Ini satu lagi contoh hebatnya kebudayaan kita. Di Jawa ada bermacam terminologi untuk menggambarkan aktivitas ‘membawa’, ada
nyunggi, ngempit, nyangking, mbopong, nggendong, nyekel, manggul. Everything is in detail. Kata ‘jatuh’ pun ada banyak sekali:
ndlosor, njungkel, nggeblak, nylorot, nyungsep. (Sayangnya) itu (semua) tidak kita hormati sebagai kekayaan. Harusnya ada Bahasa Indonesia Jawa, Bahasa Indonesia Sunda, dan seterusnya. Bahasa Indonesia jangan berdiri mandiri. Untuk menerjemahkan di
handphone saja lucu
kok.
Ratu Adil menurut saya adalah orang yang punya ilmu yang komprehensif, yang bisa memperbaiki wilayah bahasa, spiritual, ekonomi, budaya, dia ngerti semua. Karena manusia
kan ada yang ngerti banyak tentang sedikit hal, ada yang ngerti sedikit tentang sedikit hal, ada yang ngerti sedikit tentang banyak hal. Tapi kita butuh manusia yang ngerti banyak tentang banyak hal.
Itulah potensi Ratu Adil. Kalau Ratu Adil tingkat pertama ini terjadi
ya syukur, tapi kalaupun tidak,
ya tingkat kedua. Pokoknya ada sistem bersama, ada kesadaran kita bersama untuk adil. Begitu Anda ngomong di mana-mana tentang Ratu Adil dan itu menjadi kesadaran Anda bersama,
ya Ratu Adil itu namanya. Dan itu yang ngomong bukan Jayabaya, dia hanya dikasih tahu.
Jayabaya itu punya 4 orang penasihat, satu diambil dari Roma, satu dari Istambul, satu dari Iran, dan satu lagi dari Mekkah. Jayabaya punya 4 staf ahli internasional. Yang khusus mengajari dia soal ramalan dan spiritual itu berasal dari Persi, namanya Syekh Ali Samsujen. Dari semua yang Anda kenal mengenai Ramalan Jayabaya itu adalah fatwa-fatwa dari Syekh Ali Samsujen.
Maka ngomong Ratu Adil itu sesungguhnya adalah konsep dari berita-berita subversi di belakang Rasulullah yang memang sebenarnya ada kebenarannya. Karena Rasulullah ini kalau diperpanjang ilmunya jadi luas sekali.
Kita semua salah sangka terhadap Yesus, terhadap Muhammad, terhadap semuanya. Nanti akan ada pengetahuan baru yang membuat Anda terkejut. Mereka dibohongi oleh rekayasa besar yang dibikin sejak 37 tahun setelah Yesus disalib. Mereka bikin rekayasa untuk mengatur pandangan manusia di seluruh dunia dan Anda menjadi korban sampai saat ini.
Sampai ada BI, itu
kan ide dari sana. Juga ada Liberalisme, Sosialisme, Islam Fundamental, Islam Radikal, Islam Liberal, dan kita percaya pada semuanya. Saya
nggak bisa dibohongi
gitu. Saya radikal ketika saya harus radikal, saya moderat ketika saya harus moderat, saya konservatif ketika saya harus konservatif, dan untuk sesuatu yang butuh landasan
ya saya pakai landasan.
Menurut saya, manusia merdeka adalah manusia yang tidak tertipu oleh idiom-idiom dan budaya aneh-aneh semacam itu. Kita
ketawain aja yang
gitu-gitu. Saya sendiri sudah tidak terpukau oleh apa pun. Saya bisa baca hatinya orang
kok, sekarang kamu ngomong apa saya tahu juga. Dan itu memang butuh kekuatan yang sangat besar. Kalau tidak, saya bakal marah terus. Tiap hari, aku lewat
thok wae dirasani. Yang
ngrasani saya dalam hatinya sekarang saya juga dengar kok.
Setelah coffee break selama seperempat jam, peserta kembali dipersilahkan untuk menggali ‘genthongnya’ Cak Nun.
Parameter Keteladanan Bukan Siapa, Tapi Apa
Mbak Wahyu menanyakan di antara pemimpin-pemimpin kita saat ini, siapa yang menurut Cak Nun bisa dijadikan panutan, yang juga mengimplementasikan nilai
cultural leadership yang telah dijelaskan sebelumnya.
Jawab Cak Nun:Parameternya jangan hanya ‘siapa’, tapi juga ‘apa’. Kalau siapa itu mengharuskan seseorang (secara) utuh bisa diteladani, sedangkan kalau ‘apa’ kan Anda bisa lebih luwes. Dari Pak A saya teladani X-nya, dari Pak B saya teladani Y-nya.
