Thursday, December 2, 2021

Di Balik Radikalisme dan Terorisme di MUI


MUI kelojotan. Jutaan netizens menuntut pembubaran “LSM” keagamaan yang sudah terlanjur besar itu. Pasalnya, salah seorang elit MUI Pusat di Komisi Fatwa Ahmad Zain An-Najah dicokok Densus 88. Ahmad Zain —tersangka gembong Jamaah Islamiyah ini— adalah kader Muhammadiyah. Dilacak jejak karirnya, Ahmad Zain adalah alumnus Ponpes Ngruki, pimpinan Abu Bakar Ba’asyir; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir; Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Cairo; dosen Uhamka dan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dua gembong Jamaah Islamiyah lainnya yang diciduk Densus 88 adalah Farid Okbah, tokoh Wahabi alumnus LIPIA dan Anung Al-Hammad, tokoh Persis. Ketiga tokoh Islam ini, bisa dilacak jejak “provokasi”nya yang menyebarkan radikalisme dan terorisme di Google.

Tapi aneh. Meski sudah sekian lama ketiganya malang melintang di dunia dakwah Islam radikal, mereka aman-aman saja. Entah karena organisasi induknya sengaja melindungi, diam, atau tidak tahu akan jejak dan kiprah mereka di dunia dakwah Islam. Baru setelah mereka ditangkap, organisasi induknya cuci tangan. Sebuah cara klasik untuk memutus rantai keterlibatan organisasi dengan tokoh-tokohnya yang terstigma buruk di mata publik.

Abu Bakar Ba'asyir

Pertanyaannya: Kenapa Islam tampak “kedodoran” bila menghadapi kasus radikalisme dan terorisme? Ingat, ketika Osama Bin Laden terbunuh di Abbottabad, Pakistan (2 Mei 2011), ribuan orang simpatisan Osama berkumpul di sejumlah kota mendoakan dan bersaksi atas kebaikan Osama. Ingat ketika Abu Bakar Ba’asyir, ideolog teroris, bebas dari penjara Gunung Sindur, Bogor (08/01/2021) setelah mendekan 15 tahun, kedatangannya di Solo disambut bak pahlawan. Saat pembebasannya, Ba’asyir yang tak pernah mengakui Pancasila sebagai ideologi negara itu, mendapat ucapan selamat dan hormat dari wakil ketua MPR Hidayat Nurwahid.

Sepertinya radikalisme dan terorisme dalam Islam sulit dipisahkan. Setidaknya telah membuat umat bingung —apakah terorisme dan radikalisme itu bagian dari Islam? Atau Islam punya sejarah yang tak terpisahkan dengan radikalisme dan terorisme? Di bawah ini, saya nukilkan kembali tulisan saya yang pernah dimuat di Geotimes, 9 April 2021.


Rabu, 4 Zulhijjah, tahun 23 Hijriyah. Fajar baru saja menyingsing ketika Khalifah Umar bin Khathab datang ke masjid hendak mengimami shalat Subuh. Sebelum shalat, Umar menunjuk beberapa orang di masjid agar meluruskan shaf. Setelah semua shaf sudah lurus dan teratur, Shalat pun siap dilaksanakan. Tapi baru saja Umar mulai niat shalat, tiba-tiba muncul seorang laki-laki di shaf pertama, di belakang Umar. Sang lelaki itu, langsung menikam Umar dengan pisau belatinya berkali-kali. Umar pun roboh. Beberapa jam kemudian Umar tewas akibat luka-lukanya yang parah di perutnya.

Siapa pembunuh kejam itu? Abu Lu’lu’ah Fairuz! Ia seorang budak milik Al-Mughirah bin Syu’bah, berasal dari Persia. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi buta tersebut. Fairuz dendam kepada Umar —Khalifah Islam yang telah mengalahkan Kerajaan Persia, negara yang amat dibanggakan Fairuz.

Fairuz, seorang radikal. Ia memendam kebencian terhadap Umar yang menghancurkan negeri nenek moyangnya. Ia pun nekad membunuh Umar, melampiaskan dendamnya. Redemption —pinjam istilah pengamat terorisme Nurhuda Ismail— menjadikan Fairuz nekad untuk menebus dosanya akibat tak mampu memberikan sumbangan kepada negeri yang dicintainya ketika dihancurkan Umar.


Dua belas tahun kemudian, hari Jumat, 18 Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, Khalifah Utsman tewas. Setelah mengepung 40 hari 40 malam, para pemberontak berhasil memasuki kediaman Khalifah. Utsman pun terbunuh ketika sedang membaca Al-Qurȃn. Para pemberontak tersebut, lagi-lagi berasal dari kelompok radikal yang tidak menyukai Khalifah Ustman. Ustman dianggap lembek dan nepotis; tak bisa menjadi khalifah yang baik dan adil.

Lima tahun setelah wafatnya Utsman, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga tewas mengenaskan di tangan muslim radikal. Pembunuhnya Abdurrahman ibnu Muljam. Ibnu Muljam seorang ahlussunnah, fasih membaca Al-Qurȃn, dan hafiz (penghafal Al-Qurȃn) yang disegani karena kesalihannya. Ia pernah diutus oleh Khalifah Umar bin Khathab pergi ke Mesir untuk mengajar Al-Qurȃn di Negeri Fir’aun itu.

Ibnu Muljam membunuh Ali karena pengaruh paham radikal Khawarij. Bagi Ibnu Muljam —Khalifah Ali dalam menjalankan pemerintahan tidak berhukum pada Al-Qurȃn. Bayangkan, tiga khalifah generasi utama, ketiganya sahabat terbaik Rasulullah, dalam kurun 40 tahun setelah Hijrah, tewas dibunuh secara mengenaskan.

Tragisnya, para pembunuhnya juga orang-orang Islam. Mereka ekstrim dan radikal. Dari keempat khalifah utama tersebut, hanya Abu Bakar As-Shiddiq yang meninggal wajar tanpa dibunuh. Itulah awal perjalanan sejarah Islam.


Dari gambaran di atas, salahkah jika orang menyatakan Islam itu radikal dan ekstrim? Jika ada orang menuduh Islam seperti itu, jangan marah dulu. Juga tak perlu apriori. Sejarah memang membuktikannya. Radikalisme diakui atau tidak, memang sudah tercatat di awal perkembangan sejarah Islam.

Tiga orang Khalifah al-Rasyidin, yang juga sahabat-sahabat Rasul terdekat —Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib— meninggal karena radikalisme. Terlebih lagi setelah perang Siffin, antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, radikalisme Islam makin menjadi-jadi.

Setelah itu, kekhalifahan Islam bermunculan silih berganti —baik dari dinasti Umayyah maupun Abbasiyah— dengan pemerintahan despot dan berlumur darah. Hampir setiap pergantian khlalifah berlangsung dengan cara yang tidak wajar. Dendam, pengkhianatan dan pembunuhan.


Lahirnya kelompok Khawarij yang mengusung doktrin “la hukma illa lillah” (yang lebih tepat menurut Al-Qurȃn sebenarnya; innil-hukmu illa lillah -red.), pada masa itu yang mengkafirkan siapa saja yang berbeda paham dengannya, mengakibatkan ‘orang luar’ melihat Islam sebagai agama teror.

Pasang surut paham dan gerakan radikal ini tercatat dalam perjalanan sejarah Dunia Islam. Meski agama Islam secara esensial dihadirkan Allah melalui Nabi Muhammad sebagai agama damai, tapi paham radikal tersebut tak pernah benar-benar lenyap. Bahkan ketika kelompok Khawarij secara historis telah hilang, paham dan ideologi radikal tetap hidup. Ideologi radikalisme tak pernah mati sepanjang sejarah Islam.

Di zaman modern, ideologi Islam radikal makin menakutkan. Peristiwa 11/9/2001 (9-11), yang menghancurkan World Trade Center, New York, menjadi isu radikalisme agama terpenting di abad 21. Kehadiran Negara Islam Irak dan Siria (ISIS) menambah ketakutan dunia terhadap Islam. Sejak ISIS mendeklarasikan diri sebagai Kekhalifahan Islam, 2004, ratusan ribu orang dibunuh di Irak, Suriah, dan wilayah-wilayah yang dikuasainya.

ISIS makin menakutkan setelah organisasi radikal Islam yang lain seperti Boko Haram di Nigeria, Thaliban di Afghanistan, dan Abu Sayaf di Filipina berbai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, Khalifah ISIS. Kehadiran ISIS makin menguatkan keyakinan masyarakat internasional bahwa ideologi Islam radikal tak akan pernah mati.


Saat ini, fenomena radikalisme di dunia internasional makin mencekam karena gerakan-gerakan ideologi radikal dan ekstrim tersebut. Negara-negara Islam dan Timur Tengah menjadi panggung pertunjukan kekejamannya. Dunia kini menyaksikan jutaan pengungsi dari Timur Tengah dan negara-negara Islam lain menyerbu Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia. Mereka ketakutan, lari dari negaranya yang terus berperang.

Kini, Suriah, Palestina, Irak, Yaman, Pakistan, Afghanistan, Filipina, Indonesia, Mesir, Libya, Ethiopia, dan Nigeria, —semuanya negara Islam atau mayoritas penduduknya beragama Islam— menjadi tempat yang dianggap berbahaya, karena banyaknya aksi-aksi terorisme yang mengancam kemanusiaan.

