Saturday, December 29, 2018

“Jurus Mabuk” Yusril


Soal keringat dan perjuangan, Yusril Ihza Mahendra tak diragukan. Daya tahannya cukup tangguh. Terutama jika dikaitkan dengan PBB (Partai Bulan Bintang). Partai yang sekarang dinakhodainya sudah lama dalam kondisi Laa yamuut walaa yahyaa. Terancam bubar.

Yusril istiqamah. Tetap menjaga dan mempertahankannya. Apapun kata dunia, PBB harus hidup. Meski tak ada satupun anggotanya di DPR-RI (Pusat).

Pileg 2014, PBB hanya memperoleh suara 1.825.750 (1,46%). Sehingga tak berhak punya wakil di DPR. Inilah yang menyebabkan positioning Yusril rendah. Dan cenderung tak dihitung oleh koalisi manapun.

Tokoh sekelas Yusril sebenarnya punya kapasitas untuk nyapres. Masuk kategori eksepsional person. Prestasi akademik dan pengalamannya di pemerintahan tak diragukan. Berulangkali jadi menteri. Tapi, untuk nyalon gubernur di DKI saja, Yusril tak dapat tiket. Padahal, elektabilitas Yusril paling tinggi diantara calon keumatan yang muncul saat itu. Delapan persen. Jauh melampaui tujuh bakal calon yang diusung Majelis Pelayan Jakarta (MPJ). Apa sebab? Karena PBB tak punya anggota di DPRD DKI. Apa kata dunia? Kata salah seorang ketua partai.


Ibarat pakaian, sebagian pengamat melihat PBB terlalu kecil bajunya buat tokoh sehebat Yusril. Kenapa tak pindah dan bergabung dengan partai lain? Memang, tak mudah bagi tokoh sebesar Yusril untuk bersedia menjadi orang level kedua atau ketiga, jika pindah ke partai lain. Mirip Sri Bintang Pamungkas dengan PUDI-nya (Partai Uni Demokrasi Indonesia). Terbiasa menjadi top leader. Beban psikologi-sosialnya terlampau berat kalau tidak menjadi pemimpin.

Bagi Yusril, satu-satunya jalan untuk tetap eksis di dunia politik adalah dengan mempertahankan dan dengan sekuat tenaga berusaha untuk bangkitkan PBB. Meski tertatih-tatih. Bahkan terseok-seok. Karena memang tidak mudah!

Kalkulasi rasional, PBB cukup berat untuk bangkit dan bersaing dengan partai-partai lain. Apalagi electoral threeshold di Pemilu 2019 makin tinggi, yaitu empat persen. Hasil survei dari sejumlah lembaga, untuk mencapai target dua persen saja, PBB mesti kerja super keras. Apalagi empat persen.


Sadar keadaan, Yusril harus melakukan langkah “setengah gila”. Bila perlu menggunakan “jurus mabuk”. Mesti lebih bernyali membuat terobosan. Persetan jika dianggap tak populer. Ini darurat! Emergency!

Apa langkah Yusril? Pertama, memperkuat modal sosial. Ketika HTI dicabut izin ormasnya, ini peluang. Yusril maju dan jadi lawyer HTI. Barternya? HTI akan dukung PBB. Ini langkah taktis yang cerdas. Peluang untuk menambah suara PBB. Di sisi lain, ini juga jadi ikhtiar menginsyafkan dosa politik HTI yang selama ini selalu golput.

Kedua, tak cukup dengan HTI, Yusril memanfaatkan momen pilpres. Caranya? Merapat ke Paslon (Pasangan Calon). Jajaki negosiasi. Apa untungnya? Pertama, logistik. PBB, dan semua partai perlu logistik yang cukup untuk Pileg. Mendukung capres-cawapres, peluang logistik terbuka. Kedua, Coat-tail effect. Numpang branding capres-cawapres.

Karena Yusril ditinggal Prabowo, maka Prabowo ditinggalkan Yusril.

Saat ini, yang dianggap tepat oleh banyak pengamat, sebagai tempat berlabuh bagi PBB adalah Prabowo-Sandi. Kenapa? Sama-sama memiliki background keumatan. Prabowo-Sandi didukung oleh koalisi keumatan. Dan PBB adalah partai eks Masyumi yang juga berbasis keumatan.

Komunikasi politik dijalin. Yusril mendekati Prabowo-Sandi. Lewat MS Kaban, proses negosiasi dimulai. Draft aliansi ditawarkan. Rupanya, gayung belum bersambut. Masih butuh proses dan waktu. Yusril hilang kesabaran. Satu-satunya jalan, buat manuver. Yusril merapat ke kubu Jokowi-Maruf. Jadi lawyer. Dan gayungpun bersambut.

Kata Yusril, ini murni sebagai lawyer. Urusan profesionalitas. Gratis pula. Publik bertanya, kalau profesional, mana ada yang gratis? Kalau gratis, itu tidak profesional. Ada-ada saja Pak Yusril.


Yusril dikenal sebagai lawyer kelas atas. Atasnya atas. Kelas elit. Elitnya elit. Termasuk paling mahal. Konon tarifnya bisa sampai tiga juta U$D. Kira-kira berapa kalau dirupiahkan? Hitung saja sendiri. Apalagi dengan harga dolar yang cenderung makin tinggi. Hanya Partai Golkar dan orang-orang sekelas Abu Rizal Bakrie yang mampu membayar. Mana mungkin gratis? Apalagi negonya sama pihak istana. Gudangnya duit. Bagi istana, satu triliun untuk mendapatkan Yusril tak rugi. Karena pertama, dapat lawyer. Kedua, dapat peluru untuk menyerang koalisi keumatan. Lalu, apa untungnya bagi PBB?

Pertama, Menaikkan daya tawar kepada Prabowo-Sandi. Seolah Yusril ingin mengatakan: kami bisa membahayakan kalian jika kalian mengabaikan kami. Sejumlah pernyataan dan kritik Yusril yang “pedas” kepada Prabowo-Sandi bisa berarti bagian dari ancaman itu. Sekaligus meyakinkan kubu Jokowi-Maruf bahwa keberadaan Yusril memberi manfaat untuk kubu ini. Mirip Ngabalin. Meski sebelumnya, Yusril adalah salah satu tokoh yang sangat kritis kepada pemerintahan Jokowi. Bahkan pernah menilainya amatiran. Yusril pun pernah bilang presiden “goblok”. Presiden manapun, kata Yusril berkelit. Tentu publik paham siapa yang dituju Yusril.

Kedua, untuk menaikkan popularitas. PBB masih ada, hidup dan siap bangkit. Siap berselancar di Pileg dan Pilpres 2019. Ini efek lain dari manuver Yusril.


Manuver politik Yusril yang dikemas dalam bahasa lawyer pasti sudah dihitung. Tidak hanya oleh Yusril sebagai personal lawyer, tapi hampir pasti sudah dibicarakan dengan elit partai di internal PBB.

Manuver Yusril ini lebih merupakan ekspresi kekecewaan terhadap Prabowo-Sandi, karena komunikasi politik yang belum tuntas untuk menghasilkan formulasi “double winner” di Pilpres dan Pileg.

Jika komunikasi Yusril dengan koalisi Prabowo-Sandi terajut, dan formulasi “koalisi keumatan” disepakati bersama, maka akan berpotensi menggagalkan kontrak lawyer Yusril dengan Jokowi-Maruf. Istana pasti akan kecewa.

Tapi sebaliknya, jika komunikasi Yusril dengan kubu Prabowo-Sandi buntu, alias gagal, maka upaya istana untuk mengganggu koalisi keumatan nampaknya akan berhasil. Yusril bisa dijadikan peluru untuk menyerang.


Lalu, bagaimana nasib PBB jika akhirnya merapat ke Jokowi-Maruf? Apakah langkah ini akan dapat Coat-tail effect dari Jokowi-Maruf? Belum terukur. “Tunggu survei Denny JA,” kata Yusril.

Boleh jadi sebaliknya. Suara PBB akan jeblok. Sebab, ceruk PBB ada di basis pemilih keumatan. Mengingat PBB berbasis Masyumi. Dan belum pernah ada dalam sejarah, Masyumi satu perahu dengan PNI. PDIP adalah PNI modern.

Publik akan menunggu, apa yang akan terjadi dengan PBB kedepan. Yang jelas, manuver Yusril lahir dari kepanikan karena keadaan yang menghawatirkan bagi PBB di masa depan. Jika Anda jadi Yusril, mungkin Anda akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, langkah Yusril merapat ke istana lalu serta merta rajin menyerang Prabowo-Sandi dianggap publik sebagai “jurus mabuk”. Satu sisi menguntungkan Jokowi-Maruf, di sisi lain bisa membahayakan PBB itu sendiri. Di sinilah nama dan moralitas Yusril sedang dipertaruhkan.

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
http://www.swamedium.com/2018/11/10/jurus-mabuk-yusril/

Wednesday, December 5, 2018

Jokowi Tidak Boleh Kalah?


Seperti orang yang tidur berselimutkan kain sarung yang kependekan (cupet -bhs Jawa). Bila terlalu ditarik ke atas, tubuh bagian bawah akan kedinginan. Sementara bila ditarik ke bawah, tubuh bagian atas yang akan kedinginan. Tamsil itu sangat pas untuk menggambarkan dilema Presiden Jokowi saat ini.

