Thursday, March 31, 2011

Bangsa Jepang, Bangsa Pembelajar


Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.

Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.

Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.

Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.


Pakar bencana dan gempa Jepang yang ditemui wartawan Kompas Ahmad Arif setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.

Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.

”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya.

Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.


Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.

Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.

Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.

Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.


”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.

Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.

Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.


Pendidikan karakter
Bambang Rudyanto, profesor di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Wako University, mengungkapkan, karakter masyarakat Jepang terbentuk dari kebiasaan sehari-hari yang dipelajari dari komunitasnya. Untuk pendidikan dasar, mereka lebih mementingkan pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi.

Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat kesatria.

”Ada juga istilah gaman zuyoi, artinya kita harus tabah, yang diungkapkan saat menghadapi masalah,” kata pria yang telah 22 tahun tinggal di Jepang ini.

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/22/0323595/bangsa.jepang.bangsa.pembelajar


Foto-foto Bencana Gempa dan Tsunami di Jepang

Episentrum gempa yang membentuk pusaran raksasa di tengah samudera.


Terpaan gelombang tsunami menggelontor apa saja, termasuk beberapa rumah utuh pun hanyut.


Puluhan atau bahkan ratusan mobil dalam sekejap menjadi onggokan bangkai besi tua.


Dilihat dari atas seakan menjadi lautan puing dan sampah yang memenuhi sepenjuru kota.


Kapal boat penumpang pun bisa terlempar dan 'nangkring' di atas rumah 2 lantai.


Suasana pantai yang porak poranda dilihat dari satelit.


Mobil-mobil baru di sebuah pabrik nampak kecil-kecil berserakan seperti mobil mainan anak-anak.


Selain hancur karena gempa dan tsunami, si jago merah pun tak ketinggalan ikut berperan menghanguskan puing-puing yang ada.


Ini bukan mobil yang sengaja dipajang di atas rumah, tapi karena terhempas oleh dahsyatnya tsunami.


Puing-puing dan sampah bercampur-baur di mana-mana.


Kontainer yang biasanya diangkut truk tronton nampak kecil-kecil seperti balok mainan anak.


Kapal-kapal berserakan di laut yang tercemar oleh tumpahan minyak.


Rel kereta api yang terlepas dari jalurnya dan jadi melengkung.


Rangkaian gerbong kereta api pun tidak hanya anjlok, tapi terlempar jauh keluar dari jalurnya.


Kebakaran di berbagai tempat ikut melengkapi derita akibat gempa dan tsunami.


Setelah semua usai yang tersisa tinggal pondasi bekas rumah-rumah yang hancur rata dengan tanah.

Sumber Foto:
Reuters, AFP, AP, Getty Image dll.

Wednesday, March 23, 2011

Segunung Emas, Setumpuk Racun


Ketikkan kata kunci "sampah elektronik emas" di mesin pencari Google, maka akan muncul ribuan laman yang menunjukkan rupa-rupa cara "menambang" emas. Tak perlu ke tambang emas Grasberg di Puncak Jaya, Papua, atau Cikotok, Kabupaten Lebak, Banten. Tambang emas itu, menurut laman-laman tersebut, justru ada di kota-kota besar, seperti Jakarta. Tambang emas itu bernama sampah elektronik. Emas ada di dalam pesawat televisi, komputer, kulkas, monitor, tape, dan telepon seluler bekas.

Memang tak ada angka pasti berapa besar timbunan sampah elektronik di Indonesia dan berapa banyak emas, perak, atau tembaga yang bisa didulang dari perkakas-perkakas bekas itu. Yang pasti, penjualan barang elektronik dari tahun ke tahun terus melesat. Untuk ponsel saja, menurut data Gartner, di seluruh dunia terjual lebih dari 1,6 miliar unit sepanjang 2010 -satu setengah kali lipat tahun sebelumnya. Tahun lalu, kata Ketua Electronics Marketers Club Iffan Suryanto, penjualan produk elektronik di negeri ini menembus Rp 24 triliun. "Pada 2011 akan naik menjadi Rp 27 triliun," ujarnya beberapa waktu lalu.

