Friday, November 28, 2008

Risalah Naik Haji



Suatu ketika seorang ahli sufi, Ibrahim bin Adham, bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. "Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?" tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab, "Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq."

Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, "Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka."

Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.

Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.

Wajar jika lalu mengemuka wacana "pengharaman" haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya "gugatan moral" ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah "buta" terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.

Haji semu
Jauh sebelumnya, para ulama mengkritik keras perilaku orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya ataupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan ulama terhadap ahlu al-hajj didasarkan pada kondisi riil atau perilaku orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji.

Alih-alih meneladani tapak tilas Nabi Ibrahim yang sarat pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji mengambil jarak dengan orang miskin dan anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan meningkatnya kesalehan ritual tanpa memedulikan kesalehan sosial.

Padahal, dalam beribadah, semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah, sementara memedulikan orang miskin dan anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah).

Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah "bagi yang mampu" (istitha’ah) yang menjadi alasan atau 'illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.

Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat atau amal kebaikan yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.

Fatwa haram
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum).

Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji saat melaksanakan haji sehingga harus mengulang; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan.

Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunah. Namun, dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan 'illat (alasan) hukum berupa kebutuhan yang bersifat mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh (lebih baik ditinggalkan), bahkan haram.

Kebijakan hukum seperti ini pernah berlaku pada masa pemerintahan Bani Umayah mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan itu, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang pada masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.

Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama Indonesia tentunya dapat pula mengeluarkan fatwa yang melarang, setidaknya membatasi umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial.

Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji.

Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah sosial sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa "haram" ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam Indonesia.

Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang makin menggunung, kita harus menahan diri untuk tak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji yang pernah berhaji, akan teruji.

Khaeron Sirin Dosen Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta
KOMPAS, 13 November 2008

Monday, November 17, 2008

It's the Real Sector, Stupid


Banyak informasi terkait krisis keuangan Amerika Serikat berikut dampaknya terhadap dunia. Demikian juga paket stimulus yang mencapai total 4 triliun dollar AS guna mengatasi dampak krisis itu.

Indonesia pun sudah merasakan dampaknya —meski terbatas— dalam bentuk jatuhnya harga saham di pasar modal, turunnya nilai rupiah, dan turunnya cadangan devisa karena arus modal keluar. Dampak lebih besar terhadap sektor riil baru akan dirasakan satu hingga tiga tahun mendatang karena krisis terus berkembang. Pertanyaannya, pesan apa yang dapat ditarik dari krisis ini? Apa yang harus dilakukan dan dihindari.

Untuk itu kita perlu mengetahui faktor dan penyebab timbulnya krisis keuangan AS dan bagaimana krisis itu memengaruhi, sebelum kita berbicara tentang langkah-langkah yang perlu dihindari dan perlu dilakukan.

Penyebab krisis keuangan AS
Pertama, adanya global imbalances di mana AS mengonsumsi lebih besar dari kemampuannya. Ini tecermin pada defisit ganda AS (defisit anggaran belanja dan transaksi berjalan) yang justru dibiayai oleh emerging markets, terutama China.

Kedua, pemberian kredit perumahan dalam jumlah besar kepada nasabah yang tidak layak (subprime) dengan bunga variabel yang mencapai 1,2 triliun dollar AS. Setelah suku bunga 2004-2006 naik dari 1,0 persen menjadi 5,25 persen, kredit pun macet karena penghasilan nasabah subprime tidak meningkat.

Ketiga, sektor keuangan yang berkembang dengan pesat melalui penciptaan derivatif keuangan 480 miliar dollar AS subprime credit, misalnya, telah disekrutisasi melalui penciptaan derivatif, yaitu CDOs (collateralized debt obligations) yang dijual kepada investor AS maupun luar negeri tanpa rating yang benar. Melalui derivatif, kreditor yang semula, telah mendapatkan uangnya kembali dengan keuntungan dan bonus besar sehingga tidak pusing lagi. Akan tetapi, pemegang CDOs terakhirlah yang menanggung beban sehingga banyak yang berguguran.

Keempat, krisis itu meluas, melahirkan kelangkaan likuiditas sehingga dana tidak mengalir ke sektor ekonomi/riil, mengakibatkan timbulnya resesi ekonomi. Hal ini memengaruhi perekonomian dunia karena ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia.

