Thursday, October 8, 2009

18 Jam Bertahan Hidup di Reruntuhan


Auih bana, Ika, Pak…. Indak tahan dek Ika lai…. (Haus benar, Ika, Pak…. Tidak tahan lagi oleh Ika…),” jeritan perempuan muda itu sungguh memilukan. Kedua mata dan telinga kirinya memar. Mukanya sembab, kedua kakinya patah. Hanya tangan kanan yang bisa digerakkan dan menggapai-gapai tangan bapaknya, Sias (51).

Jumat (2/10) siang itu, udara panas membuat pasien bermandi keringat. Bisa dibayangkan, kondisi pasien yang tengah dirawat di bawah tenda.

Perempuan muda yang merintih pilu itu bukan pasien biasa. Perempuan yang diketahui bernama lengkap Frisca Juliana (22) yang dipanggil Ika itu adalah korban gempa tertimbun reruntuhan di Hotel Ambacang, yang dievakuasi dalam keadaan hidup. Dia terimpit reruntuhan beton lebih kurang selama 18 jam.

Pak, agiahlah aia Ika, Pak.... (Pak, berilah air minum, Ika, Pak…),” kembali Frisca merintih.

”Sabarlah Ika. Puasa karena harus operasi nanti malam,” kata Sias, menenangkan.

Sias menyebutkan, Ika terjebak dan terkena musibah gempa karena saat kejadian gempa yang berkekuatan 7,6 skala Richter itu, ia sedang rapat di Hotel Ambacang. Ika diketahui tertimpa reruntuhan bangunan hotel ketika ada berita di televisi semua tamu hotel itu terjebak reruntuhan.

”Informasi awal, semua tamu hotel itu diduga tewas. Saya kehilangan harapan dan menunggu saja hasil evakuasi. Kamis siang diketahui, ada korban yang ditemukan selamat. Saya lihat seperti anak saya,” kata Sias.

Menurut Sias, menemukan Ika sangat sulit. Semula dicari ke RS Ganting setelah ditemukan, tetapi tak bersua. Sekitar pukul 19.00 WIB, warga asal Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, itu mendapat informasi, Ika dirawat di RS Dr M Djamil, Padang.

Ika belum dapat mengungkapkan bagaimana ia bisa bertahan sekitar 18 jam di dalam reruntuhan. Hanya rintihan kehausan yang selalu membuat bibirnya bergetar. Kecapaian dalam situasi udara yang panas di bawah tenda rumah sakit lapangan membuat Ika akhirnya tertidur. Sias terus mengipas-ngipaskan karton ke arah wajah anaknya.

Tidak hanya Ika, Sigon (11), korban gempa lain yang sedang dirawat di RS yang sama, juga terus merintih kesakitan dan kepanasan. Sigon tertimpa runtuhan di pasar swalayan Ramayana. Kepala bagian kanan terluka. Kaki kirinya pun patah.

Sigon segera dievakuasi setelah gempa terjadi. Syukur selamat walau mengalami luka serius dan patah tulang,” kata Murni, kakaknya.

Murni berharap, tempat perawatan di tenda lapangan diberi kipas angin. ”Panas begini, gerah bukan main. Kalau dikasih kipas angin satu per tenda membantu pasien,” katanya.


Darurat
Direktur Utama RS Dr M Djamil, Suchyar Iskandar, yang dihubungi terpisah mengatakan, standar rumah sakit lapangan memang seperti itu karena dalam kondisi tanggap darurat. ”Jangan bandingkan seperti ruangan yang berpendingin. Kalau ada bantuan tenda ber-AC, kami terima,” ujarnya.

Gempa bumi, ungkap Suchyar, membuat hampir semua ruangan tak bisa difungsikan. Ruangan untuk rawat jalan rusak 100 persen. Ruangan rawat inap yang rusak 60 persen.

Selain itu, instalasi air bersih rusak total. Alat-alat medis, termasuk peralatan untuk operasi, yang bisa difungsikan hanya sekitar 40 persen, sedangkan fisik ruangan operasi yang bisa difungsikan sekitar 60 persen.

”Karena kondisi bangunan RS Dr M Djamil seperti itu, didirikan tenda RS lapangan sebanyak 12 tenda evakuasi dengan kapasitas 300 pasien. Sebanyak 200 pasien di antaranya, korban gempa, dan 60 orang sudah menjalani operasi,” ujar Suchyar.

Menurut Suchyar, kondisi tanggap darurat yang mendesak untuk bidang kesehatan adalah air bersih dan keperluan mandi, cuci, kakus. Selain itu, obat-obatan, beras dan lauk-pauk, lampu, telepon, dan solar untuk genset. Pada masa tanggap darurat selama dua bulan, diharapkan kebutuhan mendesak itu datang secepatnya.

Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi menekankan, air bersih sangat dibutuhkan. ”Karena bak-bak penampungan pecah, bantuan yang sangat diharapkan Pemerintah Provinsi Sumbar adalah mobil tangki air minum. Mobil MCK juga sangat dibutuhkan,” katanya.

Yurnaldi
KOMPAS, 3 Oktober 2009

No comments: