Monday, June 23, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (5)


Sejumlah Pertanyaan
Terkait dengan proses hukum terhadap saya sampai pada tahap pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sesungguhnya ada banyak pertanyaan relevan yang layak untuk diajukan. Tetapi karena keterbatasan waktu dan dengan pertimbangan mempunyai relevansi langsung dengan dakwaan, perkenankan saya menyampaikan beberapa pertanyaan yang patut untuk dijadikan pertimbangan.

Pertama, oleh karena otentisitas adalah hal yang penting bagi hukum dan penegakan hukum, apakah cukup Surat Dakwaan disusun dari keterangan dan kesaksian seorang saksi yang tidak kredibel, padahal kesaksiannya dijadikan sebagai bahan utama dan bahkan kerangka dasar dari dakwaan?

Jika bahan dasarnya mengandung cacat bawaan dari sisi otentisitas, maka Surat Dakwaan menjadi tidak otentik. Dalam konteks inilah ada masalah serius terhadap kebenaran dan keadilan yang ingin ditegakkan oleh persidangan ini.

Saksi yang saya maksud adalah M Nazaruddin, yang bekerja untuk sebuah atau beberapa kepentingan yang suatu saat insya-Allah akan dibuka oleh sejarah. M Nazaruddin hanyalah tangan atau perkakas yang digunakan oleh kekuatan yang cepat atau lambat akan terbuka. Kekuatan itu memakai metode “nabok nyilih tangan”, memukul dengan meminjam tangan dan pandai berpura-pura untuk menyembunyikan maksudnya.

Anas Urbaningrum di tengah kerumunan para nyamuk pers.

Kedua, oleh karena persidangan ini adalah forum yang amat terhormat dan seluruh fakta persidangan harus dijadikan dasar untuk menemukan kebenaran dan keadilan, apakah persidangan ini masih bisa dijaga kehormatan dan manfaatnya jika pada saat masih proses penyidikan sudah ada pernyataan bahwa saya akan dituntut lebih berat?

Pada beberapa berita tanggal 11 - 12 April 2014, ketika saya masih belum selesai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Jurubicara KPK menyatakan bahwa saya akan dituntut lebih berat. Saat itu saya sempat menanyakan kepada penyidik, apakah masih ada manfaatnya dilakukan pemeriksaan kepada saya, sementara sudah ada pernyataan dari Jurubicara KPK tentang tuntutan. Penyidikan belum selesai, berkas belum dilimpahkan, dakwaan belum selesai disusun dan apalagi dibacakan, tetapi sudah disampaikan bahwa saya akan dituntut lebih berat.

Jika benar bahwa tuntutan kepada saya sudah disiapkan dan bahkan sudah diputuskan lebih berat, apakah maknanya rangkaian persidangan dengan segala fakta-fakta yang terungkap, namun tidak dihargai dan tidak dipertimbangkan?

Apakah itu artinya kerja keras Majelis Hakim, kerja keras JPU, Penasihat Hukum dan terdakwa tidak dinilai penting? Apakah itu berarti persidangan ini hanya upacara untuk melegitimasi sebuah tuntutan berat yang sudah disiapkan? Dan apakah itu sebuah petunjuk bagi kita untuk tidak menghormati proses hukum yang tengah berlangsung?

Anas Urbaningrum masuk di ruang persidangan, nampak di latar belakang pengacara kawakan, Adnan Buyung Nasution.

Ketiga, oleh karena persidangan yang adil adalah berdasarkan pada kemandirian dan obyektifitas, apakah bunyi salah satu point SMS, Ketua Umum dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono, kepada beberapa kader utama Partai Demokrat pada tanggal 19 Oktober 2013, point 6, yang menyebut akan menghadapi saya secara serius setelah lewat pemilu legislatif, tidak akan berimbas kepada persidangan ini?

Tanpa bermaksud berburuk sangka, kita yang merindukan proses hukum yang adil, obyektif dan bermartabat, tentu perlu mempertimbangkan hal tersebut. Sebelumnya ada preseden tidak baik pernyataan desakan kepada KPK dari seorang Presiden yang sedang berkuasa sebelum penetapan saya sebagai tersangka.

Karena itulah lalu muncul pertanyaan, apakah salah satu point dari SMS itu akan terkait dengan proses persidangan ini? Apakah persidangan saya yang dimulai setelah selesainya pemilu legislatif 2014 ada hubungannya dengan hal itu? Apakah yang dimaksud sebagai “akan menghadapi saya secara serius setelah lewat pemilu legislatif,” berarti ancaman terhadap proses dan hasil persidangan yang adil? Apakah itu artinya seluruh kerja keras Majelis Hakim, JPU, Penasihat Hukum dan terdakwa di dalam persidangan ini akan menabrak tembok yang tebal dan kuat?

Beberapa frame "Kenangan Manis" Anas Urbaningrum bersama Pak SBY.

Yang saya muliakan Ketua dan Anggota Majelis Hakim,
Yang saya hormati para Jaksa Penuntut Umum,
Yang saya hormati para Penasihat Hukum,
serta hadirin yang saya hormati,

Atas beberapa pertanyaan tersebut, sungguh saya sangat berharap dan yakin, bahwa jawabannya adalah TIDAK! Saya sungguh berharap dakwaan yang berbasis pada otentisitas fakta-fakta dan kredibilitas serta kualitas kesaksian. Saya berharap bahwa jika persidangan ini akan terus berlangsung, maka proses dan substansinya berjalan tertib sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk menghormati dan memuliakan fakta-fakta persidangan sebagai bagian penting dari ikhtiar mencari kebenaran dan keadilan.

Saya juga sangat berharap bahwa seluruh rangkaian proses dan hasil persidangan berjalan obyektif, adil dan mandiri, tanpa tekanan dari tangan-tangan kekuasaan dan opini yang diorkestrasi sedemikian rupa.


Oleh karena itulah, berdasarkan berbagai hal yang telah saya uraikan mulai dari awal sampai dengan pertanyaan, harapan dan keyakinan saya yang tertuang di dalam Nota Keberatan ini, kiranya Yang Mulia Majelis Hakim, dapat mempertimbangkan untuk menolak, karena dakwaan yang kabur dan tidak jelas dan ada masalah dengan otentisitas data. Dengan demikian, dakwaan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan batal demi hukum dan keadilan.

Saya tahu bahwa selama ini belum pernah ada Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang ditolak dan dibatalkan oleh Majelis Hakim. Bisa dikatakan, bahwa tradisinya eksepsi (Nota Keberatan) terdakwa selalu ditolak oleh Majelis Hakim. Tetapi saya juga mengerti bahwa, bagi Majelis Hakim tidak terikat oleh kebiasaan dan tradisi. Dalam rangka menegakkan keadilan, kebiasaan dan tradisi bisa dilampaui.

Akan tetapi, jika Yang Mulia Majelis Hakim, tidak sependapat dengan Nota Keberatan yang saya ajukan, kiranya hal ini bisa menjadi pembanding awal dari Surat Dakwaan. Jika Majelis Hakim berkenan secara sungguh-sungguh membaca apa yang tersurat dan yang tersirat dari Nota Keberatan ini, saya menyampaikan banyak-banyak terimakasih. Nota Keberatan ini adalah mukadimah dari ikhtiar saya untuk mencari dan menemukan keadilan di dalam persidangan ini.

Sungguh saya sangat berharap perlindungan hukum dan keadilan dari Yang Mulia Majelis Hakim di dalam seluruh rangkaian proses persidangan, karena palu keadilan berada di dalam kebijaksanaan Yang Mulia.


Kepada para Jaksa Penuntut Umum (JPU), kembali saya mengucapkan apresiasi dan ucapan terimakasih. Nota Keberatan ini bukan untuk melawan atau mematahkan Surat Dakwaan, melainkan sebagai tawaran dan ajakan untuk bekerjasama, untuk mencari sebenar-benarnya keadilan dan kebenaran yang akan dinilai oleh Majelis Hakim dan masyarakat.

Terus terang ada beberapa ahli hukum yang menyarankan kepada saya untuk tidak mengajukan Nota Keberatan, karena bisa menyebabkan JPU tersinggung dan marah serta berakibat pada tuntutan yang berat. Tetapi saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa para JPU adalah agen-agen keadilan yang cakap dan obyektif, serta tidak mudah tersinggung. Karena sejatinya tugas JPU, Penasihat Hukum dan terdakwa adalah berusaha menemukan keadilan dan kebenaran yang akhirnya dinilai oleh Majelis Hakim. Apalagi di dalam hukum dan penegakan hukum tidak ada klaim kebenaran yang mutlak dan absolut.

Sekali lagi saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Yang Mulia Majelis Hakim, para Jaksa Penuntut Umum, para Penasihat Hukum dan para hadirin yang telah sudi dan bersabar mengikuti pembacaan Nota Keberatan ini.

Semoga kita semua senantiasa dituntun oleh Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Tuhan Yang Maha Adil.

Selamat siang,
Billahittaufiq walhidayah,
Wassalamu 'alaikum Wr Wb.

Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

Friday, June 20, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (4)


Tentang Aset-aset yang Didakwakan sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Adalah tidak benar kalau disebutkan bahwa saya membeli tanah dan bangunan seluas 693 m2, di Jalan Teluk Semangka, Blok C-9, No. 1, Durensawit, Jakarta Timur, melalui Nurachmad Rusdam. Aset tersebut saya beli dan langsung atas nama saya. Saudara Nurachmad Rusdam hanya membantu teknis proses pembelian. Yang bersangkutan adalah orang yang saya percaya untuk membantu proses pembelian dari penjual, saudari Rany Sari Kurniasih. Amat jelas perbedaan antara membeli melalui Nurachmad Rusdam dengan membeli yang secara teknis diurus oleh Nurachmad Rusdam.

Adalah juga tidak benar, jika disebutkan bahwa dana untuk membeli aset tersebut adalah berasal dari sisa dana hasil Kongres, atau dari Permai Group, atau dari apa yang disebut sebagai kantong-kantong dana yang diperoleh selama saya menjadi Anggota DPR.