Jangan lupa bahwa sesungguhnya sangat banyak orang baik, teladan, orang-orang yang bisa kita andalkan, termasuk mungkin kita sendiri. Tapi tadi saya ngomong di awal bahwa ini tanah tidak subur. Jadi orang baik tidak akan tampak kebaikannya karena mata pandang yang kita gunakan sehari-hari adalah mata pandang yang punya kecenderungan untuk mencari keburukan orang lain.
Ini semua kan fals sekarang. Mari kita kembali ke dasar aransemen kehidupan supaya kita menemukan harmoni. (Karena) sekarang (ini) apa saja fals. Agama itu kan fals banget sekarang. Jadi sesungguhnya tidak ada barang fals, yang ada adalah konfigurasi di mana (letak sebenarnya) beberapa titik itu berharmoni. Yang Anda harapkan itu ada, pemimpin Indonesia itu sudah ada, orang
mateng itu banyak, cuma dia belum berada pada satu aransemen yang memungkinkan dia menunjukkan kebaikannya.
Ibarat ayam, dia belum punya waktu untuk berkokok, ibarat ikan belum ada kolamnya. Menurut saya untuk sementara Anda ngomong (tentang) ‘apa’ (dulu), jangan (tentang) ‘siapa’.
Indonesia Mengembargo Dunia
Pertanyaan berikutnya datang dari Mas Ero.
Inspiratif sekali Pak Emha! Beberapa hari lalu kita sudah menerima teori-teori dan pendapat mengenai kepemimpinan modern yang mengikuti kondisi global saat ini, dan tadi Bapak menyampaikan dengan kearifan lokal di mana secara budaya Indonesia sudah memiliki filosofi-filosofi kepemimpinan. Bagi kami, BI ke depan nanti mana
ya Pak yang lebih sesuai untuk diterapkan, yang global atau kearifan lokal?
Jawab Cak Nun:Yang ada di Indonesia ini bukan kearifan lokal, tetapi harmoni dari lokalitas-lokalitas yang arif. Indonesia adalah Sunda, Jawa, semuanya, dan itu harus ada ilmu dan proses untuk melakukan elaborasi supaya dia berperan komprehensif harmonis. Jadi, orang Jawa tidak bertentangan dengan orang Sunda karena dia mencari harmoni satu sama lain. Dan itu sebenarnya masa depan dunia adalah harmoni ke-Indonesia-an. Kalau sudah ada Bhinneka Tunggal Ika, seluruh dunia akan ikut Bhinneka Tunggal Ika.
Indonesia ini jangan mencari contoh soal di luar Indonesia karena Indonesia lambat atau cepat sudah akan menjadi contoh untuk diteladani seluruh dunia. Ini agak aneh, tapi sudahlah Anda percaya saja.
Arab Spring itu merupakan rekayasa Amerika untuk ‘mengubah’ negara-negara Timur Tengah menjadi ‘demokrasi’ dengan tiga metode, yaitu metode sikat habis seperti yang dilakukan pada Saddam dan Khadaffi, metode pemberontakan progresivitas demokrasi biasa seperti yang terjadi di Syria yang tak kunjung selesai, dan terakhir metode pegang kepala seperti yang dilakukan atas Arab Saudi.
Jadi seluruh
policy di Mekkah itu
policy Amerika, tentara Saudi juga tentara Amerika. Yang ngambil kebijakan di Saudi itu Amerika dan Israel, termasuk di Indonesia dan kedutaan besar Arab Saudi yang berada di sini.
Saya ingin katakan kepada Anda, Indonesia ini justru merupakan pilihan utama Amerika untuk menjadi model bagi konversi bagi negara-negara Timur Tengah. Ini mungkin agak mengherankan dan belum bisa dipahami betul, tapi itu pasti. Jadi gampangannya Mesir mau di-Indonesia-kan, Yaman, Abu Dhabi mau di-Indonesia-kan. Di-Indonesia-kan dalam pengertian apa, mari sambil kita pelajari bersama-sama.
Jadi, CIA, intelijen Arab Saudi sama Israel merundingkan ada 6 contoh soal: dari Iran, Turki,
macem-macem, sampai Indonesia. Yang terpilih adalah Indonesia. Mereka jelas tidak mau ada negara Timur Tengah seperti Iran. Mereka juga tidak mau seperti Turki. Mereka sedang menganggap kita bodoh, gampang dibohongi, sangat permisif, dikuras hartanya
nggak marah, presiden dan semuanya gampang dirayu, disogok. Biarin Amerika dan Israel
kecelik, karena Anda tidak seperti yang mereka bayangkan.
