Tuesday, January 10, 2017

Tahun Pergumulan Internal


Banyak orang yang bertanya bagaimana wujud perubahan yang bakal dihadapi bangsa ini di tahun 2017. Apakah kita bakal membaik atau memburuk? Maksudnya, setelah heboh-heboh besar dengan topik-topik sensitif yang telah menimbulkan perselisihan sesama kawan di akhir 2016 yang baru kita lewati, apa konsekuensi yang bakal kita hadapi?

Seperti biasa, tentu saja ada dua pihak: Mereka yang siap menghadapi perubahan dengan standar moral yang tinggi, dan yang cemas atau merasa terancam, bahkan untuk itu rela "membeli" perubahan dengan standar moral yang, maaf, sulit dipertanggungjawabkan.

Tetapi apapun juga, kita tengah menghadapi sebuah suasana yang merata di seluruh dunia, yaitu: kesulitan manusia untuk menguji kebenaran dari hadirnya internet gelombang ke-3. Alih-alih bertengkar keluar, banyak orang yang justru terperangkap dengan “saling berkelahi” di dalam.

Ini membuat banyak orang yang akan menghadapi sebuah pergumulan hebat, pertentangan batin antara pro-kontra, ya atau tidak. Pergumulan, yang dalam Change Management, disebut berselera rendah. Bagai bertarung melawan bangsa sendiri. Saudara berkelahi dengan adik-kakaknya sendiri. Seakan menjadi tumpul keluar.

Namun akibatnya berat bagi perekonomian, berat bagi pembangunan. Dan berat bagi bisnis serta penciptaan lapangan kerja baru.


Abad Kecepatan Super
Saya ajak dulu Anda untuk mengikuti sumber dari segala pergulatan itu, yaitu informasi. Dan ini tak bisa lepas dari teknologi. Seperti kita ketahui, gelombang pertama internet adalah: Connectivity, dan ini sudah kita alami. Ini terjadi tidak lama setelah Alvin Toffler menulis buku “Gelombang Ketiga” dan meramalkan abad informasi seperti yang kita jalani hari ini.

"Gelombang ketiga" yang diulas Toffler itu menginspirasi tokoh-tokoh seperti Bill Gates, Steve Jobs, Steve Case, Andy Grove dan tokoh-tokoh lainnya, untuk bergerak, menciptakan dunia baru.

Saya masih ingat ketika mengambil program doktoral di Amerika Serikat pada tahun 1990-an saat internet baru diperkenalkan, hampir semua host talkshow televisi bertanya: “Ini gunanya apa? Bagaimana memakainya?

Para pioner merayu agar para pembuat komputer mau memasukkan modem dan piranti lunak (software) buatan mereka sehingga makin banyak mesin yang bisa terhubung.


Selanjutnya, gelombang kedua, terjadi di awal abad 21, saat manusia mulai bisa menggunakan jaringan yang terhubung itu untuk digitalisasi perdagangan dan bersosialisasi. Munculnya Alibaba, e-Bay, Facebook, Instagram sampai Airbnb dan Uber adalah indikasi gelombang kedua.

Dan kini, kita telah memasuki gelombang ketiga, setelah telepon pintar (smartphone) menghubungkan hampir seluruh kehidupan. Manusia mulai pindah ke dalamnya. Internet of Things menjelajah kehidupan kita, dari DNA, alat monitor jantung, biochips, home automation, smart city, smart energy, dan smart politics. Kata para ilmuwan, smartphone, dumb people (telepon pintar di genggaman masyarakat yang cekak).

Maka terbentuklah disrupted society, yaitu masyarakat baru yang nyaris terputus dengan dunia lama. Persis seperti sebuah pabrik besar di kota kecil yang memberi hidup banyak orang namun tiba-tiba ditutup. Maka semua orang heboh, sementara pabrik-pabrik yang baru tumbuh masih kecil-kecil.

Andy Grove, Bill Gates, Steve Jobs, dan Steve Case, adalah para pendekar abad digital.

Corporate Disruptive Mindset
Pergumulan internal yang mengakibatkan kita semakin tahu, namun sekaligus semakin rapuh, sebenarnya bukan gejala baru dalam perubahan. Sebab yang pandai itu alatnya, bukan manusianya. Apalagi begitu dunia internet mencapai puncaknya.