Persiapan Presiden Jokowi menghadapi Pilpres 2019 sempurna sudah. Seluruh desa, kota dan orang miskin, sudah berada dalam genggamannya. Pemerintah akan segera mengucurkan dana kelurahan. “1 Januari,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai Rapat Terbatas, Jumat (2/11/2018) di Istana Bogor.

Rencana pengucuran dana kelurahan sebesar Rp 3 triliun inilah yang sempat memicu umpatan Jokowi, “Politikus Sontoloyo.” Jokowi mengaku tak mampu menahan kekesalannya karena politisi oposisi menentang usulan pemerintah untuk pemberian dana tersebut.

Bagi kalangan oposisi, bukan masalah dananya yang dipersoalkan. Tapi masalah timingnya. Waktunya pengucuran dana yang dilakukan berdekatan dengan pelaksanaan Pilpres 2019, pada 17 April, rawan disalahgunakan. Mereka menghendaki, pelaksanaannya dilakukan setelah Pilpres. Toh dari sisi waktu tidak terlalu lama, dan dana tersebut tidak terlalu mendesak.


Sebaliknya bagi Jokowi, pengucuran dana sebelum Pilpres tentu sangat penting. Program ini akan melengkapi berbagai program populis lain yang telah ditebar. Sebelumnya pemerintah telah memiliki program dana desa. Alokasi dana desa dalam RAPBN tahun 2019 sebesar Rp 832,3 triliun. Jumlah itu meningkat 9 persen dari tahun sebelumnya, atau meningkat 45,1 persen dari realisasinya di tahun 2014 sebesar Rp 573,7 triliun. Dana ini disalurkan melalui Kementrian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Di luar dana tersebut, melalui Kementrian Sosial, pemerintah juga telah memiliki Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini merupakan bantuan dana untuk para keluarga miskin, semacam program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masa Presiden SBY.

Pada tahun ini anggaran untuk PKH meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2018. Dari sebelumnya hanya Rp 17 triliun, pada tahun 2019 meningkat menjadi Rp 32 triliun. Dana PKH ini diberikan kepada 10 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia. Dengan asumsi setiap KK terdiri empat jiwa, maka program ini telah menjangkau 40 juta jiwa.

Sistem pemberiannya juga diubah. Dari sistem flat, masing-masing KK menerima Rp 1.890.000,-, menjadi non flat. Untuk keluarga yang memiliki lansia, wanita hamil, dan anak-anak usia sekolah bisa menerima bantuan hingga sebesar Rp 3.5 juta/KK, minimal Rp 2 juta/KK.


Program-program semacam ini berkaca pada apa yang dilakukan oleh Presiden SBY, sangat efektif untuk menjaring dukungan dari masyarakat. Kalangan masyarakat kelas bawah pasti tidak bisa membedakan, antara anggaran negara dengan anggaran milik pribadi. Yang mereka tahu, pada masa pemerintahan Jokowi mereka menikmati bantuan yang melimpah.

Berdasarkan sejumlah survei, elektabilitas Jokowi di kalangan pemilih pedesaan, pendidikan rendah, dan miskin, sangat kuat. Sebaliknya di kalangan pemilih perkotaan, terdidik, dan ekonomi menengah, dukungan terhadap Jokowi masih lemah. Dalam konteks inilah dana kelurahan yang menjangkau masyarakat perkotaan menjadi sangat penting. Sangat wajar bila Jokowi amat geram, hingga mengeluarkan umpatan, karena merasa dihalang-halangi rencananya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai bantuan tersebut akan dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah sebagai program pencitraan. Dan akan sangat efektif untuk dikapitalisasi menjadi alat kampanye. Hal ini memang menjadi keuntungan tersendiri bagi seorang petahana seperti Jokowi.


Ironi di tengah bencana
Gelontoran berbagai dana yang dengan mudah dikeluarkan oleh Jokowi, di tengah keterbatasan anggaran pemerintah ini, memang menjadi sebuah ironi. Apalagi bila dikaitkan dengan amburadulnya penanganan berbagai bencana yang terjadi, utamanya di Lombok, Palu dan Donggala.

Di Lombok para korban bencana sampai harus berunjukrasa menuntut pencairan bantuan yang dijanjikan pemerintah.

Secara simbolis ketika mengunjungi lokasi gempa, Presiden Jokowi menyerahkan bantuan untuk para korban. Untuk rumah warga yang rusak berat diberikan bantuan sebesar Rp 50 juta, rusak sedang Rp 25 juta, dan untuk rumah rusak ringan diberikan bantuan Rp 10 juta. Kendati sudah tertera di dalam rekening buku tabungan yang diberikan oleh Jokowi, ternyata dananya tidak bisa dicairkan.

Untuk mengatasi masalah tersebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB mempersilakan warga berhutang ke bank. “Sangat boleh utang ke bank. Nanti kalau dana sudah cair dari pemerintah, bisa untuk membayar utang,” kata Kepala BPBD NTB Muhammad Rum.


Kapan dana bantuan dari pemerintah itu akan turun? Soal ini sampai sekarang belum ada kejelasannya. Namun sesuai komitmen dengan Bank Dunia, pemerintah akan mendapat dana pinjaman sebesar USD 1 miliar, atau sekitar Rp 15 triliun untuk bantuan dana rekonstruksi di Lombok dan Sulawesi Tengah. Tenor pembayarannya bisa sampai 35 tahun, jadi cukup aman bagi Jokowi, dan tidak terlalu mengganggu APBN.

Mengapa pemerintah memilih berhutang untuk membantu para korban bencana, namun di sisi lain masih terus mengucurkan anggaran program populis? Agak sulit menepis kecurigaan bahwa hal itu erat kaitannya dengan kepentingan Pilpres 2019. Dana-dana tersebut sangat penting untuk menguatkan dukungan kepada pemilih Jokowi. Jadi ini semacam “money politics” halus dengan menggunakan anggaran negara.

Pemerintah sesungguhnya punya pintu darurat untuk membantu para korban bencana, yakni melalui pemanfaatan sisa anggaran di sejumlah departemen. Dari tahun ke tahun penyerapan anggaran pemerintah di sejumlah departemen dan kementrian masih rendah, sehingga pasti ada sisa anggaran.

Berdasarkan catatan Departemen Keuangan, sampai bulan Agustus 2018, penyerapan anggaran baru mencapai 58.70% dari pagu APBN. Sebagai contoh, hingga 6 Agustus 2018, penyerapan anggaran di Kementrian PUPR baru 38,1 persen dari total Rp 113,71 triliun. Sementara, realisasi fisik baru 41,78 persen.


Seharusnya pemerintah bisa mengusulkan perubahan anggaran (APBNP) ke DPR. Namun bila itu dilakukan, dipastikan program pemerintah yang dikaitkan dengan pencitraan akan sangat terganggu. Kementrian PUPR yang menangani berbagai proyek infrastruktur pasti tidak mungkin dipangkas anggarannya. Infrastruktur adalah jualan utama Jokowi pada Pilpres 2019. Karena itu kementrian PUPR merupakan departemen yang paling besar anggarannya.

Benturan kepentingan (conflict of interest) antara pencitraan dan kebutuhan untuk penanganan bencana, serta anggaran-anggaran lainnya yang mendesak, membuat pemerintah kalang kabut dalam menentukan prioritas.

Belum lagi berbagai program pencitraan pemerintah yang sangat berat diongkos seperti Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) melalui program BPJS Kesehatan. Seperti kata Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris, utang mereka yang jatuh tempo pada akhir pekan ini sebesar Rp 7,2 triliun. Darimana pemerintah akan menambal kebocoran anggaran tersebut? Bila tidak dibayar, dampaknya akan sangat serius bagi kelangsungan program andalan Jokowi itu.


Seperti orang yang tidur berselimutkan kain sarung yang kependekan. Bila terlalu ditarik ke atas, tubuh bagian bawah akan kedinginan. Sementara bila ditarik ke bawah, tubuh bagian atas yang akan kedinginan. Tamsil itu sangat pas untuk menggambarkan dilema Presiden Jokowi saat ini. Dalam bahasa Jawa diistilahkan dengan “cupet” alias “gegedhen empyak kurang cagak”.

Dengan target harus menang pada Pilpres 2019, maka wajar bila Jokowi dan para pejabatnya sering menunjukkan perilaku yang tidak terkontrol. Gejala stress karena menghadapi tekanan berat, mulai tampak. Muncullah berbagai umpatan, “kebangetan, kampungan, sontoloyo, genderuwo,” dan entah apalagi?

Seorang penulis feminis kelahiran Lithuania Emma Goldman pernah mengingatkan, politicians promise you heaven before election, and give you hell after. Politisi akan menjanjikan surga sebelum pemilu, dan memberimu neraka setelahnya. End.

Hersubeno Arief
Wartawan Senior
https://www.hersubenoarief.com/artikel/sontoloyo-jokowi-tidak-boleh-kalah/

Thursday, November 8, 2018

Terselap Menjadi Manusia


Manusia tidak menganyam jaring kehidupan. Kita adalah seutas benang di dalamnya. Apa yang kita lakukan terhadap jaring, sama artinya: kita melakukannya terhadap diri kita sendiri. Semua yang ada (di dalam jaring) memiliki keterikatan satu sama lain. Semua saling terhubung.
(Kepala Suku Seattle dari suku asli Amerika, Suquamish dan Duwamish).

