Saturday, October 31, 2009

Gerakan Majnun Internasional


Kita catat dulu catatan para penjajah internasional jenis mutakhir: “Kita adalah kekuatan yang invisible. Organisasi, institusi dan individu-individu di Negara-negara jajahan kita bikin secara tidak sadar bekerja untuk kepentingan kita. Tujuan kita yang sebenarnya tidak boleh diketahui oleh mereka, dengan membikin mereka merasa melawan kita, padahal mereka justru sedang menjalankan disain-disain kita”.

“Aktor-aktor yang menjalankan program internasional kita bukan orang-orang kita, melainkan tokoh dan aktivis masyarakat negara jajahan, seluruh agen polisi internasional, bankers, industrialis, ekonom, politisi, termasuk public figure, pemimpin-pemimpin informal. Mereka sangat penting karena mereka menjalankan sekaligus melindungi kita, sambil meyakini bahwa mereka sedang melawan kita”.

Kita dorong semangat, ambisi dan egoisme mereka dan kebutuhan mereka untuk sukses. Padahal mereka tak lebih bagaikan macan dengan jiwa domba karena mereka tidak mengerti visi dan kemauan kita yang sebenarnya. Siapapun tak ada yang akan menyangka bahwa orang-orang terkenal ini sebenarnya kita yang mengatur naik ke panggung, sesuai dengan rencana besar kita”.

Tidak mungkin itu semua kita urai dalam tulisan pendek. Jadi kalau berminat, jadikan PR saja, pelan-pelan dipelajari sambil nanya sana sini. Selebihnya, berikut ini saya sedikit menambahi sketsa-sketsa.

Flu atau pilek itu ‘icon’ nya hidung. Gambar orang flu berpusat pada hidung, umbel (ingus) dan sapu tangan, ditambah gebres-gebres, demam dan awak ndhrudhuk.

Tetapi apakah flu berpusat di hidung? Tidak. Hidung sebenarnya malah tidak ikut flu, yang flu adalah kondisi menyeluruh dari tubuh, namun hidung menanggung akibatnya dan paling tersiksa. Jadi kalau menyembuhkan flu, bukan hidung yang jadi fokus perhatian metoda kuratifnya.


Demikian juga kalau Anda melihat dan menilai soal narkoba, narkoba bukanlah pusat masalahnya. Narkoba “hanya” batalyon-batalyon tentara penjajah internasional yang disebar ke seluruh pelosok bumi. Batalyon pasukan neo-kolonialisme mondial lainnya dikirim menyerbu pasar ekonomi, info media, universitas dan sekolah, lembaga pemerintahan dan perwakilan rakyat dan semua lini kepengurusan sejarah suatu bangsa. Termasuk menjadi rayap-rayap dalam berbagai konsep, ideologi dan aturan-aturan hukum serta birokrasi.

Ada juga pasukan “lelembut” yang dikirim ke dalam otak kepala manusia, ke dalam hatinya. Memasukkan, mendesakkan dan mendominasikan virus-virus cara berpikir, irama selera, trend, sikap budaya, kecenderungan sosial dan apapun saja yang merupakan “software” kehidupan manusia. Batalyon pasukan lelembut ini dengan sendirinya terbawa sampai ke bilik-bilik pribadi, masuk dalam rumah-rumah ibadah, bahkan mempengaruhi cara manusia memperlakukan Tuhan, Malaikat, Nabi dan Kitab Sucinya. Tiba-tiba saja pada suatu hari ketahuan bahwa kita yang sangat yakin bahwa kita ini pandai dan saleh, ternyata kita adalah prajurit bantuan yang ikut melaksanakan tugas Gerakan Majnun Internasional.


Dari zaman ke zaman, dulu umat manusia dijajah oleh mitologi tentang aristokrasi raja-raja. Kemudian dijajah oleh serbuan tentara dari mancanegara. Berikutnya dijajah melalui ekonomi dan pasar. Lantas dijajah melalui pikiran dan perasaan. Dan sekarang semua formula imperialisme dan kolonialisme itu dipakai kapan saja dan mana saja yang paling relevan dan paling efektif.

Irak harus diserbu pasukan gabungan dengan terlebih dulu dicarikan “ayat”-nya agar sah menyerbu. Sedang dipikir-pikir antara tahun 2008 hingga 2015, Iran harus menjadi fokus serangan. Sementara itu harus bisa dipastikan terpecah belahnya Kaum Muslimin di seluruh dunia, dan cara memecah mereka adalah dengan memasukkan virus-virus cara berpikir, cara memandang, cara melihat dan cara merasakan atas segala sesuatu.

Indonesia tidak perlu diserbu dengan tentara, bedil, bom dan bayonet. Orang Indonesia gumunan, latah dan gampang dibikin mabuk: jadi cukup diserbu dengan iming-iming di segala bidang. Segala yang memabukkan dimasukkan ke Indonesia. Orang Indonesia begitu mudah mabuk demokrasi, sementara Amerika Serikat sendiri tak segitu-segitu amat menyikapi demokrasi.

Demokrasi, HAM, psikisme gender, otonomi daerah, teknologi komunikasi dan informasi, Neo-Liberalisme, dan segala macam partikel yang menggiurkan: diuntal mentah-mentah oleh orang Indonesia, tanpa reserve. Sesungguhnya demokrasi dan seterusnya itu adalah perangkat pengelolaan sejarah yang baik, jika manusia memahami dosisnya, batasnya, konteksnya, takarannya, koridor wilayahnya, ruang dan waktunya. Tetapi kita malas berpikir, pokoknya ambil dan telan bulat-bulat!

Jangankan narkoba: air sajapun memabukkan kalau sekali minum setengah drum. Nasi, rujak cingur, rawon, pecel, semua memabukkan jika tidak dikontekstualisir secara ruang dan waktu. Mungkin itu sebabnya Tuhan suruh kita shalat lima kali yang keseluruhannya hanya butuh waktu sekitar setengah jam. Kita pasti mabuk kalau Tuhan kasih metoda shalat yang satu kali shalat butuh waktu 3 jam, sehingga 5 kali sehari jumlah waktunya menjadi 15 jam. So shalat sajapun memabukkan dan berakibat negatif kalau tidak tepat satuan ruang dan waktunya.


Maka narkoba itu 10 kali lipat setan iblis efektivitasnya untuk memajnunkan manusia. Narkoba itu melebihi neraka, dan pemakai narkoba adalah manusia terbodoh tiada tara. Di dalam neraka, walau orang kesakitan tersiksa, tetapi masih memiliki kemuliaan karena mereka sedang menjalani hukuman alias pembersihan. Orang bersalah yang dihukum itu harus bangga, karena memang demikianlah yang benar. Salah + tidak dihukum = Salah kwadrat. Salah + dihukum = Benar. Orang yang bersalah, kemudian dipenjarakan dan dimasukkan neraka berarti sedang menjalankan kebenaran.