Menurut saya, jangan berpikir dunia,
wong dunia mikirin kita. Seharusnya kita mengembargo dunia, bukan dunia mengembargo kita.
Wong secara ekonomi dunia butuh kita
kok. Kita ditakdirkan menjadi Indonesia, yang betul-betul luar biasa baik secara ekonomi maupun kebudayaan.
Tidak Minder, Tapi Juga Tidak Natoni
“Saya akan mulai dari pepatah Jawa,” ujar Mas Haris, “Mohon maaf kalau ada kesalahan.
Lamun sira sekti ojo natoni, lamun sira mandi ojo mateni, lamun sira banter ojo nglancangi. Hal ini sepertinya bertentangan dengan teori
leadership yang ada sekarang. Menurut Cak Nun, pandangan budaya kita terhadap
leadership itu bagaimana?
Yang kedua, bagaimana mengharmonisasi budaya, agama, dan pola pikir? Pemimpin seperti apa yang mencakup harmonisasi tiga unsur ini?”
Jawab Cak Nun:Ini kita sudah sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang ibaratnya di ruang
lauhil-mahfudz, sudah bagus banget, sehingga kalau nanti saya keliru dikit saja, nasib bangsa Indonesia menjadi kacau.
Menurut saya, kita sedang menjadi medan pertentangan dari berbagai macam
frame atau terminologi nilai yang secara sangat liberal kita terima semuanya. Dari
Mbah kita terima, dari
Londo kita terima, dari Amerika kita terima, dan sekarang kita menjadi ajang peperangan itu sehingga menjadi panas dingin.
Kalau
lamun sira sekti ojo natoni, lamun sira mandi ojo mateni, lamun sira banter ojo nglancangi, sebetulnya itu asal usulnya budaya kemanusiaan. Namanya
paugeran. Itu cara bergaul antarmanusia, tapi tidak pada birokrasi, tidak pada sistem ekonomi. Dia letaknya pada wilayah etika kebudayaan, itu soal kerendahan hati. Filsafat ini lahir ketika kita belum mengenal industri. Waktu itu belum pernah ada ekspertasi profesional yang sekarang menjadi tantangan kita. Kalau itu kita tabrakkan satu sama lain, saya kira kita harus punya kearifan dan ilmu yang mencukupi.
Kalau dalam dunia profesional itu kan tidak bisa berlaku. Dalam dunia
imamah agama saja itu tidak bisa berlaku. Ibu saya tidak pernah mau shalat kalau saya imami. Pokoknya harus adik saya yang terkecil yang jadi imam. Dia hanya mau shalat kalau diimami adik saya yang terkecil karena secara rohani dia lebih percaya sama adik saya daripada kepada saya. Jadi
kan ada
macem-macem dimensi dalam hidup. Itu sangat bagus kalau pas di tempatnya.
Sekarang kita sedang mengalami benturan-benturan antar berbagai nilai. Misalnya, tiba-tiba kita ngomong gotong royong. Gotong royong sama kompetisi
kan bertentangan. Terus sekarang karena banyak orang bentrok, Pemda bikin baliho tentang gotong royong. Gotong-royong itu
nggak usah jadi pedoman. Dia akan lahir sendiri kalau ada komunitas. Sekarang
kan tidak ada komunitas. Sekarang ini orang kumpul bukan karena budaya, orang kumpul karena profesi, karena hobi, atau karena sesama majlis taklim.
Bergotong-royong akhirnya jadi penyelewengan. Misalnya untuk ujian sekolah di suatu daerah di Jatim dirunding dan ditandatangani bersama antara Pemda, Dinas Pendidikan, ulama-ulama dan kepala-kepala sekolah. Empat pihak ini sepakat bahwa soal ujian dikasih ke siswa sebelum hari uijan demi alasan gotong-royong. Alasan kenegaraannya: pemerintah harus membantu rakyatnya. Terus kata guru, guru harus membantu muridnya. Kiyai juga begitu. Maka, gotong-royong ini juga bahaya kalau lahir tidak pada tempatnya, kalau tidak pada harmoninya. Saya sangat senang dengan pertanyaan Anda, tapi menurut saya memang itu semua akan terjawab, tapi saya percaya pada kepempimpinan seseorang tadi. Dia boleh Ratu Adil, boleh orang yang mungkin bertahap, tapi orangnya sudah ada dan sudah siap.
