Monday, July 7, 2014

5 Kelemahan dari 2 Orang Capres

Mau pilih nomor 2 (Jokowi ?) atau pilih nomor 1 (Prabowo !).

Kita bahas kelemahan-kelemahan dari 2 orang capres Indonesia dalam Pilpres 2014. Kita mulai dari kelemahannya Prabowo Subianto dan kemudian Joko Widodo, apa saja.

Kelemahan Prabowo
Secara resmi Prabowo diberhentikan dari TNI karena dinilai bertanggungjawab dalam kasus penculikan di sekitar Reformasi Mei 1998. Meski Prabowo mengaku dia telah ambil alih tanggung jawab anak buahnya dalam kasus penculikan, namun Prabowo tetap dinilai bersalah dan kemudian diberhentikan.

Meskipun Prabowo dan Tim Mawar hanya mengaku menculik 9 aktifis dan semua telah dikembalikan hidup-hidup (selamat), tapi sebagian publik tetap menilai dia bersalah. Meskipun Prabowo mengaku tidak sebagai otak pelaku kerusuhan Mei 98, dimana ia jadi korban fitnah “konspirasi tertentu”, namun publik masih tidak percaya.

Prabowo memang termasuk orator yang hebat dengan pidatonya yang menggelegar dan berapi-api.

Kelemahan Prabowo yang lain adalah ia dicitrakan sebagai pribadi temperamental, meskipun sejak beberapa tahun terakhir tidak terbukti lagi kesan temperamental itu. Bahkan selama masa kampanye pilpres tahun 2014 ini, Prabowo menunjukkan sifat dan sikap penyabar, toleran, pemaaf, bijaksana, ksatria dan sebagainya.

Kelemahan Prabowo, dia juga disebut-sebut tidak “direstui” oleh negara asing, utamanya Ameriaka Serikat. Namun, sebenarnya sudah terpatahkan ketika AS akhirnya memberi respon positif atas pencapresannya.

Yang lain lagi, kelemahan Prabowo adalah bahwa dia dianggap sebagai bagian dari rezim Orba (Orde Baru), meski ia sendiri jadi tumbal dari Orba pada saat-saat Orba berakhir (tumbang), pada tahun 1998.

Prabowo, juga dianggap dekat dan jadi pelindung ormas atau kelompok preman eks Timor Leste.

Itu tadi 5 kelemahan terbesar Prabowo, nanti jika ada info dari teman-teman, kita susulkan untuk dibahas bersama.

Jokowi dan Prabowo, bersalaman dalam salah satu sesi debat capres-cawapres 2014.

Kelemahan Jokowi
Sekarang apa kelemahan Joko Widodo? Apa kelemahannya yang terbesar? Kami menempatkan sifat dan sikap Jokowi yang munafik sebagai kelemahan utama Jokowi. Munafik adalah seburuk-buruknya sifat manusia. Sifat munafik, adalah sifat yang lebih buruk jika dibandingkan dengan kelemahan atau kejahatan manusia yang lain.

Munafikun atau orang munafik adalah orang yang jika ia berbicara, maka ucapannya adalah dusta. Jokowi suka bohong, menipu, tukang glembuk, dan sering memperdaya orang lain. Ngeles dan seterusnya.

Munafikun adalah orang yang jika ia berjanji, maka janji-janjinya itu tidak ia tepati. Selalu ingkar janji. Hanya beri angin sorga atau “angsor”. Orang munafik adalah orang yang jika ia diberi amanah, kuasa, dan tanggung jawab, maka amanah, kuasa dan tanggung jawabnya itu ia khianati.

Khianat atau pengkhianatan adalah termasuk sebagai bentuk kejahatan berat. Pengkhianat negara, misalnya, hukumannya adalah hukuman mati. Meski begitu, Jokowi tidak pernah mengakui bahwa dia seorang penipu, suka ingkar janji dan atau pengkhianat. Jokowi merasa tidak pernah jadi orang munafik.

Beberapa bukti kebohongan dan ingkar janji dari Jokowi.

Mungkin itu sebabnya Jokowi tidak pernah merasa bersalah atau disalahkan oleh para pendukungnya. Jokowi tidak pernah mengaku salah, apalagi minta maaf. Tidak pernah sama sekali. Selama rakyat Indonesia mengetahui dan mengenal Jokowi, tidak pernah sekalipun Jokowi mengaku salah dan minta maaf tentang apa saja.

Kelemahan Jokowi yang kedua adalah ia saat ini sedang dalam proses hukum terkait dengan keterlibatannya dalam banyak kasus korupsi, terutama kasus pengadaan Bus Trans Jakarta. Jokowi sedang terancam dijerat pidana korupsi dan terancam jadi tersangka dari banyak kasus korupsi. Meski begitu, Jokowi tetap mengaku tidak terlibat korupsi sama sekali.

Bahkan Jokowi, di awal-awal tuduhan korupsi Bus Trans Jakarta itu bergulir, ia sempat membantah kenal dengan Michael Bimo Putranto. Dia tuduh Bimo hanyalah mengaku-aku saja kenal sama dirinya. Sayangnya, hanya beberapa saat setelah Jokowi membantah kenal dengan pelaku korupsi Bus Trans Jakarta, Bimo marah besar dan mendatangi Jokowi ke kantor Gubernur DKI Jakarta.

