Thursday, January 29, 2015

Perhatian pada Kasus BG

Yunus Husein, Kepala PPATK Periode 2002-2011.
 
Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan yang berjudul; “Kasus BG: Alat Bukti dan Tersangka,” yang ditulis oleh Prof Romli Atmasasmita pada KORAN SINDO, Jumat, 23 Januari 2015.

Tulisan Prof Romli cukup baik karena ditulis oleh seorang guru besar yang penuh pengalaman di dalam dan di luar kampus, termasuk pengalaman beliau di pemerintahan, khususnya di bidang hukum. Prof Romli mengungkapkan keprihatinannya perihal cara-cara penanganan kasus korupsi yang kental dengan muatan politis yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara yang arogan.

Berbagai cara pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dianggap dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa Timur yang dikenal dengan keluhuran budinya. Pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara melawan hukum.

Langkah KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan. Langkah ini dianggap bertentangan dengan semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat bangsa Indonesia.

Abraham Samad, Ketua KPK (Komisi Pemberantas Korupsi).

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan KPK berulang-ulang, penanganan kasus tindak pidana korupsi di KPK tidak ada yang bermuatan politis. Walau demikian, karena yang terkena sebagian besar memiliki kekuasaan atau kedudukan, memang dirasakan ada muatan politis dalam kasus yang ada. Kami menyadari penanganan kasus korupsi seringkali dilakukan dengan cara-cara pengumuman tersangka dalam suatu konferensi pers yang kadangkala mempermalukan tersangka dan keluarganya.

Ini dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi yang menggunakan prinsip naming and shaming, yakni menyebutkan nama orangnya dan mengumumkannya kepada publik secara transparan. Dengan cara ini, diharapkan ada penjeraan kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan korupsi. Dengan penanganan secara transparan ini, selain untuk akuntabilitas, juga dapat memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan pengawasan terhadap kasus tersebut.

Kiranya perlu dikaji kembali apakah penerapan prinsip naming and shaming ini lebih baik dilaksanakan sejak penyidikan atau setelah ada putusan pengadilan. Juga perlu diperhatikan bagaimana dampak penerapan prinsip ini sejak penyidikan terhadap keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Kasus BG dimulai dengan adanya Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung pada tahun 2010. Kemudian majalah Tempo edisi 28 Juni 2010 dengan judul; “Rekening Gendut Perwira Polri” memuat informasi mengenai aliran dana dan transaksi sejumlah perwira dan purnawirawan Polri yang sumber informasinya diindikasikan kuat berasal dari LHA tersebut.

Calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang dijadikan tersangka oleh KPK.

Dengan beredarnya substansi LHA tersebut, maka pada 30 Juni 2010 PPATK berkirim surat kepada Kepala Polri yang ditandatangani Wakil Kepala PPATK Prof Gunadi karena Kepala PPATK sedang dalam perjalanan dinas di luar negeri, yang intinya sangat menyesalkan dan sungguh prihatin dengan terjadinya kebocoran informasi.

PPATK juga meminta Kepala Polri melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal mula kebocoran LHA dan menindak tegas kepada pelakunya. PPATK juga meminta dilakukan tindakan segera untuk mengatasi kebocoran informasi tersebut dan memperbaiki mekanisme internal untuk mencegah kemungkinan terjadi pembocoran di masa mendatang.

Setelah kebocoran tersebut, saya sebagai Kepala PPATK ditemani Direktur Kerja Sama PPATK Brigadir Jenderal Polisi Tri Priyo mengadakan pertemuan dengan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi di Jakarta. Pada pertemuan tersebut, kami mempertanyakan masalah sumber kebocoran informasi yang berasal dari LHA PPATK.

Beliau menjawab; “Pak Yunus, kalau tidak membocorkan, tenang saja tidak perlu khawatir.” Lalu dari mana sumber kebocorannya? Menurut beliau, sumber kebocoran berasal dari perwira Polri yang kecewa karena tidak naik pangkat walau sudah dijanjikan oleh Kapolri. Perwira inilah yang memberikan informasi yang bersumber dari LHA kepada wartawan Tempo.

Siapa perwira yang membocorkan tersebut, saya tidak pernah tahu. Mungkin pembocor ini seorang yang sakit hati atau merasa kurang diperhatikan atau merasa disingkirkan. Ini pernah terjadi pada waktu kebocoran laporan pemeriksaan Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan RI pada 1999 yang mengindikasikan hilangnya uang sebesar Rp 300 miliar dari dana operasional surat izin mengemudi (SIM) dan praktik penyelewengan dana pengamanan Pemilihan Umum 1999 sebesar Rp 96,7 miliar rupiah (Tempo, 12 Maret 2000).