Akan tetapi sejahat-jahat dan sebodoh-bodoh pemakai narkoba masih jauh lebih bodoh dan lebih jahat para inisiator dan penyebar narkoba. Narkoba adalah senjata paling ampuh dibanding segala rudal dan bom jenis mutakhir. Kalau Negara adikuasa menjatuhkan bom di Surabaya maka sepanjang hidup Negara pengebom itu dikutuk oleh sejarah. Tetapi kalau narkoba yang membunuh satu atau dua generasi muda Indonesia yang jumlahnya melebihi penduduk Surabaya: tak ada yang dikutuk selain narkoba itu sendiri. Narkobanya dibajingan-bajingankan, tapi pelaku di belakangnya bisa justru menjadi public figure, tokoh panutan, duta keselamatan masyarakat atau apapun.

Emha Ainun Nadjib, 6 Oktober 2009

Thursday, October 29, 2009

Panggung Teater Hukum


Akhir-akhir ini dunia hukum menjelma bagai ”panggung teater”, mementaskan rangkaian kisah ”ironi hukum”.

Kepada publik, panggung itu menyajikan berbagai episode kisah hukum yang dinarasikan melalui aneka citra media: ”episode” Antasari Azhar, ”episode” Wiliardi Wizard, ”episode” Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, terakhir ”episode” Susno Duadji.

Tema ”kisah” ini bernuansa ”ironi” karena berbagai karakter yang menjadi ”pesakitan” dalam berbagai episode cerita hukum itu adalah ”insan hukum” itu sendiri, khususnya tokoh-tokoh dari Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Maka wajar di mata publik rangkaian cerita hukum ini bagai kisah perang kolosal Pandawa Lima, di mana saudara-saudara sepupu mereka yang cemburu —para Kurawa— melakukan intrik-intrik untuk menjatuhkan para Pandawa yang perkasa.

Ironi hukum
Michel Foucault, dalam Power/Knowledge (1981), mengatakan, setiap negara-bangsa mempunyai ”rezim kebenaran”, yaitu segala wacana yang diterima dan difungsikan sebagai ”benar”; mekanisme dan contoh-contoh yang memampukan orang membedakan yang benar dan salah. Dalam masyarakat kita, kebenaran ”diproduksi” oleh berbagai lembaga negara (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan komisi semacam KPK), berdasarkan metode dan cara kerja ”ilmiah”.

Lembaga-lembaga itu bekerja secara sinergis, mengungkap kebenaran aneka peristiwa hukum (perampokan, pembunuhan, korupsi). Namun, dalam negara-bangsa hidup pula ”politik kebenaran”, yang dapat mengubah wacana hukum menjadi medan persaingan atau konflik kepentingan untuk ”menguasai” rezim kebenaran, dengan menggunakan segala kekuasaan dan otoritas yang dimiliki. Itulah kesan umum publik terhadap lembaga Mabes Polri dan KPK.


Dua lembaga ini terkesan lebih disibukkan oleh aneka upaya sistematis —dengan mengerahkan segala kapasitas— untuk menunjukkan ”kebenaran diri sendiri”, sebagai lembaga yang diakui sah. ”Rezim kebenaran” yang seharusnya diarahkan pada obyek-obyek hukum eksternal kini berbalik ke arah kondisi internal, yang digunakan sebagai cara ”legitimasi diri sendiri”. Kesan semacam ini sulit dihindarkan karena menonjolnya sifat-sifat ”artifisialitas” dari proses penangkapan para tokoh yang ada.

Bila masalah ”kebenaran” berbalik menjadi masalah internal lembaga hukum, yang ditemukan adalah ”ironi hukum”. John Evan Seery dalam Political Return (1990) menjelaskan, ironi sebagai kondisi di mana ruang-ruang kehidupan politik dan hukum hadir dalam bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas, dan paradoks, yang menggiring pada dualisme dalam tindakan, sikap, dan cara berpikir.

Ironi tindakan diikuti ”ironi bahasa”, yaitu saat bahasa dimanipulasi sebagai jargon-jargon yang menciptakan absurditas makna. Kata-kata terputus dari realitas. Aneka ungkapan ”dugaan suap”, ”dugaan pemerasan”, ”penyalahgunaan wewenang”, ”kekosongan jabatan”, ”kegentingan memaksa”, ”mendesaknya peraturan pemerintah”, harus dilihat sebagai kesatuan narasi, yang seakan-akan secara logis melukiskan ”totalitas kebenaran”. Padahal, di baliknya masih ada enigma atau misteri tak terungkap.

Fantasmagoria hukum
Bila tindakan dan bahasa yang digunakan dalam wacana hukum bukan untuk menyatakan kebenaran realitas, tetapi sebagai cara legitimasi ”kebenaran diri sendiri”, maka dunia hukum memasuki apa yang dikatakan George Bataille dalam Visions of Excess (1989) sebagai ”ironi yang memarodi diri sendiri”. Inilah tindakan dan bahasa (individu, kelompok sosial, institusi) yang mengejek dan mempermainkan dirinya sendiri.

Lembaga hukum yang seharusnya mengungkap ”kebenaran” obyek-obyek hukum eksternal kini lebih sibuk mendesain tindakan dan kata-kata, sebagai cara membangun ”citra” dan ”legitimasi diri”. Kebenaran kini dikonstruksi di dalam tanda-tanda. Sistem hukum tak lagi berfungsi sebagai wahana untuk memproduksi keadilan dan kebenaran, tetapi menjelma menjadi sebuah medan ”pertarungan simbol” di antara elite-elite penegak hukum itu sendiri, dengan publik sebagai penontonnya.


Ketika tanda-tanda ditampilkan dengan cara tertentu, sambil menyembunyikan ”aneka kebenaran lain” di baliknya, tanda itu berubah menjadi phantasma, seperti dikatakan Plato: ”tanda yang menyimpangkan kebenaran”. Saat tanda-tanda itu tampil dalam serial atau berbagai episode, yang didapati adalah ”rangkaian penyimpangan tanda”, yang menyembunyikan secara kolosal di hadapan publik ”kebenaran hakiki”, inilah fantasmagoria.

Walter Truett Anderson dalam Reality Isn’t What It Used to Be (1990) menyebut produk kemasan realitas macam ini sebagai ”peristiwa palsu”. Inilah narasi peristiwa yang didesain seperti happening art: yang tak pernah alami. Tetapi berdasar desain tertentu; yang diciptakan untuk diberitakan atau ditayangkan; yang tampil dalam relasi yang ambigu dengan realitas yang sebenarnya sehingga membuka ruang interpretasi terbuka; dan yang biasanya menjadi bagian ”skenario” untuk kepentingan tertentu.