Laporan khusus Panel Para Ahli Perubahan Iklim (IPCC) pada 8 Oktober lalu telah  membawa kabar mencemaskan melalui Laporan Khusus Pemanasan Global 1,5° Celsius. Laporan itu mempertegas ancaman besar bagi keberlanjutan Bumi akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Kenaikan suhu 1,5° Celsius selayaknya menjadi pilihan jika ingin menghindarkan Bumi dari bencana apokaliptik.

Laporan tersebut disusul laporan Living Planet Report 2018 dari organisasi lingkungan WWF International awal pekan ini, Selasa (30/10/2018). Laporan ini ibarat “barang sama dengan kemasan berbeda” jika disandingkan dengan laporan IPCC. Pesan yang disampaikan WWF memperkuat pesan IPCC: kehancuran ekosistem semakin dekat. Maka harus ada pilihan lain dalam cara mengonsumsi.


Kita saat ini telah tiba pada Era Anthropocene ––istilah yang diperkenalkan Paul Crutzen. Era ketika peran manusia demikian dominan. Pertama kalinya dalam sejarah kehidupan lebih dari empat miliar tahun, aktivitas manusia berdampak pada lingkungan dalam skala planet.

Era ini juga disebut sebagai Era Percepatan Luar Biasa (Great Acceleration) karena di era ini terjadi perubahan drastis terhadap ekosistem. Ledakan penduduk mencapai lebih dari 7,6 miliar, memberikan tekanan luar biasa pada alam untuk pemenuhan kebutuhan terutama pada energi, tanah, dan air. Eksploitasi berlebihan karena keserakahan mengonsumsi dan aktivitas pertanian telah menyebabkan tekanan pada kehati (keanekaragaman hayati).

Kehidupan manusia ditopang oleh alam. Kebutuhan akan pangan dan semua produk konsumsi berasal dari alam. Aktivitas manusia terutama dalam aktivitas ekonominya demi memenuhi kebutuhan konsumsinya telah meninggalkan “Jejak Ekologis” yang selama ini tersembunyi. “Jejak Ekologis” merupakan harga ekologis yang harus kita bayar akibat eksploitasi alam untuk pemenuhan bahan baku, proses produksi, hingga rantai suplai.


Aktivitas ekonomi diperkirakan telah menggunakan sumber daya alam senilai 125 triliun dollar AS per tahun (sekitar Rp 1.875 juta triliun, dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS). Sementara luas tanah yang terbebas dari aktivitas manusia tersisa tinggal  25 persen. Diperkirakan luasan itu akan tinggal tersisa 10 persen pada tahun 2050 apabila tingkat penggunaan sumber daya alam bertahan seperti sekarang. Pertanian, skala besar dan skala subsisten tercatat bertanggung jawab pada 40% dan 33%  konversi hutan sepanjang tahun 2000-2010. Sementara, 27% deforestasi terjadi akibat urbanisasi, pembangunan infrastruktur, dan pertambangan.

Tanpa alam yang sehat mustahil manusia masih bisa terus membangun dan berkembang. Ancaman berupa menurunnya kualitas tanah, kekurangan air, dan iklim ekstrem telah menjadi pemikiran tentang kinerja ekonomi makro dan aktivitas finansial.

Degradasi lahan akibat tekanan permintaan akan produk telah mengakibatkan hilangnya kehati. Salah satu rumah kehati yaitu hutan tropis yang merupakan rumah kehati dalam jumlah tinggi. Laporan WWF menggarisbawahi berapa banyak kehati yang telah punah. Secara garis besar terjadi penurunan populasi spesies sekitar 60 persen antara tahun 1970-2014.


Sementara tingkat kepunahan saat ini mencapai 100 hingga 1.000 kali lipat dibanding saat aktivitas manusia belum dominan dalam mempengaruhi kesehatan alam. Namun di sisi lain disadari bahwa nasib jutaan spesies belum menjadi pusat perhatian pengambil kebijakan dan mendorong percepatan perlindungan kehati.

Akan tetapi tidak banyak pihak yang menyadari bahwa pemulihan hutan tropis, rumah besar kehati (keanekaragaman hayati), tak akan pernah mampu mengembalikan atau memulihkan keanekaragaman itu dari fungsi ekosistem yang telah telanjur hilang. Belum lagi peran rumit serangga dan organisme mikro yang menjadi penghubung dalam jejaring ekosistem.

Penghancuran satu habitat bisa melenyapkan satu produk tertentu karena serangga sebagai pembantu proses penyerbukannya telah lenyap. Hilangnya satu mata rantai ekosistem akan menghancurkan mata rantai lainnya.


Kesadaran akan pentingnya lingkungan dan ekosistem bagi keberlanjutan planet dan kehidupan manusia telah ada sejak lahirnya Hari Bumi pada tahun 1992. Namun demikian, eksploitasi terhadap alam tak kunjung surut melainkan justru semakin masif. Fungsi alam di luar fungsi ekonominya sebagai penyedia barang dan jasa, tersisihkan dari imajinasi banyak pembuat kebijakan.

Fungsi lain alam yang terkait dengan kehidupan sosial, spiritual, agama, dan kultural seperti yang telah dihayati masyarakat asli atau masyarakat adat, tak pernah dikalkulasi dan menjadi basis pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.

Semenjak pencanangan Hari Bumi, konferensi demi konferensi yang berisikan diskusi dan negosiasi terkait penyelamatan bumi, pembangunan berkelanjutan, dan penyelamatan keanekaragaman hayati terus bergulir. Semakin banyak dan semakin masif. Frasa-frasa baru bermunculan silih berganti.


Kita masih ingat, enam tahun lalu pada konferensi merayakan Rio+20, lahir frasa “The Future We Want” (Masa Depan yang Kita Inginkan). Berlelah-lelah semua elemen warga dunia dimintai pendapat tentang masa depan yang mereka inginkan. Hasilnya?

Enam tahun setelahnya, sampah plastik menjadi momok baru, bahkan dalam tubuh manusia telah ditemukan remah-remah plastik. Penghancuran hutan terus berlangsung dan pelaku bisa melenggang dengan menunggangi peraturan hukum yang seperti jaring: berlubang banyak. Perburuan, pembunuhan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi tetap marak bahkan meningkat karena modus dan teknologi yang semakin canggih.

Manusia terseret pada ide gigantisme. Meraksasa, mengejar ukuran. Schumacher menangis dari balik kubur. Ide “kecil itu indah” yang dia tawarkan terpuruk ke sudut-sudut gelap keserakahan. Dengan ukuran masif, maka kerusakan lingkungan yang terjadi pun menjadi sangat masif.


Seperti diucapkan Presiden Dewan Internasional WWF, Pavan Sukhdev dalam salah satu sajiannya, manusia terjebak dalam penjara konsep “too big to fail”. Ketika suatu korporasi terlalu besar, maka kejatuhannya bakal membawa risiko yang amat besar sehingga logika (ekonomi) mengatakan: jangan biarkan dia jatuh.

Manakala sebuah perusahaan besar kalah dalam persidangan pun, eksekusi tak berjalan atau pendekatan persuasif  didahulukan. Pameo “pedang hukum majal ke atas tajam ke bawah” terus hidup langgeng.

Namun seiring lahirnya berbagai komitmen global, semuanya pada akhirnya mengerucut pada komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang disepakati anggota PBB pada akhir tahun 2015 dalam bentuk dokumen, Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development.


Tahun 2020 menjadi tahun krusial sebagai langkah antara untuk mencapai TPB. Pada tahun itu komitmen Perjanjian Paris terkait isu perubahan iklim untuk menurunkan emisi karbon telah dimulai, sementara Target Aichi dalam isu keanekaragaman hayati pada tahun yang sama juga memiliki target untuk dicapai.

Tahun 2020, seperti pandangan WWF, akan menjadi tahun penting. Penentu sikap kita manusia sebagai salah satu elemen ekosistem dan Bumi: akan menjadi penghancur atau penyelamat Bumi.

Megutip kalimat penutup Living Planet Report 2018, “Kami adalah generasi pertama yang memiliki gambar jelas akan nilai alam dan dampak luar biasa yang kita timbulkan. Kita mungkin merupakan generasi terakhir yang bisa bertindak untuk membalikkan arah kecenderungan ini. Saat ini hingga 2929 akan menjadi momen menentukan dalam sejarah.”


Namun, saat ini manusia sungguh sedang kehilangan jati dirinya sebagai Homo Sapiens ––makhluk yang mampu berpikir seturut nalar, ketika nalar bersentuhan dengan nafsu keserakahan. Mereka lupa bahwa kehancuran ekosistem dan jejaringnya akan menelan dirinya sendiri karena manusia adalah benang dalam jejaring ekosistem.

Manusia kini seakan telah terselap atau tiba-tiba lupa akan dirinya sebagai manusia yang sejati, Homo Sapiens, makhluk yang berpikir .…

Brigitta Isworo Laksmi
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 6 November 2018

Monday, October 1, 2018

Kontestasi Politik Baju Putih


Baju “kebesaran” Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama-sama putih. Keduanya kini bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. Mereka sama-sama nasionalis dan bercita-cita membesarkan Indonesia. Sama-sama ingin memberikan hasil kerja yang manis bagi rakyat pemilih. Mereka pun siap memperebutkan 196,5 juta suara pemilih (berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum).