Dampaknya bagi Indonesia
Pada sektor keuangan, dampak bagi Indonesia bisa dikatakan tidak ada karena tidak memiliki CDOs dari AS. Akan tetapi, kelangkaan likuiditas di AS dan Eropa menyebabkan modal jangka pendek yang semula masuk Indonesia balik kandang karena dibutuhkan di negeri asalnya. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh karena pemainnya yang kebanyakan dari luar negeri, menjual lalu menukarnya dengan dollar AS. Rupiah pun melemah dan cadangan devisa menurun. Ini konsekuensi logis kebijakan kita untuk menerima modal jangka pendek dalam jumlah besar sehingga apa yang terjadi di sektor keuangan merupakan koreksi terhadap keadaan sebelumnya. Titik keseimbangan akan terbentuk, baik tentang kurs rupiah maupun harga saham setelah modal jangka pendek keluar semua, atau berhenti keluar karena likuiditas di luar sudah teratasi atau pemodal dalam negeri tidak ikutan menaruh dananya di luar karena merasa lebih terjamin di sana.

Bagi Indonesia, dampak yang lebih berarti adalah pada sektor riil. Resesi di AS menyebabkan penurunan ekspor Indonesia ke AS, juga ke Eropa dan Asia. Mengapa Asia, karena ekspor kita ke sana umumnya barang setengah jadi yang lalu diolah dan diekspor lagi ke AS. Artinya, untuk beberapa tahun mendatang laju pertumbuhan ekonomi kita akan menurun, pengangguran dan kemiskinan meningkat.

Langkah kurang tepat
Kebijakan yang terlambat dan hanya menjamin dana pihak ketiga hingga Rp 2 miliar -sedangkan negara tetangga menjamin 100 persen- mengesankan pemerintah mendorong capital flight dengan menganjurkan untuk menyimpan Rp 2 miliar di dalam negeri, dan menyimpan kelebihannya di luar negeri. Padahal, jumlah di atas Rp 2 miliar amat besar dari total dana pihak ketiga. Seharusnya pemerintah segera memberikan blanket guarantee untuk semua dana pihak ketiga sebagai tindakan preventif.

Kebijakan untuk mendongkrak harga saham dengan beli balik dan intervensi BI guna mendongkrak nilai rupiah hanya akan menguntungkan pemodal luar negeri. Mereka akan mendapat keuntungan ganda. Rupiah didapat lebih banyak bila menjual sahamnya dan mendapat dollar AS lebih banyak jika menukarnya.

Akan tetapi, kita tidak dapat mencegah mereka keluar. Pelarian modal memang mengakibatkan gangguan, tetapi ini sudah seharusnya diketahui saat modal jangka pendek yang spekulatif masuk dari luar tanpa batas.

Kini penambahan likuiditas rupiah tidak akan menjamin terkucurnya kredit ke sektor riil selama masalah sektor riil belum teratasi. Hal ini juga akan mendorong pembelian dollar AS dan pelarian modal. Masalah kekurangan likuiditas yang ditakutkan sebenarnya kurang beralasan karena selama ini sektor keuangan kelebihan likuiditas, tetapi tidak disalurkan ke sektor riil. Kelebihan itu justru ditanam di SBI karena sektor riil menghadapi banyak masalah, seperti infrastruktur, perpajakan, perburuhan, kepastian hukum, dan birokrasi, sehingga oleh bank dinilai tidak layak menerima kredit. Ini adalah masalah yang sudah diketahui lama, tetapi belum tertangani dengan baik hingga kini.

Menghindari krisis
Guna menghindari krisis, kredit konsumsi -misalnya kredit sepeda motor dan kartu kredit- yang menggebu-gebu, tetapi tidak diimbangi kredit investasi untuk sektor riil, perlu diwaspadai.
Juga perlu diperhatikan sektor keuangan yang melaju cepat, tetapi tidak diimbangi tumbuhnya sektor riil.

Waspadai dana jangka pendek dari luar negeri dalam jumlah besar karena dibanding manfaatnya, risikonya justru lebih besar. Saat masuk, rupiah mengalami apresiasi, pemerintah memang mendapat dana untuk biayai defisit, dan cadangan devisa meningkat. Akan tetapi, cadangan ini sebenarnya hanya pinjaman (borrowed reserves) yang tidak berguna untuk menjamin impor. Ia hanya untuk berjaga-jaga bila modal itu kembali keluar. Saat keluar serentak maka akan terjadi guncangan besar di pasar keuangan.