Bila ruang-ruang hukum menjelma menjadi medan permainan tanda dan pertarungan simbol di antara elite-elite hukum sendiri; bila di dalamnya bekerja ”mesin-mesin” artifisialitas, kepalsuan, dan kesemuan; dan bila di dalamnya digunakan teknik-teknik penyamaran, penopengan, dan kamuflase simbolik, itu pertanda ”kebenaran sejati” akan kian menjauh dari tubuh bangsa ini. Dan, yang hadir di hadapan kita selamanya adalah ”kebenaran-kebenaran gadungan” alias palsu.

Yasraf Amir Piliang,
Direktur YAP Institute Pemikir Forum Studi Kebudayaan FSRD-Institut Teknologi Bandung
KOMPAS, 3 Oktober 2009

Wednesday, October 28, 2009

Sajak Anak Muda


Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum.

Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud untuk mengerti itu semua?
Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?

Inilah gambaran rata-rata pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan,
bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.


Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.

Kita marah pada diri sendiri.
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai,
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan,
untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa henti.


Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan tanpa kegunaan,
menjadi benalu di dahan.

Gelap.
Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.

Gelap.
Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini?
Apakah ini?


Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.


Bagaimana?
Apakah kita akan terus diam saja?!

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.

Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan,
dan bila luput,
kita memukul dan mencakar ke udara.

Kita adalah angkatan gagap,
yang diperanakkan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

WS Rendra
Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977

Monday, October 26, 2009

Menko Politik, Hukum, dan Keamanan: Djoko Suyanto


Marsekal TNI (Purn.) Djoko Suyanto adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II sejak 22 Oktober 2009. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia dari 13 Februari 2006 sampai 28 Desember 2007. Ia digantikan oleh Jenderal TNI Djoko Santoso. Ia menjabat sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Endriartono Sutarto. Dari 23 Februari 2005 hingga 13 Februari 2006, ia adalah Kepala Staf TNI Angkatan Udara (TNI-AU). Djoko Suyanto merupakan Panglima TNI pertama yang berasal dari kesatuan TNI-AU sepanjang sejarah Indonesia.

Djoko Suyanto lahir pada tanggal 2 Desember 1950 di Madiun dan tumbuh dalam keluarga yang taat menganut agama Islam. Beliau menikah di Madiun dengan Ratna Sinar Sari pada tanggal 24 Mei 1981 dan dikaruniai seorang putra, Yona Didya Febrian (Alm) dan seorang putri Kania Devi Restya.

Djoko Suyanto adalah lulusan Akabri (di Akademi Angkatan Udara) tahun 1973, seangkatan dengan Laksamana Slamet Soebijanto (KSAL), Jenderal (Pol) Sutanto (Kapolri), Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Endang Suwarya, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia adalah penerbang pesawat tempur F-5 Tiger II yang berpangkalan di Lanud TNI-AU Iswahyudi, Madiun.


Marsekal TNI Djoko Suyanto mengawali karir militer di TNI Angkatan Udara pada tanggal 1 Desember 1973, setelah menyelesaikan pendidikan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bagian Udara (kini Akademi Angkatan Udara/AAU) di Yogyakarta.

Marsekal TNI Djoko Suyanto telah mengikuti beberapa kursus dan sekolah baik di dalam maupun di luar negeri. Pendidikan di dalam negeri yang telah diikuti di antaranya adalah: Sekolah Penerbang A-20 (1975), SEKKAU A-33 (1982), SESKOAU A-26 (1990), Suskatjemen Modern Hankam (1997), LEMHANNAS/KRA A-32 (1999).

Sedangkan pendidikan luar negeri yang telah diikuti adalah : RAAF Flying Instructor Course di Australia (1980), Test Pilot Course F-5 di Amerika Serikat (1982), F-5 Fighter Weapon Instructor Course di Amerika Serikat (1983), JSSC (Seskogab) di Australia (1995).

Djoko Suyanto pernah mengikuti kursus di USAF Fighter Weapon Instructor School di Pangkalan Udara Nellis, Las Vegas, Nevada. Ia kemudian berturut-turut menjabat sebagai Komandan Skadron Udara 14, Komandan Lanud Iswahyudi, Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional, Komandan Komando Pendidikan TNI-AU, Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Udara, dan kemudian Kepala Staf TNI-AU sebelum akhirnya menjadi Panglima TNI.


Dalam perjalanan karirnya, Marsekal TNI Djoko Suyanto pernah mengemban beberapa jabatan penting dan strategis yaitu : Instruktur Penerbang pesawat F-5 (1981) dan Instructor Advanced Fighter Training Course (1983) di Lanud Iswahyudi, Komandan Skadron Udara 14 Lanud Iswahyudi (1990), Komandan Lanud Jayapura (1992), Asops Kosekhanudnas 1 (1994), Komandan Lanud Iswahyudi (1997), Panglima Kosekhanudnas I (1999), Panglima Koopsau II (2001). Komandan Kodikau (2002), Asops Kasau (2003) dan KASAU (sejak 17 Februari 2005).

Sebagai seorang penerbang tempur, Marsekal TNI Djoko Suyanto telah banyak menimba pengalaman dari latihan-latihan bersama dengan negara-negara lain sebagai wujud dari interaksi internasionalnya. Latihan bersama yang pernah diikutinya antara lain: Elang Malindo dengan Malaysia, Elang Thainesia dengan Thailand, Elang Indopura dengan Singapura, Elang Seberang dengan New Zealand, Elang Ausindo dengan Australia, dan Cope West dengan Amerika.

Beliau juga telah menghadiri beberapa seminar dan konferensi internasional seperti Asia Pasific Operation Conference di Hawai 2003, Aerospace Conference di Australia 2002, Defence Seminar di Singapura dan menjadi Ketua Delegasi AAM Korea tahun 2004.

Berkat keberhasilannya dalam melaksanakan setiap tugas yang dipercayakan kepadanya, ditambah dengan kepemimpinannya yang tegas dan bertanggung jawab, Marsekal TNI Djoko Suyanto telah memperoleh pengakuan dan penghargaan dari Pemerintah berupa Bintang dan Lencana Kehormatan yaitu: Bintang Swa Bhuana Paksa Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma Pratama, Bintang Swa Bhuwana Paksa Pratama, Bintang Yudha Dharma Nararya, Bintang Swa Bhuana Paksa Nararya, Satyalencana Kesetiaan VIII, XVI, dan XXIV Tahun, Dwidya Sistha, GOM VII (Aceh), GOM IX Raksaka Dharma (Papua), dan Seroja.