Diharapkan, mereka mampu menggelar kampanye berbasis budaya yang menekankan logika (kebenaran), etika (keadaban), dan estetika (keindahan). Kebenaran diproduksi berdasarkan data dan fakta secara obyektif atau mengungkapkan realitas sosiologis, bukan hoaks. Keadaban berporos pada moralitas yang dijunjung tinggi dan diaktualisasi untuk menciptakan berbagai kebaikan publik; bukan jatuh pada pengadilan personal berupa fitnah. Keindahan bersumbu pada nilai-nilai kepantasan dan keanggunan, menjauhi kekerasan verbal maupun fisik. Muara dari kebenaran, keadaban, dan keindahan adalah peradaban bangsa yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.


Semiotik-semantik
Kontestasi Jokowi dan Prabowo secara semiotik dan semantik (baca: keduanya sama-sama menggunakan baju berwarna putih) adalah kontestasi yang berasal dari satu “rahim kesucian niat dan jiwa yang bersih”, layaknya makna warna putih. Warna bukan hanya jadi tanda, melainkan juga mencerminkan kejiwaan sekaligus pesan yang disampaikan penggunanya.

Dengan memilih warna putih, Jokowi dan Prabowo ingin menyampaikan pesan tentang “jiwa bersih dan suci”. Dalam bahasa sosial pesan itu bisa diterjemahkan “perjuangan tanpa pamrih, dedikatif, dan bisa dipercaya”. Begitulah semestinya pemimpin, selalu meletakkan kepercayaan di atas segalanya. Adapun di dalam praktik kepemimpinan, semua makna kebaikan itu menuntut integritas, komitmen dan kapabilitas serta konsistensi.


Untuk celana panjang, Jokowi memilih hitam dan Prabowo memilih coklat muda. Warna hitam pada celana yang dikenakan Jokowi memiliki filosofi: “keberanian, pusat perhatian, ketenangan, kekuatan/keteguhan hati, dan lebih menyukai yang alami daripada yang palsu”. Warna coklat muda pada celana yang dikenakan Prabowo memiliki makna: “mengandung unsur bumi, hangat, nyaman, dan aman”. Secara psikologis warna coklat akan memberi kesan kuat dapat diandalkan. Warna ini melambangkan sebuah fondasi dan kekuatan hidup. Kelebihan lain, warna coklat dapat menimbulkan kesan modern, canggih, dan mahal karena kedekatannya dengan warna emas (goodmind.id).

Jika Jokowi melipat lengan baju, Prabowo memilih mengancingkan lengan baju di pergelangan tangan. Dengan lengan baju dilipat, Jokowi ingin tampil laiknya anak muda tipe pekerja yang tak terikat formalitas. Ekspresif. Sementara Prabowo ingin menunjukkan kesan resmi dan serius. Pada tataran semiotika, kedua capres menunjukkan hal-hal yang ideal dan memberi pesan, “keduanya sama-sama berpotensi untuk dipilih”. Persuasi simbolik ini diharapkan mampu menambah keyakinan pemilih dalam memberikan dukungan suara kepada kedua capres.

Dulu ada yang berjanji untuk setia. Akan tetapi realita membuktikan, bahwa "bla... bla... bla..."

Kesederhanaan dan ide besar
Menilik sejarah kepresidenan republik ini, persoalan karakter dan penampilan merupakan dua hal yang disukai publik. Soekarno selain dikenal sebagai pemimpin cerdas, visioner, dan berani juga selalu tampil dandy. Gagah. Tampan. Berwibawa. Peci hitam, kacamata hitam, baju putih, celana putih, dan tongkat komando merupakan ikon yang selalu melekat pada Putra Sang Fajar itu.

Soeharto yang berlatar belakang militer cenderung tampil ala priayi Jawa. Baju safari, setelan jas, baju batik, dan peci selalu menyertainya. Citra kebapakan yang mengayomi pun tecermin. Penampilan yang tidak terlalu berbeda juga tampak pada BJ Habibie. Citra teknokrat melekat cukup kuat.

Abdurrahman Wahid, di luar setelan jas, cenderung mengenakan baju batik dan peci. Citra kesantrian sangat kuat. Megawati Soekarnoputri tampil dengan citra kuat seorang ibu, dengan mengenakan kebaya. Rapi dan elegan. Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang berlatar belakang militer selalu tampil elegan dan berwibawa, baik ketika mengenakan jas maupun baju batik. Citra kesantunan, kecerdasan, ketenangan, dan kehati-hatian terpantul dari SBY. Bagaimana dengan Jokowi? Berlatar belakang orang biasa, rakyat jelata, Jokowi tampil sederhana dengan baju putih dan celana hitam, kadang-kadang baju batik. Ia berpenampilan ala anak muda.


Kontestasi Jokowi dan Prabowo berlangsung secara politik dan simbolik. Gaya dan kostum Prabowo mendekati gaya presiden-presiden RI yang resmi dan serius. Adapun gaya dan penampilan Jokowi cenderung sederhana dan tidak formal.

Pilihan pada kostum dan gaya penampilan sejatinya tidak jauh dari cara berpikir dan karakter seseorang. Kesederhanaan Jokowi mencerminkan cara pandang dan karakter dirinya yang lebih memilih nilai-nilai berbasis tindakan (praksis) daripada teori muluk-muluk. Hal ini dia terjemahkan dalam slogan “kerja, kerja, dan kerja”. Jokowi adalah seorang praktisi. Nilai atas peran sosial ditentukan secara empiris.

Adapun Prabowo cenderung menyukai gagasan-gagasan besar seperti isu nasionalisme, kejayaan Indonesia, antidominasi dan hegemoni asing, pentingnya harkat-martabat bangsa, dan lainnya. Ia selalu menggunakan gaya retorika ketika berpidato. Baginya, berpidato selain memaparkan ide juga menggembleng rakyat. Citra yang dibangun Prabowo adalah pentingnya ketegasan bagi seorang pemimpin.


Dua-duanya menarik. Tentu masing-masing memiliki pendukung, baik secara ideologis, rasional, maupun emosional. Kontestasi niscaya akan berlangsung sangat ketat. Jumlah suara yang diperebutkan Jokowi dan Prabowo, menurut KPU, sekitar 196,5 juta. Sekitar 40 persen dari jumlah pemilih adalah generasi milenial. Mereka berkomitmen pada pemilu damai.

Masyarakat menunggu penubuhan (perwujudan) pemilu damai ini sehingga Pilpres 2019 lebih mengutamakan nilai, gagasan, serta produk-produk politik yang bermakna bagi penguatan kebangsaan dan peningkatan kesejahteraan publik. Ini jumbuh atau menyatu dengan niat suci mereka yang disimbolkan dengan baju putih yang dikenakan.

Indra Tranggono,
Pemerhati Kebudayaan
KOMPAS, 29 September 2018

Wednesday, September 12, 2018

Berawal dari Perpustakaan Keluarga


Sebelum mampu membaca, ia lebih dulu mengamati benda-benda yang tertata di rak dalam rumahnya. Setiap saat, setiap kali bermain-main di dalam rumah, ia kerap berhenti di depan rak-rak itu: memandangi benda-benda di dalamnya yang ditata berjajar, atau kadang pula hanya ditumpuk begitu saja. Sebagai anak-anak, ia terpukau, lalu bergumam, “Benda apakah ini? Untuk apa benda-benda ini? Apakah benda-benda ini bisa dimakan?”

Bertahun-tahun kemudian, ia baru tahu bahwa benda-benda yang membuatnya terpukau di masa kecilnya dahulu bernama buku. Ketika mulai mengenal tulisan dan sedikit demi sedikit bisa membacanya, ia membuka buku-buku itu perlahan-lahan. Kadang, ia mengerti apa yang dibacanya, tetapi kadang pula dahinya mengernyit karena tak mampu mencerna apa yang tertulis pada halaman-halamannya yang, apabila dibuka, menguarkan aroma kertas yang khas. Dalam ketidakmengertian itu, ia hanya melihat ilustrasi-ilustrasi di dalamnya, yang kadang membuatnya merenung atau tersenyum. Apabila tidak, ia akan meletakkan buku itu begitu saja, lalu mengambil buku yang lain lagi.


Demikianlah, di usia kanak-kanak, ia sudah memiliki keterpukauan dan kekariban yang luar biasa pada makhluk bernama buku. Di rak berisi sekitar 1.500 buku koleksi ayahnya itulah, ia menghabiskan hampir sebagian besar masa kecilnya. Dari keterpukauan pada kata-kata dan kekariban pada aroma kertas yang khas pada setiap buku itu pula, kemudian ia belajar menulis dan bercita-cita menjadi seorang penulis.

Puluhan tahun kemudian, keterpukauan dan kekariban yang dirawatnya bertahun-tahun itu pun berbuah: ia diganjar penghargaan Nobel Sastra dunia pada tahun 2006 untuk novelnya, “Namaku Merah Kirmizi.” Ya, dialah Orhan Pamuk, salah satu sastrawan besar abad ini yang lahir di kota Istambul, Turki.

Orhan Pamuk mengisahkan pengalaman masa kecilnya bersama buku-buku koleksi sang ayah itu dengan menulis “Koper Milik Ayahku,” sebuah esai panjang, yang ia baca pada pidato penganugerahan nobelnya. Bagi Pamuk, perpustakaan keluarganya tersebut memiliki peran penting tidak hanya dalam membentuk karier kepenulisannya, tetapi juga membentuk pribadinya, membentuk cara pandangnya dalam menatap manusia, dunia, dan kehidupan.