Lalu, bagaimana Indonesia —negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia? Akankah digerogoti ideologi Islam radikal yang membahayakan itu? Dunia tak akan pernah melupakan ledakan dahsyat bom Bali satu dan dua. Setelah itu, puluhan bahkan ratusan kasus terorisme menggetarkan Indonesia. Kelompok-kelompok intoleran dan radikal pun tumbuh di mana-mana. Bahkan kelompok intoleran ini —kadang mendapat dukungan sebagian tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan pegawai negeri.

Setara Institute, misalnya, dalam risetnya menemukan banyak perguruan tinggi negeri ternama yang sudah terpapar virus intoleransi dan radikalisme. Kita masih ingat, bagaimana seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri ternama menjadi “dalang” pemboman di Jakarta. Di pihak lain, banyak organisasi berlabel Islam yang aksi-aksinya mengindikasikan penyebaran intoleransi dan radikalisme.


Gambaran tersebut, jelas sangat mencemaskan masa depan Indonesia yang negaranya berdasarkan Pancasila. Kenapa? Intoleransi dan radikalisme adalah benih-benih terorisme. Orang menjadi teroris awalnya intoleran dulu. Lalu radikal. Kemudian menjadi teroris.

Jadi, jangan anggap remeh meruyaknya intoleransi di sekitar kita. Di tahap ini, sebagian umat beragama masih melindungi intoleransi dengan alasan “keyakinan agama” yang harus dipelihara. Dari intoleransi, tumbuh radikalisme. Pada tahap ini pun, tak sedikit umat mendukungnya —atas nama fanatisme dan pemurnian ajaran agama.

Ketika aksi terorisme meledak, para pendukung intoleransi dan radikalisme cuci tangan, dengan menyatakan tak ada terorisme dalam agama. (Kasus “terciduknya” elit Jamaah Islamiyah di MUI adalah contoh, betapa lembaga keagamaan sering menjadi tempat berkembangbiaknya paham radikalisme dan terorisme).


Sayyidina Ali ketika menyaksikan kaum radikal membentangkan bendera bertuliskan kalimat dua syahadat di hadapannya, menyatakan: “Mereka sesungguhnya kaum kafir dan munafik yang menunggangi Islam untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka adalah musuh-musuh Allah dan Rasulnya.

Apa yang pernah dinyatakan Ali, menantu Rasulullah, kini terbukti. Agama telah ditunggangi kaum radikal dan teroris untuk menghancurkan kemanusiaan atas nama Tuhan. Jauh sekali dengan tujuan Allah menghadirkan Nabi Muhammad di muka bumi: Untuk memperbaiki akhlak manusia dan rahmat bagi alam semesta.

Syaefudin Simon
Wartawan Senior
https://www.tagar.id/opini-di-balik-radikalisme-dan-terorisme-di-mui

Tuesday, November 30, 2021

Kebebasan Berekspresi dan Ancaman Terhadap Demokrasi


Hari Bhayangkara Polri tahun 2021 ditandai dengan lomba yang tidak biasa. Atas perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Mabes Polri mengadakan lomba mural, tanpa membatasi isinya. Ini merupakan respon atas kehebohan publik menyusul penghapusan mural di sejumlah tempat oleh polisi, disusul oleh penangkapan sejumlah warga yang menyatakan protes, baik melalui media sosial maupun dengan membentangkan poster saat rombongan Presiden melintas.

Masih lekat dalam ingatan kita, pada awal Agustus 2021 lalu publik dihebohkan dengan munculnya lukisan mural yang menggambarkan wajah mirip presiden Jokowi dengan mata tertutup dan tulisan “404:Not Found” di Batuceper, Kota Tangerang. Ini menjadi heboh saat graffiti itu langsung di blok cat hitam, dan pelaku pembuat mural tersebut diburu oleh pihak kepolisian.


Namun, bukannya surut, mural protes makin banyak muncul di beberapa daerah lainnya. Mulai mural berisi gambar karakter kartun penuh warna cerah dengan tulisan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan (Jawa Timur), mural tulisan “Tuhan, Aku Lapar” di Kabupaten Tangerang, hingga mural tulisan “Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan”, dan mural tulisan “Hapus Korupsi Bukan Muralnya” di Kota Tangerang.

Fenomena mural di beberapa daerah tersebut kemudian dinilai oleh beberapa pengamat sosial sebagai wujud ekspresi masyarakat yang protes terhadap situasi yang dialaminya. Ini merupakan ungkapan suara hati yang mereka wujudkan dalam bentuk lukisan maupun tulisan.

Tidak hanya dengan sarana mural lukisan atau tulisan di tembok/dinding, protes dan kritik kini dapat dituangkan dalam bentuk image (foto atau meme) maupun tulisan, dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok dan sebagainya. Pemerintah berupaya mengontrol kebebasan di dunia maya ini dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


UU ITE ini sendiri sebenarnya dibuat dengan tujuan untuk melindungi warga negara atas kemungkinan-kemungkinan penipuan dan penyalahgunaan dalam hal transaksi elektronik. Kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat di era digital membuat masyarakat semakin mudah menerima dan menyebarkan informasi secara elektronik, menembus batasan waktu dan tempat. Tapi di sisi lain, semakin terbuka lebar peluang penipuan terhadap orang-orang yang tidak memahami teknis dan aturan transaksi-transaksi secara digital. Itulah sejatinya tujuan dibuatnya UU ITE.

Namun pada pelaksanaannya, UU ITE ini kerap dijadikan sebagai landasan hukum bagi aparat untuk menindaklanjuti laporan-laporan terkait penghinaan ataupun pencemaran nama baik yang dilontarkan seseorang melalui media sosial, karena beberapa pasal di dalamnya bisa ditafsirkan secara melebar, dan menjadi pasal ‘karet’.

Padahal perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara lisan maupun tulisan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat (3), yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 juga menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Konsekuensinya, pemerintah berkewajiban memberikan ruang kepada rakyat untuk berekspresi dan berkontribusi, baik dalam bentuk terbatas seperti dialog, diskusi, sampai kepada pendekatan secara massif seperti unjuk rasa atau demonstrasi. Bahkan Presiden Jokowi secara terbuka di media mempersilakan masyarakat untuk mengkritik pemerintah.


Sayangnya, mudahnya seseorang dalam melaporkan orang lain, siapapun dan dimanapun, kepada pihak kepolisian dengan dalih pencemaran nama baik ataupun ujaran kebencian, serta kecenderungan aparat penegak hukum mengikuti prosedur hukum, dan mengabaikan rasa keadilan, membuat UU ITE cenderung disalahgunakan sebagai alat hukum untuk membungkam kebebasan berekspresi.

Survey yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di 34 kota di Indonesia pada 8-15 April 2021 mengungkapkan bahwa 52,1% responden setuju ancaman kebebasan sipil meningkat dan mengakibatkan meningkatnya ketakutan masyarakat dalam berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat sebagai pondasi penting kebebasan. Kebebasan berorganisasi atau berpendapat mendapat penilaian publik hanya sebesar 59,2%.

Selain LP3ES, Lembaga survei Indikator Politik Indonesia mencatat bahwa tren kepuasan publik atas pelaksanaan demokrasi terus menurun pada survey yang dilaksanakan pada 17-21 September 2021, dengan hanya 47,6% responden cukup puas, dan 44,1% tidak puas atas pelaksanaan demokrasi.


Di sini kita bisa melihat bahwa Pemerintah, terutama institusi-institusi penegak hukum, terjebak pandangan Platonistik, yang memandang segala sesuatu dalam kacamata hitam-putih: kawan-lawan, persuasi-represi, yang akhirnya membuat diskursus publik menjadi tidak berkembang. Pendekatan politik dan hukum yang cenderung ‘gebyah uyah’ (menyamaratakan), dan represif terhadap suara-suara yang dianggap lawan inilah yang membuat diskursus publik yang penting dalam pengembangan demokrasi, menjadi stagnan.

Sebaliknya, yang berkembang adalah atmosfir ketakutan yang pada akhirnya makin menyulut antipati dan ketidakpercayaan publik pada pemerintah. Ini menjelaskan mengapa indeks kualitas demokrasi dan kebebasan berekspresi menunjukkan tren menurun sejak tahun 2015. Padahal Pemerintah bisa menggunakan pendekatan ‘Dekonstruksi’ yang diperkenalkan filsuf Perancis Jacques Derrida (1930-2004) untuk melihat dinamika diskursus publik yang terus berkembang. Dalam pandangan ini, situasi sosial politik kemasyarakatan tidak lagi dipandang secara hitam putih, pendukung vs oposisi, kawan vs lawan.


Melalui pandangan dekonstruksi, seharusnya pemerintah tidak perlu menganggap kritik serta merta sebagai ancaman atau musuh negara. Sebaliknya pemerintah dapat merombak dan mencari kontradiksi-kontradiksi dalam suatu kritik/pendapat, melihat tampilan (appearance) selain isinya (substance) sebelum melakukan penilaian. Ini memungkinkan Pemerintah, utamanya para penegak hukum, untuk bekerja tidak hanya secara benar (right) menurut prosedural, tapi juga adil (just) dalam menegakkan hukum. Dengan demikian, kritik dari rakyat dan elemen-elemen masyarakat sipil bisa dipilah antara kritik sebagai masukan dan ekspresi dengan kritik sebagai serangan atau bahkan fitnah.