Akhirnya, rakyat menjadi tahu, bahwa Jokowi ternyata bohong. Jokowi sesungguhnya kenal baik dengan Michael Bimo sejak tahun 2004, karena dia adalah putra mantan Walikota Solo sebelumnya, Slamet Suryanto.

Hebatnya, lagi-lagi Jokowi tidak pernah minta maaf kepada publik mengenai kebohongan atau bantahannya sebelum ketahuan bohongnya itu.

Boneka Jokowi dan Ahok yang sempat laris manis dijual saat kampanye cagub-cawagub DKI, tahun 2012 yang lalu.

Kelemahan Jokowi yang ketiga adalah citra Jokowi yang bisa dijuluki sebagai manusia tokoh palsu. Dan semakin lama semakin terbukti karena semua info tentang diri Jokowi memang banyak yang palsu.

Jokowi tidak pernah berani berterus terang mengakui kepalsuan-kepalsuan yang telah direkayasa serta telah disampaikannya ke publik. Jokowi selalu menghindar. Termasuk ketika Jokowi menghindar dan atau mengabaikan desakan dan tuntutan rakyat mengenai siapa diri Jokowi yang sebenarnya. Kenapa Jokowi mati-matian menutupinya?

Entah sampai kapan Jokowi dapat “melarikan diri” dari kewajiban dan tanggungjawab moralnya untuk membuka identitas dan jati dirinya yang asli. Apakah nanti rakyat mau percaya dan pilih Jokowi yang tidak dikenal dan tidak diketahui aslinya itu sebagai calon presiden? Apa rakyat mau?

Jokowi "menjamas" (memandikan) mobil ESEMKA, saat masih menjabat sebagai Walikota Solo.

Kelemahan Jokowi berikutnya adalah terkait tudingan bahwa Jokowi itu sebenarnya adalah kader PKI (komunis) yang sedang mengelabui rakyat. Jokowi hanya bilang bahwa tudingan atas dirinya yang disebut PKI (komunis) itu adalah merupakan “penghinaan” terhadap nasionalismenya. Meski begitu, Jokowi tidak pernah mengklarifikasi keterkaitan erat dirinya dengan komunisme, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya akhir-akhir ini.

Jokowi tidak menjelaskan alasan kenapa dia memalsukan nama ayah kandungnya, yang aslinya bernama Widjiatno, dipalsukan menjadi Noto Mihardjo. Penjelasan atau bantahan Jokowi bahwa nama ayahnya bukan Widjiatno tidak pernah dilakukannya. Dia malah mengakui bahwa nama asli ayahnya adalah Widjiatno Mihardjo.

Widjiatno atau Widjiatno bin Wirjo Mihardjo adalah putra tertua dari 5 bersaudara anak-anak dari mantan lurah Kragan, Karanganyar, bernama Wirjo Mihardjo. Widjiatno atau Widjiatno bin Wirjo Mihardjo saat dewasa pindah ke Giriroto, Ngemplak, Boyolali. Di Giriroto, Widjiatno menikahi Sudjiatmi. Widjiatno ayah Jokowi menikahi Sudjiatmi pada tahun 1959 dan mereka tinggal di Giriroto, Ngemplak, Boyolali sampai tahun 1969 atau 1970-an.

Sesuai pengakuan Jokowi saat meresmikan RS Katolik, Brayat Minulyo Solo, Jokowi mengaku bahwa dia lahir di RS itu. Ibunya, Sudjiatmi, juga mengaku begitu. Padahal, sebelumnya Jokowi selalu mengaku bahwa dia lahir di bantaran Kali Pepe, Munggung, Manahan, Banjarsari, Surakarta (Solo). Kok beda?

Padahal, ibu Jokowi, Sudjiatmi, pada tahun 2010 mengaku, bahwa Joko Widodo lahir di desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali. Kok sekarang beda? Rakyat ingin tahu yang sebenarnya.

Sesuai pengakuan dari warga dan Sudjiatmi sendiri, mereka baru pindah ke Solo dari Boyolali tahun 1969 atau 1970-an. Namun kok bisa Jokowi katanya lahir pada tahun 1961 di RS Katolik, Brayat Minulyo, Solo? Mana yang sesungguhnya benar?

Beberapa ekspresi wajah Jokowi. Yang kanan bawah adalah foto Jokowi saat berkunjung ke makam Boris Yeltsin, Presiden Rusia, negeri Komunis yang dulu bernama Uni Soviet.

Sampai hari ini (Sabtu, 5 Juli 2014), atau beberapa hari lagi menjelang pilpres, kebenaran atau fakta sesungguhnya tentang Jokowi masih “misterius.” Masih menjadi tanda tanya besar ??!

Berdasarkan pengakuan Rudyatmo -walikota Solo sekarang- ia pada awalnya tidak kenal dengan Jokowi, tetapi ia lebih dulu kenal dengan ayah Jokowi, yaitu Bapak Widjiatno. Rudyatmo mengaku dikenalkan kepada Jokowi oleh Seno Kusumoharjo, seniman dan tokoh PDI (sekarang PDI-P) Boyolali, yang merupakan kakak dari Bupati Boyolali, Seno Samodro.