Di negeri kita sendiri, dalam khazanah sastra Indonesia, kita mengenal nama Seno Gumira Ajidarma dan Acep Zamzam Noor. Pada sebuah ceramah tentang proses kreatifnya, Seno berkisah, sejak kecil, ia hampir tak pernah melihat dinding rumahnya. Sekujur dinding rumah Seno tertutup buku-buku yang jumlahnya ribuan milik ayah dan ibunya.

Kemudian, pada sebuah esai tentang proses kreatifnya, Acep Zamzam Noor menulis bahwa perkenalannya pertama kali dengan tulisan adalah melalui buku-buku dan koran koleksi ayahnya, juga majalah-majalah berbahasa Sunda koleksi ibunya. Kini, keduanya memetik hasil dari keakraban bersama buku, koran, dan majalah-majalah itu di masa kecilnya. Seno menjadi salah satu penulis cerpen dan novelis terkemuka di Indonesia, sedangkan Acep menjadi penyair, esais dan pelukis dengan karya-karya yang mengagumkan.

Selain Seno Gumira Ajidarma dan Acep Zamzam Noor yang mengawali titik proses kreatifnya melalui perpustakaan keluarga, kita juga mengenal Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Soekarno kecil tumbuh dengan buku-buku dan koran-koran berbahasa Belanda milik Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayahnya. Sementara Abdurrahman Wahid menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan buku-buku juga koran dan majalah milik KH Abdul Wachid Hasyim, bapaknya, yang juga salah satu tim perumus kemerdekaan Indonesia dan menteri agama pada era Soekarno.


Pemikir kritis
Dari perpustakaan Raden Soekemi itulah, Soekarno merintis jalan sebagai seorang pemikir yang kritis dan aktif dalam pergerakan nasional menentang kolonialisme. Dan, dari perpustakaan Kiai Wachid itu pula, Gus Dur merintis jalan hidupnya sebagai santri kelana hingga menjadikannya seorang maestro dalam pemikiran ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, juga pejuang kemanusiaan yang hingga kini mengharumkan bangsa Indonesia di seluruh dunia.

Bukan kebetulan kemudian apabila keduanya sama-sama menjadi presiden Republik Indonesia. Bung Karno menjadi presiden pertama, sedangkan Gus Dur menjadi presiden keempat. Tak hanya menjadi presiden, keduanya pun dikenal sebagai pemikir kebangsaan yang memiliki ide-ide brilian saat menjalankan roda pemerintahan negara. Kebijakan-kebijakan yang dibuat kedua presiden yang sama-sama pemikir ini tidak berangkat dari kehampaan, tetapi dari imajinasi yang orisinal dan mengagumkan tentang Indonesia masa depan. Imajinasi kreatif yang dimiliki keduanya tidak jatuh dari langit begitu saja, tetapi buah dari petualangan-petualangan mereka melalui bacaan-bacaan luas dari buku-buku, koran, dan majalah di masa kecilnya.

Betapa dahsyatnya manfaat perpustakaan keluarga terhadap perkembangan anak. Perpustakaan keluarga tidak hanya menjadi ruang tempat anggota keluarga menyimpan buku, koran, atau majalah yang sudah tidak dibaca, misalnya. Lebih dari sekadar itu, perpustakaan keluarga dapat menjadi ruang tempat anak-anak kita mengawali proses kreatif atau penjelajahan inteligensinya.

Patung Bung Karno sedang memegang buku.

Selain usia meniru, usia kanak-kanak juga merupakan masa-masa pertumbuhan yang dipenuhi rasa ingin tahu. Pada usia ini, anak-anak selalu ingin tahu pada benda-benda di hadapannya, atau penasaran pada apa pun yang ada di sekelilingnya. Berawal dari memandang, mengamati, menyentuh, memegang, lalu membuka-buka halaman demi halaman, anak mengawali perkenalannya dengan buku.

Perkenalan dengan buku di masa kanak-kanak semakin penting, terutama di zaman ini, zaman ketika gawai (gadjet) telah merebut hampir seluruh waktu manusia, termasuk anak-anak dan dunianya. Meski sama-sama bisa merebut perhatian atau menyedot konsentrasi anak, pengaruh buku dan gawai berbeda.

Saat berhadapan dengan buku, seorang anak akan dibawa pada petualangan dari tempat yang satu ke tempat lain, dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain, dari karakter yang satu ke karakter yang lain, dalam sebuah dunia yang dibentangkan penulis ke hadapannya melalui kata demi kata. Petualangan bersama buku adalah sebuah petualangan membaca yang membuat anak berpikir kreatif dengan cara menyusun keping-keping imajinasinya; mereka-reka atau mempertanyakan apa yang dibacanya dengan nalar kritis; serta melatih kepekaannya pada kata, diksi, dan metafora. Kisah-kisah, dongeng, catatan perjalanan, atau apa pun yang termaktub dalam buku, niscaya akan melibatkan emosi, kognisi, dan inteligensi mereka secara aktif.


Untuk memiliki perpustakaan keluarga, tidak harus menunggu hingga memiliki koleksi sekitar 1.500 buku seperti Orhan Pamuk, atau memiliki ribuan buku yang memadati sekujur dinding rumah sebagaimana Seno Gumira Ajidarma. Perpustakaan keluarga dapat dimulai dari lima buku, sepuluh buku, dua puluh buku, hingga seterusnya. Yang terpenting bukan jumlah, melainkan bagaimana buku-buku itu ada di dalam rumah hingga merangsang keingintahuan anak dan mampu menyedot perhatiannya.

Perpustakaan keluarga juga dapat membantu perkembangan dan pelajaran anak pada satuan pendidikannya. Di sekolah, akan tampak berbeda antara anak yang memiliki perpustakaan keluarga dan yang tidak; antara anak yang menyukai buku dan yang tidak. Dengan demikian, menghadapi anak yang memiliki perpustakaan keluarga di rumahnya, posisi guru di sekolah tidak lagi sebagai sumber, tetapi sebagai partner yang menemani anak dalam memasuki dunia kreatif karena anak tersebut sudah memiliki bekal bacaan yang kaya.

Oleh karena begitu penting dan sangat bermanfaatnya perpustakaan keluarga, dalam hal ini ada dua pihak yang harus berperan aktif guna mewujudkannya. Pertama, orangtua. Orangtua perlu memiliki kesadaran betapa pentingnya buku atau bacaan-bacaan apa pun, seperti koran dan majalah, bagi anak. Dengan kesadaran ini, orangtua semestinya mulai mengumpulkan buku sedikit demi sedikit, lalu menatanya pada rak yang sudah dipersiapkan di dalam rumah.


Kedua, pemegang kebijakan. Pemegang kebijakan adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga dan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, perlu mengampanyekan dan menyosialisasikan program “satu rumah satu perpustakaan keluarga.” Perpustakaan keluarga, selain bisa menjadi ruang kreatif keluarga, juga dapat mendukung pendidikan anak di satuan pendidikan untuk mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang tidak hanya kondusif, tetapi juga kreatif-inovatif sebagai kunci keberhasilan pendidikan.

Membangun perpustakaan keluarga, menyediakan buku-buku dan bacaan bagi anak di dalam rumah, tidak untuk menjadikan anak kita sebagai sastrawan atau presiden. Menjadi sastrawan, presiden, atau menjadi apa pun, yang penting kelak ia menjadi anak yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Ahmadul Faqih Mahfudz,
Penulis Kebudayaan
KOMPAS, 24 Agustus 2018

Sunday, August 19, 2018

Proklamasi Indonesia Merdeka


“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. 
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan
tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”

Bisakah kita menyebut ironi jika negara sebesar dan seluas Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia (Encyclopedia of the Third World, disusun oleh: George Kurian, buku ke-2), dengan 17 ribu lebih pulau, ribuan suku, bahasa dan adat-istiadat, dinyatakan kemerdekaanya lewat sebuah teks yang panjangnya hanya 23 kata atau 196 karakter?

Sebagai ilustrasi, kemerdekaan Amerika Serikat dinyatakan lewat teks sepanjang 1.322 kata atau 7.981 karakter. Kita mengenalnya sebagai Declaration of Independence.

Di luar panjang-pendeknya dua naskah itu, kita dengan amat mudah menemukan sejumlah perbedaan di antara keduanya.

Proklamasi ditandatangani oleh hanya dua orang saja, yaitu Soekarno-Hatta, yang mengatasnamakan bangsa Indonesia. Sementara Declaration of Independence ditandatangani oleh 57 orang yang mewakili 13 daerah.

Apakah Soekarno-Hatta ingin tampil hanya berdua saja? Tentu tidak!

Pada dini hari 17 Agustus 1945, setelah teks proklamasi berhasil disusun, Soekarno mengusulkan agar proklamasi ditandatangani oleh semua hadirin yang datang, seperti juga Declaration of Independence. Ini menimbulkan debat yang bertele-tele. Pada saat itulah, Chairul Saleh, salah satu wakil angkatan muda yang hadir, mengusulkan agar cukuplah Soekarno-Hatta saja yang menandatangani dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia. Dan usul Chairul Saleh ini langsung diamini hadirin.


Apa artinya ini?

Kita bisa bertanya, kenapa Chairul Saleh, Soekarni hingga Wikana melewatkan begitu saja kesempatan emas untuk mencatatkan namanya dalam teks yang begitu penting dan bersejarah itu?