Selain dari dalam negeri, Marsekal TNI Djoko Suyanto telah mendapat penghargaan dari luar negeri yaitu The Meritorious Service Medal (military) dari pemerintah Singapura serta Wings Kehormatan dari Angkatan Tentera Udara Diraja Brunei, Sayap Penerbangan Kehormatan dari Tentera Udara Diraja Malaysia dan Wing Penerbang Kehormatan dari Royal Thai Air Force.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian: Hatta Rajasa


Ir. M. Hatta Rajasa lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 18 Desember 1953, adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia sejak 22 Oktober 2009. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (2007-2009), Menteri Perhubungan (2004-2007), dan Menteri Negara Riset dan Teknologi (2001-2004).

Masa jabatannya sebagai Menteri Perhubungan ditandai dengan beberapa kecelakaan transportasi yang menonjol, di antaranya musibah Mandala Airlines Penerbangan 91, Kecelakaan KM Digoel, Musibah KM Senopati Nusantara, Adam Air Penerbangan 574, dan Garuda Indonesia Penerbangan 200.

Pendidikan, Insinyur Teknik Perminyakan angkatan 1973 Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung (ITB) selama setahun, akan tetapi tidak dilanjutkan karena sibuk di Parpol dan menjadi Menristek.


Karir:
1977-1978: Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
1980-1983: Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi
1982-2000: Presiden Direktur Arthindo
1999-2000: Ketua Fraksi Partai Reformasi DPR-RI.
2000-2005: Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN)
2001-2004: Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong
2004-2007: Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu
2007-2009: Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesia Bersatu (reshuffle)
2009-sekarang: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II

Pengalaman Tugas dan Kerja yang lain:
Vice Chairman of ITB Alumni, Jakarta Branch
Vice Chairman, Indonesian Petroleum and Geothermal Drilling Association (APMI)
Advisor, the Indonesian Petroleum Engineering Association (IATMI)
Member of International Petroleum Association (IPA)
Member of American Management Association (AMA)
Member of "Fokus Indonesia"
Member of Indonesian Electricity Power Society (MKI)
Founder of the Natural Resource Energy and Environment Foundation (ESDAL)


Sosok Politisi Negarawan Relijius
Ir M Hatta Rajasa, seorang pengusaha dan CEO sukses yang kini berkonsentrasi jadi politisi. Setelah masuk partai, semua perusahaannya kemudian dijual. Pria relijius penganut pluralisme dalam politik ini berobsesi menjadi politisi negarawan yang mendahulukan kepentingan bangsa.

Terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama dalam sebuah tim sejak kecil. Sebagai Sekjen Partai Amanat Nasional saat itu, ia dipercaya dan menunjukkan integritas dan kapasitasnya sebagai Menristek pada Kabinet Gotong-Royong dan Menteri Perhubungan pada Kabinet Indonesia Bersatu. Setelah reshuffle ia ditempatkan sebagai Menteri Sekretaris Negara, dan kini dalam Kabinet Indonesia Bersatu II ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Banyak orang tak menduga dia menjadi Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu. Sama seperti saat dia dipercaya menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong-Royong. Demikian juga ketika sekarang dipercaya SBY menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Maklum, lulusan perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, diprediksi banyak orang lebih pas menjabat Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral. Namun, dengan kemampuan manajerial yang dimilikinya, jabatan apa pun dapat diemban dengan baik. Terbukti, ketika menjabat Menristek, ia antara lain berhasil mengangkat nama bangsa yakni ketika secara aklamasi terpilih sebagai President of The 46th General Conference of The International Atomic Energy Agency (IAEA), yang berlangsung 16-20 September 2002 di Vienna, Austria.

Sebagai orang partai (politisi) yang duduk dalam kabinet, pria berambut perak kelahiran Palembang, 18 Desember 1953 ini selalu berupaya menjalankan perannya secara optimal. Prof. Dr. M. Amien Rais, mantan Ketua MPR-RI yang juga merupakan tokoh PAN pernah mengatakan: “Untuk dapat membedakan antara seorang negarawan dengan seorang politisi adalah kemampuannya membedakan kapan ia harus berbicara atas kepentingan bangsa atau kepentingan partai. Jika hal ini dapat dibedakan maka sudah tidak ada masalah.

Hatta Rajasa memang sudah berulangkali dalam beberapa kesempatan baik secara lisan maupun dalam tulisan di beberapa majalah dan buku, menegaskan prinsipnya, mampu melepaskan diri dari kepentingan partainya manakala duduk sebagai pejabat negara. “My loyality to the party end when loyality to the state began,” ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat: Agung Laksono


H.R. Agung Laksono lahir di Semarang, Jawa Tengah, 23 Maret 1949; adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia sejak 22 Oktober 2009. Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) untuk masa jabatan 2004-2009. Dalam Munas Partai Golkar tahun 2004 dan 2009, ia terpilih sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Agung menyelesaikan pendidikan SD pada tahun 1960 dan SMP "Perguruan Cikini" di tahun 1963. Sementara pendidikan tingkat SMA dilaluinya di kota Medan, Sumatera Utara. Seusai menamatkan pendidikan dasar dan menengah, ia melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dan lulus pada tahun 1972.

Sukses keorganisasian telah diawalinya sejak Agung menjabat sebagai Ketua BPD HIPMI Jaya (1975 - 1977). Kemudian dia juga memimpin sejumlah organisasi, di antaranya DPP Angkatan Muda Jayakarta, Wakil Sekertaris DPD AMPI Tingkat I DKI (1977 - 1979), Ketua Biro Pengarahan Sarana dan Dana DPD Golkar Tingkat I DKI Jakarta (1979 - 1984), Wakil Bendahara PDK I Kosgoro DKI Jakarta (1979 - 1983), Ketua Umum BPP HIPMI (1983-1986) serta Ketua Umum DPP AMPI (1984-1989).

Pada periode 1990-1995, ia menjabat Sekretaris Jenderal PPK Kosgoro, salah satu ormas pendiri Partai Golkar dan selanjutnya pada tahun 2000, ia terpilih sebagai Ketua Umum PPK Kosgoro 1957.

Dalam dunia usaha, Agung juga pernah aktif memegang sejumlah jabatan penting antara lain, Wakil Komisaris Utama PT. Spinindo Mitradaya/PT. East Jakarta Industrial Park (EJIP) (1996 - 1998), Pimpinan Umum Majalah Info Bisnis (1994-1998), Direktur Utama PT. Cakrawala Andalas Televisi (AN Teve) (1993 -1998), Komisaris Utama PT. Mapalus Makawanua Charcoal Industry (PMDN) di Bitung, Sulawesi Utara (1987 - 1998).