Ketika orang membeli perkakas elektronik baru, yang lama mungkin akan ditinggalkan (dibuang). Otomatis jumlah barang bekasnya bisa dipastikan juga akan bertambah. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan (UNEP) memperkirakan setiap tahun ada lebih dari 40 juta ton sampah elektronik yang terbuang. UNEP meramal jumlah sampah elektronik ini akan berlipat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi.


Cina, yang ekonominya terus melesat, kini menjadi penyumbang sampah elektronik terbesar kedua, setelah Amerika Serikat. Setiap tahun Cina membuang 2,3 juta ton perkakas elektronik bekas. Sepuluh tahun lagi, UNEP memperkirakan, jumlah sampah elektronik negeri berpenduduk lebih dari semiliar itu akan berlipat empat. Negeri berpenduduk semiliar lainnya, India, UNEP menujum, pada 2020 akan membuang lima kali lipat sampah elektronik dibanding hari ini.

Gunung sampah elektronik inilah yang dilihat para pendulang sebagai tambang emas baru. Di timbunan sampah elektronik ini, menurut Utomo Santoso, Direktur Utama PT Teknotama Lingkungan Internusa, memang tersimpan rupa-rupa material, dari plastik, kaca, hingga logam langka seperti emas dan paladium, yang bisa dimanfaatkan kembali (reuse dan recycle).

Dalam sekeping ponsel saja, seperti diungkapkan dalam laporan UNEP, Recycling-from E-Waste to Resources, setidaknya ada 40 elemen, seperti tembaga, nikel, kobalt, perak, emas, dan paladium. Dalam satu ton ponsel tanpa baterai, bisa didulang 3,5 kilogram perak, 340 gram emas, 140 gram paladium, dan 130 kilogram tembaga. "Pemanfaatan sampah elektronik ini bisa menjadi rantai kegiatan ekonomi baru," kata Utomo pekan lalu -dari tahap pengumpulan, pemisahan komponen, pencacahan, hingga peleburan.


Perlu pengaturan
Tak seperti sampah dapur yang tak laku dijual ke mana-mana, perdagangan limbah elektronik antarnegara di pasar gelap terjadi dalam volume besar. Pengaturan sampah elektronik, menurut Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner, sudah sangat mendesak.

Investigasi Greenpeace pada 2009 mengungkap bagaimana negara maju memperlakukan Ghana, Nigeria, India, dan Cina bak halaman belakangnya. Di negara-negara itu sampah elektronik dibongkar, dipreteli, dan sisanya yang tak bisa dimanfaatkan dibuang begitu saja.

Dua pekan lalu, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) menjatuhkan denda US$ 31,5 ribu kepada dua perusahaan pengelola sampah elektronik, Avista Recycling dan Metro Metals. Kedua perusahaan di Minnesota ini terbukti berusaha menyelundupkan monitor bertabung katoda ke Vietnam lewat pelabuhan Seattle.

Badan Lingkungan Kanada juga menjatuhkan denda US$ 30 ribu atas ulah nakal Jieyang Sigma Metal Plastic, akhir Januari lalu. Perusahaan ini tertangkap tangan berusaha menyelundupkan ribuan baterai bekas dan monitor tabung ke Hong Kong dan Cina. Berdasarkan konvensi Basel pada 1989, tabung katoda termasuk barang berbahaya yang terlarang diekspor negara maju ke negara berkembang atau miskin.


Setahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup juga memerintahkan sepuluh kontainer yang memuat televisi tabung dan monitor bekas untuk dipulangkan kembali ke Amerika Serikat. Seperti dikutip PCWorld, sampah elektronik itu dikapalkan ke Indonesia oleh Advanced Global Technologies untuk CRT Recycling, perusahaan pengelola sampah asal Massachusetts. Peter Kopcych, Manajer Umum CRT Recycling, terang-terangan membantah tudingan mengirim sampah. Menurut dia, meskipun barang bekas, televisi yang dia kirim masih berfungsi dengan baik.

Dengan dalih seperti itulah barang bekas elektronik dari negara maju membanjiri Cina, India, Ghana, dan Nigeria, dan sebagian mengalir ke Indonesia. "Impor sampah elektronik itu ilegal," kata Masnellyarti Hilman, Deputi Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, menegaskan. Repotnya, kata Utomo, batas definisi apakah perkakas itu tergolong barang bekas atau sampah elektronik belum ada. "Itu tugas pemerintah."