Apalagi tidak dijelaskan apa yang disebut sebagai kantong dana, bagaimana kantong itu diisi, isinya berapa, isinya dari mana, kapan diisi, siapa yang mengisi, apa isinya, siapa yang memegang kantong dana dan bagaimana kantong-kantong dana tersebut bisa menjadi aset berupa tanah dan bangunan yang saya sungguh-sungguh beli dengan cara yang sah, serta sumber dana yang halal dan tidak melanggar ketentuan hukum.


Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, saya memang tidak mendapatkan gaji dari partai, tetapi bukan berarti tidak mempunyai penghasilan. Adalah naif menilai seorang Ketua Umum Partai Demokrat tidak mempunyai penghasilan dan kemudian mengaitkan pembelian aset pada tanggal 16 Nopember 2010, setelah saya berhenti dari DPR akhir Juli 2010, dengan jumlah gaji dan tunjangan saya selama menjadi Anggota DPR. Perlu digarisbawahi bahwa aset tersebut saya beli pada saat sudah berhenti dari Anggota DPR dan sudah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dari penghasilan yang tidak ada kaitannya dengan posisi saya sebagai Anggota DPR.

Sementara itu aset-aset yang lain yang didakwakan sebagai aset saya, yang disebutkan diatasnamakan pihak lain, baik mertua saya, Attabik Ali, maupun kakak ipar saya, Dinazad, adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tidak pernah saya membeli aset sebagaimana yang disebut di dalam dakwaan. Aset-aset tersebut tidak ada kaitannya dengan saya dan tidak dibeli dari uang yang berasal dari saya.

Tanah yang dibeli mertua saya, Attabik Ali, di Jalan Selat Makassar, Durensawit, Jakarta Timur, adalah asetnya sendiri dan dimaksudkan untuk posko kegiatan alumni Pesantren Krapyak di Jakarta. Lokasinya bersebelahan persis dengan aset tanah dan bangunan yang saya miliki. Apakah karena bersebelahan persis lalu layak dituduh sebagai penyamaran aset?

Perlu diketahui bahwa jauh pada tahun-tahun sebelumnya, mertua saya juga membeli tanah di wilayah Depok untuk rencana pengembangan pesantren di Jabodetabek. Adalah bukan hal baru kalau mertua saya mempunyai kemampuan untuk membeli aset-aset yang diorientasikan bagi kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi.

Beberapa aset milik Anas Urbaningrum dan keluarganya yang di sita KPK.

Terhadap tanah yang ada di Yogyakarta, baik tanah mertua saya, Attabik Ali dan kakak ipar saya, Dinazad, yang disebut sebagai bagian dari TPPU, adalah sangat mengejutkan dan sekaligus menyakitkan. Terhadap dakwaan aset saya di Durensawit, yang disebut bagian dari TPPU saja, sangat mengagetkan dan mengejutkan. Apalagi aset-aset yang bukan milik saya dan berada di Yogyakarta, yang saya tidak tahu proses pembeliannya.

Yang saya tahu, adalah informasi umum bahwa tanah tersebut dibeli dalam rangka pengembangan pesantren dan bahkan ada yang sudah didirikan fasilitas pesantren. Adalah terlalu memaksa, mengkaitkan aset mertua saya dan kakak ipar saya yang disebutkan dibeli 20 Juli 2011, 29 Februari 2012 dan 30 Maret 2013, dengan apa yang disebut sebagai sisa dana Kongres Partai Demokrat, Mei 2010, dan kantong-kantong dana.

Bahkan di dalam dakwaan sendiri, terlihat keragu-raguan ketika disebutkan bahwa uang sebesar Rp. 20.880.100.000,- atau sekurang-kurangnya sejumlah tersebut yang digunakan oleh terdakwa untuk membelanjakan dan membayarkan pembelian tanah dan bangunan tersebut, patut diduga sebagai hasil Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bagaimana status patut diduga, digunakan sebagai dasar untuk menyita aset dan mendakwa sebagai TPPU?


Sementara terhadap dakwaan pencucian uang yang terkait dengan Ijin Usaha Pertambangan atas nama PT Arena Kota Jaya di Kutai Timur, yang diperoleh tanggal 26 Maret 2010, yang disebutkan atas perintah M Nazaruddin, agar Permai Group mengeluarkan dana sebesar Rp. 3.000.000.000,- adalah tidak terkait dengan saya. Aset tersebut juga bukan milik saya. Saya juga tidak tahu aset tersebut diurus dengan dana dari mana dan apakah terkait dengan hasil tindak pidana korupsi atau tidak.

Saya tidak tahu dasar apa yang digunakan untuk menyebut aset itu sebagai TPPU yang saya lakukan? Mengapa bukan TPPU oleh M Nazaruddin, yang jelas-jelas disebutkan peran dan perbuatannya di dalam Surat Dakwaan?

Jika hal tersebut dipaksakan kepada saya untuk dikaitkan dengan saya, dan saya dikaitkan dengan Permai Group, maka akan menjadi adil dan benar jika seluruh aset Permai Group disita dan didakwakan sebagai TPPU kepada M Nazaruddin dan siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap aset-asetnya.

(Bersambung)

Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

Tuesday, June 17, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (3)


Tentang Kongres Parta Demokrat
Perlu kiranya disampaikan gambaran singkat tentang Kongres Partai Demokrat, tahun 2010, di Bandung, agar sidang bisa menempatkan Kongres pada posisi yang benar dan proporsional.

Kongres II Partai Demokrat di Bandung adalah peristiwa kompetisi politik internal dan sekaligus konsolidasi partai. Karena itu, Kongres adalah forum untuk memilih Ketua Dewan Pembina, Ketua Umum, Formateur, serta untuk menetapkan AD-ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) dan Program Kerja Partai untuk 5 tahun berikutnya.

Berdasarkan AD dan ART hasil Kongres II Partai Demokrat di Bandung, kekuasaan dan kewenangan utama Partai Demokrat berada di tangan Ketua Dewan Pembina yang secara otomatis merangkap sebagai Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Kehormatan. Ketua Umum adalah menjalankan fungsi eksekutif partai dan otomatis merangkap sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi dan Wakil Ketua Dewan Kehormatan.

Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina, merangkap Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Kehormatan.

Dalam proses pemilihan Ketua Dewan Pembina, dilakukan secara aklamasi karena Pak SBY meminta dipilih secara bulat alias aklamasi. Tidak mau ada calon lain yang berkompetisi sebagai Calon Ketua Dewan Pembina. Karena itulah, seluruh peserta Kongres diminta untuk mendukung, termasuk Tim Relawan beserta DPC-DPC yang mendukung saya. Kepada saya, Pak SBY secara khusus juga menyampaikan permintaan untuk didukung dan dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Dewan Pembina, dan itulah yang kemudian dilakukan oleh DPC-DPC yang mendukung saya.

Dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat, baik pada tahap persiapan maupun pelaksanaan, saya tidak pernah menerima sejumlah dana sebagaimana disebutkan di dalam Surat Dakwaan. Bahkan saya tidak pernah tahu dan tidak terlibat di dalam urusan-urusan teknis. Yang saya tahu dan sejak awal menjadi komitmen Tim Relawan adalah iuran dan bergotong-royong dalam urusan pembiayaan.

Sebagai Calon Ketua Umum, saya menegaskan prinsip-prinsip di dalam proses kompetisi, terutama adalah agar tidak menyerang kandidat yang lain, tidak membeli suara, mendukung Pak SBY sebagai Ketua Dewan Pembina dan iuran untuk biaya operasional yang berasal dari sumber-sumber yang baik dan halal.

Pak SBY dan Anas Urbaningrum.

Prinsip-prinsip itulah yang sejak awal saya tegaskan dan sering saya tekankan kembali pada saat pertemuan-pertemuan, baik dengan Tim Relawan maupun dengan DPC-DPC peserta Kongres.

Karena itu, adalah hal yang tidak masuk akal jika disebutkan bahwa saya memerintahkan untuk memberikan sejumlah uang kepada para peserta Kongres dengan tujuan agar memilih saya. Apalagi data-data tentang jumlah DPC yang bertemu dengan saya, baik di Jakarta maupun ketika silaturrahim ke daerah-daerah, termasuk pemberian sejumlah uang saku kepada DPC dan Tim Relawan adalah data fiktif yang tidak jelas dan berubah-ubah.

Demikian juga dengan data-data jumlah DPC dan pemberian sejumlah uang pada saat pelaksanaan Kongres, juga tidak terkonfirmasi dengan data yang benar. Kalau data-data DPC yang disebutkan jumlahnya tersebut benar, maka tidak perlu ada kompetisi di Kongres, apalagi hingga terjadi Kongres 2 putaran, karena seluruh DPC sudah mendukung saya. Faktanya adalah bahwa Kongres berlangsung 2 putaran.

Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Andi Alfian Mallarangeng.

Ada 3 kandidat, saya sebagai terdakwa hari ini, saudara Andi Alfian Mallarangeng dan saudara Marzuki Alie. Saya baru berhasil menang pada putaran kedua, dengan perolehan suara 280 suara. Pada putaran pertama 236 suara. Kalau yang saya urus lebih dari 1.000 DPC maka tidak perlu ada kompetisi di dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.

Perlu juga disampaikan bahwa jabatan Ketua Umum bukanlah posisi yang bersifat pribadi. Bukan pula mengandung makna sebagai kepentingan pribadi. Ketua Umum adalah posisi, tugas dan wewenang yang terkait dengan kepentingan partai yang sejak awal ditandai dengan proses penyusunan kepengurusan DPP Partai Demokrat hasil Kongres sebagai cermin kepentingan kolektif. Bersama-sama dengan Ketua Dewan Pembina dan Tim Formateur yang dipilih oleh Kongres, saya menyusun kepengurusan DPP Partai Demokrat, periode 2010 - 2015.

Semuanya adalah hasil Kongres II Partai Demokrat di Bandung yang didukung oleh para peserta Kongres yang mendukung dan memilih saya. Adalah sebuah kesalahpahaman yang serius jika melihat Ketua Umum Partai Demokrat sebagai posisi dan kekuasaan pribadi serta kepentingan pribadi.

(Bersambung)

Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

Monday, June 16, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (2)


Tentang Penerimaan-penerimaan
1. Kepada saya didakwakan menerima Rp. 2.010.000.000,- dari PT Adhi Karya untuk pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat. Uang tersebut diserahkan Teuku Bagus Mohammad Noor, kepada Munadi Herlambang, Indradjaja Manopol dan Ketut Darmawan atas permintaan Muchayat.