Pesan untuk mengatasi krisis
Pertama, pemerintah perlu mengambil langkah cepat. Berbuat sesuatu secara cepat, biayanya lebih kecil daripada tidak berbuat apa-apa.

Kedua, langkah-langkah secara terkoordinasi antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan otoritas fiskal (pemerintah) lebih efektif untuk mengatasi krisis. Di AS, setiap ada krisis, Bank Sentral dan Pemerintah AS bersama-sama bertindak cepat. Harus disadari, satu kebijakan saja tak akan dapat mengatasi semua masalah. Ini memberi harapan meski terjadi krisis, tetapi tak berlangsung lama.

Ketiga, krisis timbul karena sektor riil tidak tumbuh sebanding dengan sektor keuangan. Solusinya, memberi stimulus fiskal guna menggerakkan sektor riil. Jadi, It’s the Real Sector, Stupid, meniru semboyan dari kampanye Bill Clinton tahun 1992.

Pertanyaannya, di mana kebijakan fiskal dengan paket stimulusnya? Kenyataannya, anggaran belanja modal yang ada tidak pernah penuh digunakan. Hingga Oktober realisasinya hanya 50 persen. Dampak ekonominya lebih kontraktif karena dana ke daerah yang sepenuhnya dikeluarkan ternyata disimpan lagi dalam SBI. Jika pemerintah tidak dapat menggunakan dana pajak dengan baik, sebaiknya dikembalikan kepada swasta saja untuk menggunakannya melalui keringanan pajak.

Jika sektor riil tidak cepat dibenahi, kelesuan ekonomi Indonesia bisa berkepanjangan dan bisa lebih parah lagi bila ekonomi AS cepat bangkit, tetapi kita tidak dapat bangkit bersama.

Jadi, di mana inti masalah yang dihadapi dan inti solusi yang dicari? Jawabannya, sekali lagi It’s the Real Sector, Stupid !!!

Judul asli artikel ini adalah "Pesan dari Krisis Keuangan AS", ditulis oleh Adrianus Mooy, beliau adalah Mantan Gubernur BI pada era ORBA. Sekarang menjadi Penasihat Senior Universitas Pelita Harapan [UPH], Jakarta.
KOMPAS, 13 November 2008

Saturday, November 1, 2008

Ideologi Bahasa Indonesia


Setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis. Bahkan, bahasa adalah ideologi. Itulah pandangan para linguis kritis, seperti Volosinov, Bakhtin, Foucault, Fairclough, Wodak, Kress, Hodge, dan Van Dijk.

Dalam hal ini, ideologi adalah gagasan atau keyakinan yang commonsensical (sesuai akal sehat) dan tampak normal. Gagasan atau keyakinan itu telah menjadi bawah sadar masyarakat. Maka, jika masyarakat tidak menyadari ideologi (dalam) bahasa yang dipakainya, itu membuktikan ideologi sedang efektif bekerja.

Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu mengenai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) dan bahasa negara (UUD 1945 Pasal 36). Saat para tokoh pemuda mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda, mereka digerakkan ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Maka, pilihan jatuh pada bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa atau Sunda, yang penutur aslinya lebih banyak. Bahasa Melayu -bahan dasar bahasa Indonesia- hanya berpenutur asli sekitar 4,5 persen populasi. Namun, meski belum jelas benar sosoknya, bahasa Indonesia diyakini lebih demokratis dan egaliter sebab tidak mengenal speech level (tingkat tutur).

Dalam pandangan sosiolinguistik, penentuan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan dan bahasa negara didasari ideologi vernacularization (vernakularisasi, pribumisasi). Menurut Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983), vernakularisasi adalah penentuan sebuah indigenous language (bahasa pribumi) menjadi bahasa resmi. Segi-segi sosiologis-politis-kultural pasti dipertimbangkan, termasuk kehendak memartabatkan jati diri.

Demikianlah, bahasa Indonesia mengada karena ideologi kebangsaan demokratis-egaliter dan pemartabatan jati diri. Bahkan, bahasa Indonesia pada gilirannya adalah ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Tak ayal dalam literatur-literatur utama sosiolinguistik, bahasa Indonesia menjadi contoh klasik vernakularisasi, selain Tok Pisin (Papua Niugini), Yahudi (Israel), Tagalog (Filipina), dan Quechua (Peru).

