Tuesday, August 31, 2010

2 Kandidat Pimpinan KPK


Bambang, dari Aktivis ke Lingkaran Inti KPK

Bambang Widjojanto dikenal sebagai pengacara yang dekat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bambang yang juga aktivis tersebut kini mencoba masuk dalam lingkaran inti KPK dengan menjadi calon pimpinan institusi antikorupsi itu menggantikan Antasari Azhar.

Bambang bersama enam calon lainnya dinyatakan lolos ke tahap seleksi berikutnya, wawancara yang terbuka untuk publik. Indonesian Corruption Watch (ICW) menelusuri informasi mengenai Bambang agar publik bisa memberikan masukan kepada Panitia Seleksi (Pansel).

Advokat ini lahir di Jakarta, 18 Oktober 1950 dan berhasil meraih gelar doktor pada Program Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran tahun 2009. Separuh karier di bidang hukumnya dilakukan dengan bekerja bersama masyarakat sipil melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Tercatat tahun 1984 – tahun 2000 Bambang Widjojanto berkarier di LBH Jakarta, LBH Jayapura (1986-1993), dan Yayasan LBH Indonesia menggantikan Adnan Buyung Nasution yang menjadi Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000).

Selama periode tahun 2001 sampai saat ini, Bambang yang dikenal dengan singkatan BW ini membangun kelompok masyarakat sipil dengan fokus tertentu dan bekerja di berbagai LSM. Khususnya, bergerak di bidang antikorupsi, reformasi hukum dan pemilihan umum serta good governance. Di antaranya, pendiri berbagai lembaga seperti Indonesian Corruption Watch, Kontras, Konsorsium Reformasi Hukum, Lembaga Reformasi Agraria, Lembaga Independen Pemantau Mahkamah Agung, Indonesia Monitoring Court.


Pada periode yang sama BW membantu beberapa lembaga negara maupun non-struktural lainnya, seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bapennas), Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPK, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Kebijakan Governance, Kejaksaan Agung dan BUMN.

Selain berkarier di bidang hukum, BW juga merupakan dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

BW dikenal berani karena pernah menyobek Rancangan Komisi Konstitusi produk MPR, atas perbuatan tersebut BW dituduh telah berbuat anarkis.
Terakhir, Bambang masuk dalam jajaran pengacara yang membela dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang sempat ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang dan menerima suap oleh Mabes Polri.

Kasus ini menjadi kontroversi karena indikasi kriminalisasi pada Bibit-Chandra menguat dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) November 2009. Dalam sidang itu, MK memutar rekaman yang diduga pengusaha Anggodo Widjojo yang mengaku telah menggelontorkan uang ke KPK, termasuk Bibit-Chandra, sebesar Rp 5,1 miliar.

Ita Lismawati F. Malau,
VIVAnews.com


Busyro Muqoddas dan Jihad Kemanusiaan

Panitia Seleksi (Pansel) tengah mencari dua calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan disodorkan ke DPR untuk kemudian dipilih menggantikan Antasari Azhar. Salah satu calon itu adalah Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas.

Indonesian Corruption Watch (ICW) menelusuri informasi agar masyarakat bisa memberikan masukan kepada pansel terkait rekam jejak seputar calon pimpinan KPK. Pria yang lahir di Yogyakarta, 17 Juli 1952 ini merupakan sosok yang tumbuh dan besar dalam gerakan Islam Muhammadiyah. "Sehingga itu mewarnai corak aktivitasnya selama ini," kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho.

Ayah Busyro merupakan pegawai Departemen Agama sedangkan ibunya merupakan guru agama Islam di Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Busyro kemudian juga pernah menjadi pangurus Muhammadiyah, baik di pimpinan pusat, maupun di tingkat ranting.

Sebelum menduduki jabatannya saat ini di KY, Busyro mengabdi sebagai dosen pada almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Di lingkungan kampus UII, ia juga pernah diamanati menjadi Dekan Fakultas Hukum. Selain di Komisi Yudisial, Busyro juga masih aktif sebagai Dosen Fakultas Hukum UII.