Memang tidak mudah, tapi pendekatan ini akan membuat diskursus publik menjadi hidup kembali, dan menghilangkan atmosfir ketakutan untuk menyatakan pendapat yang berbeda sehingga pemerintah selalu bisa mendapat umpan balik dari publik atas kebijakan-kebijakannya, untuk terus melakukan perbaikan. Pada akhirnya, kinerja pemerintah akan makin baik untuk mencapai cita-cita ideal tentang perdamaian (peace), kesejahteraan (welfare) dan keadilan (justice).

Agust Jovan Latuconsina, M.Si.(Han)
Mahasiswa S-3 PSDM Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya
Jawa Pos, 9 November 2021

Thursday, October 14, 2021

Diplomasi Taliban, Strategi atau Kolusi?


Banyak aktivis Islam yang bingung memahami diplomasi yang dilakukan Taliban pasca Amerika menarik mundur tentaranya dari Afghan. Taliban dianggap telah bermain mata dengan China, sebab China meminta Taliban untuk membantu meredam gejolak perlawanan di Uighur. Taliban juga bernegosiasi dengan Iran, yang nota bene negara Syiah musuh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Taliban juga sebelumnya berkunjung ke Moscow yang banyak membantai muslim Suriah.

Artikel ini mencoba untuk menjelaskan apakah yang dilakukan Taliban itu sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Islam dan umat Islam di belahan dunia lain? Ataukah hanya sebuah diplomasi yang jamak dilakukan oleh siapapun demi mendapatkan keuntungan strategis dalam upaya mendirikan negara atau merawat kekuasaan?

Afghanistan menyongsong fajar baru Taliban.

Taliban Mencuri Perhatian
Setelah AS secara fakta menghentikan misi di Afghanistan pada akhir Juli 2021 dan secara resmi pada 11 September 2021, Taliban kembali mencuri perhatian. Betapa tidak, 20 tahun lalu Taliban luluh lantak oleh serbuan mesin perang AS dan sekutunya, kini Taliban kembali menjadi kekuatan besar yang dianggap paling siap untuk mengendalikan Afghanistan. Satu demi satu desa dan kota berhasil direbut dari cengkeraman pemerintah boneka. Sebelumnya sang boneka begitu kuat karena disuplai tenaga oleh induknya, kini setelah sang induk pergi, kembali menjadi kerangka tanpa daya.

Taliban terbukti solid dan punya jaringan luas di seluruh penjuru Afghan. Taliban dimusuhi oleh AS dan sekutu yang karenanya seluruh dunia ikut memusuhinya, tapi Taliban dicintai oleh masyarakat Afghan, setidaknya bagi yang pernah merasakan keamanan di bawah kekuasaannya dahulu. Taliban terbukti lebih efektif dan efisien dalam menangani berbagai keluhan masyarakat. Terutama soal kriminalitas. Polisi pemerintah cenderung korup sehingga tak punya komitmen menyelesaikan permasalahan masyarakat. Sebaliknya pejuang Taliban lebih sigap sehingga dipercaya dan dicintai masyarakat.

Taliban punya pendekatan andalan dalam mencuri hati rakyat, yaitu penegakan hukum menggunakan syariat Islam. Pendekatan ini sangat mujarab di tengah masyarakat yang resah dan nyaris putus asa dengan kekacauan yang berlarut-larut. Masyarakat merasakan manfaat nyata di balik penegakan hukum Islam ini. Kriminalitas bisa dibasmi, masyarakat kembali hidup dengan aman. Kesuksesan ini membuat masyarakat sendiri yang kemudian minta kehadiran Taliban di wilayah mereka agar bisa meredam kriminalitas dan mengembalikan keamanan.


Jika di tengah masyarakat terdapat provokator yang menolak penegakan syariat dan menolak kehadiran Taliban, barulah Taliban bergerak menggunakan kekuatan. Para provokator disikat dengan senjata, demi menghilangkan gangguan penegakan syariat di tengah masyarakat. Inilah jurus kedua yang ditakuti para kriminal yang mengail di air keruh.

Dua mata pisau ini sangat efektif meluaskan kekuasaan Taliban di Afghan. Tentu saja dikombinasi dengan jurus ketiga, yakni edukasi alias dakwah secara persuasif kepada masyarakat. Sebab nama Taliban sendiri mencerminkan itu. Taliban artinya santri, yang sudah pasti sangat perhatian dengan ilmu dan dakwah. Ketika masyarakat tercerahkan ilmu syariat, banyak persoalan yang bisa diselesaikan dengan mudah. Tidak lagi debat kusir, tapi sudah ada hakimnya, yaitu ilmu.

Sebetulnya pendekatan ini bukan cara baru bagi Taliban. Mereka sudah melakukannya sejak tahun 90-an ketika Afghan kacau akibat konflik internal pasca hengkangnya penjajah Uni Sovyet dari Afghan. Para mantan komandan yang punya banyak pengikut saat jihad melawan Uni Sovyet saling berebut kekuasaan. Akibatnya, rakyat jadi korban. Rakyat tak terurus. Kriminalitas merajalela, hukum rimba berlaku secara liar. Kemenangan jihad yang digadang-gadang menjadi fajar baru yang cerah, demi lahirnya kedamaian dan keamanan bagi umat Islam, ternyata jatuh menjadi konflik internal yang kronis dan nyaris melumpuhkan seluruh sendi masyarakat.

Mullah Omar pemimpin Taliban yang legendaris.

Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba muncul sosok unik yang punya gagasan out of the box dalam menyelesaikan kekisruhan. Bukan dengan perang, tapi dengan pendekatan dakwah dan penegakan hukum syariat yang jujur. Karena rakyat sejatinya sudah letih berperang.

Namanya Muhammad Umar. Dipanggil mullah karena keulamaannya. Seperti kyai di Indonesia. Ia menghimpun murid-muridnya untuk bergerak membasmi kriminalitas dan menegakkan hukum syariat di lingkungan mereka. Karenanya nama kelompok ini Taliban –perkumpulan santri.

Prakarsa yang mereka lakukan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Berawal dari lingkup kecil, lama-lama meluas. Awalnya hanya di wilayah Kandahar, kemudian menyebar ke seluruh Afghan. Sampai akhirnya pemerintahan Afghan berhasil diambil alih. Tentu saja perkembangan ini membuat Barat cemas. Jika tak dibendung, bukan hanya tanah Afghan yang dikuasai, bisa saja akan meluas ke negara-negara tetangganya, dan tentunya akan makin sulit dijinakkan.


Ujian Bernama Al-Qaeda
Tahun 2001 menjadi momen bersejarah. Pada 11 September 2001 terjadi serangan terhadap Amerika. Dua menara kembar WTC dihajar pesawat penumpang hingga terbakar dan runtuh. Juga gedung Pentagon, meski tidak banyak kerusakan yang terjadi.

Amerika sebagai imperium penguasa dunia murka sejadi-jadinya. Osama bin Laden sang pemimpin Al-Qaeda dituding sebagai otak pelaku. Padahal ia berada di Afghanistan yang saat itu dikuasai Taliban. Amerika memberi ultimatum kepada Taliban agar menyerahkan Osama bin Laden dan seluruh tokoh Al-Qaeda yang bersembunyi di Afghan. Jika tidak, Taliban akan dihajar. Mullah Umar –sang pemimpin Taliban– menolak ultimatum tersebut. Akibatnya bisa ditebak, mesin perang Amerika dan sekutunya dikerahkan untuk menggulingkan Taliban dan menghancurkan seluruh pelosok Afghan.

Afghanistan luluh lantak. Taliban jatuh. Sejak saat itu penjajahan dimulai. Kemarahan Amerika kepada Al-Qaeda dilampiaskan dengan membantai rakyat Afghan yang dianggap melindunginya. “Kesalahan” Taliban hanya satu, menolak menyerahkan orang yang dituduh Amerika sebagai otak pelaku. Sementara Taliban sendiri bukan pelaku, apalagi rakyat Afghan.

Namun Taliban meski ditumbangkan dari kekuasaan, mereka masih solid di desa-desa dan gunung-gunung. Inilah karunia Allah untuk Afghan, konturnya ekstrim, sehingga mesin perang paling canggih sekalipun kesulitan untuk menyapu seluruh kawasan. Benteng alaminya terlalu banyak dan sulit ditaklukkan.

Pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden.

Para pejuang Taliban sabar menjalani ujian ini. Mereka tetap semangat menjaga ruh jihad. Sambil bertahan dari gempuran Amerika, mereka menancapkan pengaruh di masyarakat pedesaan yang jauh dari jangkauan pemerintah boneka. Keadaan ini membuat Afghanistan terbelah, ada wilayah yang dikontrol Taliban terutama di pedesaan, ada wilayah yang dikendalikan pemerintah boneka terutama di kota-kota.

Pertanyaan masih tersisa, mengapa Taliban bersikeras menolak menyerahkan Osama bin Laden kepada Amerika padahal terancam akan dibumi-hanguskan oleh Amerika jika menolak? Osama juga bukan warga pribumi Afghan. Ia dan para mujahidin Arab hanyalah warga pendatang. Mengorbankan segelintir orang apalagi pendatang demi keamanan jutaan orang lain apalagi pribumi bukankah sebuah pilihan yang wajar?

Sikap Taliban ini menarik dikaji. Pemahaman terhadap cara berpikir dan sikap Taliban terkait Osama bisa dijadikan sebagai barometer untuk memahami sikap Taliban di kemudian hari. Salah satunya, saat Taliban berkunjung ke China dan melakukan diplomasi di sana. Juga diplomasi dengan Rusia dan Iran.