Kalau dia bisa menang dua langkah saja, bisa baik semuanya karena di Indonesia ini siapa pun saja
nggak bisa hidup, Mas. Seperti yang saya tadi bilang, kebaikan tidak bisa tumbuh subur di sini. Anda pikir Anda
ngakuin Yesus itu orisinal karena memang Anda
ngakuin? Pengakuan kita kepada Yesus dan Muhammad itu
kan karena semua orang sudah
ngakuin, jadi Anda tinggal ngikut. Coba Yesus datang ke sini, Muhammad datang sendiri ke sini, pasti dianggep aliran sesat oleh MUI. Kita
nggak orisinal mengakui sesuatu, kita tidak pakai ilmu kita sendiri, kita tidak punya kepribadian untuk secara otentik mengakui sesuatu.
Kita sedang tidak punya itu. Kita tidak menjadi diri kita sendiri sehingga kita tidak mampu mengakui diri kita. Jangankan mengakui orang lain, mengakui diri sendiri saja sekarang kita tidak mampu.
Pertanyaan Anda sangat bagus, apalagi kalau saya gabungkan dengan pertanyaan sebelumnya.
Be yourself, understand yourself. Kalau kita bisa menjadi
beneran bangsa Indonesia, kita tidak akan minder pada siapa pun tapi juga tidak akan sombong sama siapa pun,
nggak akan
natoni,
nggak akan
nglancangi,
nggak akan
mateni.
Lamun sira wong gedhe ojo nggedheni.“Tiga pertanyaan ini satu harmoni
lho Mas. Saya anggap ini doa, karena waktu ngopi-ngopi tadi juga bagus-bagus
kok pertanyaannya. Ini serius
nggak nih? Jangan-jangan karena ketemu saya jadi pertanyaannya bagus-bagus,” ujar Cak Nun disambut tawa para peserta.
Pertanyaan Anda sangat mendasar. Saya tahu
kok kegelisahan Anda, tahu
kok hati Anda kepada SBY, hati Anda kepada pimpinan-pimpinan BI selama ini. Tapi Anda
kan juga tahu bahwa Anda tidak bisa milih mereka. Satu-satunya jalan adalah menegaskan di dalam diri kita sejumlah hal yang tadi kita sadari untuk kita bangun bersama.
Saya senang sekali, dan saya kira kita akan dikabulkan oleh Tuhan. Kalau tidak, saya minta diperpanjang usia saya 30 tahun lagi. Saya sekarang 60 tahun, alhamdulillah
nggak pernah sakit,
nggak pernah
opname,
nggak tidur
nggak apa-apa, makan apa saja
nggak apa-apa. Kalau ngelihat kondisi ini kayaknya masih lama
nih tugasnya. Dan mungkin saya akan ikut ngatur dikit-dikit kayak zaman Pak Harto, Gus Dur, Mega. Nanti saya akan
tut wuri handayani dari belakang untuk hal-hal yang baik.
Teladan Sejati Adalah Dia Yang Tersembunyi
Pertanyaan berikutnya datang dari Mbak Siti Astiah, yang menanyakan bagaimana caranya mengurangi budaya korupsi meskipun tidak jadi pemimpin.
Jawab Cak Nun:Saya kira teladan itu cukup banyak. Tapi saya menemukan pejabat-pejabat yang baik, itu karena dia keliru, terlalu radikal, harusnya ikut
pakem-pakem dikit, makanya dia kena KPK. Walikota, bupati, atau kepala-kepala yang malah kena padahal dia sebenarnya mau memperbaiki. Dan itu kalau saya kasih contoh ada cukup banyaklah.
Jadi sebenernya ini ngomong soal fals.
Banter tapi ojo nglancangi. Ini ternyata untuk manajemen pembangunan juga perlu Mbak. Jadi
gini, jangan terlalu radikal untuk mengubah sesuatu. Banyak pemimpin yang terlalu progresif, terlalu nasionalis, malah kena, karena dia dianggap melanggar aturan yang sudah lama berlangsung.
Saya bilang sama Nabi Moshadeq yang ditahan itu. Di Polda Metro Jaya saya bilang; “
Sampeyan itu ada dua kesalahan: pertama,
kebanteren mlakune, umat itu
kan jalannya ada yang cepet ada yang
nggak, kalau yang lambat
ya kepontal-pontal, maka akhirnya Anda ditangkep. Nomor dua,
Sampeyan itu kalau jadi Nabi jangan ngaku-ngaku.” Akhirnya dia geli sama dirinya sendiri, dan akhirnya dia meremehkan semua dunia ini dan menomorsatukan Tuhan.