Adakah para pemuda itu merasa minder di hadapan “duet orang tua” yang tiga hari sebelumnya pernah mereka paksa untuk secepatnya memerdekakan Indonesia dan sehari sebelumnya berhasil mereka culik ke Rengasdengklok?

Tidakkah mereka sadar bahwa dengan mengusulkan hanya Soekarno-Hatta saja yang menandatangani proklamasi, mereka telah ikut andil dalam melahirkan sebuah teks yang dari penampilan lahiriahnya mudah untuk ditafsirkan sebagai teks yang “elitis”?

Saya belum menemukan daftar lengkap siapa saja orang-orang yang hadir pada malam itu. Tapi dari memoar Kasman Singodimedjo, mantan komandan PETA yang kelak menjadi ketua KNIP pertama, saya menemukan penjelasan bahwa sikap angkatan muda itu didorong oleh keinginan untuk menutup kemungkinan orang-orang yang bekerjasama dengan Jepang yang hadir malam itu untuk ikut-ikutan menandatangani teks Proklamasi. Para pemuda khawatir jika kemerdekaan Indonesia akan dianggap sebagai hadiah dari Jepang.

Jika benar penjelasan Kasman, ironi sebenarnya tidak berhenti begitu saja. Alih-alih menghindari terlalu banyak orang yang bekerjasama dengan Jepang yang ikut menandatangani Proklamasi, bukankah menyepakati Soekarno-Hatta saja yang menandatangani sebagai sikap yang malah bisa kian menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanyalah hadiah Jepang? Bukankah Soekarno-Hatta adalah orang yang bekerjasama dengan Jepang melalui Pusat Tenaga Rakyat (Putera)?

Karena sadar bahwa Soekarno-Hatta adalah orang yang bekerjasama dengan Jepang itulah maka Soekarno-Hatta akhirnya menunjuk Sjahrir untuk memimpin KNIP (semacam parlemen dalam bentuknya yang sederhana) dan akhirnya menyepakati ditunjuknya Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada November 1945? Sjahrir, bersama Amir Sjarifuddin, adalah contoh dari pemimpin pergerakan yang menolak bekerjasama dengan Jepang.

Sjahrir ini pula yang pernah menyiapkan sebuah teks proklamasi yang sempat dibacakan oleh Dr. Soedarsono (ayah dari Menlu RI Juwono Soedarsono) di daerah Kosambi, Cirebon (sekarang di sekitar Rumah Sakit Gunung Jati, Cirebon), pada 16 Agustus 1945. Sjahrir menuliskan teks proklamasi pada 15 Agustus 1945, dua hari lebih dulu dari teks proklamasi yang kita kenal sekarang. Teks itu sempat pula beredar di tangan orang-orang yang pada malam 16 Agustus 1945 hadir dalam rapat penyusunan teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda.


Kira-kira, apa jadinya jika teks proklamasi buatan Sjahrir yang akhirnya dibacakan? Akan berubahkah wajah revolusi Indonesia, jika kata revolusi bisa disebut di situ?

Sayang saya tidak pernah membaca utuh teks proklamasi kemerdekaan yang ditulis oleh Sjahrir. Saya tidak juga menemukan teks itu dalam biografi terlengkap Sjahrir yang ditulis oleh Rudolf Mrazek.

Sjahrir, yang saya kenal dari tulisan-tulisan dia yang melimpah, adalah prototipe pemimpin pergerakan yang banyak sekali menulis tema-tema yang rumit, dari filsafat, politik, ekonomi, budaya hingga kesusasteraan. Di sekujur tulisan-tulisannya, kentara benar semangat menghargai harkat kemanusiaan dan hak-hak manusia. Pandangan ini pula yang membuatnya mengritik tajam gagasan revolusi yang penuh kekerasan seperti digelar oleh para pemuda yang bersemangat di bulan-bulan pertama kemerdekaan.

Di hari-hari pertama menjadi Perdana Menteri, Sjahrir bahkan menerbitkan buku tipis Perjuangan Kita yang banyak sekali mengritik gagasan-gagasan revolusi yang baginya berpotensi mengebiri kemanusiaan. Sjahrir selalu was-was dengan apa yang dilakukan oleh Stalin di Sovyet.

Jika demikian, saya berandai-andai, mungkinkah Proklamasi ala Sjahrir jauh lebih eksplisit menyuarakan penghormatan atas hak-hak asasi manusia seperti yang dinyatakan dengan eksplisit dalam Declaration of Inependence? Mungkinkan Sjahrir akan “membayar” absennya dia dalam sidang-sidang BPUPKI yang membuat Hatta dan Yamin harus kerepotan menahan gempuran Soekarno-Soepomo yang keukeuh menolak dimasukkannya klausul hak-hak warga negara dalam konstitusi Indonesia?

Pengandaian saya itu tentu saja hanya menjadi pengandaian karena nyatanya kita hanya mengenal teks Proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, sebuah teks yang panjangnya hanya 23 kata, yang secuil pun tak berbicara ihwal hak-hak kemanusiaan. Teks proklamasi lebih mirip sebuah pengumuman. Ya, hanya sebuah pengumuman yang benar-benar umum.

Unsur pengumuman kemerdekaan sebuah bangsa sebenarnya bisa kita temukan dalam Declaration of Independence. Bedanya, Declaration of Independence juga memuat keyakinan-keyakinan filosofis yang mendasari gerakan kebangsaan Amerika. Sampai-sampai, seperti yang pernah saya baca dari paper Ignas Kleden yang diterbitkan dalam rangka peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-50, Declaration of Independence menghadirkan sebuah komposisi yang tampak seperti pemaparan yang digerakkan oleh logika Aristotelian.


Begini kira-kira komposisinya.

Premis mayor: Kita akan menemukan pernyataan yang bisa dibaca sebagai premis mayor pada paragraf kedua. Di sana tertulis: “Kami berpegang teguh pada kebenaran-kebenaran ini, bahwa semua manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka dianugerahi pencipta-Nya Hak-hak asasi yang melekat, di antaranya adalah kehidupan, kemerdekaan dan hak untuk mencapai kebahagiaan. Untuk melindungi hak-hak itu, pemerintahan-pemerintahan pun dibentuk di antara manusia, kekuasaan mereka berasal dari yang diperintah, sehingga kapan saja sebuah bentuk pemerintah menjadi bersifat merusak terhadap tujuan ini, menjadi hak rakyat untuk menggantinya atau menghapuskannya, dan membentuk pemerintahan baru, yang berlandaskan prinsip-prinsip tertentu, sehingga bagi orang-orang, hal ini dinilai paling bisa menjamin keselamatan dan kebahagiaan mereka.

Premis minor: “Sekarang ini, sejarah raja Inggris Raya adalah sejarah perampasan dan kejahatan yang dilakukan secara berulang-ulang, yang memiliki tujuan langsung yaitu untuk mendirikan suatu tirani mutlak ….

Kesimpulan: “Karena itu, kami… dengan khidmat mengeluarkan dan mengumumkan bahwa koloni-koloni yang bersatu ini adalah berhak menjadi negara-negara yang bebas dan merdeka.

Logika Aristotelian (yang kondang dengan sebutan silogisme) dibangun oleh keberadaan dua premis yaitu premis mayor dan premis minor. Premis mayor diisi oleh pernyataan yang sifatnya umum (katakanlah universal). Sementara premis minor berisi pernyataan yang sifatnya lebih khusus. Dari sanalah kemudian dibangun kesimpulan.

Apa yang saya kutipkan di atas sebagai premis mayor sepenuhnya berisi asumsi-asumsi filosofis yang mendasar yang mengalas-dasari hak merdeka setiap bangsa, yang dalam diri setiap manusia diandaikan memiliki hak-hak dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada mereka.

Sementara yang saya kutipkan sebagai premis minor berisi pernyataan situasi khusus, konkrit yang dianggap tidak sesuai dengan hak-hak dasar yang diberikan Sang Pencipta, di mana kerajaan Inggris didakwa telah menggelar sejarah perampasan dan kejahatan.

Sementara bagian yang saya kutip sebagai kesimpulan dimaknai sebagai “kata akhir” yang disepakati oleh para founding fathers Amerika sebagai jalan untuk mengembalikan dan menegakkan persamaan dasar dan hak-hak asasi manusia.

Declaration of Independence, terutama bagian-bagian yang saya sebut sebagai premis mayor, kalau saya boleh bilang, menggemakan kembali semangat yang bisa kita temukan dalam karya John Locke, terutama naskah Second Treatise of Government, yang menggambarkan dengan baik upaya Locke untuk mentransformasi hak-hak dasar warga Inggris menjadi hak-hak manusia yang sifatnya universal. Jefferson sendiri, seperti yang saya baca dari buku Profiles in Courage yang ditulis John F Kennedy, mengakui inspirasi yang diberikan John Locke.


Selain itu, semangat Declaration of Independence juga dipicu oleh seratus ribu kopi buku tipis Thomas Paine yang beredar tiga bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Amerika dibacakan pada 4 Juli 1776.

Buku tipis Paine yang berjudul Common Sense itu secara terang-terangan mengritik monarki Inggris yang diwariskan turun temurun. Paine menyodorkan pilihan untuk tunduk pada tirani Inggris ataukah kebebasan dan kebahagiaan sebagai republik yang merdeka dan mandiri. Dengan nada yang telengas, Paine menulis: “Seorang lelaki yang jujur jauh lebih berguna ketimbang semua cecunguk dan antek-antek kerajaan yang pernah ada.