Jauh sebelum manusia mengenal smartphone, para eksekutif di Kodak telah mengalami derita terlebih dahulu akibat dari pergumulan ini. Pasalnya, Kodaklah yang pertama kali menemukan cara untuk memindahkan foto ke dunia digital. Dan hal ini tentu tak disukai oleh para eksekutif di Kodak yang produk lamanya terancam. Alih-alih bersatu untuk melawan Fujifilm (Jepang), mereka malah berkelahi di antara mereka melawan saudara sendiri. Yaitu melawan yang inovatif dan brilliant.

Clayton Christensen perumus teori Disruption sampai mengajukan pertanyaan ini: Apa jadinya jika Anda menjadi competitor bagi diri Anda sendiri?


Di situlah pergumulan itu terjadi. Ya batiniah, ya fisik. Dan sekarang saat perekonomian dunia dikepung gejala disruptions, kita menyaksikan pergumulan internal terjadi di hampir semua kategori industri, dari pariwisata sampai ke jasa keuangan. Dari birokrasi sampai ke pangan dan telekomunikasi. Sementara para ahli terlalu asyik dengan peta makro yang tak banyak bercerita tentang realitas.

Alih-alih menghadapi Trump yang akan mengusir TKI di sana, kita justru memilih bertarung melawan putra-putri terbaik dengan begitu kejam dan suara lantang.

Bayangkan seperti apa jadinya bila hal itu dialami Indonesia, ditengah-tengah kancah politik pilkada. Antara perubahan yang dituntut masyarakat dengan permainan para elit yang mengincar “uang” besar anggaran pembangunan, dan orang-orang yang menjajakan kemiskinan sebagai alat kampanye. Itu terjadi di tengah-tengah spirit keberagaman yang tiba-tiba runtuh. Dan akhirnya menjadi pergumulan semua orang.


Disrupsi, Desepsi
Dunia kini tengah bergumul untuk membentuk kembali dirinya. Dari proses digitalisasi, manusia kerap menyangkalnya saat menyaksikan realita baru. Tak ada yang menyangka orang yang dipuja terlibat perselingkuhan uang. Kita hanya bisa kaget saat membaca nama-nama mereka ada di Panama Papers, misalnya.

Karena disangkal, masuklah kita ke tahap desepsi, sehingga terjadilah disruptions. Setelah itu terjadilah dematerialisasi, demonetisasi dan demokratisasi. Putaran perubahan menjadi lebih cepat, tak terwujud, sangat murah dan menjadi guyonan sehari-hari.

Kata kunci dari semua itu adalah respons. Politik memang busuk, tetapi tugas pelayanan sosial masyarakat bukanlah soal rivalitas. Ini soal kewajiban. Indonesia membutuhkan disruptive leader dengan manusia-manusia yang bisa membebaskan diri dari waktu dan tempat.

Seperti yang dituntut Walikota Bandung pada Aparatur Sipil Negara (ASN dulu PNS) jajarannya, yaitu kewajiban menggunakan sosial media untuk berkomunikasi dengan publik, mengatasi masalah dan men-deliver pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Ini tentu berbeda dengan generasi tua yang justru merasa terancam dengan sosial media, yang beranggapan sosial media hanyalah alat entertainment pribadi.


Pergumulan Kehidupan Sosial
Tentu saja tidak sulit untuk menyatakan bahwa Indonesia di tahun 2017 juga akan mengalami “tahun pergumulan” yang kompleks akibat belum tertatanya aturan dan perilaku baru, tata hukum, dan standar moral. Benturan antara demokrasi, politik dan ekonomi, termasuk manipulasi pikiran.

Ini bukan soal ramal-meramal, apalagi mengaitkannya dengan “tahun ayam,” yang bisa kita pelesetkan menjadi ayam aduan yang mengakibatkan jago bertemu jago sampai mati. Bukan itu.

Tetapi intinya adalah Indonesia tengah memasuki peradaban digital yang intensif dalam percaturan ekonomi, bisnis, politik, sosial dan budaya yang sangat intens. Dan inilah tahun pergumulan batin bagi kita semua. Pergumulan disruptions yang akan kita alami di tahun 2017 ini, saat perusahaan-perusahaan besar berguguran, sementara mereka yang kecil, justru mulai mendunia.

Inilah kekuatan disruption yang dicita-citakan kaum muda namun telah disalahgunakan kekuatan-kekuatan baru. Selamat berdamai dengan pikiran masing-masing.

Rhenald Kasali,
Akademisi dan Praktisi Bisnis,
Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Pendiri Rumah Perubahan
KOMPAS.com, 4 Januari 2017