Save KPK dan Save POLRI, yang sempat menjadi trending topic dalam lini masa media sosial.

Semoga penjelasan ini bisa memperjelas duduk persoalan yang sebenarnya. Akhir-akhir ini hasil penyelidikan terhadap LHA PPATK tersebut disertai hasil investigasi wartawan dimuat pada beberapa media massa, seiring dengan pencalonan BG oleh Presiden sebagai calon tunggal Kepala Polri walau sebelumnya KPK dan PPATK tidak merekomendasikan BG sebagai calon menteri.

KPK juga menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai tersangka ini mengundang berbagai pertanyaan dan reaksi yang beragam. Sebagian menyatakan sah-sah saja KPK menetapkannya sebagai tersangka. Sebagian mempertanyakan kenapa KPK begitu lama menetapkan BG sebagai tersangka dan baru menetapkannya sekarang setelah BG dicalonkan sebagai calon tunggal Kepala Polri?

Mengapa rekening gendut milik perwira Polri lainnya tidak diselesaikan juga? Masalah timing dan cara mengumumkannya sebagai tersangka dianggap kurang tepat dan tidak etis karena menjadikan seorang calon Kepala Polri sebagai tersangka.

Ada yang berpendapat perbuatan KPK ini kurang menghargai Presiden Jokowi sebagai pejabat tertinggi dalam pemerintahan presidensial. Prof Romli berpendapat sikap KPK ini sama dengan melawan kebijakan Presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara yang bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara.

Abraham Samad, Jokowi, Budi Gunawan dan Megawati. Siapa yang paling kuat, dan siapa yang paling menentukan?

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010, sekarang ada empat macam produk PPATK yaitu LHA, LHP (hasil pemeriksaan), rekomendasi, dan informasi. LHA dan LHP ini biasa diberikan kepada penegak hukum. Dalam standar internasional LHA bukanlah alat bukti, baik bukti tertulis ataupun bukti surat.

LHA hanya merupakan petunjuk mengenai dugaan terjadinya tindak pidana, baik berupa tindak pidana asal dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). LHA dan dokumen lain yang berasal dari PPATK harus dirahasiakan oleh pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengatur dan pengawas industri jasa keuangan dengan ancaman hukuman paling lama empat tahun penjara.

LHA ini ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh penyidik yang menurut Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional, dan penyidik pajak. Selanjutnya penyidik melakukan penyelidikan untuk membuat jelas apakah tindak pidana asal atau TPPU sudah terjadi atau tidak. Apakah barang bukti dan alat-alat bukti sudah cukup untuk meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan dengan tersangka yang sudah bisa ditentukan atau belum.

Karikatur yang menggambarkan peranan Megawati yang mengusung Jokowi menuju tampuk kekuasaan RI-1 dalam Pilpres 2014 yang lalu.

Berdasarkan UU TPPU tersebut, KPK telah meminta beberapa LHA dari PPATK terkait kasus BG. Tampaknya KPK memerlukan waktu yang lama karena KPK melakukan penyelidikan yang hati-hati dan mendalam karena menyangkut seorang petinggi kepolisian dan kasusnya juga tidak sederhana.

Mungkin karena alasan itulah, penyelidikan kasus ini agak lama dan memakan waktu lebih dari setahun. Marilah kita tidak saling menyalahkan, tetapi berusaha selalu menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan dengan mempertimbangkan berbagai aspek atau kepentingan yang lebih luas. Kurangilah pernyataan yang tidak perlu atau sekedar mengecam.

Semoga kita mampu mencari jalan keluar terbaik terhadap masalah yang timbul sebagai akibat pencalonan BG sebagai Kepala Polri dengan secepat-cepatnya, namun dengan tetap mengutamakan kepentingan negara atau kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok atau partai.

Sehingga dengan demikian, kita dapat lebih efektif memberantas korupsi dan lebih fokus untuk membangun demi terciptanya Indonesia raya yang hebat dan jaya.

Yunus Husein,
Kepala PPATK Periode 2002-2011
KORAN SINDO, 26 Januari 2015

Kasus BG: Alat Bukti dan Tersangka

Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar (Emiritus) Universitas Padjadjaran.

Dinamika penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi di Indonesia kini dikuasai oleh pemberitaan pers dan media elektronik yang sangat transparan bahkan telanjang.

Pemberitaan pers tidak pernah setelanjang ini di negara-negara demokrasi dan penjunjung tinggi HAM mana pun. Kenyataan yang saya amati sejak kiprah KPK Jilid III terbukti bahwa pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara melanggar hukum.