Ada beberapa alasan yang agaknya menjadi pertimbangan Mullah Umar memilih sikap menolak menyerahkan Osama bin Laden kepada Amerika.

Pertama, Osama muslim, Taliban juga muslim. Saudara seiman pantang dijual kepada orang kafir untuk dipenjara atau dibunuh. Jangankan menjual nyawanya, mencelanya saja dilarang. Catat, Taliban sangat komitmen terhadap aturan yang ada dalam ilmu syariat.

Kedua, Osama dan para mujahidin Arab punya rekam jejak bagus dalam membantu umat Islam Afghan melawan penjajah kafir –Uni Sovyet. Mullah Umar terikat akhlaq Islam, berterima kasih dan membalas budi orang yang pernah membantu. Menjual Osama kepada musuh (kaum kafir) sama saja dengan “habis manis sepah dibuang”. Catat, Taliban menjunjung tinggi akhlaq Islam.

Ketiga, Amerika mengancam (memberi janji) untuk membumi-hanguskan Afghan, tetapi Allah memberi janji akan menolong hamba-Nya sepanjang hambanya menempuh jalan lurus dan membela agama-Nya. Mullah Umar lebih yakin janji Allah dibanding janji Amerika. Karenanya dengan tawakkal kepada Allah, memutuskan menolak permintaan Amerika. Catat, Taliban berpegang kuat pada prinsip aqidah Islam.

Keempat, secara teori fiqh, menjual nyawa mukmin demi menyelamatkan nyawa mukmin yang lain itu tidak boleh dalam Islam. Sebab antara satu nyawa muslim dengan nyawa muslim yang lain posisinya sejajar dan harganya sama. Dalam kasus ini, menjual nyawa Osama bin Laden demi menyelamatkan nyawa ribuan muslim Afghan tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab meski jumlahnya berbeda, keduanya sama derajatnya di hadapan Allah. Seandainya Islam membenarkan nyawa dijadikan tumbal nyawa, tentu hal ini akan dijadikan sebagai permainan oleh para penguasa yang gila kekuasaan. Catat, Taliban berpegang pada teori fiqh.


Apa yang ditunjukkan Taliban dalam situasi genting seperti ini bisa dijadikan tonggak barometer untuk memahami prinsip politik Taliban dalam situasi yang lebih mudah di kemudian hari. Garis politik Taliban yang dapat kita simpulkan dari sikapnya tersebut bisa dirinci dalam poin-poin berikut:

Pertama, Taliban tidak berpaham nasionalisme, terbukti berani menanggung resiko berat pada bangsanya sendiri justru karena membela orang asing –Osama bin Laden dan mujahidin Arab lain. Taliban sangat kuat memegang panji keumatan, bukan panji kebangsaan.

Kedua, Taliban komitmen dengan ilmu syar’iy. Bagi Taliban, politik dikendalikan oleh ilmu syar’iy bukan sebaliknya ilmu syar’iy dikendalikan oleh politik.

Ketiga, Taliban setia pada ikatan keimanan. Landasan politiknya iman. Taliban menolak bersekongkol dan berkolusi dengan musuh Allah dan musuh orang-orang beriman, dalam hal ini Amerika, dengan cara mengkhianati teman sendiri sesama mukmin.


Keempat, Taliban tidak mensakralkan solusi politik, juga tidak mensakralkan solusi jihad. Ada kalanya solusinya politik, ada kalanya solusinya jihad bersenjata. Ketika Amerika memaksa perang, dilayani dengan jantan oleh Taliban. Apa yang mereka tunjukkan saat ini dengan melakukan kunjungan ke China, menggambarkan Taliban sudah dewasa. Bagi Taliban, diplomasi politik dan jihad bersenjata adalah dua instrumen yang bisa digunakan sesuai kebutuhan.

Kelima, Taliban ingin menjayakan Islam dan umat Islam, bukan menjayakan bangsa Afghan. Meski Taliban duduk mewakili bangsa Afghan, tapi yang menjadi panglima tetap ilmu syariat dan panji keislaman, bukan nasionalisme nan jahiliyah. Bagi Taliban, persatuan Afghan diadopsi seperlunya untuk menjayakan Islam dan umat Islam, bukan kebalikannya Islam diadopsi seperlunya demi kejayaan bangsa Afghan.

Poin-poin ini sangat berguna untuk membantu memahami diplomasi yang dilakukan Taliban dalam kancah global. Seperti yang mereka lakukan saat ini, bernegosiasi dengan Iran, Rusia, China dan negara-negara lain. Sebelum itu, delegasi Taliban juga sudah mengunjungi Jakarta, tahun 2019 lalu.


Rekam Jejak Sebagai Basic Penilaian
Islam punya konsep niat, yaitu motif dan tujuan yang dicanangkan di awal kegiatan. Ibadah akan dinilai oleh Allah sesuai niatnya. Perjalanan seseorang juga sangat terkait dengan niat awal sebelum melangkahkan kakinya. Awal dari sesuatu akan menentukan proses susudahnya dan perjalanan yang ditempuhnya hingga tujuan. Niat (titik awal), tengah perjalanan dan tujuannya memiliki korelasi kauniyah ajaib yang kerap tak disadari. Ketiganya saling mempengaruhi.

Misalnya, jika di tengah perjalanan terjadi pembelokan dari niat awal, sebuah perjalanan biasanya akan bubar tidak sampai tujuan. Tapi jika terjadi pembelokan dari niat awal, lalu ada upaya untuk mengoreksi dan mengembalikan ke niat awal, perjalanan akan berlanjut dan berumur panjang hingga mencapai tujuan. Inilah sunnah kauniyah yang perlu dipahami terutama oleh para aktifis.

Korelasi ini bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk membaca alur perjalanan seseorang atau kelompok. Terhadap Taliban misalnya, pemahaman kita terhadap perjalanan Taliban saat ini bisa disimpulkan melalui bagaimana Taliban dahulu didirikan. Apa prinsip dan ideologi yang dijadikan haluan. Sepanjang tidak terdengar intrik pembelokan, berarti Taliban sekarang bisa disimpulkan sama dengan Taliban saat awal didirikan.

Teori kauniyah ini penting untuk menepis rumor dan kampanye hitam yang dilemparkan musuh kepada Taliban. Misalnya Taliban dinarasikan menerima syarat yang diajukan China untuk membasmi kelompok perlawanan Uighur sebagai harga dukungan China terhadap Taliban. Narasi ini janggal, sebab Uighur berada di wilayah China, bagaimana cara Taliban membasminya? Selain itu, jika kelompok perlawanan itu berbasis Islam (baca: jihad), track record dan niat awal Taliban yang meniti jalan dakwah dan jihad tidak mungkin menerima klausul seperti itu. Kecuali jika Taliban telah mengalami pembelokan serius dari khittah awal pendiriannya.


Teori ini ada pembandingnya dalam Al-Quran. Yaitu saat Aisyah ra dituduh berzina hanya dengan bukti sumir ia naik onta dan ontanya dituntun oleh seorang Sahabat. Narasi bahwa Aisyah ra selingkuh buktinya lemah (meragukan) karenanya harus dibatalkan oleh fakta bahwa Aisyah ra sejak kecil menjaga kesucian, lahir dari keluarga baik-baik dan berstatus istri Nabi saw serta tidak pernah terdengar isu miring sebelumnya yang menimpa Aisyah ra. Karena itu, track record ini meyakinkan, tidak bisa dibatalkan oleh tuduhan yang meragukan alias masih asumsi.

Taliban didirikan dengan niat menegakkan hukum Allah di tengah umat. Niat awal ini akan terus mengiringi perjalanan Taliban. Kecuali jika Taliban mengumumkan secara resmi bahwa mereka sudah berubah haluan menjadi partai politik yang sekedar mencari kekuasaan. Selama para tokoh Taliban masih konsisten dengan niat awal, apapun sepak terjang mereka dalam diplomasi politik perlu dipahami dalam bingkai niat awal tersebut. Sebab niat awal adalah tonggak kokoh, hanya bisa diabaikan jika muncul tonggak baru yang menggantikan tonggak lama.

Taliban juga sudah kenyang ditarbiyah selama 20 tahun dalam perang panjang melawan kekuatan terbesar dunia. Semua senjata paling canggih dikerahkan, tapi tak mempan juga untuk mencerabut Taliban dari bumi Afghan. Alih-alih tercerabut, Taliban justru mengakar lebih kuat. Tarbiyah ketegaran dan kesabaran panjang ini juga layak dijadikan barometer dalam melihat Taliban.

Dalam konflik panjang dan berdarah ini mereka ditarbiyah dengan izzah Islam. Nyawa mereka dikorbankan demi Islam. Harta mereka dibelanjakan demi Islam. Tenaga dan keringat mereka dikeluarkan demi Islam. Karenanya, Islam pasti mengakar begitu kuat di sanubari mereka. Tak akan mudah digeser oleh nasionalisme Afghan yang sempit.


Tarbiyah yang dialami Taliban terbilang komplit. Taliban berawal dari kelompok kecil, meluaskan kekuasaan dengan ilmu dan peradilan Islam. Ini adalah tarbiyah dalam dakwah. Taliban pernah merebut kekuasaan dan mengelola negara sebelum dihajar Amerika. Ini adalah tarbiyah kekuasaan. Taliban pernah kehilangan kekuasaan itu, kembali bergerilya di hutan dan gunung selama 20 tahun. Kini peluang merebut kembali kekuasaan itu terbuka menyusul hengkangnya Amerika. Ini adalah tarbiyah bagaimana bangkit dari kekalahan dan tarbiyah dari jihad yang pahit.