Selain mengajar, aktivitas lain yang dijalaninya adalah advokat jalanan (prodeo). Salah satu kasus yang pernah ditanganinya adalah kasus gugatan terhadap Bupati Wonosobo atas nama pedagang pasar tradisional pada tahun 1997.

Busyro termotivasi menjadi pimpinan KPK, untuk mewujudkan “jihad kemanusiaan” yang bertujuan memerdekakan rakyat dan bangsa dari kondisi dan fenomena perilaku kumuh secara etika dan moral. Pengalaman menjadi Ketua Komisi Yudisial sejak 2005 lalu dianggapnya menjadi modal untuk aktif memberantas korupsi.

Tahun 2007, total kekayaan Busyro yang tercatat di KPK tak sampai Rp 1 miliar. Total kekayaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) atas nama Busyro mencapai Rp 907 juta. Sumbangan terbesar berasal dari harta tak bergerak (termasuk sejumlah bidang tanah), sejumlah Rp 769.110.000.

Ita Lismawati F. Malau, Aries Setiawan
VIVAnews.com


Din Minta PKS Golkan Busyro Muqoddas

Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta dukungan Partai Keadilan Sejahtera untuk menggolkan Busyro Muqoddas sebagai pimpinan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu disampaikannya langsung kepada pengurus DPP PKS dalam pertemuan silaturahmi di kantor PP Muhammadiyah Senin (30/8/2010) ini.

"Kami ingin Komisi III DPR membantu Busyro karena beliau aktivis Muhamadiyah," kata Din dalam pertemuan terbuka di Lantai 2 Gedung PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat.

Meski begitu, Din mengaku dirinya secara pribadi juga mengenal dekat calon pimpinan KPK lainnya, Bambang Widjojanto. Saat ditanya mengapa menitipkan Busyro ke PKS, Din menjawab dengan bercanda. "Tidak titip kok cuma bisik-bisik saja," katanya seraya menambahkan Muhammadiyah akan bangga apabila kadernya terpilih untuk memimpin lembaga antikorupsi.

Menanggapi permintaan tersebut, Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta mengatakan partainya akan mempertimbangkan terlebih dahulu.

Sekadar diketahui, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto adalah dua calon pimpinan KPK yang diajukan ke Presiden dan akan dibawa ke DPR untuk dipilih satu di antara mereka yang layak masuk sebagai pimpinan KPK.

Insaf Albert Tarigan
news.Okezone.com


Bambang: Ketua KPK Harus Siap Mati

Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersisa dua nama lagi yaitu Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto. Siapakan yang akhirnya akan terpilih nanti? Menurut anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, pimpinan KPK terpilih harus siap mati.

“Calon pimpinan KPK harus siap mati, khususnya dalam menuntaskan skandal ‘bail-out’ Century yang diduga melibatkan jantung kekuasaan,” ujar Bambang melalui pesan singkat kepada okezone, Minggu (29/8/2010).

Bambang menilai, ada pejabat negara yang terlibat dalam skandal bail-out senilai Rp 3,11 triliun itu.

“Kejagung sudah mendakwa Pemegang Saham Pengendali Bank Century dengan dakwaan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara pada LPS sebesar Rp 3,11 triliun. Sangat amat mustahil negara mengalami kerugian Rp 3,11 triliun tanpa melibatkan pejabat/ penyelenggara negara di BI, LPS, KSSK, KK," tandasnya.

Bambang sekali lagi menegaskan bahwa pimpinan KPK tidak boleh mandul, melainkan harus berani mati.

Lusi Catur Mahgriefie
news.Okezone.com

Wednesday, August 18, 2010

Persahabatan dan Kematian


Sahabat adalah belahan jiwa yang mesti dipenuhi.

Dialah ladang hati yang kau taburi dengan benih kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.

Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu di kala sunyi.
Kau menghampirinya saat hati luka dan mencarinya saat jiwa rindu kedamaian.
Bila dia berbicara, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak”, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya”.
Dan bilamana dia diam, hatimu pun turut berhenti berdegup.

Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berduka cita,
karena yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung, akan nampak lebih agung dari kejauhan bagi seorang pendaki.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Karena cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta sejati, tetapi sebuah jala yang ditebarkan, yang hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.

Apalah artinya sahabat jika kau sentiasa mencarinya hanya untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah dia untuk bersamamu menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan sekadar mengisi kekosonganmu.

Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berbagi kegembiraan.
Karena dalam tetesan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan gairah segar kehidupan.

*** Khalil Gibran


Puisi Kematian

Biarkan aku terbaring dalam lelapku,
karena jiwa ini telah dirasuki cinta,
dan biarkan daku istirahat,
karena batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang.

Nyanyikanlah masa-masa lalu seperti engkau memandang fajar harapan dalam mataku.
Hapuslah air matamu, saudaraku,
dan tegakkanlah kepalamu seperti bunga-bunga menyemai jari-jemari kelopaknya menyambut mahkota fajar pagi.

Pandanglah kematian teguh berdiri bagai kolom-kolom cahaya keabadian.
Tahanlah nafasmu dan dengarkan kibaran kepak sayap-sayapnya.
Membubung tinggi menembus langit pengharapan yang telah dijanjikan.

*** Khalil Gibran


Dan janganlah engkau berkata bahwa orang-orang yang telah terbunuh karena berjuang di jalan Allah itu mati konyol. Tidak, bahkan mereka itu hidup tetapi kalian tidak merasakannya. (al-Baqarah: 154)

… Tidak, bahkan mereka itu hidup dengan rejeki yang melimpah dari Tuhan mereka. (Ali Imran: 169)

Tuesday, August 17, 2010

Indonesia Merdeka


Indah nian negriku tercinta
Namanya harum semerbak ke penjuru benua
Dahulu kala itulah sahibul hikayat
Oh ya, lain dulu lain pula sekarang
Negriku kini hampir habis dilalap api
Entah pagi, siang maupun malam
Semua orang gampang naik pitam
Ingin segalanya serba instan
Akhirnya pun bisa diduga; “arang habis besi binasa”.


Marilah kita semua insyaf
Enak-susah kita tanggung bersama
Republik ini belum terlalu renta
D
emi masa depan anak-cucu kita

E
goisme janganlah dikedepankan

K
arya nyata kita, ujudkan segera

Allah, Tuhan Yang Esa, slalu bersama insan yang takwa

Monday, August 16, 2010

PEMBUKAAN (Preambule)


Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.


Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Monday, August 9, 2010

WS Rendra: Megatruh Kambuh


Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu

Penyair besar Ranggawarsita, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba sebagai “Kalatida” dan “Kalabendu”.

Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.

Zaman “Kalabendu” adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Gambaran sifat dan tanda-tanda dari “Kalatida” dan “Kalabendu” tersebut di atas adalah saduran bebas dari isi tembang aslinya. Namun secara ringkas bisa dikatakan bahwa “Kalatidaadalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan “Kalabenduadalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.

Lalu, menurut Ranggawarsita, dengan sendirinya, setelah “Kalatida” dan “Kalabendu” pasti akan muncul zaman “Kalasuba”, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran.

Apa yang dianjurkan oleh Ranggawarsita agar orang bisa selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalam permainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suci-Nya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.


Ternyata urutan zaman “Kalatida”, “Kalabendu”, dan “Kalasuba” tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke 19, tetapi juga terjadi di mana-mana, di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun, kapanpun. Begitulah rupanya irama “wolak waliking zaman” atau “timbul tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ranggawarsita ini!

Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan zaman” serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya kali ini.

Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa menurut teori chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan bahwa di dalam chaos terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak tergantung dari unsur luar. Hal ini sejajar dengan pandangan penyair Ranggawarsita mengenai “Kalasuba”. Katanya, Ratu Adil bukan lahir dari rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja. Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannya Ranggawarsita menunjukkan sekali lagi ketajaman dan kepekaan mata batinnya.

Melalui pidato ini saya persembahkan sembah sungkem saya yang khidmat kepada penyair besar Ranggawarsita.

Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”, “Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di manapun, pada akhirnya akan tertumbuk pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yang mengikat dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi, dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusia dalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.


“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adalah “Mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam Negara. Tetapi “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Di dalam masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di dalam lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan.

Dengan begitu kepentingan kekuasaan asing, yang politik ataupun yang dagang, tak bisa menjamah masyarakat dan alam lingkungannya tanpa melewati kontrol hukum adat, dewan adat dan penguasa pemerintahan. Itulah sebabnya masyarakat serupa itu sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Ditambah lagi kenyataan bahwa masyarakat dan alam lingkungan yang bisa hidup dalam harmoni secara baik -berkat tatanan hukum yang adil- pada akhirnya akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.
Memang pada kenyataannya suku-suku bangsa di Indonesia yang kuat tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh V.O.C. Dan juga sukar dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku itu baru bisa ditaklukkan oleh penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punya senapan yang bisa dikokang, senapan mesin dan dinamit. Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada tahun 1905, Toraja 1910, Bali 1910 dan Ternate 1923 serta Ruteng 1928. Sedangkan pada suku bangsa yang masyarakat dan alam lingkungannya, tidak dilindungi oleh hukum adat, rakyatnya lemah karena tidak berdaulat, yang berdaulat cuma rajanya. Hukum yang berlaku adalah apa kata raja. Kekuasaan asing dan para pedagang asing bisa langsung menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisa mengalahkan rajanya atau bisa bersekutu dengan rajanya.


Kohesi rakyat dalam masyarakat adat bisa kuat karena bersifat organis. Itulah tambahan keterangan kenapa mereka sukar dijajah. Sedangkan kohesi rakyat dalam masyarakat yang didominasi kedaulatan raja semata sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentan terhadap penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli, Indragiri, Jambi, Palembang, Banten, Jayakarta, Cirebon, Mataram Islam, Kutai, dan Madura. Gampang ditaklukkan oleh V.O.C. Sejak abad 18 sudah terjajah. Para penjajah bersekutu dengan raja, langsung bisa mengatur kerja paksa dan tanam paksa. “Kalatida” dan “Kalabendu” melanda negara.

Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan seluruh Nusantara, maka yang pertama mereka lakukan ialah dengan meng-erosi-kan hukum adat-hukum adat yang ada. Para penjaga adat diadu domba dengan para bangsawan di pemerintahan sehingga dengan melemahnya adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat dan alam lingkungannya. Selanjutnya penghisapan kekayaan alam bisa lebih bebas dilakukan oleh para penjajah itu.

Di zaman penjajahan itu hukum adat yang sukar dilemahkan adalah yang ada di Bali karena hubungannya dengan agama dan pura, dan yang ada di Sumatra Barat karena hubungan dengan syariat dan kitab Allah.

Tata hukum dan tata negara sebagai “Mesin Budaya”, di zaman penjajahan Hindia Belanda menjadi “Mesin Budaya” yang buruk bagi kehidupan bangsa. Karena tata hukum dan tata negara Hindia Belanda memang diciptakan untuk kepentingan penjajahan.

Maka ketika membangun negara, pemerintah Hindia Belanda juga tidak punya kepentingan untuk memajukan bangsa, melainkan membangun untuk bisa menghisap keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan kemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Industrialisasi dilakukan dengan mendatangkan modal asing yang bebas pajak, alat berproduksi juga didatangkan dari luar negeri dengan bebas pajak, dan bahan baku juga diimport dengan bebas pajak pula, kemudian pabrik yang didirikan juga bebas dari pajak berikut tanahnya. Yang kena pajak cuma keuntungannya. Itupun boleh ditransfer ke luar negeri. Jadi devisa terbuka! Alangkah total dan rapi pemerintah Hindia Belanda membangun “Mesin Budaya” penghisapan terhadap daya hidup rakyat dan kekayaan alam lingkungan Indonesia. Semuanya itu di kokohkan dengan “Ordonansi Pajak 1925″.