Rudyatmo mengaku kenal dengan ayah Jokowi yang bernama Widjiatno karena Widjiatno adalah Koordinator Satuan Tugas (Satgas) PDI Boyolali. Boyolali adalah kabupaten yang merupakan basis PKI, dimana pada tahun 1955, PKI menang 21 kursi dari 34 kursi di DPRD. Oleh karenanya, Boyolali dijuluki sebagai “Kabupaten Merah”, yang merupakan basis PKI.

Boyolali juga merupakan Markas Komando Tentara Merah eks Batalyon Pasoepati, yang merupakan batalyon desertir TNI yang tidak mau membubarkan diri paska rasionalisasi.

Jokowi adalah seorang pengagum musik rock metal, yang terkenal dengan salam 3 jarinya yang melambangkan "Dunia Hitam yang Keras".

Berdasarkan keterangan Wijono, teman Widjiatno, disebutkan bahwa sebelum jadi Koordinator Satgas PDI Boyolali, Widjiatno adalah Komandan OPR. OPR adalah singkatan dari Operasi Pertahanan Rakyat. Ada juga yang menyebut bahwa OPR adalah Organisasi Pertahanan Rakyat, yang merupakan sayap milisi PKI dari Pemuda Rakyat.

Apakah Jokowi mampu membantah bahwa ayah kandungnya, Widjiatno Mihardjo adalah Komandan OPR PKI sebelum dia menjadi Koordinator Satgas PDI Boyolali?

Berdasarkan keterangan Wijono, ayah Jokowi memang sempat “hilang” selama sekitar 4 hingga 5 tahun, antara tahun 1965 hingga tahun 1969. Apakah Widjiatno hilang karena ditangkap TNI atau karena lari bersembunyi ke gunung Merbabu, Kemukus atau lainnya? Belum dapat diketahui dengan pasti.

Apakah ayah Jokowi, Widjiatno terlibat G-30S-PKI dalam pembantaian dan pembunuhan puluhan umat Islam di Giriroto, pada tanggal 1 Oktober 1965? Belum diketahui !!!

Kelemahan Jokowi kelima, ia dicitrakan sebagai jongos, boneka ASING - ASENG - ANTEK. Jokowi tidak pernah membantah tuduhan itu. (Biasanya yang membantah malah Ibu Megawati).

Demikianlah 5 kelemahan terbesar Prabowo dan Joko Widodo sebagai Capres Indonesia 2014.
Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat Suara Tuhan!

MERDEKA !

Sumber:
Triomacan 2000, @TM2000Backhttp://chirpstory.com

Saturday, July 5, 2014

Evolusi Cinta di Era Rekonsiliasi


Bangsa ini meraih merdeka, diatas satu cinta. Cinta agung para ksatrianya. Cinta yang mampu bebaskan raga rakyatnya dari siksa kejamnya Belanda, kerja rodinya Romusha dan kemiskinan warga berkasta kelas tiga. Cinta itu sanggupkan mereka relakan jasadnya terluka, ikhlas mereka meregang nyawa. Semata demi memberi satu kata, MERDEKA, untuk kita, penerus perjuangan bangsa.

Tapi waktu telah lupakan kita akan agungnya cinta itu. Diganti hasrat pada kilau dunia. Mematikan mata batin. Meninggikan keangkuhan. Bertemankan keserakahan. Pembenaran menutupi kebenaran. Fitnah menjarah rongga hati, merenggut bening sisa nurani. Tapi yakinlah, benih cinta itu tetap ada di sana, di palung hati setiap jiwa kita. Kita hanya lalai memeliharanya, lalai membangkitkannya.

Naluri cinta itu harmoni. Tak inginkan perpisahan apalagi perpecahan. Cinta merindukan pertemuan, cinta merindukan perpaduan dan persatuan. Cinta menutupi kekurangan, cinta juga meninggikan (menghormati) kelebihan. Lalu kenapa kita tidak meninggikan (menghormati) kelebihan setiap periode perjalanan sejarah bangsa kita?


Bukankah disaat Bung Karno memimpin kita, kita rasakan nasionalisme yang bergelora? Kebanggaan berbangsa memenuhi rongga-rongga dada kita? Bukankah saat Pak Harto memimpin kita pernah rasakan manisnya pembangunan menjangkau pelosok-pelosok negeri? Bukankah di masa reformasi kita dapatkan kebebasan bersuara, tanpa satupun media yang dibungkam mulutnya?

Tiga masa itulah yang mengantarkan kita kini menjadi 10 negara dengan kemampuan ekonomi terbesar di dunia. Kini populasi kita didominasi anak-anak muda. Inilah masa-masa emas itu. Masa dimana bangsa kita akan menjadi penentu arah percaturan dunia. Inilah masa kita merajut kembali luka-luka cinta. Menyatukan keunggulan dari setiap masa. Mengkonsolidasikan gairah berbangsa, hasrat mensejahterakan seluruh rakyat kita, sambil terus menjamin kebebasan bersuara.