Dalam seluruh babak tersebut, Taliban konsisten dibimbing ilmu. Jihadnya dipandu ilmu. Peradilan syariatnya dipandu ilmu. Dakwahnya dipandu ilmu. Dan kini diplomasinya juga dipandu ilmu. Tentu sebagai manusia biasa, di sana-sini terdapat kekurangan itu normal. Tapi secara global, in sya-Allah baik. Hingga saat ini kita masih melihat Islam menjadi warna dominan dalam sepak terjang Taliban.

Niat awal dan tarbiyah panjang puluhan tahun dengan menjunjung tinggi Islam dan umat Islam, dengan kawalan ilmu syar’iy yang kuat, agaknya bisa dijadikan jaminan bahwa Taliban sampai saat ini masih berjalan di haluan yang sama dengan apa yang dicanangkan sang pendiri –Mullah Umar. Jika ada tuduhan miring yang dialamatkan kepada Taliban, terpatahkan dengan sendirinya oleh konsistensi mereka dalam menempuh jalan jihad yang amat terjal selama dua dekade lebih, panduan ilmu sepanjang perjalanan mereka dan tonggak niat yang dicanangkan pendirinya. Karenanya, tak sepatutnya kita di sini yang statusnya hanya penonton berburuk sangka kepada Taliban, hanya karena melakukan sejumlah agenda diplomasi dengan China.


Diplomasi dan Kekuasaan
Bicara tentang kekuasaan pada level negara, tak bisa dipisahkan dari diplomasi dan negosiasi politik. Apalagi dalam tahap awal pendirian. Ibarat bayi yang masih merangkak, perlu sokongan negara lain untuk bisa berdiri dan berjalan.

Nabi Muhammad saw memberi contoh bagaimana mempraktekkan diplomasi dalam kerangka mendirikan negara. Tentu saja berdiplomasi dengan musuh Islam. Baik diplomasi yang berakhir dengan kesepakatan tertulis (surat perjanjian) maupun tidak.

Nabi saw setelah tiba di Madinah, segera mengunci pergerakan Yahudi dengan sebuah perjanjian. Orang biasa menyebutnya Piagam Madinah. Isinya, klausul bahwa antara umat Islam penduduk Madinah dengan Yahudi penduduk Madinah terikat dalam satu kesatuan. Jika ada musuh dari luar Madinah, menyerang kota Madinah, siapapun yang diserang baik muslim maupun Yahudi, seluruh warga Madinah harus bersatu padu untuk melawan.

Klausul perjanjian ini dilakukan Nabi saw untuk meredam potensi Yahudi menjadi ancaman bagi masyarakat muslim yang baru tumbuh di Madinah. Pada saat yang sama Nabi saw fokus menghadapi musuh utama, yaitu kekuatan Quraisy sebagai kelanjutan perseteruan semasa di Makkah. Jika Nabi saw menjadikan Yahudi dan Quraisy sebagai dua musuh sekaligus dalam waktu yang sama, tentu Nabi saw akan kewalahan. Satu petarung meski hebat akan sangat sulit mengalahkan dua lawan sekaligus, apalagi ketika masih lemah dan merangkak. Karenanya, Nabi saw menyicilnya satu per satu, tidak semuanya dijadikan musuh sekaligus.


Nabi saw fokus menghadapi musuh jauh di Makkah dengan senjata, sambil meredam musuh dekat dengan diplomasi dan perjanjian. Ketika Quraisy berhasil dijinakkan dengan senjata, barulah urusan Yahudi dibereskan, itupun karena dipicu pengkhianatan Yahudi sendiri yang bersekongkol dengan kaum kafir. Pada fase yang lain, Nabi saw menghadapi Quraisy dengan perjanjian, yaitu Hudaibiyah. Dalam perjanjian ini Nabi saw membelenggu Quraisy sambil fokus menyebarkan dakwah ke berbagai penjuru.

Dengan demikian perang atau perjanjian hanyalah sarana untuk meraih kemenangan. Perang dan perjanjian sama-sama instrumen politik. Kepala negara bisa menggunakan keduanya sesuai kebutuhan situasi, demi kemaslahatan negaranya. Dalam konteks politik Islam, maka maksud dan tujuannya adalah demi kemaslahatan Islam dan umat Islam.

Karena itu, diplomasi yang dilakukan Taliban dengan Rusia, China dan Iran hanyalah cara yang dipilih Taliban untuk meredam musuh eksternal atau musuh jauh. Pada saat yang sama, Taliban fokus menyelesaikan musuh dalam negeri atau musuh dekat, yaitu pemerintah boneka yang disokong penjajah. Jika kita bandingkan, cara yang ditempuh Taliban ini sama persis dengan cara Nabi saw pada fase awal membangun negara di Madinah. Perbedaannya, Nabi saw fokus pada musuh jauh yakni Quraisy Makkah, sambil meredam musuh dekat yakni Yahudi. Sementara Taliban kebalikannya, meredam musuh jauh, sambil fokus menghadapi musuh dekat.

Taliban melakukan diplomasi demi mengamankan agenda mendirikan negara Islam di Afghan tanpa direcoki pihak eksternal. Sementara banyak aktivis Islam di Indonesia berharap Taliban melakukan sesuatu yang sesuai perasaan hatinya yang sedang sensi dengan China, apalagi China juga melakukan kejahatan kepada muslim Uighur. Taliban melakukan sesuatu dengan alasan internal mereka sendiri, sementara penonton menilai Taliban dengan perasaan hatinya sendiri. Jelas tidak nyambung.


Momentum Taliban
Harus diakui, negara terkuat saat ini masih Amerika Serikat. Meski muncul kekuatan penantang yang potensial, China. Kemunculan China menjadi berkah tersendiri bagi Taliban.

Amerika saat ini sudah menemukan musuh potensial yang akan dijadikan sebagai common enemy bagi rakyatnya. Siapa lagi kalau bukan China. Secara ekonomi China sudah sangat kuat, hampir mengalahkan kekuatan ekonomi Amerika. Secara militer, China agresif meluaskan basis kekuatan. Secara politik, China juga pelan tapi pasti menginvasi negara-negara lemah, misalnya negara-negara Afrika. Apalagi didukung jumlah penduduk yang sangat besar, wilayah yang luas dan kepemimpinan yang solid.

Amerika lalu mengalihkan permusuhannya kepada China, yang sebelumnya kepada Islam. Jika laut China selatan dijadikan barometer, kehadiran kapal perang dan kapal induk Amerika dan negara-negara sekutu di sana akhir-akhir ini jelas mengindikasikan China telah resmi didapuk sebagai musuh bersama.

Sudah agak lama Al-Qaeda tidak lagi mengisi berita utama di surat kabar dunia. Tidak lagi terdengar pengeboman atau serangan mematikan terhadap Barat yang dipamerkan Al-Qaeda. Bisa jadi ini sebuah strategi yang sengaja dipilih Al-Qaeda. Bisa juga indikasi melemahnya jaringan Al-Qaeda. Berita tentang konflik Suriah juga mereda, meski perang masih terus berlanjut. Kondisi ini turut mendorong Amerika tidak lagi fokus pada gerakan jihad global. Tapi lebih fokus menghadapi China dan sekutunya.

Panggung utama pertunjukan dunia diisi konflik Amerika vs China, bukan lagi AS vs Al-Qaeda. Taliban mendapat berkah dari situasi ini. Amerika merasa tidak perlu lagi untuk mengeluarkan biaya dan tenaga besar untuk menjinakkan jihadis, toh musuhnya kini bergeser menjadi China. Karena itu, AS tak ragu untuk meninggalkan Afghanistan.


Apalagi jika ditilik secara geografis. Afghanistan berbatasan langsung dengan China dan Iran. Juga tak jauh dari Rusia. China adalah sahabat tradisional Rusia, sejak awal kemunculan Komunisme. Demikian pula Iran, cenderung merapat ke China dan Rusia dibanding ke AS. Jika AS mengeluarkan biaya besar untuk meredam Afghan, yang mendapat keuntungan langsung adalah tiga negara tersebut. Mereka aman dari potensi gangguan dari jihadis di Afghanistan, sementara biaya meredamnya yang menanggung AS. Padahal tiga negara tersebut berstatus musuh utama AS saat ini.

Tiga negara fokus menghadapi AS dan sekutu, sementara AS sibuk menghadapi tiga negara tersebut. Taliban? Seperti terlupakan. Inilah situasi dan kondisi secara kauniyah yang menguntungkan Taliban. Mirip sekali dengan situasi dan kondisi jazirah Arab pada zaman Nabi saw di tengah konflik keras antara Romawi vs Persia. Jazirah Arab seperti terlupakan. Sampai kemudian Islam hadir di jazirah Arab, tumbuh di lingkungan yang relatif bersih dari intervensi kekuatan super pada zamannya, lalu menaklukkan musuh-musuh lokal, barulah kemudian Romawi dan Persia terkejut karena kekuatan Islam tiba-tiba sudah demikian kuat dan tak lama kemudian berhasil menyapu dua imperium tersebut.