Sedangakn karier di pemerintahan, pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1949 itu pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Pembangunan VII (1998) semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Jabatan di kementerian olahraga itu terus berlanjut pada periode 1998-1999 dalam Kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Untuk kiprah politik di partainya, sejumlah posisi strategis dalam struktur DPP Partai Golkar yang pernah diembannya adalah sebagai Ketua DPP Partai Golkar Korbid Organisasi, Keanggotaan, dan Kader (OKK) hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar tahun 1998, Wakil Ketua Umum DPP PG hasil Munas 2004 di Bali serta kembali menjabat pada posisi yang sama pasca Munas 2009 di Riau.

Sebelum terpilih menjadi Ketua DPR-RI (2004-2009) menggantikan posisi Akbar Tandjung, suami dari Sylvia Amelia Wenas itu juga sudah kenyang pengalaman di lembaga legislatif.
Dia pernah menjabat Sekretaris FKP MPR-RI (1993-1997), Wakil Ketua FKP MPR-RI (1997-1998), Anggota DPR/MPR tiga periode (1997-1998 dan 1987-1997) dan anggota MPR dari Utusan Daerah Sulawesi Tenggara (1999-2004).


Pengalaman Legislatif:
1993-1997: Sekertaris FKP MPR-RI
1997-1998: Wakil Ketua FKP MPR-RI
1987-1997 dan 1997-1998: Anggota DPR/MPR-RI tiga periode
1999-2004: Anggota MPR-RI Utusan Daerah Sulawesi Tenggara
2004-2009: Ketua DPR-RI

Pengalaman Eksekutif:
1998: Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Pembangunan VII
1998-1999: Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Reformasi Pembangunan

Pengalaman Dunia Usaha:
1987-1998: Komisaris Utama PT. Mapalus Makawanua Charcoal Industry (PMDN) di Bitung, Sulawesi Utara
1993-1998: Direktur Utama PT. Cakrawala Andalas Televisi (AN-TEVE)
1994-1998: Pimpinan Umum Majalah Info Bisnis
1996-1998: Wakil Komisaris Utama PT. Spinindo Mitradaya/PT. East Jakarta Industrial Park (EJIP)

Pengalaman Organisasi:
1975-1977: Ketua BPD HIPMI JAYA
1983-1986: Ketua Umum BPP HIPMI
1983-1988: Ketua Umum DPP AMPI
1988-1993: Ketua Departemen Pengabdian Masyarakat DPP Golkar
1988-1993: Ketua Kompartemen Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan KADIN
1990-1995: Sekjen PPK Kosgoro
1993-1998: Wakil Ketua Dewan Kehormatan KADIN Indonesia
1995-2000: Anggota Dewan Pertimbangan Organisasi Kosgoro
1996-2001: Dewan Pembina Bamuhas Kosgoro
1993-2004: Ketua DPP Golkar
2002-2007: Ketua Umum PPK Kosgoro 1957


Wakil dari Golkar
Agung Laksono dalam KIB jilid II itu mewakili Partai Golkar yang berdasarkan hasil Munas PG di Riau beberapa waktu lalu telah memutuskan untuk bergabung dalam koalisi besar pemerintahan Presiden Yudhoyono-Boediono.

Sebelum dipercaya memegang posisi Menko Kesra yang ditinggalkan Aburizal Bakrie (kini Ketua Umum Partai Golkar), tokoh politik yang cukup berpengaruh di partai berlambang beringin ini telah memimpin lembaga DPR sepanjang periode 2004-2009.

Saat pertama kali memangku jabatan Ketua DPR, Agung telah berhasil membuat gebrakan pertama dengan menyemburkan slogan "DPR Harus Kembali Sebagai Rumah Rakyat". Kala itu, Agung mengatakan bahwa dirinya hanya berpikir kompleks DPR/MPR yang berisi para wakil rakyat itu, sejatinya harus mudah diakses siapa pun dan rakyat merasa nyaman untuk bertemu dan masuk ke gedung ini.

"Kalau rakyat tidak bisa mengakses, punya jarak dengan wakilnya, bagaimana Senayan bisa disebut sebagai rumah rakyat?," ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) pada tahun 1972 itu.

Selain itu, ayah dari Shelly Kencanasari Laksono, Dave Akbarshah Laksono dan Alia Noorayu Laksono itu juga berupaya meneguhkan praktik "good governance" di lembaga yang dipimpinnya dengan ciri utamanya konsisten menjalankan mekanisme "check and balances".

"Selama mekanisme itu ada, maka saya percaya demokrasi akan berjalan dengan baik. Jangan biarkan suatu lembaga menjadi kuat sendiri. Tidak bisa `parliament heavy` atau `executive heavy` dan harus ada saling kontrol," ujarnya.

Sementara terkait tugas barunya untuk masa lima tahun mendatang, Agung mengakui kerja yang akan dihadapinya tidak ringan. Berdasarkan data Bappenas, sekitar 40 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan jika mengacu pada model perhitungan ala Bank Dunia, orang miskin di Indonesia itu bisa membengkak hingga mencapai 100 juta orang. "Mereka ini adalah orang-orang yang benar-benar hanya makan sekali," ujarnya prihatin.

Menurut Agung, di Indonesia itu angka pengangguran juga masih tinggi dan hal itu sangat erat berkaitan dengan bertambahnya angka kemiskinan. Oleh karena itu, solusi untuk membenahi masalah kemiskinan ini harus bersifat komprehensif dan lintas sektoral. Artinya pula bahwa berbagai upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan rakyat harus bersinergi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pekerjaan rumah itulah yang harus dibenahi bersama menteri-menteri lainnya di bawah koordinasi Menko Kesra.

Friday, October 23, 2009

Kabinet Indonesia Bersatu 2009 – 2014


1. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan: Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi
6. Menteri Luar Negeri: Marty Natalegawa
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro
8. Menteri Hukum dan HAM: Patrialis Akbar
9. Menteri Keuangan: Sri Mulyani
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Darwin Zahedy Saleh
11. Menteri Perindustrian: MS Hidayat
12. Menteri Perdagangan: Mari Elka Pangestu
13. Menteri Pertanian: Suswono
14. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan
15. Menteri Perhubungan: Freddy Numberi
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto
19. Menteri Kesehatan: Endang Rahayu Sedyaningsih
20. Menteri Pendidikan Nasional: M Nuh
21. Menteri Sosial: Salim Assegaf Aljufrie
22. Menteri Agama: Suryadharma Ali
23. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik
24. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring
25. Menneg Riset dan Teknologi: Suharna Surapranata
26. Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM: Syarifudin Hasan
27. Menneg Lingkungan Hidup: Gusti Moh Hatta
28. Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Agum Gumelar
29. Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: EE Mangindaan
29. Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faisal Zaini
31. Menneg PPN/Kepala Bappenas: Armida Alisjahbana
32. Menneg BUMN: Mustafa Abubakar
33. Menneg Perumahan Rakyat: Suharso Manoarfa
34. Menneg Pemuda dan Olahraga: Andi Mallarangeng


Pejabat Negara:
1. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4): Kuntoro Mangkusubroto
2. Kepala BIN (Badan Intelijen Negara): Jenderal Pol Purn Sutanto
3. Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal): Gita Wirjawan

Tuesday, October 20, 2009

Atlantis itu Ternyata INDONESIA


Memecahkan Rahasia “Benua yang Hilang"

Atlantis, Benua yang Hilang Akhirnya Ditemukan (Atlantis the Lost Continents Finally Found), demikian judul buku karya Prof Arysio Nunes dos Santos yang dirilis pada bulan Agustus 2005. Dalam buku ini ia menjelaskan Teori tentang Atlantis dengan menggunakan argumen yang sangat luas dan kuat, dari yang bersifat ilmiah ketat, seperti Geologi, Linguistik, dan Antropologi, hingga yang lebih misterius dan gaib (Okultisme, Simbolisme, Mitologi, dll.)