Jargon pemiskinan koruptor disalahartikan bahkan disalahgunakan dengan dalih pencucian uang untuk mempermalukan dan membinasakan siapa pun yang ditetapkan sebagai koruptor oleh KPK. Siapa pun jika telah diduga atau ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, serta merta mereka menjadi “mayat hidup” alias zombie tanpa ada toleransi.

Bahkan melakukan reaksi atas perlakuan KPK otomatis dicap sebagai tidak antikorupsi. Bahkan sampai penasihat hukum tersangka korupsi diperlakukan sama dengan kliennya dengan dalih menghalang-halangi proses penyidikan. Berbagai cara untuk menjerakan dan memiskinkan tersangka korupsi oleh KPK telah dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa timur yang dikenal dengan keluhuran budinya sejak dulu.

Abraham Samad, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Bahkan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, sejarah mencatat ada pimpinan lembaga negara di luar konstitusi yang telah dengan gagah berani melawan kebijakan presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan antar lembaga negara.

Jika KPK sejak 2009 melakukan proses koordinasi dan supervisi dan mengambil alih kasus BG, tentu tidak harus menunggu sampai lima tahun lebih untuk menetapkannya sebagai tersangka tanpa harus berseberangan dengan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Langkah pimpinan KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara-cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antar lembaga ketatanegaraan.

Terlepas dari benar dan tidaknya perolehan alat bukti yang cukup sesuai KUHAP, tetap saja dalam pandangan penulis merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat hidup bangsa Indonesia. Sehebat apa pun lembaga yang sama di negara lain, juga termasuk di Hong Kong yang dikenal keberhasilannya, tidak ada satu langkah pun yang (berani) bertentangan dengan seorang gubernur Hong Kong, terutama sebelum masuk sebagai bagian dari pemerintahan China.

Langkah KPK terhadap BG merupakan langkah kedua kalinya setelah HP yang persis pada hari ulang tahun dan memasuki masa pensiun dinyatakan sebagai tersangka dan langkah kedua pula terhadap jenderal dari kepolisian. Masyarakat tentu bertanya-tanya apakah rekening gendut berdasarkan data PPATK tidak ada di kalangan pati instansi lain atau di kalangan kejaksaan dan pengadilan?

Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kapolri yang dijadikan tersangka oleh KPK.

Di sinilah dituntut kejujuran dan transparansi pimpinan PPATK dan KPK untuk secara konsisten dan konsekuen seperti terhadap institusi Polri. Jika negara tercinta ini mau dibereskan oleh PPATK dan KPK, saya dukung sepenuhnya tanpa ada tebang pilih lagi!

Hati nurani, adat istiadat, dan keluhuran budi sebagai orang Timur warisan nenek moyang kita kini sudah hancur lebur. Manusia tentu ada alpa dan ada sengaja. Itu telah menjadi fitrahnya sehingga jika kedua niat jahat tersebut dilakukan pasti ada akibat yang merugikan baik kepada individu lain, masyarakat, atau negara.

Penetapan tersangka dalam praktik yang sering dilakukan secara simbolik yang dibalut dengan hukum kini telah merupakan praktik yang menjurus kepada keharusan. Dan bukan sesuatu yang ditabukan karena cara-cara tersebut lebih populer dibandingkan dengan proses peradilan dengan prinsip “due process of law,” yang dianggap lamban.

Profil seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK secara simbolik dan kental muatan politis tersebut secara kasatmata telah dipertontonkan dan disertai arogansi. Sekalipun tersangka adalah pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun kepada bangsa dan negara dibandingkan (mungkin) pengabdian pimpinan KPK itu sendiri.

Gedung KPK diselubungi spanduk besar "PILIH YANG JUJUR", saat menjelang Pemilu 2014 yang lalu.

Kini pepatah, “hilang kemarau setahun dengan hujan satu hari,” tidak terbantahkan. Pangkat, jabatan, pengalaman, dan tanda jasa seketika sirna bak dimakan api yang mengganas baik terhadap diri maupun seluruh keluarganya. Apakah memang pola penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seperti ini yang dikehendaki oleh pendiri negara ini dan khususnya pembuat/penyusun UU Tipikor dan UU KPK?

Jawabannya tidak! Jika mau merenung dan meneliti secara jernih dan obyektif seluruh UU terkait dengan apa yang saya uraikan, termasuk UU Pers, tidak ada satu ketentuan pun di dalamnya yang bertujuan “menghabisi secara lahir dan batin pelaku kejahatan termasuk koruptor dan seluruh keluarganya” atau memiskinkan koruptor. Pola itu bahkan tidak juga tercantum di dalam TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 dan perubahannya.