Maka hembuskanlah evolusi cinta di setiap dada anak bangsa. Cinta yang merekonsiliasi perbedaan, mengkonsolidasikan kekuatan. Demi tujuan mulia, kemanusiaan. Demi mengantarkan bangsa ini ke panggung kehormatan peradaban dunia.


Maka –semestinya– tidak kita temukan lagi ruang bagi sekat-sekat itu. Tidak akan hati yang dibaluri cinta akan sanggup jumawa. Merasa lebih berjasa kepada bangsa. Tidak pula perlu sengketa. Tidak ada ruang benturan antara Orde Lama melawan Orde Baru melawan kebaruan. Tidak mungkin kita benturkan rakyat dengan pemimpinnya. Kita hasut buruh dengan majikannya. Kita pisahkan si miskin dengan temannya yang kaya.

Karena cinta kita terlalu agung. Cinta yang tak mengenal dikotomi. Tak mengenal pertentangan antar kelas antar kasta, karena itu hanya suburkan kebencian dan kekerasan. Sedangkan cinta menawarkan kedamaian, keharmonisan, dan kebahagiaan.

(Sepantasnya) senyum tawa memenuhi wajah tulus kita sebagai anak-anak bangsa yang satu. Terlahir dari rahim ibu pertiwi yang satu. Dibesarkan oleh legenda cinta bersimbah darah dari para luluhur ksatria yang selalu bersatu.

Maka hembuskan evolusi cinta ini, memenuhi bejana hati anak-anak bangsa. Karena mereka semua merindukan cinta itu. Apalagi diriku.

Prayudhi Azwar,
Perth, 3 Juli 2014 9.09PM

Friday, July 4, 2014

Selubung Fitnah Itu Semakin Terkuak

Bagi Prabowo: "Satu musuh terlalu banyak, dan seribu teman terlalu sedikit."

Roda sejarah bergulir. Bukan secara kebetulan. Begitu juga sejarah anak manusia. Seperti sejarah sosok cerdas, pemberani, dan pecinta negeri paling romantis ini.

Telah terjungkal ia, diterjang fitnah, yang tak pernah usang di daur ulang. Dipaksa memikul dosa satu institusi, seorang sendiri. Dipojokkan. Terhina di mata anak bangsa. Terusir dari keluarga mertua. Terpisah dari istri dan ananda tercinta. Sendiri, terbuang jauh ke negeri seberang di ujung sana.

Dalam kehampaan coba ia bertahan. Mengobati raga cedera dari beragam pertempuran agung demi negeri cintanya (@Jerman). Membasuh perih luka jiwa di tanah suci, bersimpuh pada kuasa Tuhannya (@Mekkah). Sebelum akhirnya terdampar ia di istana megah karibnya (@Yordania).

Nanar dia tatap langit yang telah berganti warna. “Sekarang kamu dijadikan sasaran macam-macam. Jangan harapkan teman-teman kamu sendiri akan membantu. Orang yang berhutang budi terhadap kamu pun bakal meninggalkanmu. Tapi dalam keadaan segelap apapun, niscaya masih ada orang-orang baru yang akan membantu. Jadi harus tabah. Jangan menjadi dendam. Ini kehidupan, hadapilah!

Hormat dan ta'dhim pada ulama adalah karakter Prabowo yang tak pernah berubah.

Bekal wasiat, Soemitro, sang Ayahanda tercinta membaluri luka hatinya. Nasihat ini begitu membekas di kalbunya. Menyatu dalam pergumulan batinnya. Maka istana indah itu tak mampu silaukan, tak mampu surutkan rindunya. Rindu pada negeri yang selalu memenangi hatinya. Bahkan sejak usia belianya.

Tawaran beasiswa George Washington University yang menjanjikan kemapanan pun tak mampu menggoda setianya. Baginya, cinta diukur dari kesediaan berkorban untuk yang dicintainya. Maka baginya, jalan bakti tertinggi, terbaik dan paling romantis adalah jalan pengorbanan. Jalan para ksatria. Maka digembleng ia pada institusi negara. Merintis jalan sang Paman kebanggaannya, Subianto. Yang gugur berkorban di medan tempur perjuangan pembebasan negeri tercinta.


Bowo, jangan lupa, rakyatmu masih banyak yang miskin,” adalah pesan terakhir almarhum ibundanya, Dora Sigar, yang menyusupi relung batinnya yang terdalam. Ingin dia membelai, membasuh luka-luka di sekujur raga ibu pertiwi tercintanya. Yang terus dikoyak laku khianat segelintir anak-anak kandungnya.

Maka kepulangannya ke tanah air disambut gegap gempita. Bukan dengan kembang api atau bunga tujuh rupa. Tapi oleh ledakan dahsyat bom natal, yang kembali coba menistanya. Memang fitnah adalah bagian hidupnya. Suratan dalam romantika perjuangannya. Fitnah yang membesar setiap ia melangkah mendekati takdirnya. Memimpin kekasih hatinya, Indonesia Raya.

Kini tiba masanya, tiada selubung kan lagi mampu tutupi kilaunya. Wangi aroma gelora jiwanya membuka sumbat penciuman rakyatnya. Maka bersiaplah menjadi saksi sejarah, episode terakhir dari sang pencinta memeluk kekasih hatinya.

