Begitulah. Tidak sedikit orang yang menganggap ilmu yang dia miliki adalah ilmu yang sulit, sehingga sulit pula diajarkan kepada orang lain. Hanya orang hebat macam dia yang bisa menguasainya. Padahal sebenarnya itu hal sederhana yang bisa diajarkan secara sederhana.

Bahkan banyak hal yang sebenarnya cukup sulit, namun bisa diajarkan secara sederhana kalau yang mengajarkan adalah orang yang benar-benar mahir. Orang sering membuat sulit sesuatu agar dirinya tampak hebat.

Anda mau hebat? Ajarkan sesuatu secara mudah. Teach it easy!

Hasanudin Abdurakhman,
Cendekiawan; Penulis; 
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
KOMPAS, 2 Februari 2017