Sebelum lima pimpinan KPK Jilid III lengser seharusnya masyarakat sipil juga mendorong agar mereka tidak tebang pilih. Jika meneliti Pasal 6 huruf a hingga e UU KPK, pertanyaan saya, apakah KPK telah melalui tahapan-tahapan sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut untuk berkoordinasi dan melakukan supervisi dalam mengambil alih kasus BG dari Polri?


Apakah LHA (Laporan Hasil Analisis) PPATK terkait BG Tahun 2004-2006 telah secara resmi dilimpahkan PPATK kepada KPK? Apakah ratione temporis kasus BG terhitung sejak LHA disampaikan PPATK kepada Polri juga merupakan kewenangan KPK berdasarkan UU TPPU Tahun 2002/2003 atau kewenangan Polri?

Informasi rekening gendut yang diberitakan dan berasal dari mantan pimpinan PPATK dan orang lain yang terkait sejatinya merupakan pelanggaran atas larangan penyebarluasan isi dokumen yang tercantum dalam Pasal 11 UU TPPU 2010, dengan ancaman empat tahun.

Penyidik Polri tanpa harus menunggu pengaduan seharusnya telah memeriksa mantan pimpinan PPATK dan pihak lain terkait pemberitaan tersebut. Apalagi kini tersebar luas dalam media sosial sejumlah rekening pati Polri.

Hukum harus ditegakkan dan berlaku sama kepada semua pihak, sekalipun langit akan runtuh!

Romli Atmasasmita,
Guru Besar (Emiritus) Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO, 23 Januari 2015

Monday, January 19, 2015

Charlie Hebdo dan Islam Yang Selalu Jadi Sasaran Fitnah Teroris


Kita tidak perlu mengalami serangan terbuka dengan senjata di saat damai untuk mengerti kejahatan terorisme. Kita, apapun agama dan latar kita, asalkan nalar kita sehat dan jiwa kita damai maka pasti terorisme kita kecam. Dilakukan oleh siapapun, untuk tujuan apapun terorisme membuat seluruh manusia merasakan kerugian.

Terorisme adalah pembunuhan tanpa dasar yang oleh Al-Quran dianggap sama dengan membunuh seluruh nyawa (QS 5:32). Terorisme bukan perang. Perang sekalipun ada hukumnya. Terorisme tidak ada hukumnya. Dalam perang, waktu mulai diumumkan, tentara dipersiapkan dan tentara hanya boleh membunuh tentara. Dalam perang, tentara tidak boleh membunuh jurnalis. Dalam perang tentara tidak boleh membunuh rakyat sipil. Perang di alam normal hanya bisa diumumkan oleh negara. Kelompok kecil tidak bisa mengumumkan perang. Maka apakah peristiwa serangan di Paris itu adalah perang? Saya katakan tidak! Itu terorisme.

Antara "Je Suis Charlie" dan "Je Suis Ahmed".

Maka dalam kerangka itu, kita semua sebagai bangsa beradab mengutuk tindakan penyerangan kepada kantor sebuah media. Maka sebagai bangsa beradab kita menyatakan simpati kepada korban dan keluarga yang ditinggal. Termasuk juga di antara korban meninggal, ada seorang muslim bernama Ahmed Merabet berumur 42 tahun. Ahmed terbunuh karena mengamankan sebuah kantor media yang saban hari memaki agama dan nabinya.

Setelah itu mari kita bertanya, apakah yang terjadi di Paris ini? Cukupkah pengertian kita tentang terorisme itu menjelaskan semuanya? Saya merasa lumayan bisa memahami secara rasional, tetapi terus terang banyak yang saya tidak mengerti.

Masih banyak persoalan yang harus di-"Iqra'!"

Pertama, kenapa Barat terus saja berjuang menisbatkan terorisme dengan Islam? Sebagai orang Islam, yang paling kita mengerti adalah bahwa kitalah orang-orang moderat akhir zaman. Dalam doktrin akidah Islam, justru agama ini diturunkan untuk mengobati ekstremisme manusia dan agama. Al-Quran dimulai dengan perintah membaca (Iqra’) karena hanya akal yang bikin nalar sehat. Orang bodoh (tidak pandang agama apapun), mudah menjadi tidak seimbang, marah, dan menjadi teroris. Karena itu, agama yang dimengerti dengan akal akan menjadi obat bagi siapapun termasuk Barat yang Sekular.