Inilah bedanya Islam dengan agama Nasrani. Islam tumbuh di tempat yang netral dari intrik politik negara kuat, sementara Nasrani lahir dan tumbuh di tengah hegemoni Romawi. Palestina adalah salah satu wilayah penting yang dikuasai Romawi, meski bukan ibu kotanya. Karena itu, Nasrani mendapat intervensi kuat dari politik Romawi. Ditambah persekongkolan Yahudi dengan para politisi Romawi. Sementara Makkah, hanya mendapat intervensi dari kekuatan lokal yang relatif kecil pada awal pertumbuhannya, yaitu kabilah Quraisy.

Taliban saat ini seperti mendapat momentum yang sama. Dua kekuatan utama dunia saling bersaing, Taliban terabaikan, karenanya bisa fokus konsolidasi internal dalam bentuk yang paling jernih. Inilah momentum Taliban untuk menguasai Afghanistan secara penuh dan menegakkan hukum Allah dengan jernih tanpa intervensi dari luar. AS juga tidak keberatan mengakui legalitas kekuasaan Taliban kelak, sebab Taliban dianggap bukan lagi ancaman terdekat bagi AS. Kalaupun dianggap ancaman, masih sangat jauh bagi AS, dan yang lebih layak khawatir justru China, Iran dan Rusia karena secara geografis lebih dekat.


Kemenangan Politik Taliban
Melihat momentum ini, Taliban buru-buru melakukan diplomasi ke tiga negara ini. Taliban mengirim delegasi untuk menemui mereka, di wilayah mereka.

Ibaratnya, Taliban mencuri start, dibanding pemerintahan boneka. Delegasi Taliban diterima. Penerimaan ini saja merupakan keuntungan politik. Sama artinya tiga negara tersebut mengakui eksistensi Taliban, bahkan eksistensinya sebagai perwakilan negara Afghanistan.

Sebelumnya, Taliban (dan juga Al-Qaeda) tidak diakui eksistensinya oleh kekuatan politik manapun pasca digulingkan AS tahun 2001. AS dengan jumawa juga bersumpah tidak mau bernegosiasi dengan Taliban (juga Al-Qaeda). Ketika kini delegasi Taliban diterima Rusia, China dan Iran, secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan diplomatik akan eksistensinya. Dan itu hanya kelanjutan dari pengakuan AS yang sebelumnya sudah duduk bernegosiasi dengan wakil Taliban di Qatar sejak 2019 lalu.

Sama dengan perjanjian Hudaibiyah, yang menuliskan nama Muhammad bin Abdullah (kaum Quraisy masih jumawa dengan tidak mengakui Muhammad Rasulullah) sebagai pemimpin entitas politik baru, yang menandakan sebuah pengakuan diplomatik dari musuh. Pengakuan ini disebut oleh Al-Quran dengan fathan mubina (kemenangan besar).

Secara tidak langsung, Rusia, China dan Iran mengakui bahwa Taliban adalah masa depan Afghanistan. Karenanya mereka membicarakan masa depan Afghan dengan Taliban, bukan dengan pemerintah boneka. Sebab mereka tahu, pemerintah boneka kekuatannya tergantung induk semang. Ketika sang induk semang pergi, pemerintah boneka tak lebih sebagai buih yang dengan mudah disingkirkan Taliban. Cepat atau lambat. Hanya soal waktu.


Sunnah Kauniyah Abadi
Pembicaraan Rusia, China dan Iran dengan Taliban menjadi bukti konkrit akan sebuah sunnatullah yang berlaku abadi. Bahwa kekuatan militer menentukan bobot diplomasi. Meski pemerintah boneka dipoles dengan bedak setebal apapun, tak akan membuat harga dirinya naik, sebab secara militer lemah. Sebaliknya Taliban, direndahkan seperti apapun akan tetap tinggi harganya secara diplomasi sebab punya basis kekuatan militer yang solid. Amerika saja dibuat mati kutu selama 20 tahun.

Karena itu, tiga negara tersebut dalam melakukan pembicaraan tentang masa depan Afghanistan, duduknya bersama delegasi Taliban. Bagi mereka Taliban merupakan representasi kekuatan riil yang menjadi penentu masa depan Afghan. Sudah waktunya untuk mengakui eksistensi politik Taliban, meski menyakitkan.

Kaum Quraisy juga awalnya tidak mau mengakui eksistensi politik umat Islam yang dipimpin Rasulullah saw. Tapi dengan makin kuatnya militer Rasulullah saw, mau tidak mau kaum Quraisy duduk berunding dengan Rasulullah saw.

Sunnah kauniyah ini yang bisa menjelaskan mengapa Al-Quran memerintahkan umat Islam agar mempersiapkan kekuatan militer dalam menghadapi kaum kafir. Seperti dalam surat Al-Anfal ayat 60. Tidak cukup hanya kekuatan narasi (dakwah) dan kekuatan ekonomi. Al-Quran mewakili sunnah syar’iyyah karenanya pasti selaras dengan sunnah kauniyah yang sama-sama berasal dari Allah SWT.


Semua negara dengan penduduk mayoritas muslim saat ini baru punya kekuatan sumber daya alam, jumlah penduduk besar, dan sebagian punya kemampuan inovasi teknologi. Keunggulan ini amat kecil harganya secara diplomatik. Dalam bernegosiasi dengan negara-negara kafir yang kuat, modal tersebut tidak cukup berharga untuk bisa menegakkan kepala. Negara-negara muslim cenderung didikte.

Taliban menjadi masa depan yang unik. Mereka punya keunggulan militer, dan warna Islamnya kental, tidak membawa aroma nasionalisme yang biasanya dijadikan celah musuh untuk melemahkan. Duduknya mereka dalam diplomasi mewakili sebuah harga yang mahal, tidak bisa didikte, sebab tangan mereka menggenggam kekuatan militer yang menakutkan. Kepala mereka tegak. Karena itu, kehadiran mereka ke China, Rusia dan Iran, tak sepatutnya dituduh sebagai kolusi dan pengkhianatan perjuangan. Tapi yang benar, mereka hadir ke sana sebagai ksatria yang gagah, bukan sebagai pengemis yang hina.

Taliban ingin fokus menyelesaikan musuh dalam negeri, karenanya tidak mau diganggu oleh musuh luar negeri. Maka Taliban mencoba meyakinkan, bahwa tanah Afghanistan tak akan dijadikan basis serangan kepada negara-negara tersebut. Tapi juga sebaliknya, Taliban minta jaminan bahwa negara-negara tersebut tak melakukan intervensi persoalan dalam negeri Afghanistan. Dengan cara ini, Taliban bisa perang habis-habisan melawan pemerintah boneka, tanpa khawatir ada intervensi dan bantuan apapun dari negara luar kepada pemerintah boneka. Cerdik !

Taliban seolah memotong aliran darah pemerintah boneka. Uluran tangan dari luar diputus melalui perjanjian tersebut. Pemerintah boneka baru saja ditinggal Amerika dan sekutunya, kini mereka ditinggal pula oleh Rusia, China dan Iran. Sementara negara-negara lemah di sekitarnya bisa apa dalam membantu pemerintah boneka. Mereka mengurus diri sendiri saja kesulitan, apalagi membantu negara lain.


Prinsip Aqidah vs Strategi Politik
Banyak aktifis Islam –tidak semuanya– yang tumbuh dan dibesarkan dengan doktrin aqidah. Mereka asing dengan cara pandang fiqh dan muamalat. Dan politik bagian dari fiqh. Doktrin aqidah memang cenderung hitam putih, meski tetap menyisakan khilafiyah dalam banyak masalah. Akibatnya, seolah mereka terpenjara oleh pengalaman itu. Mereka hanya punya satu sudut pandang dalam melihat segala persoalan yaitu perspektif aqidah.

Jika dilihat dengan perspektif aqidah, piagam Madinah yang merangkul kaum Yahudi menjadi satu umat dengan warga muslim Madinah bisa dianggap sebagai bentuk kolusi aqidah. Perspektif aqidah akan melahirkan pertanyaan kritis: Bagaimana mungkin Yahudi yang notabene musuh Islam dijadikan satu barisan bersama muslim? Bukankah ini akan merusak wala muslim?

Bagi para Sahabat yang menjadi saksi peristiwa dan mengetahui secara langsung situasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa memahami kebijakan Nabi saw tersebut. Apalagi saat itu belum tampak kejahatan Yahudi kepada umat Islam, karena interaksi dengan Yahudi baru dimulai.

Kebijakan Nabi saw tersebut tidak sepatutnya dilihat dengan kaca mata aqidah. Tapi dengan perspektif strategi politik. Nabi saw ingin fokus menghadapi musuh jauh, maka musuh dekat diredam dulu. Selain itu untuk mengurangi kecurigaan Yahudi bahwa kehadiran Islam akan membuat Yahudi tersingkir dari Madinah. Kesan bersahabat ini sangat penting untuk meluluhkan hati mereka agar menerima Islam.

Demikian pula perjanjian Hudaibiyah. Secara aqidah, tidak sepatutnya Nabi saw terikat perjanjian dengan kaum musyrik. Bukankah hubungan muslim dengan musyrik itu permusuhan, lalu mengapa diikat perjanjian yang berkonsekwensi saling menghormati sesuai isi klausul perjanjian? Bukankah mengkhianati prinsip aqidah?