Saya ingin sampaikan pada persidangan yang mulia ini. Saya tidak pernah menerima uang dari PT Adhi Karya, tidak pernah meminta uang kepada PT Adhi Karya, tidak pernah menyuruh seseorang untuk meminta atau menerima uang dari PT Adhi Karya dalam rangka pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat atau untuk kepentingan yang lain. Apalagi disebutkan bahwa itu adalah atas permintaan Muchayat. Kalau benar ada seseorang yang meminta, menjadi aneh kalau hal itu dikaitkan dengan saya. Apalagi jika itu tidak benar. Jelas saya tidak dalam posisi untuk meminta atau menyuruh Muchayat untuk meminta dana dari pihak manapun juga, termasuk PT Adhi Karya.

2. Kepada saya didakwakan menerima dari M Nazaruddin (Permai Group) sebesar Rp. 84.515.650.000,- dan USD $ 36.070,- untuk keperluan persiapan Pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat. Jika benar asumsinya, Permai Group adalah kantong dana saya, maka tidak ada yang salah dengan seseorang yang mengambil dana dari kantongnya sendiri. Ada kontradiksi yang serius di dalam dakwaan ini.


Perlu saya jelaskan bahwa:
a. Tidak ada Posko Khusus untuk Relawan Kongres. Pertemuan atau rapat dilakukan berpindah-pindah, tergantung kondisi dan kesempatan. Salah satunya adalah tempat yang dipunyai oleh M Nazaruddin yang kadangkala dipergunakan untuk pertemuan. Nazaruddin menggunakan tempatnya tersebut (Apartemen Senayan City) juga untuk urusan dan kegiatannya sendiri.

b. Pertemuan dengan 513 DPC pada bulan Januari 2010 di Apartemen Senayan City. Pertemuan dengan 430 DPC pada akhir bulan Februari 2010. Pada 2 pertemuan tersebut didakwakan menghabiskan dana 7 milyar rupiah dan 7 milyar rupiah untuk uang saku, uang operasional dan entertainment. Adalah tidak masuk akal ada apartemen dengan kapasitas maksimal 15 orang bisa mengumpulkan sebanyak ratusan orang. Untuk bertemu dengan 150 orang saja, harus dilakukan 15 kali pertemuan. Jika pada bulan Januari ada pertemuan dengan 513 DPC dan Februari dengan 430 DPC, berapa jumlah DPC di seluruh Indonesia? Apakah jumlahnya DPC 513 ditambah 430 berarti 943 DPC?

Perlu kami sampaikan bahwa peserta kongres adalah 530 peserta. Terdiri dari 1 Dewan Pimpinan Pusat, 33 Dewan Pimpinan Daerah dan 496 Dewan Pimpinan Cabang. Jadi kalau ada DPC jumlahnya 513, apalagi 943, tentu data yang disebutkan itu adalah data yang tidak valid.


c. Disebutkan pula bahwa pada 28 Maret 2010 diadakan tandingan Deklarasi Andi Alfian Mallarangeng (AAM) dengan mengumpulkan 446 DPC ditambah dengan 136 DPC yang sebelumnya hadir diacara Deklarasi AAM. Berarti jumlah DPC yang hadir adalah 446 + 136 = 582 DPC. Belum lagi DPC yang tidak hadir. Lalu berapa jumlah DPC seluruhnya? Disebutkan biaya secara gelondongan yang dikeluarkan kurang lebih 11 milyar rupiah.

d. Disebutkan pula bahwa biaya untuk roadshow ke daerah-daerah (tidak disebutkan dengan jelas di daerah mana saja), dan bertemu dengan berapa DPC. Hanya disebutkan secara imajiner bahwa setiap roadshow diberikan uang saku kepada masing-masing DPC, 20 juta rupiah, korwil masing-masing 50 juta rupiah, dan entertainment masing-masing 20 juta rupiah. Dengan tidak jelas disebut diperlukan biaya kurang lebih 15 milyar rupiah.

Perlu saya sampaikan pada persidangan yang mulia ini, bahwa pertemuan dengan DPC-DPC, baik yang di Jakarta maupun di daerah-daerah yang sempat saya lakukan sebagai bakal Calon Ketua Umum, tidak sampai dengan 300 Dewan Pimpinan Cabang, baik yang di Jakarta maupun di daerah-daerah. Kalau berdasarkan Surat Dakwaan ini lebih dari 1.000 DPC yang sudah saya temui untuk dalam rangka pencalonan saya dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.

e. Disebutkan pula, Deklarasi pencalonan saya di Hotel Sultan dihadiri 460 DPC, diberikan uang saku masing-masing 20 juta rupiah, 37 koordinator masing-masing 50 juta dan entertainment masing-masing 25 juta rupiah. Ditambah biaya Siaran Live Metro TV, 2 milyar rupiah dan siaran di TV-One dan RCTI sebesar 4,5 milyar rupiah. Total menghabiskan dana kurang lebih 20 milyar rupiah. Tidak jelas DPC mana, koordinatornya siapa dan sebagainya. Disebutkan saja secara gelondongan bahwa biayanya kurang lebih 20 milyar rupiah. Tanpa perincian yang jelas dan sebagainya.

f. Begitu pula dengan biaya-biaya yang lain, seperti EO (Event Organizer), pembelian handphone, pembuatan iklan, komunikasi media dan lain-lain disebutkan dengan angka-angka gelondongan yang tidak jelas perinciannya.

Nazaruddin (Bendahara), Anas (Ketua Umum) dan Ibas (Sekretaris Jenderal), duduk sebaris ketika masih aktif sebagai politikus Partai Demokrat.

3. Kepada saya didakwakan menerima uang dari M Nazaruddin (Permai Group) sebesar 30 milyar rupiah dan USD, 5.225.000, untuk keperluan pelaksanaan pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat. Dalam kaitan itu disebutkan bahwa saya memerintahkan M Nazaruddin / M Rahmad untuk menyewa 100 kamar transit, memerintahkan untuk memberikan uang saku sebesar USD 2.000 kepada 490 DPC, hampir 100 persen jumlah DPC, sebelum berangkat ke Bandung, sehingga totalnya mencapai USD 980.000. Sesuatu yang datanya tidak jelas.

Demikian juga ketika Kongres sudah dimulai. Didakwakan bahwa masing-masing DPC mendapatkan 30 juta rupiah dan 37 koordinator masing-masing mendapatkan 100 juta rupiah. Pada hari berikutnya, ada 315 DPC mendapatkan USD 5.000 dan kembali lagi USD 5000, pada hari berikutnya, yaitu pada tanggal 22 dan 23 Mei 2010. Demikian pula pada putaran kedua untuk memperebutkan 73 suara DPC dan koordinator diberikan USD, 10 ribu - USD 30 ribu. Dengan demikian jumlahnya adalah 18 milyar rupiah, ditambah USD 1.575.000, ditambah USD 1.575.000 dan ditambah USD 2.300.000.

Semua hal tersebut tidak jelas, kabur dan tidak berdasarkan data yang benar. Jumlah DPC-nya juga berubah-ubah dan tak disebutkan identitasnya. Hal yang sama adalah tentang koordinator, baik jumlahnya maupun uang yang disebutkan telah dibagikan pada para koordinator.

Dakwaan tersebut dibantah sendiri pada contoh-contoh DPC yang disebut menerima dana untuk mendukung. Dari 13 nama yang disebutkan, tidak ada satu pun nama yang menerima uang sebagaimana dijelaskan pada penjelasan tentang penerimaan dan pembagian uang pada pelaksanaan pemilihan Ketua Umum PD. Semuanya mempunyai keterangan yang berbeda-beda. Lalu, kalau yang disebut menerima dana sebanyak 490 orang dan kemudian berubah menjadi 315 orang, siapa lagi nama-nama penerima dana dan berapa jumlahnya. Apakah 13 nama dengan keterangan yang berbeda-beda bisa dianggap mewakili 490 orang atau 315 orang? Angka yang juga sangat misterius. Angka 490 atau 315 adalah angka yang misterius. Apalagi selalu disebutkan bahwa semuanya atas perintah saya. Suatu dakwaan yang tidak berdasar.


4. Didakwakan juga kepada saya penerimaan 1 mobil Harrier sebagai tanda jadi proyek Hambalang dari PT Adhi Karya. Bagaimana ada tanda jadi proyek Hambalang pada bulan September 2009 dan mengapa tanda jadi diberikan melalui M Nazaruddin (Anugerah Group) yang tidak mendapatkan proyek tersebut? Mengapa pula mobil yang saya beli sebelum menjadi Anggota DPR dipaksakan untuk menjadi gratifikasi? Apalagi gratifikasi dari proyek Hambalang yang tidak ada urusan dan kaitan dengan saya. Amat jelas bahwa pengantar dakwaan gratifikasi mobil Harrier itu adalah pertemuan di Restoran China Pacific Place, September 2009 yang saya tidak pernah tahu dan apalagi disebutkan hadir. Ada tidaknya pertemuan itu sendiri, saya tidak tahu. Bagaimana pula saya bisa disebutkan hadir dan berbicara di dalam pertemuan tersebut?

5. Ada pula dakwaan yang menyebutkan saya menerima penerimaan-penerimaan lain, seperti fasilitas survei dari LSI dan fasilitas mobil Toyota Vellfire dari PT Astrindo Internasional. Perlu saya sampaikan bahwa saya tidak pernah memesan survei dan berjanji untuk memberikan pekerjaan survei Pilkada kepada PT LSI. Karena itu adalah sesuatu yang dipaksakan jika saudara Denny JA yang membantu saya dengan caranya sendiri dimasukkan ke dalam gratifikasi. Demikian pula dengan mobil Toyota Vellfire yang dipinjamkan oleh seorang sahabat dan saya gunakan setelah saya mundur dari Anggota DPR, didakwakan sebagai gratifikasi. Tentu hal ini adalah upaya hukum yang berlebih-lebihan.