Dos Santos adalah seorang ilmuwan profesional dengan gelar PhD dalam fisika nuklir dan dosen lepas Kimia-Fisik. Penulis ini telah mendedikasikan dirinya dengan sangat intensif untuk mempelajari masalah Atlantis paling tidak selama 30 tahun terakhir hingga kini. Dialah orang pertama yang menghubungkan peristiwa bencana Zaman Es terakhir (11.600 tahun lalu) dengan bencana air bah yang melanda seluruh dunia serta kehancuran Atlantis. Prof Santos berhasil menemukan situs yang sangat memenuhi syarat sebagai lokasi Benua yang Hilang. Ini merupakan temuan situs yang tak tertandingi sebagai situs yang paling logis yang pernah diusulkan, dan yang paling cocok dengan semua fitur yang disebutkan oleh filsuf Yunani Plato, dan juga yang telah disebutkan melalui sumber-sumber yang lain.

Pembaca akan dihadapkan dengan suatu fakta kenyataan berdasar bukti-bukti yang sangat kuat mengenai segala macam hal yang berkaitan dengan keberadaan Atlantis. Dan karena ditulis oleh seorang ilmuwan terkenal yang kompeten, maka cukup untuk mengguncang keyakinan bagi siapa saja, bahkan bagi orang yang paling skeptis sekalipun.


Di mana ditemukannya Atlantis?
Secara tegas dinyatakan oleh Prof Santos melalui bukunya tersebut bahwa, lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11600 tahun yang lalu itu adalah Indonesia.

Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran pun terus dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke Kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah khayalan dari negeri dongeng semata.

Profesor Santos yang juga ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah.


Lokasi yang benar secara meyakinkan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Santos, adalah Indonesia. Profesor Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama hampir 30 tahun terakhir.

Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Komparative Mitologi. Bagi yang ingin mengetahui kualifikasi Santos secara lengkap dapat dilihat di alamat ini: http://atlan.org/author/resume.htm

Buku Santos ini yang diantaranya dipasarkan lewat ‘Amazon.com’ ternyata laris manis. Bahkan konon bukunya ini terlink ke lebih dari 400 buah situs di internet, dan website-nya sendiri menurut Santos hingga kini telah dikunjungi paling kurang sebanyak dua setengah juta pengunjung.

Bila pemerintah RI cukup tanggap dan peka, sebenarnya ini merupakan iklan gratis alias promosi untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke seantero jagat dengan tidak memerlukan dana kampanye serupiah pun.

Sebagaimana dapat diikuti dari website-nya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World). Sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, apakah sang ahli filsafat ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fabel, science fiction, ataukah sebuah kisah sejarah yang sebenarnya. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut?


Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan merupakan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi dan transportasi yang baik, serta kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga yang sangat semarak.

Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius, egois dan hedonis. Para Dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang demikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu hingga ke dasar lautan.

Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang umumnya diceritakan dalam bahasa lokal (setempat).


Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es atau Zaman Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat. Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari spesies mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua spesies manusia, Neandertal dan Cro-Magnon.

Sebelum terjadinya bencana banjir menyeluruh itu, pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.

Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari jalur api ‘Ring of Fire’.

Gunung utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan gunung Toba). Sedangkan gunung lain yang disebut-sebut dalam kaitannya dengan kisah-kisah mitologi adalah gunung Semeru, gunung Agung, dan gunung Rinjani.

Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar yang sekarang menjadi selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Jawa.

Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah di antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, di antara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan.


Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.

Gletser di kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.

Tekanan air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi secara beruntun, dan disusul dengan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya Zaman Es Pleistocene secara dramatis.


Dalam bukunya, Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dibanding saat ini. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di garis khatulistiwa.

Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…” Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.

Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.

Santos telah menduga hal ini lebih dari 20 tahun yang lalu sewaktu dia mencermati tradisi-tradisi suci dari Yunani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia, Indian-Amerika, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walaupun dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.

Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Arya dan Dravida. Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Asia dan ke Timur sampai ke Australia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.


Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, berbagai jenis metal, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya.

Jadi menurut Prof Santos, hanya Indonesia-lah yang sekaya ini.

Ketika bencana yang diceritakan di atas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, serta Amerika melalui selat Bering.

Suku Arya yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. Karena glatsier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka akhirnya bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestina, Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.


Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi suci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Sedang suku Dravida yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia .

Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa di seluruh dunia dapat ditelusur berasal dari Sanskerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik.

Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain.

Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.

Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia.

Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternatif lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matriks yang disebutnya sebagai ‘Checklist’ (Silakan lihat di sini: http://atlan.org/articles/checklist/#checklist).


Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut Indonesia, teori Profesor Santos ini hingga sekarang ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia.

Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas dan kuat. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun.

Contoh kecilnya, adalah perbandingan tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana 30-an tahun yang lalu mereka masih belajar dari kita, tapi sekarang mereka relatif sudah berada beberapa langkah di depan kita.


Allah SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang Dia pergilirkan. Yang hidup mulia (berkuasa) pada suatu saat akan menjadi hina (tertindas), dan sebaliknya. “… dan Kami mempergilirkan sejarah yang berlaku di antara manusia ….” (Surat Ali ‘Imran: 140) “Maka setelah datang keputusan Kami, Kami jadikan yang di atas menjadi yang di bawah …. (Surat Hud: 82). Inilah “Cakra Manggilingan”, atau Roda Kehidupan yang senantiasa berputar.

Profesor Santos masih akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna lebih banyak lagi mendapatkan bukti atas teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut Indonesia.

Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Bagaimana pula para pakar dan ilmuwan Indonesia dari pelbagai disiplin ilmu menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi yang sangat terhormat ini? Yakni Indonesia sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia?

Dan beranikah kita mulai saat ini berpromosi ke seluruh dunia dengan slogan:
Indonesia, Truly Atlantis!
atau
Indonesia, Mother of All Civilazation!

Monday, October 19, 2009

Atlantis: Kisah “Benua yang Hilang”


Legenda yang berkisah tentang "Atlantis", pertama kali terdapat dalam dua karya filsafat Yunani, Critias dan Timaeus, yang merupakan dua buah catatan dialog Plato (427-347 SM).

Pada buku Timaeus, Plato berkisah: “Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut. negara besar yang mempunyai peradaban tinggi itupun lenyap dalam semalam."


Dalam salah satu bagian dari buku dialog Critias, terdapat kisah Atlantis yang dibicarakan oleh adik sepupu Critias. Critias, murid Socrates, sebanyak tiga kali menekankan keberadaan Atlantis dalam dialognya.

Kisahnya berasal dari cerita lisan Joepe yang merupakan moyang lelaki Critias, sedangkan Joepe sendiri mendengar kisah ini dari seorang penyair Yunani bernama Solon (639-559 SM). Solon adalah orang yang dianggap paling bijaksana di antara tujuh orang bijak Yunani kuno.


Suatu ketika Solon berkeliling di negeri Mesir, dari tempat pemujaan makam leluhur bangsa Mesir itulah dia mengetahui legenda tentang Atlantis. Secara garis besar, catatan dalam dialog itu sebagai berikut:

"Ada sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik arah Barat Laut Tengah yang sangat jauh, yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya: istananya dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak. Dinding tembok bagian dalam istana bertahtakan emas, cemerlang dan megah. Di sana, tingkat perkembangan peradabannya memukau orang. Memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah ia ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang."

Singkatnya, Atlantis digambarkan sebagai peradaban dengan tingkat kemajuan teknologi yang tinggi. Konon, pesawat terbang, pengatur suhu ruangan, kotak penyimpan energi semacam batu baterai atau accu, dan lain-lain telah ada pada masa itu.


Penyelidikan Arkeolog
Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, keadaan kerajaan Atlantis diceritakan turun-temurun. Sama sekali bukan rekaannya sendiri. Plato bahkan pergi ke Mesir minta petunjuk biksu dan rahib terkenal yang ada pada waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa.


Jika semua yang diutarakan Plato memang benar-benar nyata, maka sejak 12.000 tahun silam, manusia sudah menciptakan peradaban. Namun di manakah kerajaan Atlantis itu? Sejak ribuan tahun silam orang-orang menaruh minat yang sangat besar terhadap hal ini. Hingga abad ke-20, tepatnya sejak tahun 1960-an, laut Bermuda yang terletak di bagian barat Samudera Atlantik, di kepulauan Bahama, dan laut di sekitar kepulauan Florida pernah berturut-turut diketemukan keajaiban yang menggemparkan dunia.

Friday, October 9, 2009

Preseden Buruk Sepanjang Sejarah


Kuasa Hukum KPK Mengadu kepada Presiden

Hasil pemeriksaan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Susno Duadji oleh Inspektorat Pengawasan Umum Polri dipandang sebagai preseden terburuk sepanjang sejarah. Karena itu, perlu pemeriksaan ulang oleh tim independen.

Penilaian itu disampaikan Ahmad Rivai, anggota Tim Kuasa Hukum Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, Kamis (8/10) di Jakarta, sebelum menemui Kepala Rumah Tangga Kepresidenan Setia Purwaka. Kuasa hukum Bibit dan Chandra meminta waktu untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hasil pemeriksaan terhadap Susno itu.

Seperti diberitakan, Rabu, Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani mengumumkan, tak ada pelanggaran etika, profesi, dan pidana yang dilakukan Susno terkait penanganan kasus Bank Century dan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK. Namun, pemeriksaan terhadap Susno tidak menyangkut pertemuannya dengan Direktur Utama PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo di Singapura. Anggoro adalah buron dan tersangka kasus korupsi proyek radio komunikasi terpadu di Departemen Kehutanan yang disidik KPK (Kompas, 8/10).

Rivai menilai pemeriksaan atas Susno menjadi preseden buruk antara lain karena pada pemeriksaan itu orang-orang yang seharusnya paling mengetahui duduk persoalan justru tidak dimintai keterangan. ”Semestinya orang yang mengetahui harus dimintai keterangan, bukan justru orang yang tak tahu masalah dimintai keterangan. Kalau itu terjadi, pasti tak akan terbukti,” ujarnya.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap Susno, Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri menyatakan Susno tidak terbukti melakukan pelanggaran. Tim Kuasa Hukum Bibit dan Chandra menuntut dilakukannya pemeriksaan ulang terhadap Susno oleh tim independen. ”Kita seharusnya mendudukkan masalah hukum ini di tempatnya. Jangan sampai pemeriksaan hanya formalitas dan akhirnya diindikasikan tidak ada pelanggaran. Ini sangat menyakitkan. Orang yang tahu duduk persoalan tidak dimintai keterangan. Ini penyalahgunaan wewenang,” kata Rivai.

Sebelumnya, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Adnan Pandu Praja, menuturkan, Kompolnas tak dilibatkan dalam pemeriksaan terhadap Susno. Padahal, Kompolnas sudah minta dilibatkan dan mengusulkan agar Itwasum juga mengorek keterangan terkait pertemuan Susno dengan Anggoro.


Kepala Polri membantah
Secara terpisah, Kamis siang, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menghadap Presiden. Kepala Polri membantah kabar ia diminta ke Istana untuk menjelaskan hasil pemeriksaan Itwasum terhadap Susno kepada Presiden.

Kepala Polri mengatakan, kedatangannya ke Istana Kepresidenan cuma untuk meminta izin mengikuti sidang Interpol di Singapura pada 11-15 Oktober mendatang.

Menurut Bambang, Presiden tidak menyinggung soal pemeriksaan Susno dalam pembicaraan dengannya. ”Itu, kan, berkaitan dengan keputusan internal. Presiden tidak ikut campur, kecuali ada hal-hal yang sangat prinsip,” ujarnya.

Bambang menambahkan, proses pemeriksaan terhadap Susno sudah final serta didasarkan pada keterangan saksi yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, Rivai optimistis Presiden akan mendorong penyelesaian kasus Susno sampai tuntas. Apalagi, tim sudah menyampaikan laporan disertai dengan bukti yang lengkap.

Rivai juga menuding Itwasum Polri tidak serius dalam menyelidiki Susno. ”Kami mendorong dibentuk tim independen. Jika tidak, kepercayaan publik kepada polisi kian luntur,” katanya.

Rivai juga mendesak KPK memeriksa Susno terkait dugaan pertemuan Kepala Bareskrim Polri itu dengan Anggoro di Singapura. ”Jika memang polisi tak bisa diharapkan, kini giliran KPK yang harus bergerak memeriksa Susno,” katanya. Chandra mengaku tidak bisa berkomentar soal putusan Itwasum terhadap Susno.