Dalam masalah pernikahan, mengapa muslim dibolehkan oleh Al-Quran untuk menikahi wanita ahli kitab? Bukankah mereka musyrik? Hubungan muslim dengan musyrik bukankah permusuhan, jika diikat pernikahan bukankah akan menjadi saling mencintai? Banyak aspek syariat akan terasa janggal jika dilihat dengan satu sudut pandang –aqidah saja.

Kelanjutan dari cara pandang aqidah (atau aqidah centris) ini membuat banyak aktivis Islam menilai diplomasi yang dilakukan Taliban sebagai bentuk penyimpangan atau bahkan pengkhianatan. Apalagi di dalam negeri (Indonesia) sedang sensi dengan China selain bahwa China juga banyak melakukan kezaliman terhadap muslim Uighur. Maka diplomasi Taliban dengan China dianggap sebagai pengkhianatan.

Karena itu, penting bagi para aktivis Islam untuk melepaskan cara pandang aqidah centris. Ada kasus yang harus dibedah dengan perspektif Aqidah, ada yang cocoknya dibedah dengan perspektif fiqh, ada yang dibedah dengan perspektif muamalat, ada yang dibedah dengan perspektif taktik strategi politik dan ada yang dibedah dengan sudut pandang dakwah. Maka bedahlah kasus per kasus sesuai perspektif yang relevan, jangan melihat seluruh kasus dengan kaca mata tunggal –Aqidah.

Sebaliknya, cara pandang fiqh centris juga keliru. Seluruh kasus dilihat dengan perspektif tunggal –fiqh. Sebagaimana akan keliru jika melihat setiap kasus dengan perspektif konspirasi centris. Bijaksana adalah saat kita melihat kasus per kasus sesuai perspektif yang relevan, sebagaimana Nabi kita mencontohkan.

والله أعلم بالصواب

Penulis: @elhakimi
arrahmah.id, 10 Agustus 2021

Thursday, September 9, 2021

Penanganan Pandemi: Turbulensi Kehidupan


Hari-hari terakhir ini lukisan kehidupan anak bangsa amat memprihatinkan, mencekam, bahkan menakutkan. Hampir setiap kali kita membuka postingan pesan Facebook, WAG atau Twitter, berderet panjang berita tentang teman, adik, kakak, ibu, ayah atau sanak saudara lainnya yang terinfeksi Covid-19, dirawat di rumah sakit, diisolasi mandiri, dijemput ambulans, sekarat di tempat tidur, hingga mengembuskan napas terakhir.

Juga, berita-berita media tentang rumah sakit-rumah sakit yang kewalahan menampung pasien, kelangkaan tabung oksigen, jalan-jalan yang ditutup, antrean di pemakaman —semuanya adalah lukisan muram anak bangsa yang tengah berjuang keras untuk hidup.

Semua ini tidak hanya tentang aroma ketakutan, kesedihan dan derai air mata, tetapi juga tentang lorong ketakpastian hidup. Anak bangsa ini ada di lorong panjang ketakpastian itu: antara terinfeksi atau imun, sehat atau sakit, negatif atau positif, pulih atau meninggal, tetap di rumah atau bepergian, dapat makan atau kelaparan, terus bekerja atau diberhentikan.


Pasung ketidakpastian ini menelikung segenap lapisan masyarakat, setiap kelas sosial, semua kelompok gaya hidup, seluruh suku dan segala ras —tidak ada yang tersisa. Inilah titik ambang batas (threshold) dalam dunia kehidupan, yang menyisakan kebimbangan dan kegamangan hidup —the turbulence of lifeworld.

Dalam segala keterbatasan, manusia tentu berupaya melepaskan diri dari telikung ketakpastian ini. Misalnya, upaya pemerintah memberlakukan aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai tanggal 3 Juli 2021 yang lalu di beberapa wilayah.

Meskipun belum maksimal, setidaknya ada efek perubahan gerak-gerik masyarakat —individu, kelompok, komunitas— ke arah kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Meningkatnya penjualan beberapa jenis vitamin dan suplemen setidaknya juga menjadi indikator bahwa masyarakat berusaha meningkatkan imunitas tubuh mereka. Artinya, dalam telikung ketidakpastian, gerakan "perang melawan virus" itu tetap hidup!


Turbulensi sosial
Pandemi Covid-19 —khususnya varian baru Delta— layaknya hantaman tsunami, telah menimbulkan kekacauan, ketakpastian dan turbulensi dalam kehidupan sosial. Efek kepanikan dari turbulensi ini telah mengancam ketahanan fisik, sosial, ekonomi dan budaya.

Turbulensi secara filosofis adalah keadaan antara atau mengambang: antara keberaturan dan kekacauan, antara kepenuhan dan kehampaan, antara determinisme dan indeterminisme, antara ada dan tiada, antara yang dapat diprediksi dan tak-dapat diprediksi, antara integrasi dan disintegrasi, antara kesatuan dan keterpecahan, antara sehat dan sakit, atau antara hidup dan mati. (Serres, 1998)

Turbulensi lahir karena ada pengganggu atau recok (noise), seperti virus atau parasit. Dan, Covid-19 adalah sang pengganggu itu, yang merecoki kehidupan anak bangsa.


Virus dan parasit sama-sama pembonceng, perecok, pembajak dan penumpang gelap pada tubuh manusia sebagai inang, yang dapat menimbulkan efek kerusakan multi-dimensi. Ada hubungan asimetris antara parasit dan inang. Inang memberi semuanya, dan tak mengambil apapun.

Sebaliknya, parasit mengambil semuanya dan tidak memberi apapun. (Serres, 1995). Pandemi Covid-19 menimbulkan turbulensi kehidupan karena ia merecoki kehidupan biologis, sosial, ekonomi, politik dan kultural anak bangsa, bahkan merusak peradaban —the noise of civilization.

Turbulensi menciptakan ambang batas yang bersifat multidimensi: fisik, sosial, psikis dan kultural. Ambang batas adalah sesuatu yang mengambang atau terombang-ambing pada garis batas. (Kristeva, 1991). Pandemi Covid-19 telah menciptakan titik ambang batas fisik: antara imun dan terinfeksi, antara sehat dan sakit, antara hidup dan mati.

Ia juga menciptakan kondisi ambang batas psikis: antara aman dan terancam, antara tenang dan takut, antara lepas dan terkungkung. Ia juga menciptakan ambang batas sosial: antara berkumpul dan berjarak, antara kebebasan dan isolasi, antara integrasi dan disintegrasi. Kondisi ambang batas ini telah memperkelam lorong ketakpastian.


Covid-19 telah menimbulkan kekacauan, keacakan dan ketakpastian dalam aneka skala. Ketakpastian lalu membawa pada kondisi ketakter-prediksi-an maksimum pada aneka sistem, karena tingginya jumlah pilihan-pilihan dan sifatnya yang acak: sosial, ekonomi, politik, budaya, seni. (Campbell, 1984).

Tetapi, harus diingat, recok sudah setua sejarah penciptaan manusia, yang sudah ada sejak awal kejadian manusia di bumi. Iblis yang merayu Adam dan Hawa agar memakan buah kuldi adalah satu bentuk recok pertama. Recok kemudian menjadi "panggung belakang" dari seluruh sejarah kehidupan manusia hingga kini dan juga seterusnya nanti. (Serres, 1998).

Selain itu, pandemi Covid-19, layak pula menjadi sebuah bahan refleksi diri tentang makna kehidupan. Beban derita dan ketakutan yang dialami manusia akibat pandemi Covid-19 memang tidak terlukiskan. Akan tetapi, dalam kondisi normal, bukankah manusia itu juga virus dan parasit?

Meniru perilaku virus, manusia juga pembonceng dan recok bagi manusia lain serta alam. Manusia menguras sumberdaya alam demi pemuasan hasrat, tanpa pernah memberi apapun sebagai imbalan. Manusia juga "mempermudah" pandemi Covid 19, karena virus "membonceng" pada kemudahan yang disediakan teknologi produksi, transportasi, dan distribusi global ciptaan manusia.


Meskipun demikian, "perang melawan virus" toh harus tetap digelar demi mempertahankan hidup. "Bio-politik" adalah jalan politik untuk mempertahankan hidup dalam sebuah sistem dan kondisi yang ada. Sementara, bio-power adalah "hidup yang menjadi sasaran komando politik," (Foucault, 1986).

Anak bangsa kini terlibat di kedua bentuk "politik" ini. Di satu pihak, setiap orang harus mempertahankan hidup dalam ancaman hebat pandemi, dengan segala cara. Di pihak lain, pemerintah menggunakan otoritasnya untuk mengatur, mengendalikan dan membatasi masyarakat, demi mengurangi dampak pandemi Covid-19.

Konflik terjadi, ketika ada jurang antara bio-politik dan bio-power, yaitu kontradiksi antara gerak-gerik masyarakat dalam mempertahankan hidup dan gerak gerik pemerintah dalam mengatur masyarakat. Kian besar jurang antara gerak-gerik masyarakat dan pengaturan pemerintah, kian besar efek turbulensi dan ketakpastian yang ditimbulkan dalam perang melawan virus, seperti yang terjadi di beberapa negara.

Sebaliknya, kian melekat chemistry (kecocokan) antara suasana batin masyarakat dan langkah kebijakan, program dan gerak-gerik pemerintah, kian tangguh mesin perang anak bangsa melawan virus.