Sementara itu pada dakwaan kedua disebutkan bahwa saya melakukan perbuatan berupa; “membelanjakan atau membayarkan uang sebesar Rp. 20.880.100.000,- untuk pembelian sebidang tanah dan bangunan seluas 693 m2 di Durensawit, di Jalan Selat Makassar Durensawit, 2 bidang tanah seluas 200 m2 dan 7870 m2 di Jalan DI Panjaitan, Yogyakarta, sebidang tanah seluas 280 m2 di Panggungharjo, Sewon, Bantul dan 389 m2 di Desa Panggungharjo, yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu terdakwa (saya) mengetahui atau patut menduga, uang yang dipergunakan adalah sebagai hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan, yaitu dengan cara melakukan pembayaran atas pembelian tanah dan rumah milik terdakwa (saya) tersebut melalui orang lain, serta diatasnamakan dan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.

Bahwa didakwakan pembelian aset-aset yang disebutkan tadi dibeli dari dana yang dihimpun bersama M Nazaruddin dalam rangka mempersiapkan diri menjadi Presiden RI tahun 2014, melalui Permai Group dan kantong-kantong dana yang diperoleh selama saya menjadi anggota DPR, termasuk dana sisa pemenangan Kongres Partai Demokrat di Bandung yang disimpan di brankas Permai Group.

Dakwaan ini memakai metode "otak-atik gathuk" yang sangat spekulatif. Bagaimana muncul dakwaan TPPU atas aset yang saya beli dan aset yang bapak mertua saya beli, hanya berdasarkan metode mengkait-kaitkan dan mengkira-kira? Mengkait-kaitkan dan mengkira-kira adalah cara yang sangat dipaksakan dan berbasis pada prasangka buruk (suudhan). Sesuatu yang sangat dilarang oleh agama dan tidak bisa dibenarkan secara hukum.

Aparat KPK dan Kepolisian ketika usai menggeledah rumah Anas Urbaningrum di Durensawit.

Perlu saya sampaikan bahwa melakukan penyitaan aset dan kemudian mendakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan cara yang spekulatif sangat berbahaya. Aset-aset tidak hanya bernilai ekonomi, melainkan juga mengandung nilai ruhaniah dan martabat seseorang atau lembaga.

Menyita dan kemudian mendakwa secara spekulatif adalah termasuk perbuatan batil, siapapun yang melakukan dan atas nama kewenangan apapun juga. Perbuatan batil tidak sejalan dengan keadilan, malah bersahabat dekat dengan kezaliman.

Aset-aset saya yang disita dan kemudian didakwa sebagai TPPU, adalah aset-aset yang saya beli dari penghasilan yang halal setelah saya berhenti dari Anggota DPR, tidak terkait dengan posisi dan kewenangan saya di DPR dan tidak ada hubungannya dengan M Nazaruddin atau Permai Group. Apalagi aset-aset milik bapak mertua saya, tidak ada hubungannya dengan hal itu semua, termasuk tidak ada hubungannya dengan saya. Jelas berbeda aset-aset saya dengan aset-aset milik mertua saya.

Apalagi aset-aset yang dibeli oleh mertua saya adalah dimaksudkan untuk pengembangan pondok pesantren dan bahkan sebagian yang disita dan didakwakan itu sudah didirikan fasilitas pondok pesantren. Bagaimana bisa aset-aset milik mertua saya untuk pengembangan pesantren yang dibeli karena kemampuannya sendiri didakwakan sebagai milik saya yang disamarkan? Kalau biasanya pondok pesantren mendapatkan bantuan, dalam kasus ini malah aset-asetnya yang dibeli dengan kemampuan sendiri dicurigai, disita dan kemudian didakwa sebagai bagian dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Masalahnya bukan pada aset punya siapa dan ada kaitan dengan pengembangan pesantren atau tidak, tetapi secara hukum adalah pada penyitaan dan dakwaan yang spekulatif, berdasarkan prasangka buruk dan prakiraan-prakiraan yang tidak berdasar. Hal ini sungguh melukai rasa keadilan dan martabat kemanusiaan.


Dalam kaitan dengan tanah, saya teringat dengan terminologi Jawa: “Sadumuk bathuk, sanyari bumi.” Makna bebasnya adalah bahwa meskipun hanya sejengkal, karena menyangkut kehormatan, tanah harus dipertahankan dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan dalam tradisi Jawa, disebut “ditohi pati,” meskipun nyawa yang menjadi taruhannya. Tentu maksudnya secara hukum.

Dakwaan terakhir, ketiga, adalah membayarkan uang sejumlah 3 milyar rupiah atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut yang berasal dari Permai Group untuk pengurusan ijin usaha pertambangan (IUP) atas nama PT Arena Kota Jaya, seluas kurang lebih 5.000 - 10.000 ha, di Kutai Timur, yang akan digunakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi (TPK).

Disebutkan bahwa ijin usaha pertambangan (IUP) PT Arena Kota Jaya adalah kekayaan milik saya dan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusannya merupakan hasil dari tindak pidana korupsi (TPK). Karena itulah dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Adalah hal yang mengherankan, sesuatu yang tidak saya lakukan, didakwakan sebagai TPPU kepada saya. Aset yang dimaksud bukan milik saya, saya tidak pernah mengurusnya, tidak pernah pula tahu dan memerintahkan seseorang untuk mengurusnya. Mengapa ada dakwaan TPPU kepada saya? Mengapa bukan kepada M Nazaruddin yang di dalam dakwaan itu dengan jelas disebut memerintahkan Yulianis untuk mengeluarkan dana dari Permai Group?

Nazaruddin, Andi Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum, Trio Politikus Partai Demokrat, yang semuanya kini menjadi tahanan KPK.

Perlu saya sampaikan bahwa sekitar sebulan sebelum KPK mengumumkan saya sebagai tersangka TPPU, M Nazaruddin sudah mengumumkan terlebih dulu kepada beberapa tahanan KPK di lantai 9, gedung KPK. Tentu saja bisa dianalisis, apa peran M Nazaruddin untuk menjadikan saya sebagai tersangka TPPU dengan konstruksi yang dipaksakan, baik pada dakwaan kedua maupun dakwaan ketiga.

Secara umum bisa dikatakan bahwa Surat Dakwaan ini telah disusun dengan sebaik-baiknya oleh tim JPU yang handal. Namun demikian, dengan segala hormat saya merasakan bukan sebagai dakwaan dari tim JPU, melainkan lebih terasa sebagai dakwaan dari M Nazaruddin. Baik dakwaan TPK maupun TPPU, saya lebih merasakannya sebagai dakwaan dari M Nazaruddin.

Ibarat penjahit, tim JPU adalah penjahit yang handal dan berpengalaman. Karena itulah, berhasil memproduksi hasil jahitan yang menarik. Akan tetapi karena jenis dan warna kainnya tidak sama, ukuran kanan dan kiri tidak sama, bahan kainnya ada yang asli ada pula yang palsu, ada bahan yang dibeli di toko resmi dan ada juga yang berasal dari selundupan, maka baju yang dihasilkan adalah baju khusus yang hanya menarik untuk dilihat dari jauh. Tidak menarik kalau dilihat dari dekat, apalagi kalau hendak digunakan.

Sekali lagi, bukan karena kekurangan penjahitnya, tetapi kekurangan atau salah yang membeli bahan karena membelinya di toko penampung bahan-bahan palsu dan selundupan. Beruntung penjahitnya sangat handal dan berpengalaman, sehingga tetap bisa menghasilkan baju baru yang dari jauh terlihat menarik, meski bahan-bahan yang asli hanya sebagian kecil saja.

(Bersambung)
Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

Sunday, June 15, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (1)


Kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim,
Yang Terhormat para Jaksa Penuntut Umum,
Yang Terhormat para Penasihat Hukum,
Para hadirin yang saya hormati,

Assalamu 'alaikum Wr Wb.
Selamat siang,
Salam sejahtera untuk kita sekalian.

Atas perkenan Majelis Hakim, saya berkesempatan untuk menyampaikan Nota Keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disampaikan pada sidang tanggal 30 Mei 2014 yang lalu. Atas itu semua saya sungguh menyampaikan ucapan terimakasih.

Mengawali Nota Keberatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada para penyidik KPK yang telah menjalankan tugasnya sejak tanggal 22 Februari 2013 untuk sangkaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan 28 Februari 2014 untuk sangkaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Setelah bekerja cukup panjang, 25 orang penyidik untuk sangkaan Tipikor dan 24 orang penyidik untuk sangkaan TPPU telah berhasil menyelesaikan tugas dan menyerahkan berkas perkara pada tanggal 8 Mei 2014.

Saya menghargai kerja keras dari tim besar dan jangka waktu kerja yang cukup lama. Saya juga menghargai karena di dalam proses pemeriksaan yang dilakukan untuk saya langsung oleh PLT Direktur Penyidikan dan oleh Ketua Tim Penyidik sangkaan Tipikor. Sungguh ini adalah kehormatan tersendiri buat saya.

Spanduk besar yang terpampang di gedung KPK, "BERANI JUJUR HEBAT!"

Ucapan terimakasih saya sampaikan juga kepada tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin oleh Dr. Yudi Kristiana dan para anggota berjumlah seluruhnya 12 orang yang telah bekerja keras menyusun Surat Dakwaan. Saya tahu tidak mudah menyusun Surat Dakwaan berdasarkan kesaksian dan bukti-bukti yang ada serta penugasan yang diberikan. Tetapi tim JPU telah berhasil menyusun Surat Dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 22 Mei 2014, serta selanjutnya membacakan pada persidangan tanggal 30 Mei 2014. Kerja keras tim JPU haruslah mendapatkan apresiasi yang tinggi.

Terlepas dari ucapan terimakasih dan apresiasi tersebut, ijinkanlah saya untuk menyampaikan pandangan, penilaian dan sikap yang berupa Nota Keberatan terhadap Surat Dakwaan. Apa yang saya sampaikan di dalam Nota Keberatan ini tidak untuk membatalkan ucapan terimakasih dan tidak untuk mengurangi rasa apresiasi, melainkan dengan sungguh-sungguh justru saya ajukan sebagai bentuk kerjasama untuk mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran. Dengan semangat dan motivasi yang sama, saya yakin tim JPU akan sependapat untuk menemukan kebenaran dan keadilan di dalam proses persidangan ini.