Disalurkan kemana?
Di negeri ini memang belum ada peraturan yang khusus mengurusi sampah elektronik. "Peraturan pemerintahnya masih dibahas," ujar Masnellyarti. Dalam Peraturan Pemerintah Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, tak diatur detail apa definisi sampah elektronik, mana sampah elektronik yang berbahaya sekaligus beracun dan mana yang tidak berbahaya, bagaimana pengolahannya, dan siapa yang bertanggung jawab.

Padahal Undang-Undang Pengelolaan Sampah mewajibkan setiap produsen mengelola kemasan dan produknya yang sulit terurai oleh proses alam. Masnellyarti mengatakan, "Prinsipnya, siapa yang menghasilkan sampah, dialah yang membayar." Namun, karena undang-undang itu tak menjelaskan detail aturan pelaksanaannya, sampai detik ini nasib sampah elektronik hanya ada dua pilihan, yakni disalurkan lewat pemulung dan pendulang emas atau dibuang begitu saja.

Masalahnya, selain menyimpan logam langka, sampah elektronik tak cuma sulit terurai secara alamiah, tapi bahkan menyimpan sejumlah bahan beracun, seperti timbel, merkuri, berilium, bromium, dan kadmium. "Satu lampu neon saja, jika pecah, akan melepaskan tiga hingga lima miligram merkuri," ujar Syarif Hidayat, Manajer Teknik PT Prasadha Pamunah Limbah Industri. Padahal akumulasi merkuri dalam tubuh manusia akan merusak sistem saraf dan ginjal.


Tanpa peraturan, kini yang bermain di sampah elektronik ini adalah para "penambang" emas partikelir. Cara itu bukannya menyelesaikan persoalan sampah, justru melahirkan masalah baru. Untuk memisahkan emas dari material lain, pengolah sampah kelas rumah tangga itu menggunakan cara-cara yang berbahaya. "Mereka pakai sianida atau merkuri," kata Syarif.

Peralatan laboratorium dan mesin pengolah sampah elektronik milik Teknotama yang sudah dipasang sejak setahun lalu justru nganggur. "Belum ada klien satu pun," kata Utomo sembari terbahak. Padahal mesin ini berharga puluhan miliar rupiah. Mesin milik Teknotama ini mampu memisahkan material logam dengan nonlogam dalam papan sirkuit elektronik (PCB) dan kemudian mencacahnya menjadi butiran-butiran halus.

Cacahan nonlogam, setelah kandungannya dipastikan memenuhi standar baku mutu, bisa menjadi campuran bahan bakar di pabrik semen. Butiran-butiran logam tersebut mengandung tembaga sekitar 90 persen. Butiran logam ini bisa langsung dilebur atau dipilah lagi kandungannya. "Kami belum punya teknologi pemisahannya. Jepanglah jagonya," kata Utomo.


Prasadha, yang 95 persen sahamnya dimiliki perusahaan pengolah limbah asal Jepang, Dowa Eco-System, juga berniat memasang mesin pengolah limbah elektronik di pabriknya di Cileungsi, Bogor. Dowa punya pengalaman panjang mengolah sampah elektronik di Negeri Samurai. Mereka tinggal menunggu peraturan pemerintah kelar. Bisnis ini, kata Syarif, sangat bergantung pada tekanan regulasi. "Tak bisa hanya berdasarkan sukarela. Tanpa peraturan, tak akan bisa jalan," ujarnya.

Soal teknologi pengolah sampah elektronik, menurut Utomo, tak ada masalah. Yang perlu dipikirkan justru masalah di hulu, yakni bagaimana proses pengumpulannya dan siapa yang akan mengongkosi proses pengolahan perkakas elektronik bekas ini. Jaringan pemulung yang sudah terbentuk tinggal dimanfaatkan.

Soal ongkos, bisa dipastikan konsumenlah yang membayar. Mekanismenya, mereka membayar ongkos itu kala membeli barang elektronik. Duit ini ditampung produsen elektronik dan dibayarkan ke perusahaan seperti Teknotama saat barang itu sudah menjadi sampah yang siap dibelah. Sebagian biaya ditutup dari penjualan hasil pengolahan sampah.

Sapto Pradityo, Kartika Candra
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/03/07/LIN/mbm.20110307.LIN136102.id.html


Soal Limbah Elektronik, Bergurulah ke Jepang!