The best fighter is always a best lover.

Prayudhi Azwar
Perth, 18 Juni 2014
12.08 PM, disapa mentari yang menerangi hati.

Kutatap Tulus Cinta Di Matanya


Reaksi jenderal yang dahulu kusangka agresif dan kejam, sungguh diluar dugaan. Tak sekalipun dia menyerang dan memojokkan lawannya. Tak pula dia menyindir atau menatap sinis lawan debatnya. Bahkan tak segan dia memuji, menghormati pendapat rivalnya.

Saat dipojokkan kembali dengan isu HAM yang menderanya dan membunuh karirnya 16 tahun yang lalu, dia bisa saja memojokkan kembali dengan menjawab: “tanya kepada bu Megawati, mantan presiden yang pernah mengangkat saya sebagai Cawapres 2009.” Atau bertanya kembali, “kenapa Pak JK sendiri tidak adili saya waktu Bapak menjabat Wakil Presiden?

Tapi tidak! Memojokkan bukan sifatnya, tidak ada dalam jernih pikirannya. Mungkin karena begitulah sifat ksatria. Sifat seorang negarawan. Maka dia hanya berkata: “tanyalah kepada atasan saya.” Atasan yang kita semua tahu persis berada justru di kubu Pak JK sendiri. Usai debat, beliau bukan hanya hangat menyambut memeluk rivalnya. Juga saat ditanya wartawan, dengan ringan dia menjawab: “saya harus mau diserang.

Dia juga tidak keberatan pesaingnya berbangga hati menunjukkan prestasi terpilih menjadi kepala daerah. Padahal kita semua tahu bahwa dialah orang yang pertama mengusungnya.


Sejujurnya, tak banyak saya melihat pribadi dengan karakter yang seikhlas dirinya, saat ini. Batin saya seolah menangkap kilau kepribadiannya. Kepribadian yang akan mampu menyatukan elemen-elemen yang terserak di negeri ini.

Sejarah telah mencatat pengorbanannya untuk bangsanya. Mempertahankan keutuhan NKRI dengan darah dan nyawanya. Dan itu terjadi berulang kali. Di pertempuran di Timor-Timur, dalam mission impossible pembebasan sandera sipil di Mapenduma, penangkapan 2 agen berkulit putih tahun 1984, yang menyulut disintegrasi Papua, dan dalam berbagai operasi tempur berat lainnya. Dia tak tonjolkan semua bakti yang telah ditorehkan untuk ibu pertiwi yang dicintainya dengan sepenuh jiwa raganya itu.

Karena itulah, keteguhan kata-katanya memberi makna yang dalam bagi yang memahami bersih nuraninya. “Saya sekian tahun adalah abdi negara, yang membela HAM. Mencegah kelompok radikal mengancam hidup orang-orang yang tidak bersalah.

Lalu dimana kita? Dimana nurani?


Kenapa kita rakyat sipil, yang katanya lebih beradab, dan yang telah dijaga hak hidup dan keleluasaan menjalankan berbagai jenis usaha, masih tetap terdorong ikut memojokkannya. Tidak cukupkah kita menyaksikan betapa para jenderal-jenderal senior yang semestinya berjiwa korsa itu terus menuduhnya sebagai psikopat, gila, pelaku bom natal dan membebankan dosa satu institusi TNI tahun 1998, hanya dipundaknya sendiri, seorang diri.

Tidakkah hati kita tergerak, untuk sekedar menghargai lelaki yang teguh ini?

Mudah-mudahan nurani kita pada akhirnya bisa memaknai semua ini.

Prayudhi Azwar
Perth, 10 Juni 2014
Ditulis dikeheningan winter, 1:27 AM dinihari

Thursday, July 3, 2014

Prabowo atau Jokowi, adalah Putra Terbaik Bangsa

Presiden RI yang pertama, Soekarno, ketika sedang melakukan shalat.

Siapa pun kelak yang memimpin negara ini, kita tak akan pernah berhenti meraut perjuangan dan melakukan perbaikan. Sebab bukan kepada negara atau pemimpin kita mengabdi yang sebenarnya, melainkan hanya kepada Allah SWT. Dan tugas menegakkan kebenaran dan keadilan bukan berarti sekadar menjadi warga negara yang baik. Adil bukan (hanya) perkara antara rakyat dan penguasa, antara negara dan warganya. Adil yang sejati adalah sikap seorang anak manusia sebagai hamba dengan Tuhannya, yang telah terpancang sejak zaman alastu.

Hiruk pikuk politik tanah air kita menjelang pemilihan umum (seperti biasa) tampak begitu gaduh dan ribut luar biasa. Ini tak mengejutkan dan seharusnya menjadi biasa bagi kita. Membicarakan kepemimpinan seolah perlu dilakukan tiap lima tahun sekali, walau sebenarnya ia harus dipikirkan dengan saksama dalam waktu yang panjang. Politik sebenarnya bukan kegiatan lima tahunan, politik seharusnya berlaku setiap hari. Namun karena kita adalah bangsa yang suka “rame-rame”, untuk kemudian lupa, maka perilaku ribut menjadi hal yang lumrah walaupun sebenarnya tragis.