Karena itulah Surat Dakwaan perlu dikaji dan diuji dengan jernih, obyektif dan adil berdasarkan kebenaran logika, fakta, bukti, aturan hukum, ilmu dan bahkan kebenaran hati nurani. Surat Dakwaan tidak sepatutnya disusun dan dipertahankan dari logika kewenangan yang diselenggarakan secara absolut. Sekali lagi, semata-mata karena yang harus ditemukan di dalam persidangan ini adalah kebenaran dan keadilan dalam arti yang sesungguh-sungguhnya dan yang sebenar-benarnya.


Saya membaca dengan seksama seluruh rangkaian Surat Dakwaan. Saya juga mendengarkan dengan seksama ketika Surat Dakwaan dibacakan secara bergantian. Tidak ada kata dan kalimat yang terlewatkan. Saya bisa mengerti kata demi kata, kalimat demi kalimat yang disusun dan dibacakan. Tetapi saya tidak berhasil untuk mengerti dan memahami apa substansinya. Dalam keawaman dan keterbatasan saya di bidang hukum, mohon maaf, saya dengan kesadaran penuh menyatakan tidak berhasil untuk memahami substansi dakwaan dan dalil-dalil yang menjadi penyangganya.

Sebelum saya menguraikan mengapa substansi dakwaan dan dalil-dalil yang menjadi penyangga argumentasinya tidak bisa dimengerti, perkenankan saya untuk sedikit mengingatkan sebagian peristiwa yang menyertai proses hukum terhadap saya ini dan karena itu tidak bisa dipisahkan darinya.

Bahwa pada tanggal 4 Februari 2013, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga Presiden Republik Indonesia, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera mengambil langkah yang konklusif dan tuntas terhadap masalah hukum yang diberitakan terkait dengan saya. Ada kutipan sedikit: "Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita ingin tahu kalau itu tidak salah." Saya ingin ulangi Yang Mulia: "Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita ingin tahu kalau itu tidak salah." Artinya saya harus bersalah.


Desakan Pak SBY dilakukan menyusul sebuah rilis survei "khusus", untuk tidak menyebut survei pesanan, yang dengan sigap segera disusul oleh pernyataan-pernyataan yang memojokkan saya, termasuk mendesak saya untuk mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD).

Bahwa pada tanggal 7 Februari 2013, Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), Syarief Hasan, menyatakan sudah mengetahui saya ditetapkan sebagai tersangka dan minta ditunggu saja pengumuman resminya. Pernyataan ini disampaikan Syarief Hasan, setelah selesai rapat dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas.

Bahwa pada tanggal 8 Februari 2013, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Pak SBY melakukan pengambilalihan wewenang dan kepemimpinan Partai Demokrat, serta meminta saya untuk fokus menghadapi masalah hukum di KPK, dan Partai Demokrat siap untuk memberikan bantuan hukum. Pada saat itu saya seolah diposisikan sebagai tersangka, baik dalam point penyelamatan partai maupun pembicaraan empat mata yang saya lakukan dengan Ketua Dewan Pembina atau Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Bahwa pada tanggal 9 Februari 2013, Sprindik saya sebagai tersangka, bocor atau dikeluarkan dan menjadi pemberitaan yang luas di media massa. Bocornya Sprindik tersebut kemudian melahirkan Komite Etik yang kemudian memberikan sanksi kepada beberapa Pimpinan KPK.

Bahwa Sprindik yang sekarang berlaku dan digunakan adalah yang terbit pada tanggal 22 Februari 2013, setelah proses penuh drama dan hiruk-pikuk yang secara luas diketahui oleh masyarakat. Yang khusus dalam Sprindik tersebut adalah bahwa sangkaan kepada saya adalah terkait dengan proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, yang hingga disusun dan dibacakan Surat Dakwaan tidak dijelaskan dengan gamblang apa yang disebut dalam frasa “dan atau proyek-proyek lainnya.


Berbagai peristiwa di internal Partai Demokrat dan dinamika di KPK dalam proses penetapan saya sebagai tersangka ini saya angkat kembali agar persidangan ini tidak melupakan konteks proses yang menyertai dimulainya proses hukum yang kemudian membawa saya sampai pada persidangan ini. Bahwa ada proses yang khas, yang tidak seperti biasanya, yang mengiringi proses hukum tersebut. Tentu hal tersebut tidak bisa dinilai sebagai sebuah kebetulan semata.

Karena itu pula, sesungguhnya saya tidak terlalu terkejut ketika pada bagian awal Surat Dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menggambarkan kenyataan. Kutipannya: "Bahwa pada sekitar  tahun 2005, terdakwa keluar dari Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan selanjutnya berkeinginan untuk tampil menjadi Pimpinan Nasional, yaitu sebagai Presiden RI, sehingga memerlukan kendaraan politik dan biaya yang sangat besar." Sebuah permulaan Surat Dakwaan yang diantarkan dengan kalimat imajiner.

Saya tahu bahwa kalimat tersebut berasal dari keterangan saksi, tetapi materi kesaksiannya adalah imajiner, kalau tidak disebut sebagai fitnah semata. Jika sedikit saja mau mengkonfirmasi kesaksian itu dengan logika, ilmu tentang pilpres dan fakta-fakta, sungguh kalimat pembukaan Surat Dakwaan itu sesungguhnya tidak perlu ada.

Oleh sebab permulaan yang imajiner, maka berikutnya adalah sambung-menyambung kalimat imajiner yang lain dan bersumber dari produsen keterangan yang sama. Kutipan: "Dengan kedudukannya sebagai Ketua DPP Bidang Politik, terdakwa mempunyai pengaruh yang besar untuk mengatur proyek-proyek Pemerintah yang bersumber dari APBN. Pengaruh terdakwa menjadi semakin besar setelah terdakwa mencalonkan diri sebagai Anggota DPR-RI dari Partai Demokrat dan terpilih menjadi Anggota DPR-RI, periode 2009 – 2014, serta ditunjuk sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI." Sungguh ini sambungan kalimat imajiner yang sangat dahsyat pengaruhnya untuk melandasi konstruksi dakwaan lebih lanjut.


Imajinasi selanjutnya adalah kalimat yang menyebut: "Untuk menghimpun dana guna menyiapkan logistik, terdakwa dan M Nazaruddin, bergabung dalam Anugerah Group, yang kemudian berubah menjadi Permai Group, antara lain PT Anak Negeri, PT Anugerah Nusantara dan PT Panahatan, dimana terdakwa menjadi Komisaris PT Panahatan." Hal demikian jelas tidak benar. Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi Komisaris PT Panahatan sebelum mundur pada awal tahun 2009. Selama menjadi Komisaris PT Panahatan, saya tidak pernah mendapatkan laporan tentang keadaan perusahaan dan tidak pernah memperoleh manfaat apapun dari perusahaan tersebut.

Apalagi ketika disebut bahwa saya membentuk kantong-kantong dana yang bersumber dari proyek Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikelola oleh Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang (Proyek Kemendiknas dan Kemenpora), Munadi Herlambang (Proyek Pemerintah di bidang Konstruksi dan BUMN), dan Mahfud Suroso (Proyek Universitas, gedung Pajak dan Hambalang), hal tersebut tidak berbasiskan data yang benar. Belum lagi disebutkan pula bahwa dalam pengurusan proyek yang dilakukan terdakwa melalui Permai Group, terdakwa mendapatkan fee antara 7 - 22 persen yang disimpan di dalam brankas Permai Group. Mengkaitkan saya dengan fee Permai Group dan brankas-nya adalah spekulasi yang jauh dari kenyataan.

Disebutkan pula bahwa setelah saya menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat, saya keluar dari Permai Group dan bahwa selanjutnya dalam pengurusan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai APBN/APBNP 2010 dari Kemenpora dan Kemendiknas, saya berkoordinasi dengan M Nazaruddin dan Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat. Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak pernah berkoordinasi dengan M Nazaruddin dan Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat untuk mengurus proyek-proyek mitra kerja. Misalnya tuduhan bahwa saya pernah bertemu dengan M Nazaruddin, Mahfud Suroso dan Wafid Muharram di Chatter Box Plaza Senyan untuk membahas proyek Hambalang adalah cerita fiktif belaka.


Demikian pula tentang tuduhan kepada saya yang memerintahkan Ignatius Mulyono, untuk menanyakan pengurusan sertifikat tanah Hambalang ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah keterangan pelintiran. Yang terjadi adalah permintaan M Nazaruddin kepada Ignatius Mulyono, sebagaimana perintah M Nazaruddin kepada Mindo Rosalina Manulang, untuk mengurus sertifikat tanah Hambalang ke BPN yang sudah disampaikan pada persidangan-persidangan terdakwa yang lain. Amat jelas hal ini terkait dengan keinginan M Nazarddin untuk mendapatkan proyek Hambalang, dan bahkan sudah mengeluarkan dana untuk kepentingan itu.

Adalah fiktif belaka, tuduhan bahwa saya meminta M Nazaruddin untuk mundur dari proyek Hambalang. Saya tak pernah meminta siapapun untuk maju atau mundur di proyek Hambalang dan proyek-proyek manapun juga, karena itu bukan menjadi perhatian dan pekerjaan saya.

Jika benar saya meminta M Nazaruddin mundur dari proyek Hambalang dan kemudian M Nazaruddin setuju, tentu M Nazaruddin tidak marah-marah kepada Mindo Rosalina Manulang karena telah gagal mendapatkan proyek Hambalang dan kemudian meminta uang yang telah dikeluarkan Permai Group agar dikembalikan. Kesaksian Mindo Rosalina Manulang pada beberapa persidangan terdakwa yang lain, jelas menyebutkan bahwa M Nazaruddin marah-marah dan meminta uangnya dikembalikan karena mendapatkan informasi tidak mendapatkan proyek tersebut.

(Bersambung)

Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

Friday, June 6, 2014

Sisi Lain Prabowo

Prabowo Subianto, Menhankam Pangab Jenderal LB Moerdani, Titiek Soeharto.

Kisah tentang Jokowi sudah banyak kita published, sekarang kita share sisi lain Prabowo Subianto yang tidak pernah terungkap (untold story).