Resiliensi budaya
Seberat apapun beban kehidupan, respons melawan virus harus diberikan, untuk tetap bertahan hidup. Resiliensi adalah respons kognitif, perilaku dan emosi yang fleksibel terhadap aneka kesulitan, yang sangat ditentukan oleh sikap dalam menghadapinya.

Ia adalah jalan untuk membangun kebertahanan dan bangkit dari kesulitan yang bersifat disruptif, seperti pandemi Covid-19. (Neenan, 2018).

Aneka cara, metode, dan teknik telah dilakukan oleh berbagai elemen bangsa untuk meningkatkan kebertahanan menghadapi efek pandemi. Proses pemulihan mungkin akan panjang, yang akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru. (Fiksel, 2015)

Akan tetapi, resiliensi harus didukung oleh pemahaman komprehensif, terintegrasi dan mendalam tentang virus dengan segala dimensinya. Selain sudut pandang virologi, virus harus dilihat dari sudut pandang lebih luas dan terintegrasi: sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan keagamaan.


Patografi adalah pendekatan lintas-disiplin macam ini, sebagai ramuan narasi historis, biologis, sosial, politik, ekonomi dan kultural penyakit dan penularannya. Inilah metanarasi tentang krisis atau penyakit di ruang-waktu tertentu, termasuk pandemi Covid-19 dan aneka variannya. (MacPhail, 2014)

Dalam perang melawan Covid-19, selain lintas-disiplin, diperlukan pula pendekatan lintas-sektoral dan lintas-institusional. Pada tingkat akademis, perlu dihasilkan pemikiran, konsep, sistem, bentuk atau produk-produk terkait virus melalui aneka temuan ilmiah lintas-disiplin, yang melibatkan aneka disiplin kedokteran, virologi, sains, teknologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, kebudayaan, seni, dan lain-lain.

Pada tingkat kepemerintahan, perlu kebijakan, program dan tindakan lintas-sektoral dan lintas-institusional terintegrasi. Pada tingkat masyarakat, perlu gerakan akar rumput tingkat individu, komunal dan sosial dalam semangat "gotong royong" mengatasi masalah bersama, melampaui segala perbedaan sosial-politik.


Selain itu, perlu optimalisasi dan integrasi atas tiga upaya yang tengah dilakukan. Pertama, memaksimalkan kepatuhan terhadap prosedur kesehatan yang sudah digariskan secara nasional. Kedua, memaksimalkan imunitas diri sesuai dengan kemampuan, dan bila memungkinkan menemukan gagasan-gagasan inovatif terkait kebertahanan dan imunitas.

Ketiga, intensifikasi pendekatan diri kepada Tuhan melalui doa, karena agama mengajarkan bahwa segala penyakit pasti ada obatnya. Memang, virus tak bisa dibasmi karena ia bagian historis keseimbangan alam. Tetapi, ia harus dilawan untuk meredam guncangan turbulensi dan efek merusaknya pada kehidupan.

Semoga anak bangsa diberi kekuatan, imunitas dan kesehatan.

Yasraf Amir Piliang
Pemikir sosial dan kebudayaan ITB
KOMPAS, 22 Juli 2021

Thursday, August 26, 2021

Mullah Omar, Pemimpin Taliban Penuh Misteri


Taliban adalah Mullah Mohammed Omar. Mullah Mohammed Omar adalah Taliban. Begitulah masyarakat internasional mengaitkan keduanya dalam politik Afghanistan sejak berhembusnya angin perubahan di negeri penuh konflik itu.

Bagi Taliban, Mullah Omar adalah pahlawan sejati dan sosok yang paling dihormati. Bahkan, informasi seputar kematian sang Mullah pun sempat ditutup-tutupi Taliban.

Pada 5 April 2015, Taliban Afghanistan menerbitkan biografi Mullah Omar. Biografi tersebut dikeluarkan untuk memperingati 19 tahun kepemimpinan Mullah Omar di tengah isu kematiannya yang sangat santer pada waktu itu.

Belum diketahui secara pasti apa alasan sebenarnya Taliban menerbitkan biografi Mullah Omar itu. Beberapa pengamat menduga tindakan tersebut dilakukan lantaran bertumbuhnya paham ISIS di Afghanistan dan banyaknya anggota Taliban yang membelot dan memilih bergabung dengan ISIS.


Biografi pemimpin Taliban itu ditulis dalam 5.000 kata di situs utama milik Taliban. Dalam bografi itu diceritakan tentang semua fakta Omar termasuk mengenai kelahirannya dan bagaimana Mullah Omar diasuh.

Seperti dikutip dari BBC News, Omar diketahui lahir pada 1960 di Desa Chah-i-Himmat, Khakrez, Kandahar. Pria berusia 55 tahun itu berasal dari marga Tomzo dan suku Hotak.

Pemimpin Taliban itu merupakan anak dari Moulavi Ghulam Nabi, seorang tokoh masyarakat di Afghanistan. Omar harus menghadapi kenyataan dan menjadi yatim ketika masih berusia lima tahun.


Titik Balik Mullah Omar
Sepeninggal ayahnya, Omar dan keluarga pindah ke provinsi Uruzgan. Mullah Omar memutuskan bergabung ke kelompok Jihadis setelah adanya serangan pasukan Uni Soviet di Afghanistan sekitar tahun 1980-an.

Saat itu ia masih duduk di sekolah madrasah. Dituliskan, salah satu alasan Mullah Omar memilih bergabung menjadi Jihadis untuk memenuhi panggilan agama.

Seperti seorang ksatria, pria yang disebut paling menggemari senjata granat RPG-7 itu, ikut berperang melawan Rusia pada 1983 dan 1991. Dalam dua pertempuran itu Omar terluka sebanyak empat kali dan kehilangan mata kanannya.

Berkat kegigihannyalah Omar pun dianugerahi gelar Amir Al-Mukminin, gelar yang diberikan kepada pemimpin yang saleh. Omar juga berjasa dengan mengambil alih kota Kabul dan mendirikan Islamic Emirate of Afghanistan.


Yang menarik dalam biografi tersebut, disebutkan Omar merupakan sosok yang sangat karismatik, yang selalu hidup dalam kesederhanaannya serta memiliki selera humor yang tinggi. Ia juga dikenal dengan kepribadiannya yang tenang, tak mudah emosi, ramah, dan rendah hati. Omar tidak memiliki rumah dan juga tak memiliki rekening bank asing.

Pada saat buku itu diterbitkan, Mullah Omar tak pernah diketahui keberadaannya. Namun ia dikatakan masih tetap berhubungan dengan berbagai peristiwa dan kehidupan sehari-hari di Afghanistan.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bahkan menawarkan hadiah 10 juta dolar AS (dengan kurs Rupiah Rp 14.000 per US Dollar, setara dengan Rp 140 Miliar), bagi siapa saja yang bisa menemukan Mullah Omar. Ia belum pernah terlihat lagi sejak invasi pimpinan AS ke Afghanistan pada 2001. Mullah Omar dikenal sangat mendukung pemimpin Al-Qaidah, Usamah bin Laden.


Saat Amerika sibuk mencari Mullah Omar dan menawarkan hadiah bagi yang bisa menemukannya, ternyata pria pejuang Afghanistan itu tinggal tak jauh dari pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Provinsi Zabul. Ini menjadi salah satu prank yang dilakukan Mullah Omar dan pasukannya kepada militer AS.

Cerita di atas terkuak dalam sebuah buku yang berjudul The Secret Life of Mullah Omar yang ditulis oleh wartawan Belanda, Bette Dam. Seperti dilaporkan BBC, Senin (11/3/21), dalam buku tersebut diceritakan bahwa Omar tidak pernah bersembunyi di Pakistan seperti yang diyakini oleh AS.

Adapun Omar bersembunyi di sebuah tempat yang jaraknya hanya tiga mil dari Pangkalan Operasi AS di Provinsi Zabul.

Rumah sederhana tempat tinggal Mullah Omar di Provinsi Zabul.

Bette Dam menghabiskan waktu sekitar lima tahun untuk melakukan riset dan mewawancarai anggota Taliban. Dia berhasil berbicara dengan Jabbar Omari yang merupakan pengawal Mullah Omar ketika dia bersembunyi, setelah tersingkirnya rezim Taliban pada 2001.

Omari menyembunyikan pemimpin Taliban tersebut hingga kematiannya karena sakit pada 2013. Setelah jatuhnya Taliban, Omar bersembunyi di sebuah ruang rahasia yang dekat dengan markas AS.

Dalam buku tersebut dituliskan, pasukan AS telah menggeledah satu per satu tempat tinggal di sekitar pangkalan mereka namun tidak menemukan tempat persembunyian Omar. Dia diketahui pindah ke sebuah gedung yang jaraknya hanya tiga mil dari pangkalan AS.

Mullah Omar (Taliban) dan Usamah bin Laden (Al-Qaidah).

Terkadang, Omar bersembunyi di terowongan irigasi untuk menghindari deteksi. Dia meninggal dunia pada 23 April 2013.

Mullah Omar tidak dapat menjalankan kelompok Taliban dari tempat persembunyiannya. Oleh karena itu, Omar menyetujui para pejabat Taliban untuk hadir di Qatar dalam upaya mengakhiri perang panjang di Afghanistan.

Buku The Secret Life of Mullah Omar diterbitkan dalam bahasa Belanda pada Februari 2019. Kini, ada juga edisi bahasa Inggris.

Didi Purwadi, Elba Damhuri
REPUBLIKA.CO.ID
Selasa, 17 Agustus 2021