Umat Islam di Indonesia pun seperti punya jadwal sendiri untuk ribut. Dan perkara yang paling lumrah diributkan ialah mengenai Islam dan demokrasi. Satu kubu menyatakan Islam bertentangan dengan demokrasi dan dengan demikian haram hukumnya terlibat dalam demokrasi, sementara kubu lain menerima demokrasi dan menganggapnya sebagai jalan juang yang patut ditempuh guna terbitnya fajar Islam di persada Indonesia.


Kedua kubu –tampaknya- jarang-jarang mempelajari demokrasi secara saksama, sehingga begitu saja menerima bahwa apa yang terjadi di negeri ini memang sebuah proses yang demokratis. Sehingga walaupun demokrasi yang berlaku ternyata dilakukan dengan anomali dan penuh cacat, tampaknya tak selalu menjadi perhatian yang sungguh-sungguh. Dan yang jelas, kita malas menggali gagasan politik yang lahir dari buah pikir para ulama. Kita lebih senang berjalan dengan cara yang serba tanggung (mentah) dan beralas pada ketidakmengertian persoalan yang terang-benderang.

Maka pemilu dengan segala “kebrutalannya” disikapi dengan tak benar-benar jelas oleh orang-orang Islam. Kita mengikuti dan menjalani pemilu dengan kegamangan luar biasa. Jadi amatlah wajar bila dalam setiap pemilu, partai Islam tak pernah menang.

Kita begitu bersemangat dan boros mengumbar kata-kata juang (takbir dll.) dalam masa kampanye, tapi sekaligus kita miskin gagasan mengenai cita politik Islam. Kita jarang menyepuh hubungan Islam dan politik secara serius. Maka pentas politik kita yang nampak adalah hura-hura, urakan, dan cenderung tak memiliki arah. Ringkas kata, pentas politik kita adalah ngawur dan nekad.

Kampanye partai politik yang cenderung "asal rame".

Pertarungan politik akhir-akhir ini jauh dari pertarungan ide, gagasan, dan ideologi. Yang dipertarungkan adalah kekuatan-kekuatan purba seperti kekuatan fisik, uang dan juga hasrat insting hewaniyah. Kita mempertarungkan seberapa banyak pendukung kita, bukan seberapa kuat gagasan dan pemikiran kita. Kita tak mempertarungkan gagasan dalam politik hari ini, tapi berebut kuasa dengan cara yang awuntah.

Ketika pemilu legislatif berlalu, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa partai-partai Islam hanyalah partai kelas menengah yang tampak gugup berhadapan dengan partai-partai nasionalis-sekuler. Upaya mempersatukan partai-partai Islam selalu kandas, karena memang hanya merupakan harapan kosong belaka. Dan yang menjadi pertanyaan sesungguhnya adalah, kita akan bersatu di atas ide apa, jika kita sebenarnya tak pernah punya ide (gagasan) apapun mengenai persatuan dan kesatuan?

Yang kita miliki hanyalah hasrat untuk menang dan berkuasa dengan mengusung lencana jumlah dan simbol-simbol fanatisme yang tak tentu arah itu. Kita masih selalu mempertaruhkan jumlah besar dan banyak (kuantitas), bukan gagasan besar dan bermutu (kualitas). Gagalnya gagasan rapuh mengenai persatuan partai-partai Islam untuk mengusung sendiri seorang calon presiden dari kalangan umat Islam dapat dipandang sebagai kebangkrutan visi politik Islam. Karena bukan persatuan semata yang menjadi soal, tapi memang kita sudah terlalu lama abai dan malas untuk menyepuh soal-soal politik, soal-soal kebangsaan dan soal-soal ke-Indonesiaan.

Diantara para tokoh pemimpin umat Islam yang sangat berpengaruh: KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH Hasyim Asy'ari (Nahdlatul Ulama), dan Buya Muhammad Natsir (Masyumi).

Apa arti Indonesia bagi kita umat Islam? Bagaimana kita menafsirkan Pancasila? Bagaimana Islam dan Indonesia seharusnya berjalin berkelindan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu hanya akan membentur jidat para politisi yang begitu angkuh dengan perolehan jumlah suara. Pikiran mereka kian lama kian tumpul soal kebangsaan. Dan umat menjadi sepi dan miskin akan makna Indonesia, akan makna Pancasila. Umat menjadi asing akan makna tanah air dan kebangsaan. Indonesia menjadi sekadar tempat lahir, hidup, beranak-pinak -yang entah bermakna atau tidak- dan akhirnya mati. Pancasila menjadi seonggok gagasan yang tak hendak dimengerti dengan kesungguhan, yang ada dan tiadanya tak lagi berarti bagi sebagian besar umat Islam.

Keadaan ini, dimana umat tak memiliki visi politik yang jelas dan terarah namun ribut terus tentang politik, sementara para politisi dan pemimpin kita makin terjebak pada kuasa duniawi, menjadikan kita terlihat sebagai umat yang tak pandai bersyukur. Sebagai umat yang tak tahu terima kasih. Padahal Allah SWT telah menjadikan Indonesia sebagai rahmat dan kenikmatan yang tidak terperi yang seharusnya kita syukuri.