Declaration of Independence, diolah oleh sebuah komite yang terdiri dari lima orang, di antaranya adalah Thomas Jefferson. Dan Jefferson, disebut-sebut telah menulis sebagian besar naskah itu. Ketika itu Jefferson baru berusia 33 tahun, 8 tahun lebih muda dari Soekarno dan 7 tahun lebih muda dari Hatta ketika keduanya bersama-sama merumuskan Proklamasi.

Declarations of Independence, yang lebih mirip sebuah esai, kontras benar bila dibandingkan dengan proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, yang sama sekali tak ada argumen filosofis di sana. Poklamasi Indonesia hanya berisi pengumuman. Jika logika Aristotelian masih bisa disebut di sini, teks Proklamasi langsung meloncat pada bagian “kesimpulan”.

Di sana ada pengumuman bahwa sebuah bangsa telah menyatakan kemerdekaannya, seperti terbaca dalam kalimat pertama yang berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.”

Dengan cara apa kemerdekaan itu dinyatakan? Dengan cara apa kemerdekaan itu diisi? Dan untuk apa kemerdekaan itu dinyatakan?

Pertanyaan-pertanyaan itu, juga deretan pertanyaan lain, tak akan pernah kita temukan jawabannya dalam teks Proklamasi. Di sana hanya akan kita temukan sebuah pengumuman yang benar-benar umum dan sama sekali tak memberi informasi yang memadai: “Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Ada dua hal mencolok mata. Pertama, keberadaan kata “d.l.l” (Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.). Bayangkan, dalam teks yang sudah demikian pendek pun masih ada kata “d.l.l”. Jadi, teks yang sudah amat pendek itu pun masih coba diperpendek lagi.


Kedua, ketiadaan “subyek” dalam kalimat kedua (Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.).

Siapa yang memindahkan? Dari siapa dipindahkan? Jepang-kah? Bukankah Jepang tidak layak memerdekakan karena ia sendiri sudah kalah dalam perang? Sekutu-kah? Nyatanya Sekutu belum lagi datang dan baru datang pada bulan-bulan terakhir September 1945? Siapa yang akan menyusun pemindahan itu secara cermat? Soekarno-Hatta kah? Bukankah Soekarno-Hatta belum dipilih oleh rakyat Indonesia? Lagipula, adakah rakyat Indonesia dalam sebuah negara yang baru keesokan harinya dideklaraskan? Apa pula maksudnya kata “cermat” dan “tempo yang sesingkat-singkatnya” di dalam kalimat itu?

Kita tidak akan pernah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dari teks itu sendiri. Teks itu memang bersejarah, tapi jika membacanya hanya dalam selintas pandang, teks Proklamasi sama sekali tak ada keterangan atau pun nukilan yang bisa direnungkan sebagai kata mutiara, aforisme, quotations, atau apa pun namanya. Tak ada kata-kata yang canggih, retorika yang cemerlang, atau pun nada yang gagah. Teks proklamasi itu begitu datar, juga dingin.

Teks Proklamasi, pada level-level tertentu, tak ubahnya sebagai pengumuman yang dari sana, kelahiran sebuah bangsa yang merdeka hendak diumumkan.

Apa risikonya sebuah teks yang diniatkan hanya sebagai tulisan pengumuman? Risikonya terletak pada kesementaraan teks itu. Seperti jika kita membaca sebuah pamflet yang mengabarkan sebuah acara, begitu kita tahu di mana dan kapan acara yang diwartakan itu digelar, selesai pula tugas pamflet pengumuman itu. Setelah tugas memberi tahu atau mengumumkan itu terlaksana, teks kemudian berubah menjadi arsip.

Apa boleh buat, teks Proklamasi memang dibuat dengan tergesa-gesa. Jika Declaration of Independence sudah dirancang sejak Juni 1776, dan baru dibacakan secara resmi pada 4 Juli 1776. Sementara Proklamasi ditulis dan dibacakan hanya dalam rentang waktu tidak sampai sehari semalam.

Semuanya serba tergesa dan juga tak menentu. Kenapa orang-orang yang malam itu berkumpul di kediaman Laksamana Maeda tidak mencoba mengadopsi Mukaddimah UUD 1945 yang sudah disepakati pada penutupan sidang BPUPKI pada 17 Juli 1945, barangkali seperti Jefferson mengadopsi butir-butir pemikiran John Locke ke dalam Declaration of Independence?


Mukaddimah UUD 1945, yang tujuh kali lebih panjang dari teks Proklamasi (terdiri atas 177 kata atau 1.415 karakter), punya kemiripan dengan Declaration of Independence. Paragraf pertama Mukaddimah menyuarakan semangat yang sama dengan paragraf yang saya kutip sebelumnya sebagai premis mayor Declaration of Independence. Di sana tertulis: “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Mungkin alasan tidak mengadopsi Mukaddimah UUD 1945 ke dalam teks Proklamasi digerakkan oleh kekhawatiran kemerdekaan Indonesia tak lebih sebagai pemberian Jepang, mengingat Mukaddimah UUD 1945 lahir dari BPUPKI yang merupakan bentukan Jepang.

Tapi di situlah ironinya. Seperti apa pun teks proklamasi itu, apakah diadopsi dari Mukaddimah UD 1945 yang dilahirkan oleh lembaga bentukan Jepang maupun bukan, toh Proklamasi itu disusun di rumah Laksamana Maeda, seorang perwira tinggi balatentara Jepang. Nuansa Jepang akan selalu ada dalam setiap detail upaya peralihan dan pemindahan kekuasaan itu, langsung atau tidak, disengaja atau tidak, diakui atau tidak.

Lagipula, Mukaddimah UUD 1945 berikut pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 yang dihasilkan BPUPKI disusun dengan waktu yang juga pendek. Bayangkan, waktu penyusunan UUD 1945 yang terdiri dari puluhan pasal dan kelak akan menjadi konstitusi negara, disusun dalam waktu yang lebih pendek dari penyusunan Declaration of Independence. Mukaddimah, draft UUD 1945 hingga Pancasila disusun hanya dalam “tempo jang sesingkat-singkatnja”, hanya dalam waktu 13 hari saja (5 hari dalam sidang I BPUPKI dan delapan hari dalam Sidang II BPUPKI).

Pendeknya, UUD 1945, juga dihasilkan dalam satu periode yang pendek, tergesa-gesa dan didera oleh banyak sekali ketidakpastian.

Saya pernah membaca 3 jilid Risalah BPUPKI yang disusun oleh Muhammad Yamin. Beberapa kali saya menemukan keterangan bagaimana perdebatan yang serius mendadak dihentikan oleh Radjiman Wediodiningrat, seorang bangsawan Jawa yang menjadi Ketua Sidang BPUPKI. Sering sekali Radjiman menyetop perdebatan dengan ketukan palu yang disertai seruan: “Sudah, kita stem (voting) saja!

Kadang-kadang muncul interupsi dan protes yang meminta agar perdebatan dan segala duduk perkara yang dipersoalkan dibiarkan jelas dulu. Tapi bukan sekali dua kali, jika Radjiman bersikeras berseru: “Siapa yang setuju silaken berdiri selekas-lekasnya!

Saya bisa mengerti jika Taufik Abdullah pernah berkomentar: “Sekiranya pembicaraan di sidang-sidang BPUPKI diperlakukan hanya sebagai sumber sejarah pemikiran, barangkali kita akan berhadapan dengan sumber sejarah yang menjengkelkan.

Bagaimana pun, dengan gaya “kita stem saja” itu, sebuah konstitusi telah berhasil dirumuskan. Dengan perdebatan-perdebatan yang seringkali belum tuntas, bentuk negara, wilayah republik, struktur negara dan pemerintahan berhasil dibentuk dalam waktu yang begitu terbatas (karena waktunya memang dibatasi oleh Jepang).

Dari kiri ke kanan: Dr. Radjiman Wediodiningrat, Kusumo Yudo, Raden Mas Ngabeihi. (Sumber: Memory of Netherlands). Sebelah kanan adalah patung Dr. Radjiman di Ngawi.

Begitu juga teks Proklamasi. Pernyataan kemerdekaan yang sudah dimimpi-mimpikan puluhan tahun sebelumnya, mau tidak mau, harus dirumuskan dan diselesaikan dalam waktu beberapa jam saja, dipenuhi ketergesa-gesaan, ketidakpastian dan juga keraguan.

Semuanya, baik UUD 1945 berikut Mukaddimah-nya dan juga teks Proklamasi, dibuat dalam (pinjam kalimatnya Proklamasi) “tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Bagi saya, baik teks Proklamasi maupun teks-teks yang dihasilkan oleh BPUPKI, lebih merupakan dokumen yang merekam dengan baik keberanian sekaligus ketakutan, keyakinan sekaligus keraguan, kekeras-hatian sekaligus juga kerendah-hatian.

Keberanian, keyakinan dan kekeras-hatian itu tercermin dari keberhasilan mereka menyelesaikan UUD 1945 dan juga teks Proklamasi yang begitu pendek itu.