Eng ing eeeng ... Sedikit orang yang tahu bahwa perkawinan Prabowo Subianto dengan Titiek Soeharto di TMII pada tanggal 8 Mei 1983, adalah berkat jasa Jenderal LB Moerdani (LBM). Prabowo, yang pada tahun 1982-1985 berpangkat Mayor adalah staf khusus Menhankam/Pangab LB Moerdani. Moerdani sudah lama mengamati Prabowo. Sejak lulus Akmil berpangkat Letda, Moerdani serius mencermati dan menilai perilaku, karakter dan kinerja Prabowo. Kesimpulannya: Luar Biasa.

Disamping memiliki kejeniusan (IQ 152), Prabowo sangat berani, patriotik, dan sangat cinta tanah air. Dalam cerita-cerita Jawa, disebut sebagai Senopati Wirang. Saat itu, Menhankam/Pangab LB Moerdani tahu persis bahwa Prabowo sudah dijodohkan dengan putri seorang jenderal yang juga seorang dokter, namun Moerdani diam-diam tidak setuju.

Pada tahun 1982-1985 itu, LB Moerdani adalah tokoh yang sangat dipercayai oleh Presiden Soeharto. Saran-sarannya didengar dan sering diterima oleh Pak Harto. Besarnya Kepercayaan Soeharto kepada Moerdani adalah karena dia selalu menunjukkan loyalitasnya terhadap Soeharto. Jadi LBM adalah pengaman bagi kekuasaan Soeharto dan Orba.

LB Moerdani kebetulan adalah penganut Katolik, agama yang sama dengan Ibu Tien saat itu. Sedangkan Pak Harto adalah penganut Islam Abangan, lebih ke Kejawen (Bhirawa). Moerdani melobi Ibu Tien agar setuju mengambil Mayor Prabowo menjadi menantu, dan menjodohkannya dengan Titiek (Siti Hediati Harijadi) Soeharto. Bu Tien akhirnya setuju dan Pak Harto pun menyetujuinya. Mereka (Pak Harto dan Bu Tien) tidak tahu bahwa Prabowo sebenarnya sudah bertunangan. Akhirnya tunangan dibatalkan, dan Prabowo menikahi Titiek.

Semula LB Moerdani berharap Prabowo akan menjadi mata dan telinganya di Cendana. Menjadi tangan kanan Moerdani dalam menggapai cita-citanya. LB Moerdani tidak menyangka Mayor Prabowo setelah jadi menantu Soeharto ternyata malah mengkhianati Moerdani, karena Prabowo lebih berpihak kepada Pak Harto dan keluarga Cendana.

Siti Hediati Harijadi (Titiek) dan Letjen Prabowo Subianto.

Moerdani salah menganalisa dan menilai Prabowo sebagai penganut Islam Abangan, karena berayahkan sosialis sekuler, ibu dan saudara-saudaranya banyak yang Kristen atau non muslim. Moerdani merasa tidak berisiko ketika dia memaparkan rencananya selaku Menhankam/Pangab untuk menghancurkan Islam di Indonesia secara sistematis. Termasuk rencana Moerdani untuk merekayasa stigma negatip pada umat Islam Indonesia sebagai “ancaman” terhadap NKRI dan kekuasaan Soeharto.

Contohnya adalah ketika ABRI membantai ratusan umat Islam pada peristiwa Tanjung Priok. Moerdani melakukan pengkondisian agar Islam menjadi "musuh" Negara! Sehingga Islam sama dengan "musuh" Negara!

Moerdani memaparkan bagaimana caranya ABRI menciptakan “terorisme Islam”, “pembangkangan Islam”, atau “Islamophobia” dan seterusnya. Lalu menumpasnya secara keji. Moerdani menapaki karier di ABRI dengan cara menciptakan Islam sebagai “musuh” Negara dan kemudian ditumpasnya. Penghargaan dan pujian Soeharto didapatkannya karena prestasinya itu.

Ketika Prabowo tahu rencana besar dan rekayasa-rekayasa yang dilakukan Moerdani dalam rangka membenturkan Islam dengan Pak Harto, dia lalu membocorkannya. Prabowo melaporkan rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia kepada Soeharto, mertuanya. Pak Harto kaget, marah dan menyesalkan.

Sebelumnya, Pak Harto sudah lama mendengar adanya rekayasa petinggi ABRI terhadap sejumlah peristiwa terkait “makar” kelompok Islam, tapi Pak Harto abaikan. Ia nilai itu hanyalah ekses rivalitas di internal ABRI. Namun kali ini informasi itu datang dari Prabowo, menantunya sendiri.

Prabowo menilai Moerdani punya agenda lebih besar dengan merekayasa benturan antara umat Islam dengan Soeharto karena Moerdani ingin menjadi Presiden. Cita-cita Moerdani menjadi Presiden setelah Pak Harto lengser sangat besar, namun hanya bisa terwujud jika Islam dan Pak Harto bermusuhan.

Karena jika hubungan umat Islam dan Pak Harto baik dan normal, maka akan sulit bagi Moerdani yang beragama Katolik menjadi wapres pada tahun 1988. Pak Harto pasti lebih memperhatikan aspirasi umat Islam saat penetapan wapresnya pada 1988. Oleh sebab itu hubungan Soeharto dengan Islam harus dirusak. Selanjutnya, Moerdani berharap, setelah menjabat wapres pada 1988, kemungkinan besar Pak Harto akan mundur pada 1993. Saat itulah otomatis Moerdani akan menjadi RI-1.

Rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia ini dinilai Prabowo sangat membahayakan posisi Pak Harto. Karena Islam adalah agama mayoritas di Republik Indonesia. Akan lebih kecil risikonya bagi Soeharto bila membina hubungan baik dengan umat Islam yang mayoritas daripada menjadikan Islam sebagai musuh negara.

Mbak Titiek dan Pak Harto (kiri), Jenderal LB Moerdani (kanan).

Setelah mendapat laporan dari Prabowo mengenai rencana keji ABRI yang diotaki Menhankam/Pangab LB Moerdani, Soeharto tidak langsung bertindak. Dia mengamati secara diam-diam.

Pak Harto diam-diam mencegah rencana keji LB Moerdani dengan menempatkan dan mempromosikan sejumlah perwira tinggi ABRI yang kuat keislamannya. Selain mempromosikan perwira-perwira ABRI yang Islam, Pak Harto juga mempromosikan perwira-perwira dari kesatuan lain yang tidak berhubungan dengan jaringan Moerdani. Akibatnya Menhankam/Pangab Moerdani tidak lagi bisa bergerak bebas karena dikelilingi oleh jenderal-jenderal Islam (TNI Hijau). Dia akhirnya terjepit, tak bisa berkutik.

Puncak kekesalan Moerdani terjadi ketika Pak Harto mencopot LB Moerdani dari jabatan Panglima ABRI pada tahun 1988 dan menunjuk Jenderal Try Soetrisno menjadi penggantinya. Try Soetrisno tidak berasal dari Akmil tapi dari Atekad (Akademi Teknik Angkatan Darat). Bukan pula perwira intelijen, sehingga tidak ada sentuhan dari Moerdani sama sekali.

Moerdani yang marah dan kecewa terhadap Soeharto kemudian merencanakan balas dendam besar-besaran dengan rencana untuk menjatuhkan Soeharto. Sebelum itu, pada tahun 1984, Moerdani berhasil mengompori umat Islam agar marah kepada Soeharto dengan cara mendorong Soeharto agar menerapkan kewajiban Azas Tunggal kepada seluruh organisasi politik maupun ormas.

Seluruh ormas dan partai di Indonesia harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Tidak boleh ada azas Islam atau azas-azas yang lain. Semua harus berazas Pancasila. Tidak boleh ada yang lain!

Munculnya reaksi keras umat Islam terhadap penerapan Azas Tunggal Pancasila memang diharapkan sekali oleh Moerdani. Bahkan Moerdani berupaya mengkondisikan agar umat Islam mau berontak. Jaringan intelijen Moerdani disusupkan ke ormas-ormas Islam dan ditugaskan untuk mengipas-ngipasi tokoh-tokoh Islam agar memberontak terhadap Soeharto. Tujuannya agar Soeharto marah kepada umat Islam dan Islam dinilai sebagai ancaman terhadap Negara dan Soeharto, dengan demikian ABRI lalu diperintahkan untuk membantai “musuh” Negara tersebut.

Rencana Benny Moerdani itu kandas, bahkan gagal total, karena ormas-ormas Islam juga didekati orang-orang Soeharto dan diberi pengertian perihal kondisi sebenarnya. Moerdani kemudian tahu bahwa penyebab kegagalan rencana besarnya men-stigmatisasi Islam sebagai “musuh” Negara dikarenakan laporan Prabowo.

Prabowo sempat “dibuang” oleh Moerdani dengan memutasikannya menjadi Kasdim (Kepala Staf Kodim), namun beberapa waktu kemudian oleh Kasad Jenderal Rudini, Prabowo akhirnya dipulihkan. Sejak itu, dalam otak Moerdani hanya ada 2 musuh besar yang harus dihancurkan yakni Prabowo Subianto dan Soeharto.

Jenderal LB Moerdani (kiri). Kenangan saat wisuda Mbak Titiek dan Mas Bowo (kanan).

Moerdani menyusun rencana strategis
Karena puluhan tahun menjadi “dewa” di kalangan ABRI dan di lingkungan intelijen, antek-antek Moerdani masih banyak tersebar. Dua orang yang menonjol adalah Luhut Panjaitan dan AM Hendropriyono. Meski LB Moerdani sudah tidak jadi Panglima ABRI dan Menhankam, namun dia masih bisa memerintahkan Hendropriyono untuk mem-back up PDI Megawati atau yang sekarang populer sebagai PDI Perjuangan alias PDI-P.

Saat itu Megawati adalah simbol perlawanan terhadap Presiden Soeharto, khususnya melalui PDI. Kongres PDI terpecah menghasilkan PDI kembar. Keberadaan PDI kembar, yang satu diketuai Soerjadi dan satu lagi dipimpin Megawati, bisa terjadi karena ada dukungan jenderal-jenderal yang pro-Moerdani.