Ulama dan pemimpin kita di masa lalu telah berupaya keras menyepuh Indonesia dengan semangat Islam. Jika kita lalai dan abai, tak hendak mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, maka kita adalah umat yang tak tahu terima kasih kepada Buya M. Natsir, Buya Hamka, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Agus Salim, A. Hassan, dan para tokoh pemimpin kita yang lain. Merekalah yang berlelah-lelah menafsirkan Indonesia serta mencanang-juangkan visi politik Islam namun kita jugalah yang melupakan mereka. Lalu dengan apa kita akan menempuh jalan politik kita?

BJ Habibie mengucapkan sumpah dan janji sebagai Presiden RI, menggantikan Presiden Soeharto yang dipaksa lengser oleh mahasiswa dan rakyat melalui peristiwa reformasi tahun 1998.

Mencari Presiden: Harusnya Kita Biasa Saja
Seharusnya, kita adalah umat yang tak takut dipimpin Prabowo dan sudah tahu caranya kalau dipimpin oleh Jokowi. Kita sebenarnya bukan umat kemarin sore yang tak punya pengalaman apa-apa perihal politik. Belanda, penjajah itu, beratus tahun menikam kita dan selama itu pula kita tetap teguh melawannya. Belanda bisa menguasai tanah kita, merampok kekayaan alam kita, tapi ia tak dapat merebut iman kita. Jika kita terikat dengan lajur juang para ulama di Melayu-Nusantara ini, harusnya semangat Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Hasanuddin dan para pejuang pahlawan lainnya mengalir deras di dalam jiwa kita. Dan itulah modal kita sebenarnya untuk menghadapi hari ini dan masa depan.

Kita (jika kata “kita” mengikat umat sekarang dengan gagasan ulama terdahulu) pernah menghadapi tekanan ala Soekarno, atau tipu muslihat ala Soeharto, dan kita mampu menghadapi semua keadaan itu. Kita bergumul dalam perjalanan politik yang panjang dengan berbagai sifat dan karakter pemimpin bangsa kita. Kita pernah berjabat tangan dengan Soekarno tapi tak ragu pula ketika berbeda pandangan dan bahkan bertentangan dengan beliau. Kita pernah berharap banyak pada Soeharto, terutama pada awal masa orde baru, tapi kita serempak melawan ketika ditindas, dan kemudian kita juga tak ragu untuk kembali bekerja sama ketika sikap Pak Harto ternyata berubah menjelang runtuhnya orde baru.

Tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit dalam salah satu pidato politik di tengah massa rakyat sekitar tahun 1960-an.

Gemuruh peristiwa 1965 dan keributan politik tahun 1998 pernah kita hadapi dengan berbagai kecamuk pikiran dan perasaan. Pada 1965, kita berdiri tegak menghadapi cara-cara brutal Partai Komunis Indonesia (PKI). Fitnah, tuduhan, kekerasan fisik, ancaman, hinaan bahkan pembunuhan, pernah kita hadapi bersama-sama. Apa yang menimpa Buya Hamka, tuduhan berat kepada Buya M. Natsir dan para tokoh Islam yang lain, harusnya kita pelajari sungguh-sungguh dan dengan itu kita tegak berdiri. Kita tak perlu menjadi kaum perengek dan cengeng karena ada di lajur sejarah para pemberani yang memiliki keteguhan iman. Pada 1998 kita terlibat berkelindan dalam kerja politik yang melelahkan. Dan apa yang telah terjadi sepantasnya kita ambil pelajaran darinya. Mungkin kita atau pemimpin kita pernah keliru, tapi itu bukan untuk diratapi, dicaci-maki dan dikutuki. Kita sungguh dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga daripadanya.

Apa susahnya dipimpin Prabowo dan apa masalahnya dipimpin Jokowi? Kita pernah lebih dari itu dan kita telah teruji sanggup menghadapi semuanya dengan berani. Kita tak perlu takut dengan Prabowo yang tampak galak dan bergaya seperti macan dan penggebuk. Umat ini ratusan kali digebuk dengan berbagai cara, tapi kita tetap tegar berdiri. Dan belum tentu pula bila Prabowo jadi presiden dia akan jadi tukang gebuk macam mertuanya (Soeharto) dulu.

Prabowo, Megawati dan Jokowi, ketiganya pernah berbaju sama "kotak-kotak".

Lalu Jokowi. Kita pernah dipimpin bos-nya (atasannya) Jokowi, Megawati. Bangsa ini bahkan pernah dipimpin bapaknya Megawati (Soekarno), yang pandai berpidato membusa-busa mengenai apa saja. Kita juga sudah berlatih dipimpin presiden semacam Pak SBY selama 10 tahun. Harusnya itu semua cukup untuk mampu menghadapi pemimpin macam Jokowi. Apa masalahnya?