Kenapa semua orang bertengkar? Karena dipikir dunia ini begitu pentingnya, maka dibelain habis-habisan jabatannya. Allah itu terbalik sama orang tua kita. Orang tua kita bilang; “Nak,
kono nang kutho nggoleko penggawean iso nduwe rejeki sebanyak-banyaknya, jabatan setinggi-tingginya, yang penting jangan lupa shalat.” Sedangkan Tuhan pesennya terbalik; “Dalam rangka kamu mencari Aku menuju akhirat, kamu jangan sampai lupa
lho kalau kamu harus ngurusi duniamu. Kamu harus cari nafkah.”
Jadi budaya kita mengenal dunia sebagai primer, sebagai tujuan. Kalau versi Allah, yang primer itu mencari Dia di akhirat, dan dunia ini cuma dilewati, cuma jalan. Jalan sama tujuan berbeda. Bagi kita tujuannya dunia, akhiratnya jalan. Yang penting kita dagang laris, kalau dagangan kurang laris
ya kita umrah. Agama menjadi alat untuk mencapai dunia. Karena kita terbalik, manajemen kita
gini, kita
nggak percaya pada yang selain materi.
Dan kalau Anda ingin jadi contoh, Anda jangan bernafsu untuk jadi contoh. Kalau Anda berbuat baik, jangan nyuruh orang berbuat baik. Saya maklum
kok di Indonesia (banyak) orang (yang) tidak berbuat baik. Gimana orang bahagia (maksudnya senang) bayar pajak
wong Gayus jumlahnya tak terbatas? Memang
nggak ada motivasinya.
Orang yang potensinya baik seperti yang Ibu tanyakan itu sebenernya ada banyak, dan mereka akhirnya putus asa karena
nggak ada gunanya berbuat baik. Kamu itu baik
kok untuk sesuatu di luar berbuat baik. Pokoknya kalau mau berbuat baik
ya berbuat baik saja, titik.
Yang penting ayam itu berkokok, tidak usah orang sekampung mengakui kalau Anda berkokok, terus diikuti kokokannya. Karena kita terlalu berpamrih orang akan mencontoh kita, itu yang membuat kita menjadi bukan teladan lagi. Maka kalimat pertama saya kepada orang-orang yang datang ke forum-forum saya adalah: “Jangan percaya saya, jangan ikuti saya! Kamu jangan jadi pengikut saya, kita semua ini pengikut Allah. Jangan taat sama saya, saya nggak punya saham apa-apa untuk kamu taati. Taat kepada Tuhan, penanam saham utama kita.”
Orang bertengkar mengenai bunyi kokok ayam. Orang Sunda bilang
kongkorongkong, orang Jawa bilang
kukuruyuk, orang Madura
kukurunuk. Yang bener itu
ya kokok ayam. Menurut versi Jawa, di telinga transfer ke mulut menjadi
kukuruyuk, kalau orang Sunda estetikanya muncul di mulut sebagai
kongkorongkong. Kalau dicari benernya, ya yang bener itu ayamnya.
Kita bikin MOU bahwa ketiganya bener, dan
kukurunuk nggak usah nyuruh yang
kongkorongkong untuk
kukurunuk. Gitu
kok bertengkar. Jadi kalau mau jadi teladan
ya sukar karena orang tidak ngerti kokok ayam.
Ini ketela, ada yang dibikin jadi
gethuk,
grontol (
growol), dan keripik dari bahan yang sama. Ajaran agama itu sampai pada manusia ketika dia sudah jadi
gethuk,
grontol (
growol), keripik. Jadi orang yang menerima
gethuk menganggap Islam adalah
gethuk, Kristen adalah keripik, padahal Islam, Kristen, Buddha, semua adalah ketela. Tapi semua orang bertengkar, ini aliran
grontol (
growol), ini aliran
gethuk. Bahkan
gethuk juga lalu dibagi menjadi sub-sub, ada
gethuk ngene gethuk ngono,
uakeh banget.Kalau sekarang kita kembali ke situ, kita
nggak punya golongan lagi. Saya
appreciate sama PD, sama Golkar, sama aliran Islam, politik, itu
kan cuma ikhtiar mengolah ketela menjadi aplikasi
to. Kalau kayu, ada yang jadi meja, kursi, almari. Jangan terus yang almari anti kursi.
Saya seneng Anda tanya
gitu karena Anda sendiri seorang teladan, tapi jangan nunggu orang meneladani Anda. Teladan sejati itu sampai tidak diketahui dia teladan. Nabi yang sejati
nggak pernah Anda lihat, namanya Khidir.
Bersambung ….