Setelah Indonesia Merdeka, ternyata cara membangun Hindia Belanda masih terus dilestarikan oleh elit politik kita. “Ordonansi Pajak 1925″ hanya diubah judulnya menjadi “Undang-undang Penanaman Modal Asing”. Sehingga sampai sekarang kita sangat tergantung pada modal asing. Pembentukan modal dalam negeri serta perdagangan antar desa dan antar pulau tidak pernah dibangun secara serius.

Pembentukan sumber daya manusia hanya terbatas sampai melahirkan tukang-tukang, mandor dan operator. Kreator dan produser tak nampak ada. Mengkonsumsi teknologi yang dibeli disamakan dengan ambil alih teknologi.

Bagaimana mengembangkan sumber daya manusia tanpa menggalakkan lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya! Tanpa riset kita hanya akan menjadi konsumen dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan juga melengahkan pembentukan industri hulu, seperti penjajah tempo dulu, itu tidak bisa diterima. Sangat menyedihkan bahwa pabrik baja kita ternyata tidak bisa mengolah bijih baja. Bisanya hanya mendaur ulang besi tua.

Akibat dari tidak adanya industri hulu, industri kita di hampir semua bidang: pesawat terbang, mobil, sepeda, obat batuk hitam, obat flu, cabe, kobis, padi , jagung, ayam potong, dll, dll, dll, semua assembling! Alat berproduksi dan bahan bakunya diimport!

Dan selagi kita belum mempunyai kemampuan menghasilkan mesin-mesin berat dan tenaga-tenaga manusia tingkat spesialis yang cukup jumlahnya, pemerintah kita, sejak zaman Orde Baru, telah menjual modal alam. Akibatnya yang memperoleh keuntungan besar adalah modal asing yang memiliki teknologi Barat dan tenaga-tenaga spesialis. Alam dan lingkungan rusak karena kita memang tak berdaya menghadapi kedahsyatan kekuatan modal asing.


Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeri asing dan bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan pangan dari lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusahaan multi nasional.

Dengan kedok “Revolusi Hijau” kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah dari Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan bahwa tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para pakar asing menasehati agar ada intensifikasi pertanian padi, artinya: importlah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama kelamaan tanah menjadi bantat.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah berbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela tanaman dianggap mengganggu. Sebenarnya gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Tetapi kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah gulma itu selama-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan pada hakekatnya herbisida itu berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.

Beberapa ahli pertanian yang bersih hati mengatakan bahwa intensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida ini menyebabkan agrikultur kehilangan “kultur” dan berubah menjadi “agrisida” atau ” agriracun”.

Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada akhirnya masuk ke tanah dan meracuni air tanah. Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan-perkebunan mengalami cacat badan dan melahirkan bayi-bayi cacat.


Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naik tinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaian pupuk, secara lama kelamaan. Mahalnya biaya produksi padi dan rusaknya tanah ini yang mendorong kita tergantung pada import bahan makanan. Maksud hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru ketergantungan pangan.

Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, serta eksploitasi modal alam dengan serakah sebelum kita menguasai pengadaan mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga spesialis, yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung jawab dari begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan pembangunan di zaman Orde Baru. Yang masih berkelanjutan sampai sekarang sebagai salah satu faktor “Kalabendu” yang kita hadapi saat ini. Sama beratnya dengan korupsi dan pelanggaran terhadap hak asasi.

Pembangunan dalam negara kita juga melupakan sarana-sarana pembangunan rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja. Sedangkan sumbangannya pada Gross National Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN. Namun begitu tidak ada program pemerintah dengan positif membantu usaha mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi penghubung antar desa, yang penting untuk kegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan check yang berlaku mundur. Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka dari permainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku.

Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengah itu sangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, ulet daya tahannya. Di abad 7 mereka yang seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat menyerap seni irigasi dan menanam padi serta berternak lembu yang diperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan.

Selanjutnya mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahan dari India semacam sawo, mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut laporan “Pararaton”, mereka sudah bisa punya perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali menyerap seni menanam nila, bahkan sampai mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas, pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu dilaporkan dalam kitab “Pararaton”.


Di zaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi dengan tanaman-tanaman baru seperti kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan cepat mereka juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu, trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan dengan kreatif mereka menciptakan tempe. Di bidang kerajinan tangan dengan cepat mereka menyerap seni membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah, membangun atap limasan, menciptaan gandok dan pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknya unsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.

Dan kemudian di zaman tanam paksa dan kerja paksa, kehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk. Karena meskipun mereka bisa beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet, coklat, vanili, dsb., tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi pemilik perkebunan. Namun segera mereka belajar menanam sayuran baru seperti sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dan sebagainya untuk dijual kepada “ndoro-ndoro penjajah” di perkebunan dan “ndoro-ndoro priyayi” di kota-kota. Akhirnya bencana menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadi makmur. Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh keadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah, bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan harga BBM, toh mereka tetap hidup dan bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan pembangunan yang sebenarnya!

Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan dan membela kemampuan mereka, menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka, mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Tata Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masih meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah di atas Daulat Rakyat. Dan juga sama-sama menerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika. Maka dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.


Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupannya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuh an yang lain lagi.

Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan. Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan oleh limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada implementasinya di dalam undang-undang pelaksanaan. KUHP yang berlaku adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika.

Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karena Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum diremehkan, maka hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya etika bangsa.

Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaiki kenyataan adanya gap antara ius dan lex, maka “Kalatida” akan berlaku berkepanjangan dan masuklah kita ke alam “Kalabendu”. Ah, gejala-gejala bahkan menujukkan bahwa “Kalabendu” sudah menjadi kenyataan. Inilah zaman kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah “mikul dhuwur mendhem jero” sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi: kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja!


Hukum, perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi. Jadi sangat penting para ahli hukum segera membahas dan meninjau kembali mutu kegunaan tata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam menyejahterakan kehidupan berbangsa.

Bahkan Dr. Sutanto Supiadi, ahli tata negara dari Surabaya berpendapat, bahwa redesigning konstitusi sangat diperlukan. Kenyataan memang menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untuk membatasi kekuasaan presiden, tidak menghasilkan daulat rakyat yang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat partai-partai yang lebih kuat. Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD’45 yang asli, wilayah Republik Indonesia itu jelas ditunjukkan. Lalu pada amandemen ke empat, disebutkan munculnya pasal 25a, yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang” .

Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalau nama negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.

Negara kita adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?

Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”, padahal ini persyaratan internasional, agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan laut kita sendiri, maka kita harus mempunyai “Sea and Coast Guard”. Dunia internasional tidak mengakui Polisi Laut dan Angkatan Laut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan Laut, Polisi Laut itu dianggap alat perang. Jadi apa sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” yang berguna bagi negara dan bangsa? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau memang ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak akan kurang akal untuk mencari “win-win solution” ?


Dalam soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan, pendirian beberapa mercusuar lagi, dan mengumumkan klaim yang jelas dan rasional mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama yang menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga intelijen kita mempunyai direktorat maritim.

Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, di segenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekedar “Tanah” saja.

Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “Negara Pelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijazah internasional. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka!

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas petanya.

Jadi Van Der Capellen tidak sekedar mengandalkan kekuatan angkatan laut untuk merpersatukan Nusantara, melainkan, alat politik untuk meyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia internasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yang telah kita ratifikasi.


Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nakhoda, belum juga mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang “sableng” seperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan “Kalabendu” di negara kita.

Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada, tidak mengkompromikan akal sehat. Dan juga harus sabar dan tawakal. Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan Ratu Adil.

Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karena dalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat lain dan di saat lain.

Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekedar sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal.

Wassalam,

RENDRA
Cipayung Jaya, Depok
Hotel Quality, Jogya

Pidato kuliah umum yang disampaikan WS Rendra saat dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4 Maret 2008.

Friday, August 6, 2010

Megawati Kritik Kelambanan Pemerintah


Setelah satu tahun tidak melancarkan kritik kepada pemerintah, Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri kembali bersuara keras atas berbagai persoalan.

Mega menilai, banyaknya persoalan seperti ledakan tabung gas elpiji, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga gesekan antarlembaga, telah menandakan bahwa pengelolaan pemerintahan tidak berjalan sesuai koridor dan aturan yang ada. “Kalau saya ditanya apakah republik ini kacau balau, dan media akan menulis. Saya katakan memang kacau balau. Ngurusi gas aja kok susah,” kata Mega dalam pidato pembukaan Rakornas PDIP di Sentul International Convention Centre (SICC), Bogor, Jawa Barat kemarin.

Mega lalu mengulas bagaimana persoalan yang terjadi dan bagaimana pemerintah lamban mengatasinya. Bahkan, Mega menuding pemerintah terkadang mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif. Dia mencontohkan, kebijakan konversi minyak tanah ke gas adalah kebijakan yang dipaksakan. Padahal, jika suatu kebijakan menyangkut budaya dan perekonomian masyarakat, seharusnya pemerintah memberikan masa transisi sedikitnya dua tahun sambil terus melakukan sosialisasi.


“Persoalan tabung gas terus merenggut korban tanpa kejelasan otoritas yang bertanggung jawab. Terpaksa saya ngomong ini, sudah lama diam mulut saya tapi lama-lama enggak tahan karena setiap hari ada yang meledak. Ini kok sudah bledag-bledug baru sosialisasi,” sindirnya. Tidak hanya itu, Mega juga mengkritik pemerintah yang tidak sensitif terhadap keadaan rakyat. Di saat kondisi banyak rakyat susah, harga kebutuhan pokok malah naik dan susah dijangkau mayoritas masyarakat.

“Harga cabai satu biji Rp 1.000, kalau mau nyambel saja minimal harus mengeluarkan uang Rp 5.000 untuk lima cabe. Lalu banyak yang tanya ke saya, ‘kok mahal banget sih, Bu?’ Ya saya jawab saja, kok tanya ke saya, ke Presiden dong. Kan saya bukan presiden lagi,” ungkapnya.

Pakar politik dari Universitas Indonesia (UI), Amir Santoso, menyatakan setuju dengan kritik Megawati terkait dengan kinerja pemerintahan saat ini. Menurut dia, pemerintah memang kurang memperhatikan implementasi dari program-program yang ada.


Ada pun manuver politik yang dilakukan pemerintah saat ini, lebih pada pencitraan. Dia mencontohkan, banyaknya tim khusus yang dibentuk untuk menangani permasalahan tak kunjung memberi imbas nyata. “Saya setuju dengan pandangan Ibu Mega. Pemerintahan sekarang memang cukup lemah dalam hal kepemimpinan. Saya lihat itu adalah titik lemah yang paling utama,” ujarnya. Dia menilai bahwa permasalahan ledakan tabung gas yang tengah hangat menjadi polemik di masyarakat hanya permasalahan kecil dari segenap pekerjaan rumah yang belum tergarap.

Untuk keluar dari situasi yang memprihatinkan ini, pemerintah harus mempercepat penanganannya. “Poin kunci dari solusinya adalah kecepatan. Jika pemerintah mampu bergerak cepat, semua permasalahan dapat diminimalkan. Yang penting tegas dan kebijakannya matang,” katanya.

Rahmat Sahid / Fajar Pratama
www.seputar-indonesia.com