Berbeda dengan jenis limbah lainnya, limbah dari produk elektronik bekas kerap dianggap tidak berguna dan sulit untuk didaur ulang. Namun, lain halnya di Jepang. Limbah jenis ini masih memiliki potensi untuk kembali dimanfaatkan.

Sejak 2001, pemerintah Jepang memang telah mewajibkan perusahaan elektronika yang ada di Negeri Matahari Terbit ini untuk mendaur ulang produk lama mereka. Produk-produk rumahan seperti televisi, kulkas dan mesin cuci yang sudah tidak terpakai disarankan untuk didaur-ulang demi kehidupan yang ramah lingkungan.


Hal seperti ini telah dilakukan oleh Panasonic Eco Technology Center atau PETEC di Kota Amagasaki, Jepang. Di pabrik mereka, produk-produk rumah tangga yang telah usang disulap menjadi plastik untuk membuat meja dan kursi atau gantungan baju. Bahkan, dijadikan campuran aspal untuk jalan raya.

Secara ekonomis, daur ulang sampah elektronik memang tidak murah. Selain padat modal, masyarakat Negeri Sakura juga harus membayar untuk barangnya yang mau didaur ulang dengan membeli voucher di toko serba ada terdekat. Namun, berkat dukungan yang kuat dari pemerintah dan kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, maka sistem seperti ini masih mampu untuk terus berjalan di Jepang hingga sekarang.

Alexander Wibisono
http://berita.liputan6.com/sosbud/201007/288939/Soal.Limbah.Elektronik.Bergurulah.ke.Jepang

Tuesday, March 22, 2011

Makhluk-makhluk Unik di Laut Putih Kawasan Arktik


Kekayaan laut di Laut Putih, sebuah wilayah laut Arktik di barat laut Rusia, ternyata sangat mengagumkan. Ilmuwan biologi kelautan Alexander Semenov berhasil mengabadikannya dengan kamera.


Ia berhasil menjepret kupu-kupu laut, jenis siput laut yang memiliki 2 bentukan semacam sayap yang tumbuh ke bawah. Hewan berwarna coklat kemerahan itu menggunakan struktur seperti sayap untuk membantunya berenang.


Semenov juga berhasil mengabadikan seekor cacing laut yang bergerak menggunakan bulu serta cacing laut yang bisa memproduksi cahaya. Jenis cacing laut terakhir ini tergolong dalam jenis cacing bersegmen, memiliki struktur serupa kaki yang membantunya bergerak.


Selain itu, ia juga menemukan hewan lunak tak bercangkang, hydrozoa, ikan malaikat dan ragworm. Yang terunik, ia menemukan hewan sebangsa udang berwarna merah muda yang tampaknya adalah seekor pejantan.


"Ini adalah tempat yang unik untuk para ahli biologi kelautan. Pertama kali saya menyelam, saya sungguh terkejut. Laut Putih menunjukkan dunia lain dengan aliennya sendiri, beberapa sangat mengagumkan," kata Semenov tentang Laut Putih seperti dilansir situs the Daily Mail.


Semenov mengatakan, kebanyakan makhluk di Laut Putih itu hanya dikenal oleh beberapa pakar biologi kelautan saja. Terletak di wilayah terpencil, beberapa makhluk bahkan tak bisa dilihat dengan mata telanjang karena sangat kecil ukurannya.


Laut Putih, tempat foto-foto Semenov diambil, merupakan sebuah wilayah terpencil yang hampir tak terjamah. Terletak di wilayah Atlantik utara, di wilayah ini para penyelam bisa melihat hingga kedalaman 40 meter.


Di dekat Laut Putih, Semenov mendirikan White Sea Biological Station. Berlokasi di desa terdekat, stasiun tersebut menjadi pusat penelitian sekaligus pendidikan. Salah satu tujuannya adalah mempelajari kekayaan biota di Laut Putih.


Penulis: Yunanto Wiji Utomo Editor: Tri Wahono


Sumber:
http://sains.kompas.com/read/2011/03/21/23260037/Dunia.Alien.di.Laut.Putih
http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-1367683/Marine-biologist-Alexander-Semenov-reveals-alien-world-deep-arctic-ice.html