Tak dinonaktifkan
Kepala Polri memastikan tidak akan menonaktifkan Susno sebagai Kepala Bareskrim Polri. ”Nonaktif, kan, ada ketentuannya, kalau sudah jadi tersangka dan terdakwa,” kata Bambang seusai penandatanganan kesepahaman antara Polri dan Komisi Yudisial, Kamis. Kepala Polri juga memastikan proses terhadap Susno telah selesai. ”Kalau sudah diumumkan Irwasum, itu sudah seizin saya. Itu suatu akhir dari proses yang dilakukan tim Itwasum,” ujarnya lagi.

Soal langkah Tim Kuasa Hukum Chandra dan Bibit yang mengadukan persoalan Susno itu kepada Presiden, Bambang menuturkan, ”Itu hak setiap warga negara. Siapa saja melapor ke siapa silakan saja. Itu hak warga negara.”

Bergerak cepat
Di Yogyakarta, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, meminta tiga anggota pimpinan sementara KPK harus mampu menepis anggapan negatif dari publik kepada mereka. Caranya, mereka harus bekerja cepat, terutama mampu mengusut penyelesaian kasus Bank Century atau kriminalisasi pimpinan KPK. ”Dua kasus itu yang membuat kita berpikir tentang mengapa KPK perlu dilemahkan,” tuturnya.

Kerja cepat penting untuk mengembalikan kewenangan dan wibawa KPK. Selama ini dukungan presiden dan elite politik sangat lemah sehingga KPK harus mampu mendukung keberadaannya sendiri.

Dalam kasus Bank Century, Zainal berharap KPK segera menyelesaikan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Susno. Penyelesaian bisa dimulai dengan mengusut bukti yang sudah tersedia.

KOMPAS, 9 Oktober 2009

Trauma Bencana yang Tidak Boleh Diabaikan


"Ma, tadi ada gempa, ya...?” Fanny masih ingat betul bagaimana Nawang Wulan bertanya di pelukannya. Seraya menahan isak dan berusaha menyembunyikan kegalauan hati, Nawang bertutur kepada sang ibu, ”Ma, tadi ada gempa, ya?

Pertanyaan itu bukan untuk memastikan, tetapi lebih menunjukkan ketakutan yang menghantui setelah gempa. Saat gempa, Nawang sedang mandi. Tanpa dibilas, sang ayah langsung melilitkan handuk dan membopong Nawang keluar dari rumah.

Dinding rumah keluarga itu yang terletak di Kompleks Rajawali, Tunggul Hitam, Padang, retak. Secara fisik tidak ada luka, tetapi dari situlah trauma melanda.

Tidak hanya itu, Fanny juga mengamati betapa gempa telah membuat anak-anak hidup dalam kosakata tentang gempa. Saat bermain, mereka membuat permainan yang berkisah tentang gempa.

”Anak-anak menyusun payung-payung yang terbuka sehingga membentuk tumpukan. Nawang lalu bersembunyi di balik tumpukan payung itu sembari meminta temannya menggoyangkan tumpukan payung seolah adalah gempa,” ucap Fanny yang juga bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat di bidang pencegahan dan penanggulangan bencana.


Tindakan anak-anak ini dianggap Fanny sebagai sisa trauma pascagempa. Apalagi, mereka baru pertama kali merasakan gempa besar, 7,6 skala Richter, seperti yang terjadi pada Rabu (30/9).

Serupa dengan Nawang, Oyong (37) juga masih membawa trauma setelah bencana hebat tersebut. Di rumah yang terletak di kawasan Air Tawar, Padang, dia menyaksikan tutup sumur yang terbuat dari beton terangkat karena semburan air dari dalam sungai sesaat setelah gempa. ”Semburan air itu mengagetkan saya. Air yang menyembur bercampur lumpur sehingga tampak kecoklatan. Saya khawatir saja betapa tekanan air begitu besar sehingga ketakutan akan tsunami semakin kuat,” kata Oyong.

Istri dan mertuanya yang sakit saat gempa terjadi juga ada di dalam rumah. Satu hal yang melintas dalam pikirannya adalah kemungkinan tsunami. Segera, istri dan mertuanya dibawa ke lantai dua rumah tetangga. ”Saya minta mereka tenang di sana karena saya masih harus menyelamatkan yang lain,” ucap Oyong.

Oyong kembali ke rumah. Ternyata pamannya masih terjebak di dalam rumah. Pamannya juga luka kakinya sehingga harus dibopong keluar rumah dan ditempatkan di tangga menuju lantai dua rumah tetangga.


Beberapa jam
Beberapa jam setelah gempa berlalu, baru Oyong tenang dan bisa memaksa istri dan keluarga istrinya itu untuk mengungsi ke rumah orangtua Oyong di Siteba, Padang.

Rentetan peristiwa ini membuat Oyong trauma jika mengingat gempa. Apalagi, sampai empat hari setelah gempa, masih ada sanak saudara di Pariaman yang belum memberikan kabar. ”Saya masih mau mencari mereka,” ujarnya.

Trauma juga masih melingkupi Farida (38). Rumah-bengkel yang terletak di Siteba hancur. ”Bangunan runtuh dari belakang sampai ke depan. Cepat sekali kejadiannya,” kata Farida.


Tidak hanya bangunan yang roboh yang menyisakan ketakutan pada Farida. Ketika rumah roboh, Puput, mahasiswi yang menyewa kamar di lantai tiga rumahnya itu, terimpit reruntuhan tembok rumah. Jaraknya tidak sampai 1 meter dari pintu keluar.

”Cepat-cepat kami usahakan reruntuhan bangunan diangkat dan Puput bisa diselamatkan. Setelah itu, dia dilarikan ke rumah sakit. Sampai sekarang, Puput masih dirawat,” ucap Farida menahan isak.

Saat gempat, tinggal satu sepeda motor yang tersisa dan sudah selesai diservis. Kalau masih banyak orang, tentu korban akan lebih banyak.

Barangkali tidak banyak pihak yang tahu kalau sejumlah bangunan di Siteba hancur total. Itu sebabnya hingga Sabtu siang kemarin, bantuan logistik atau tenaga apa pun belum singgah ke kawasan itu. Jika bantuan untuk masa darurat saja terlupakan, barangkali trauma yang dialami para korban gempa semakin terabaikan.

Trauma ini merupakan peninggalan pascagempa yang perlu dipikirkan pemulihannya seusai tanggap darurat mendatang. Bila tidak, trauma ini mungkin terbawa dan mengganggu para korban gempa ini.

Agnes Rita S
KOMPAS, 4 Oktober 2009