Keberhasilan Prabowo meyakinkan Pak Harto dan Ibu Tien terhadap bahaya besar yang sedang direncanakan Moerdani, menyebabkan Pak Harto dapat menerima dan mempercayai Prabowo sepenuhnya, termasuk saran Prabowo agar Pak Harto membina hubungan lebih mesra lagi dengan umat Islam.

Penerapan Azas Tunggal Pancasila yang menimbulkan reaksi keras umat Islam, akhirnya tidak meletus menjadi bencana nasional karena perubahan sikap Pak Harto ini. Pak Harto mulai mendekati Islam. Akhirnya Ibu Tien pun memeluk agama Islam dan menjadi mualaf, disusul kemudian dengan Pak Harto sekeluarga menunaikan Ibadah Haji di Mekah. Pak Harto akhirnya berhasil membangun hubungan yang harmonis dengan umat Islam. Suatu hubungan baik yang belum pernah terjalin selama 24 tahun Soeharto berkuasa.

Tahun 1990 merupakan tahun kemerdekaan umat Islam Indonesia setelah “dijajah” dan “ditindas” selama 24 tahun oleh Orde Baru, Soeharto. Puncaknya, pada tanggal 7 Desember 1990, organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan di Universitas Brawijaya, Malang. Dan dari hasil Pemilu tahun 1993, menteri-menteri kabinet dan petinggi-petinggi ABRI mulai dijabat para tokoh dan perwira Muslim.

Namun Benny Moerdani dan kelompoknya masih terus mencari jalan bagaimana menghancurkan Soeharto dan Prabowo. Akhirnya ditemukan cara, yakni penculikan! Maka terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah warga pada tahun 1997 menjelang Pemilu dan kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan setelah Sidang Umum MPR 1998.

Tragedi reformasi Mei 1998, yang selalu dikenang karena terjadinya penculikan dan pembunuhan beberapa aktivis dan mahasiswa.

Saat terjadi penculikan dan pembunuhan menjelang Pemilu 1997, sama sekali belum ada tuduhan kepada Kopassus sebagai terduga pelakunya. Namun ketika Tim Mawar melakukan penculikan aktivis pada tanggal 2-4 Februari 1998 dan 12-13 Maret 1998 terjadi kebocoran operasi.

Kebocoran informasi mengenai operasi Tim Mawar dalam rangka pengamanan Sidang Umum MPR terjadi karena ada 1 target, yakni Andi Arief, belum bisa diringkus. Andi Arief sempat kabur, dicari kemana-mana, akhirnya ditemukan di persembunyiannya di Lampung, Pulau Sumatera. Lalu dibawa ke Jakarta lewat jalur darat via Bakauheni.

Saat Tim Mawar menaiki kapal feri di Bakauheni, petugas polisi menghentikan Tim Mawar yang membawa Andi Arief dalam keadaan mata tertutup kain. Meski Tim Mawar kemudian diizinkan masuk feri setelah menunjukkan kartu pengenal Kopassus, kejadian ini tetap dilaporkan polisi ke Den Pom Lampung.

Komandan Den Pom Lampung meneruskan info ini ke Dan Puspom TNI di Jakarta. Saat itulah info bocor, lalu ditunggangilah kasus ini oleh oknum-oknum TNI binaan Moerdani. Peristiwa penangkapan Andi Arief di Lampung yang kemudian dibawa ke Jakarta pada tgl 28 Maret 1998 ini akhirnya ditunggangi dengan terjadinya kasus penculikan lain.

Penculikan lain atau susulan terjadi pada tanggal 30 Maret 1998 dengan korban Petrus Bima Anugrah, yang dilakukan oleh tim lain yang bukan Tim Mawar. Sebelumnya tim lain juga sudah menunggangi penculikan Herman Hendrawan pada tanggal 12 Maret 1998. Para korban ini hilang atau mati dibunuh.

Korban penculikan dari tim lain semuanya mati dibunuh, mayoritas non-Muslim, agar menimbulkan kesan bahwa penculikan dan pembunuhan itu dilakukan oleh Kopassus pimpinan Prabowo, jenderal pembela umat Islam Indonesia.

Fitnah terhadap Prabowo dan Kopassus melalui penculikan dan pembunuhan warga dan aktifis adalah untuk tujuan akhir melemahkan Soeharto. Kenapa? Karena untuk menghancurkan Soeharto harus dihancurkan terlebih dahulu penopang utama kekuasaan Soeharto yakni TNI. Dan kekuatan inti TNI berada di Kopassus sebagai kesatuan elit yang paling dibanggakan oleh TNI.


Moerdani cs hancurkan Soeharto dengan cara hancurkan TNI
Pemilihan target korban yang umumnya non-Muslim atau Katolik dimaksudkan untuk “menghilangkan jejak pelaku” sekaligus memancing perhatian Dunia. Seolah-olah di Indonesia sedang berkuasa rezim Soeharto yang anti Katolik dan anti Kristen. Media-media yang dimiliki umat Katolik dan Kristen pun bersuara sangat keras.

Akibatnya, Prabowo, Kopassus, TNI, dan Soeharto babak belur dihajar dan difitnah oleh Moerdani cs melalui penunggangan operasi Tim Mawar ini. Namun Pak Harto masih tetap bertahan. Sampai akhirnya terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang diawali dengan penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti. Peristiwa Trisakti ini, jelas ditunggangi oleh kelompok Benny Moerdani dengan memfitnah Polres Jakarta Barat, Brimob dan Kopassus sebagai pelakunya.

Sementara itu, krisis Moneter yang sedang terjadi saat itu, diperburuk dengan perampokan fasilitas dana BLBI oleh para bankir China melalui rekayasa kredit dan tagihan pihak ketiga yang macet dll. Sampai hari ini, Negara kita masih terbebani utang BLBI sebesar lebih dari Rp 600 triliun, dan baru akan lunas dibayar melalui APBN hingga tahun 2032 yang akan datang.

Krisis moneter, rekayasa opini, fitnah, dan kerusuhan Mei 1998 menjadi penyebab utama kejatuhan Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Pada saat terjadinya kerusuhan Mei 1998, kembali TNI, Kopassus dan Prabowo dijadikan kambing hitam oleh kelompok Moerdani cs yang berkolaborasi dengan konspirasi global (KG).

Situasi kacau dan tak terkendali tersebut dimanfaatkan para perusuh yang patut diduga merupakan kesatuan dari loyalis Moerdani cs untuk membakar kota dan mengeruhkan situasi. Kehadiran sekelompok orang tidak dikenal yang membuat rusuh dan terkordinir inilah yang dibaca Prabowo sebagai faktor dominan yang membahayakan negara.


Paska kerusuhan, dikembangkan opini sampai ke seluruh dunia, seolah-olah telah terjadi pemerkosaan terhadap wanita-wanita China. Tuduhan itu tidak terbukti sama sekali. Secara teori pun mustahil ada orang yang sempat dan masih berhasrat melakukan pemerkosaan di tengah-tengah kerusuhan. Bahkan katanya dalam melampiaskan nafsu bejat itu mereka sambil meneriakkan takbir. Sungguh fitnah keji yang tak masuk akal!

Tuduhan itu memang ditargetkan untuk mengebiri TNI, menjatuhkan Soeharto dan menghancurkan Prabowo. Fitnah itu sukses besar. Soeharto pun termakan fitnah tersebut. Laporan beberapa jenderal yang langsung kepada Pak Harto menghasilkan pengusiran Prabowo oleh keluarga Cendana karena dianggap sebagai pengkhianat. Prabowo tidak diberi kesempatan menjelaskan fakta sebenarnya kepada Soeharto. Operasi intelijen, penyesatan fakta dan informasi Moerdani cs, terbukti sukses. Operasi itu sangat rapi, cermat dan dibantu oleh media-media kolaborator Moerdani seperti harian Kompas Grup dll. Prabowo dicap pengkhianat Soeharto.

Peran KG (konspirasi global) sangat dominan. Sejak Pak Harto dan Ibu Tien menjadi mualaf dan mesra dengan umat Islam, Soeharto tidak lagi jadi “hadiah terbesar” bagi Amerika Serikat. Kebangkitan Islam Indonesia di era 1990-an dinilai menjadi ancaman serius oleh AS, Barat seumumnya, Australia dan juga Singapura.

Sejalan dengan teori pasca perang dingin, tulisan Samuel P. Huntington dalam “The Clash of Civilization” (benturan peradaban) terus-menerus dikembangkan oleh negara-negara Barat terutama AS. Melalui opini di segala lini, Islam dikembangkan sebagai musuh baru bagi dunia Barat pasca kejatuhan Komunis Uni Soviet dan Eropa Timur. Islam di negeri ini juga dinilai sebagai bagian dari ancaman internasional itu.

Upaya penjatuhan Soeharto yang sedang mendorong kebangkitan kembali Islam di Indonesia setelah 24 tahun “dijajah” bangsa sendiri, telah dijadikan agenda utama oleh KG. Penjatuhan Soeharto itu sekaligus digunakan pula untuk sarana melakukan imperialisme baru atas Indonesia melalui LOI antara IMF dan RI yang telah terbukti menghancurkan kedaulatan NKRI.

Plus dengan menerapkan demokrasi liberal yang sejatinya tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, menyebabkan para kapitalis dengan amat mudah menjadi penguasa-penguasa baru Indonesia. Dan senjatanya hanya satu, yakni money (uang). Inilah cikal-bakal meruyaknya money politics di negeri ini.

Era 1998-2004, Indonesia mengalami gonjang-ganjing tanpa henti. Gangguan keamanan dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Ekonomi morat-marit dan pers menjadi sangat liberal tak terkendali. Dan akhirnya, Pers menjadi penguasa baru yang dominan. Pers, baik media cetak maupun elektronik, membentuk opini, mengarahkan persepsi rakyat sesuka hati dan sesuai agenda kapitalis liberal. Selera hedonis menurut masing-masing individu menjadi sangat marak. Bahkan negeri ini menjadi negeri yang paling liberal di atas panggung dunia.


Pers telah menjelma menjadi The First State. Opini pers mampu mengendalikan kebijakan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Trial by the press menjadi tontonan sehari-hari. Suara pers menjadi suara kebenaran, seolah-olah menjadi wakil suara Tuhan di negara demokrasi.