Mereka, para founding fathers itu, menyusun semuanya dalam keyakinan bahwa biar bagaimana pun negara Indonesia yang merdeka mesti direalisasikan. Mereka berada dalam situasi yang tak memungkinkan mereka kembali pada masa silam. Mereka sudah tak mungkin lagi mempercayai nasib mereka diserahkan kepada orang-orang asing. Nasib mereka mesti diserahkan pada diri sendiri.

Mereka tak bisa lagi berlama-lama berpikir dan merenung. Bukan karena mereka tak mampu berpikir dan tak mampu merenung. Sebagian terbesar dari mereka adalah para penulis, pemikir dan intelektual yang tangguh.

Masalahnya, Jepang sudah kalah dan Sekutu hanya tinggal menunggu waktu untuk meringkus semuanya. Situasi inilah yang membuat mereka tak bisa lagi banyak merenung dan berpikir dan akhirnya diam-diam sepakat dengan gaya “Kita stem saja” yang dilakukan Radjiman berkali-kali dalam sidang BPUPKI.

Orang yang begitu berhati-hati dalam berpikir dan bertindak seperti Hatta pun akhirnya larut dalam arus “Kita stem saja” itu. Dalam situasi-situasi genting itu, barangkali orang-orang seperti Hatta ingat kata-kata Hamlet, pangeran peragu dan bimbang dari Denmark dalam drama Shakespeare, yang akhirnya berani juga bertindak seraya menarik kesimpulan bahwa terkadang berlarut-larut dalam pikiran, “sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut.

Adalah tidak masuk akal berharap para founding fathers itu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik, sempurna, tanpa lobang di sana-sini, sama tidak masuk akalnya dengan memperlakukan semua fondasi yang mereka letakkan sebagai barang keramat yang tak tersentuh.


Proklamasi dan juga draft UUD 1945 hasil sidang BPUPKI tidak lahir dari sebuah “jamuan makan malam yang rapi, tenang, dan diatur dengan tata krama secermat para bangsawan Inggris mengatur sebuah resepsi”.

Jika hari ini negara-bangsa yang mereka bidani, berdiri goyah oleh berderet masalah, saya lebih percaya bahwa negara ini telah terlalu lama “salah urus”.

Saya tidak tertalu tertarik dengan orang-orang yang percaya negara ini “sudah salah dari sononya”. Kesimpulan bahwa negara ini “sudah salah dari sononya” adalah argumen yang tidak mau tahu betapa tidak mudahnya mengambil keputusan dan merumuskan sesuatu dalam situasi yang tergesa-gesa dan penuh ketidakpastian.

Saya belum bisa mengerti argumen bahwa negara ini “sudah salah dari sononya”. Jika “sudah salah dari sononya” sama dengan menyalahkan sikap para pendiri republik ini untuk berani mengambil sikap dan keputusan untuk menyatakan merdeka, apa alternatif lainnya? Tetap membiarkan diri dalam tindasan kolonialisme? Menyerahkan semuanya pada apa yang akan diberikan oleh arus sejarah?

Pada momen seperti itulah mereka memanfaatkan betul apa yang dipercaya oleh kaum idealisme Jerman sebagai “kebebasan bertindak dan memilih” atau dalam kata-kata John F Kennedy, pada halaman-halaman awal Profiles in Courage, yang menjadi salah satu favorit saya: “Turut melibatkan diri (dalam sejarah) jauh lebih banyak artinya ketimbang sekadar berjalan bersama.

Mereka diliputi oleh suasana sakral eksistensial yang disertai oleh sense of destiny: tiba-tiba mereka berada dalam situasi ketika corak dan arah masa depan bangsa ini sedikit banyak tergantung dari skenario yang akan mereka tulis.

Mestikah diherankan jika sepanjang proses itu berbagai ketidakpastian dan keraguan tentang kesesuaian dari segala yang mereka bayangkan dan tuliskan dengan realitas masa depan menguar di mana-mana. Mereka sadar bahwa situasinya masih serba terbuka pada segala kemungkinan dan kesempatan, tetapi juga masih terbuka dari segala macam kemungkinan bencana dan nestapa.

Proklamasi adalah dentang bel yang menyatakan bahwa para pendiri Republik ini bersiap untuk masuk ke alam sejarah yang tak sepenuhnya mereka mampu prediksi.

Dengan cara itulah barangkali kita bisa lebih memahami kenapa Proklamasi disusun dengan nada yang begitu datar, dingin dan begitu pendek. Mereka terlalu gentar dan gemetar untuk sok-sokan menyusunnya dengan nada yang indah, seperti sebuah libretto dalam pentas opera yang kerap dihadiri Sjahrir di negeri Belanda selama masa kuliah, apalagi untuk menyusun Proklamasi dengan nada yang gagah dan filosofis.


Dengan mencoba memahami situasi eksistensial yang serba mencekam itulah saya mencoba memahami bagaimana mungkin kata “d.l.l.” bisa muncul dalam teks Proklamasi yang memang sudah benar-benar pendek itu.

Biarlah saya mengutip kata-kata Goenawan Mohamad: “D.l.l.” adalah pengakuan, jika “kemerdekaan” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana yang belum selesai.

Keberadaan kata “d.l.l.” dalam teks Proklamasi, bagi saya, adalah pengakuan bahwa terlalu banyak hal yang tidak pasti dari masa depan negara yang sedang mereka bidani. Selalu akan ada “d.l.l.” dalam hidup ini, sesuatu yang tak terpetakan, serupa terra incognita, sesuatu yang tak selalu mampu dirumuskan.

Soekarno, dalam rapat PPKI yang membahas konstitusi Republik Indonesia pada 18 Agutus 1945, merumuskan kerendah-hatian itu dengan nyaris eksplisit. UUD 1945, kata Soekarno, adalah sebuah UUD kilat. Soekarno bilang: “… Tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini, adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.

Yang mengejutkan, apa yang tak bisa diprediksi dan dirumuskan itu, hal ihwal yang saya sebut sebagai “d.l.l.” itu, sudah harus mereka telan hanya beberapa jam setelah teks Proklamasi itu dibacakan.

Pada sore hari 17 Agustus 1945, Hatta didatangi oleh seorang opsir Angkatan Laut yang mengaku mambawa pesan dari orang-orang dari daerah Timur. Dengan nada setengah mengancam, opsir itu menyebutkan bahwa orang-orang di daerah Timur keberatan jika Mukaddimah UUD 1945 mencantumkan kata-kata “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Keesokan paginya, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta berhasil meluluhkan orang-orang macam Ki Bagus Hadikoesoemo, KH Mas Mansur hingga KH Wachid Hasjim yang mewakili kalangan Islam. Dari situlah kata-kata keramat yang dikenal sebagai Jakarta Charter di-delete dalam waktu yang tak sampai sejam.

Opsir yang mendatangi Hatta itu adalah wakil dari apa yang disebut sebagai realitas yang tak pernah bisa diprediksi.


Adalah menyedihkan jika 14 tahun kemudian, Soekarno justru mengeluarkan Dekrit Presiden yang tidak hanya menghapuskan UUDS 1950 tetapi juga memberangus hasil kerja Dewan Konstituante selama empat tahun lebih. Apa yang sebelumnya diakui oleh Soekarno sebagai “UUD kilat” justru ditabalkan sebagai satu-satunya konstitusi yang paling sempurna atau menjadi "UUD keramat".

Dengan mengkampanyekan kembali pada UUD 1945 dan menabalkan UUD 1945 sebagai sosok yang tak boleh disentuh, mereka (termasuk Soekarno ketika melansir Dekrit Presiden 1959) sama saja merendahkan generasi Indonesia yang akan datang.

Bukankah dengan terus-terusan mengeramatkan UUD 1945 sama saja dengan menganggap bahwa generasi Indonesia sampai kapan pun tidak akan mampu menandingi generasi 1945 yang telah lebih dahulu merumuskan UUD 1945 dan teks Proklamasi. Dan seakan-akan generasi 1945 adalah puncak kejeniusan manusia Indonesia yang tak mungkin lagi dilampaui generasi sesudahnya?

Sungguh menjadi sesuatu yang memiriskan dan memedihkan hati jika bangsa yang kemerdekaannya dinyatakan lewat sebuah teks sederhana, yang jauh dari nada sombong itu, prosesnya dilalui oleh kematian ribuan para patriot serta ribuan orang yang mesti dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digoel. Dan ternyata juga meminta tumbal yang tak berbilang, dari mulai orang-orang Timor Timur, Papua, Aceh, hingga orang-orang PKI.

Amerika Serikat, yang kemerdekaannya dinyatakan lewat sebuah teks yang serius dan penuh pertimbangan filosofis, toh tetap saja tak mampu mencegah berlangsungnya Perang Sipil antara daerah Utara (yang bercorak industrialis dan anti-perbudakan) dengan daerah Selatan (yang agraris dan penyokong perbudakan) yang memakan korban jiwa yang melimpah ruah.

Saya bisa saja menyebut korban-korban yang jatuh itu sebagai bagian dari proses “pergolakan internal”. Hanya saja, saya khawatir, frase “pergolakan internal” itu terlalu sombong sekaligus juga terlalu murah untuk menjelaskan ribuan nyawa yang melayang.

Pada titik inilah kata “d.l.l.” dalam teks Proklamasi hadir dan minta dibaca seperti saat saya membaca Traktat Toleransi yang ditulis Voltaire pada 1763.

Ditulis oleh: Zen
https://pejalanjauh.blogspot.com/2007/07/teks-itu-begitu-dingin-dan-datar.html?m=1