Jika bahasa Indonesia dan situasi kebahasaan mutakhir dicermati, masih adakah jejak ideologi itu? Apa tantangan bagi ideologi bahasa Indonesia? Apa kaitannya dengan Kongres IX Bahasa Indonesia, 28 Oktober-1 November 2008?

Beragam ideologi bahasa
Tiga ideologi selain vernakularisasi, yaitu linguistic assimilation, linguistic pluralism, dan internationalism. Linguistic assimilation menempatkan bahasa terdominan sebagai bahasa resmi. Semua warga -pribumi atau pendatang- wajib mempelajari dan menggunakan bahasa itu. Contohnya bahasa Perancis di Perancis, bahasa Inggris di Inggris dan Amerika Serikat serta wilayah koloninya, serta bahasa Jerman di Jerman. Ideologi ini diterapkan dengan berbagai bentuk, termasuk pemaksaan, seperti kebijakan Hellenization di Yunani dan Russification di Uni Soviet masa lampau.

Linguistic pluralism memberikan kesempatan sama kepada bahasa-bahasa yang ada. Kesempatan itu dapat berbasis wilayah atau ikatan warga. Paham ini diberlakukan antara lain di Belgia, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, dan Swiss.

Adapun internationalism (internasionalisme) justru mengangkat non-indigenous language (bahasa nonpribumi). Karena bahasa nonpribumi telah digunakan dalam komunikasi luas, lalu dijadikan bahasa resmi bidang tertentu. Ideologi ini, misalnya, berwujud penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pendidikan dan perdagangan di Singapura, India, Filipina, dan Papua Niugini.

Tantangan internasionalisme
Bahasa Indonesia masih relatif muda. Namanya baru mulai disebut saat Kongres Pemuda 1, 2 Mei 1926. Setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia mengalami promosi dan kodifikasi besar-besaran. Dalam usia 80 (atau 82) tahun, secara korpus bahasa Indonesia makin sempurna. Berbagai kamus dan pedoman tata bahasa, ejaan, dan peristilahan kian lengkap. Jumlah penuturnya makin meningkat. Bahasa Indonesia telah melampaui masa lampaunya sebagai bahasa "kecil" dan kini menjadi bahasa "besar". Namun, bagaimana ideologinya? Bahasa Indonesia masih menjadi ideologi kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan?

Sebagaimana teritori mana pun, Indonesia adalah arena perang ideologi, termasuk ideologi bahasa. Dalam arena itu ideologi bahasa Indonesia harus bertarung menegakkan eksistensinya. Benar pernyataan St Sunardi (Kompas, 27/10/2008) dimensi nasionalisme menjadi lebih rumit daripada sekadar kesamaan sejarah, suku, bangsa, atau budaya. Menyangkut ideologi bahasa Indonesia, kerumitan itu berwujud hadirnya ideologi internasionalisme yang menyatu dengan globalisasi. Padahal, internasionalisme serba bertentangan dengan vernakularisasi.

Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai ideologi berpotensi terpinggirkan, terutama sebagai ideologi kebangsaan dan jati diri.

Kongres IX Bahasa Indonesia
Pada 28 Oktober - 1 November 2008 digelar Kongres IX Bahasa Indonesia, bertema "Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa".

Tampak, tema itu digerakkan ideologi bahasa Indonesia, yakni kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Upaya penyelenggara kongres, Pusat Bahasa, patut diapresiasi. Bukan hanya karena setia memelihara ideologi bahasa Indonesia, tetapi juga membuka diri atas situasi terkini. Secara tersirat, kata "kompetitif" menyadari hadirnya ideologi internasionalisme yang tidak harus dihadapi frontal.

Apalagi kaidah-kaidah yang amat kaku tidak "membakukan", tetapi "membekukan" bahasa Indonesia. Sikap normatif berlebihan menjadi kendala bagi pengembangan kreativitas. Martabat bahasa Indonesia pun terlecehkan. "Bangsa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja". Itulah tanggapan surat kabar Kebangoenan pimpinan Sanoesi Pane (22/6/1938) atas rencana Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25-28 Juni 1938.

Semoga Kongres IX Bahasa Indonesia juga melahirkan tanggapan senada.

P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
KOMPAS, 29 Oktober 2008