Pada akhirnya bukan siapa yang akan memimpin kita namun bagaimana kita menghadapinya dan menyikapinya. Pemimpin yang zalim ataupun pemimpin yang adil (seharusnya) kita sudah tahu bagaimana cara menghadapinya. Kita tak perlu risau jika ternyata pemimpin kita kelak tukang gebuk, karena jika demikian, memberi peringatan kepadanya dengan berani adalah merupakan jihad. Jika kita nanti dipimpin perengek yang diam-diam menjual negara kepada asing, kita kritisi dan kita lawan dengan cara-cara yang dewasa dan saksama. Akan tetapi, jika kenyataannya pemimpin yang terpilih mendatang mampu menjadi pemimpin yang baik, sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah, dan mendukungnya dengan sepenuh hati untuk melaksanakan perbaikan hidup sesuai dengan yang dijanjikan.

Sikap fanatik kekanak-kanakan yang menunjukkan kegagapan tanpa arah dalam perkara dukung-mendukung calon presiden, seharusnya tak perlu terjadi. Riuh dunia maya yang terlalu cepat dan spontan serta tidak memberi jeda, mestinya dapat kita redam dengan cara-cara yang bijaksana. Menghadapi kenyataan ini, seharusnya kita sudah tahu apa yang mesti kita lakukan. Seharusnya kita sudah kenal dan hapal kelakuan dan sifat para politikus yang memang begitu itu. Membabi-buta dalam mendukung dan terlibat dalam keributan yang tak perlu, mestinya dapat dihindari. Sebab kita adalah umat yang (seharusnya) sudah tahu harus berbuat apa dalam keadaan macam apa saja, karena kita punya Buku Panduan Suci (al-Quran) dari Tuhan untuk menghadapi kehidupan, macam apapun modelnya.

Presiden SBY dan Wapres Boediono beserta keluarganya masing-masing, yang tak luput pula pernah menjadi sasaran fitnah.

Perjuangan Tanpa Jadwal Lima Tahunan
Kita menjadi orang Islam bukan cuma ketika pemilu setiap lima tahun sekali. Meributkan Islam dan non-Islam bukanlah jadwal lima tahunan. Bukankah lima tahun lalu kita atau sebagian kita juga sibuk mempertanyakan ke-Islaman dari istri Wapres Boediono? Bahkan ada juga yang mempertanyakan istri Pak SBY karena "kebetulan" bernama Kristiani (Bu Ani Yudhoyono)? Dan sekarang pun kita ribut Jokowi itu orang apa, Prabowo itu hapal berapa surat, dll.

Ke-Islaman seorang pemimpin memang penting. Tapi kita juga pernah dipimpin oleh presiden yang Islamnya abangan, atau presiden yang Islamnya awut-awutan tidak karuan. Dipimpin seorang saleh memang menjadi dambaan setiap insan, tapi dipimpin orang zalim pun kita pernah dan sudah berpengalaman, sehingga kita tahu cara menghadapinya.

Merajut ukhuwah dan menjalin jamaah juga bukan tugas yang datang hanya menjelang pemilihan presiden. Itu tugas panjang yang tidak boleh hanya dikerjakan dalam keadaan yang selalu darurat. Persatuan tidak bisa ditempatkan sebagai sebuah sikap darurat menjelang pilpres. Semestinya itu merupakan sikap yang utuh tidak parsial dan terus-menerus selalu berkelanjutan.

Jokowi atau Prabowo, semuanya sama-sama putra terbaik bangsa pada zamannya.

Siapa pun kelak yang memimpin negara ini, kita tak akan pernah berhenti meraut perjuangan dan melakukan perbaikan. Sebab bukan kepada negara atau pemimpin kita mengabdi yang sebenarnya, melainkan hanya kepada Allah SWT. Dan tugas menegakkan kebenaran dan keadilan bukan berarti sekadar menjadi warga negara yang baik. Adil bukan (hanya) perkara antara rakyat dan penguasa, antara negara dan warganya. Adil yang sejati adalah antara seorang anak manusia sebagai hamba dengan Tuhannya, yang telah terpancang sejak zaman alastu.

Tahun-tahun mendatang setelah kita mendapatkan pemimpin baru adalah tetap merupakan tahun-tahun perjuangan. Apa pun keadaannya, kita tak semestinya berhenti berjuang. Apa yang telah kita pancangkan akan terus kita lakukan. Indonesia tetap sebuah rahmat Allah SWT yang harus terus-menerus dijaga, disyukuri dengan cara merawatnya berdasarkan nilai-nilai iman dan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.

Yang lebih penting bukanlah adil atau zalimnya seorang pemimpin, tapi bagaimana kita menghadapinya dan menyikapinya. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana kita bisa tetap merawat selalu cita politik Islam dalam keadaan macam apa pun. Perjuangan politik Islam bukanlah jadwal lima tahunan, kita perlu terus-menerus memperjuangkannya sepanjang hayat dikandung badan. Kita tak pernah mundur (seharusnya). Seperti keberanian Pangeran Diponegoro yang direkam Chairil Anwar dalam puisinya:

Pangeran Diponegoro, pahlawan pejuang yang legendaris sepanjang masa.

Diponegoro

Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang


Jadi kesimpulannya, kita adalah umat yang tak takut dipimpin Prabowo dan sudah tahu caranya manakala dipimpin oleh Jokowi.

Sumber:
Tri Shubhi A
www.komunitasnuun.org