Pencopotan Prabowo selaku Pangkostrad juga disebabkan penyesatan informasi dan opini. Bermula dari laporan ke Panglima TNI tentang adanya pasukan liar. Pangkostrad Prabowo mengantisipasi gerakan pasukan liar tersebut dengan mengerahkan pasukan Kostrad dalam rangka pengamanan. Tapi gerakan Prabowo ini malah jadi sasaran tembak kesalahan. Lagi-lagi Prabowo dijadikan kambing hitam.

Apalagi ketika hasil penyisiran gedung-gedung di sekitar Istana (Ring 1), ternyata ditemukan sejumlah besar senjata dan amunisi, termasuk di Gedung Humpus (Gambir), milik Tommy Soeharto. Kontan Prabowo dituduh sebagai penimbun senjata dan amunisi dalam jumlah besar yang ditemukan di lantai 3 Gedung Humpus, milik adik iparnya tersebut. Sekali lagi, Prabowo telah dengan empuk difitnah.

Usaha Prabowo menjelaskan bahwa dirinya mustahil melakukan kudeta atau menggulingkan kekuasaan tidak diterima Presiden Habibie. Opini yang begitu kuat menyudutkan Prabowo adalah hasil misinformation (penyesatan) dan deception (pengelabuan) oleh kelompok Moerdani cs.

Begitu kuatnya rekayasa opini dan fitnah yang dilancarkan kepada Prabowo, sehingga Habibie, petinggi-petinggi TNI dan publik lupa pada satu hal. Mereka lupa satu hal yang sudah menjadi sifat dan karakter dasar Prabowo yang sudah sejak muda belia menjadi ciri khas atau trade mark-nya, yakni bahwa Prabowo Subianto memiliki patriotisme yang luar biasa!

Kenangan manis ketika Mbak Titiek dan Mas Bowo masih utuh rumah tangganya.

Dalam suatu kesempatan, kami (TrioMacan) pernah ditegur keras oleh Mayjen Haryadi Darmawan, mantan Ketua ILUNI (Ikatan Alumni UI). “Saya jamin dengan jiwa raga saya tentang patriotisme Prabowo !!! Orang seperti Prabowo tidak akan mungkin melakukan tindakan sekecil apapun yang dapat membahayakan negara!” Itu pesan Haryadi pada kami.

Jadi kesimpulan kami, tokoh seperti Prabowo-lah yang dibutuhkan bangsa ini. Tokoh yang sepanjang hidupnya hanya memikirkan nasib bangsa dan negaranya. Untuk itu ia telah mengorbankan pangkat dan jabatannya, harga dirinya, dan bahkan telah mengorbankan rumah tangganya.

Tokoh seperti Prabowo-lah yang dibutuhkan rakyat Indonesia saat ini. Tokoh yang akan jadikan Indonesia kembali menjadi “Macan Asia”. Bukan sekedar kuli dan jongos dari bangsa asing!

MERDEKA !!!

Sumber:
Trio Macan
http://linkis.com/chirpstory.com/li/UUt36

Sunday, June 1, 2014

Mencari yang Terbaik

Pasukan Hitler berbaris memasuki kota-kota besar di Eropa pada dekade perang tahun 1940-an (kiri). Pemikir dan filosof Walter Benjamin (kanan).

Membuka kembali lembaran masa lalu yang sarat pengalaman pahit adalah tentatif. Padahal fragmen-fragmen sejarah, memang seharusnya disimpan rapi dalam ingatan dan tidak dihapuskan begitu saja. Ingatan kolektif yang kemudian terbentuk bisa menjadi landasan bagi semua pihak untuk mengambil keputusan sehingga pengalaman pahit masa lalu tidak terulang kembali dan ketidakadilan tidak menjadi abadi. Sejarah adalah titik tolak untuk melangkah ke depan.

Refleksi ini, antara lain, disampaikan pemikir Walter Benjamin (1968) dengan merujuk pada pengalaman pahit ketika menjadi korban kekerasan selama perang berkecamuk di Eropa pada dekade 1940-an.

Untuk konteks Indonesia, refleksi itu selalu relevan, karena sejarah kita penuh dengan cerita kekerasan dan tragedi. Namun, kebenaran tentang kekerasan dan tragedi itu banyak yang masih menjadi misteri.

Refleksi itu juga selalu relevan karena dalam perjalanan bangsa, kita sering menghadapi situasi di mana sebagian orang berusaha melupakan apa yang telah terjadi. Pada sisi lain, entah mempunyai watak dasar pemaaf atau pelupa, masyarakat kita juga begitu mudah berdamai dengan masa lalu, memaafkan para pelaku dan melupakan kesalahannya.


Pencapresan Prabowo
Pencalonan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto sebagai presiden niscaya akan dikaitkan dengan apa yang telah terjadi menjelang reformasi tahun 1998, ketika sejumlah aktivis diculik, diinterogasi, disiksa, dan sebagian tidak pernah kembali.

Belum jelas dan tegas benar bagaimana dan sejauh mana keterlibatan Prabowo dalam “proyek” kekerasan terhadap para aktivis pro-demokrasi itu. Namun karena pasukan yang dipimpinnya terindikasi terlibat, beberapa pihak meyakini peran Prabowo. Kedatangan orang-orang Prabowo kepada orangtua korban penculikan, beberapa waktu lalu, seolah-olah menegaskan hal itu.

Ingatan dan kontroversi tentang penculikan para aktivis selalu menghantui kiprah figur politik seperti Prabowo. Akan lebih mudah bagi masyarakat, juga mungkin bagi Prabowo, jika lembaga yudikatif, Komnas HAM, dan pemerintah berhasil membuat keputusan resmi yang menegaskan posisi Prabowo dalam tragedi itu, dan mengakhiri spekulasi yang berkembang.

Ingatan akan masa lalu itu menjadi penting dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Kita tentu tidak ingin bangsa Indonesia sekadar asal mencoblos pada pilpres nanti, tetapi benar-benar mencoblos demi hadirnya pemimpin yang berkualitas.

Jenderal AH Nasution (kiri) dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto (kanan).

Legitimasi politik pilpres antara lain ditentukan oleh sejauh mana warga negara mengetahui benar rekam jejak dan masa lalu calon pemimpin mereka. Dengan demikian, warga negara akan memilih pemimpin mereka secara rasional, berdasarkan pengetahuannya tentang plus-minus perihal kualitas pemimpin itu.

Dapat dibayangkan betapa rendahnya legitimasi (kualitas) pilpres jika banyak warga negara yang ketika memilih presidennya tanpa tahu benar bagaimana rekam jejak sosok yang dipilihnya. Sungguh tidak bermutu jika jalan menuju panggung kekuasaan tertinggi eksekutif itu diraih dengan modal lupa sejarah (politik) dan politik uang.

Dalam konteks ini, akan lebih baik bagi capres Prabowo secara terbuka dan transparan menjelaskan posisinya dalam tragedi penculikan aktivis pro-demokrasi di senja Orde Baru kala itu. Apa benar dia terlibat, sejauh mana? Jika tidak terlibat, di mana kedudukan dia sebagai komandan pasukan khusus kala itu? Jika dia terlibat, janji-janji apa yang bisa diberikan agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama?

Pada satu titik, kita sebagai bangsa memang harus berdamai dengan masa lalu, memaafkan pelaku sejarah atas kesalahannya. Namun, berdamai dan memaafkan tidak mungkin dimulai dengan lupa sejarah (politik). Berdamai dan memaafkan harus dimulai dengan “ingat” dan pengakuan secara terbuka tentang apa yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu.

Poster kampanye pemilihan walikota Surakarta, Ir H Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo.

Mengingat janji
Namun, problem lupa sejarah (politik) tidak hanya relevan dibahas dalam konteks pencapresan Prabowo. Pada gradasi dan kadar keseriusan yang berbeda, capres Joko Widodo (Jokowi) juga menghadapi masalah yang sama.

Jokowi mestinya ingat dan tidak boleh lupa akan janji-janji politik yang dia tebarkan kepada warga Jakarta ketika mencalonkan diri menjadi gubernur DKI. Datang ke Jakarta dengan meninggalkan kedudukannya sebagai walikota Solo, Jokowi berjanji untuk membawa Jakarta menuju perubahan dan perbaikan selama 5 tahun. Jokowi menabur harapan, sehingga banyak orang yang terpikat oleh pesona diri dan keseriusannya. Dan oleh karena itulah Jokowi akhirnya mendapat mandat warga Jakarta untuk menjadi gubernur DKI selama 5 tahun.

Dalam konteks ini, tentu tidak cukup jika Jokowi hanya mengajukan cuti untuk nyapres kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selayaknya dan sudah seharusnya, Jokowi meminta izin terlebih dahulu kepada seluruh warga Jakarta dan meminta maaf kepada mereka karena masih banyak meninggalkan hutang pekerjaan, ditambah banyak absen selama proses pencapresan, dan kemungkinan besar tidak akan pernah bisa mewujudkan janji-janji politik yang telah diucapkannya di kala kampanye pilgub saat itu.

Joko Widodo alias Jokowi dalam pakaian budaya wayang wong (wayang orang).

Dari sudut pandang etika politik, pencalonan Jokowi semestinya tidak meninggalkan preseden buruk. Satu jabatan publik (Walikota Solo) telah ditinggalkan begitu saja demi jabatan publik yang lebih tinggi (Gubernur DKI). Namun jabatan publik yang lebih tinggi (Gubernur DKI) ini pun kemudian ditinggalkannya pula dengan alasan demi jabatan publik yang lebih tinggi lagi (calon Presiden RI).

Bagaimanapun, akan lebih baik jika suatu pengabdian dituntaskan lebih dahulu sesuai komitmen janji politiknya kepada rakyat, sebelum beranjak ke pengabdian berikutnya. Kalaupun prinsip ini diabaikan demi untuk mengejar kemaslahatan publik yang lebih besar, seharusnya tidak dilakukan karena alasan lupa janji politik dan lupa sejarah.

Maka, yang dibutuhkan adalah keterbukaan dan kejujuran untuk mengakui kekurangan diri dan kelemahan diri masing-masing capres, dan dengan rendah hati meminta permakluman dari masyarakat.

Agus Sudibyo,
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS, 30 Mei 2014