Menjadi ganjil bagi orang Islam jika secara terus menerus agama ini dijadikan sasaran fitnah (sebagai) teroris. Tidakkah Barat yang menganut prinsip kebebasan berpendapat dan kebebasan pers mengerti bahwa hal ini adalah masalah? Tapi seperti halnya kita bingung kalau ada pertanyaan “Islam yang mana?” Maka pertanyaan “Barat yang mana?” Juga membingungkan.

Iqra', iqra' dan iqra'! Baca, baca dan baca! dengan lebih seksama.

Siapakah yang paling bertanggung jawab menggunakan nama Islam untuk kegiatan terorisme? Dan siapakah yang paling bertanggung jawab mengasosiasikan tindakan terorisme kepada Islam? Sepertinya kita menghadapi dua kebodohan sekaligus atau kejahiliyahan yang memerlukan Iqra’. Pertama minoritas orang Barat yang tidak paham Islam dan kedua orang Islam yang juga tidak paham Islam.

Tentu ada banyak penjelasan yang lebih kompleks dari pertanyaan ini, tapi saya yakin inilah akarnya, marilah kita membaca kembali (Iqra’). Juga banyak hal yang perlu dipelajari tentang Eropa beserta latar belakang dan konteks dari peristiwa ini.

Hal kedua yang saya tidak bisa mengerti dapat dibaca dalam artikel berikut ini: Hebdo and Islam: Extreme dichotomies - Daily News Egypt (http://www.dailynewsegypt.com/2015/01/09/hebdo-islam-extreme-dichotomies/)

Presiden Jokowi seharusnya tidak tinggal diam.

Seharusnya Kita Bersuara
Sebetulnya Indonesia tidak boleh absen dalam perdebatan tentang Islam, Barat dan Terorisme. Sayang sekali Presiden kita diam. Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, harusnya beliau tampil mengajukan solusi. Karena kitalah yang paling tahu cara mengatasi “ekstremisme pemeluk agama” dan “terorisme kelompok bersenjata.” Sebagai negara Islam terbesar seharusnya solusi dan simpati datang dari kita. Kita harus bisa memukau Barat yang sedang bingung kenapa minoritas Islam, mereka anggap sebagai ancaman. Sudah saatnya Pancasila dan khazanah Islam kita mewarnai dunia tentang arah perdamaian dan persahabatan global. Dunia sedang kehilangan narasi, dan inilah narasi kita. Sukarno pernah memimpikan ini.

Saya membayangkan Presiden Indonesia berpidato di PBB dan membuat mata seluruh dunia terbelalak. Mereka berteriak: “Inilah jalan kita menyelesaikan konflik dan ketidakadilan di dunia selama ini!” Republik Indonesia membawa jalan keluar bagi dunia kita yang murung. Bisakah? Saya jawab “Kita Bisa!”

Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR RI 2014-2019
https://www.selasar.com/politik/charlie-hebdo-dan-islam-yang-selalu-jadi-sasaran-fitnah-teroris

Wednesday, January 14, 2015

Manusia Modern III: Waktu


Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah talk show TV terkenal yang digelar dalam rangka memperingati 10 tahun tsunami dan diselenggarakan di Aceh, Menteri Kelautan dan Perikanan ikut menjadi salah satu narasumber.

Dalam kesempatan itu narasumber yang lain mengomentari betapa hebatnya Aceh, yang dalam waktu 10 tahun pasca-tsunami sudah menggeliat bangun lagi ekonominya, bahkan jauh lebih bagus dari sebelum tsunami. Ditunjukkan dalam talk show itu, antara lain Kota Meulaboh di pantai Barat Aceh, yang dulu rata dengan tanah oleh tsunami, sekarang sudah menjadi kota yang ramai, banyak toko, dan betor (becak motor) berlalu lalang.

Tetapi ibu menteri, narasumber yang namanya Susi Pudjiastuti, sekilas saja ikut memuji perkembangan Aceh. Selanjutnya dia mengimbau kepada masyarakat agar mengurangi hobi ngerumpi di warung kopi dari tiga jam menjadi satu jam saja. Maksudnya, agar ngobrol sebentar saja, selebihnya waktu digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih produktif: kerja, kerja, kerja! Susi jelas bukan ustadzah, apalagi ulama.

Pendidikannya tergolong rendah, ijasah SMA pun dia tidak punya. Apalagi konon (saya sendiri belum pernah melihat) tubuhnya bertato (suatu hal yang sering diidentikkan dengan premanisme). Tetapi ucapannya benar sekali, bahkan ditegaskan oleh wahyu Allah dalam surat al-Ashr (Masa/Waktu). “Waktu” adalah hal yang dibagikan sama rata sama rasa oleh Tuhan kepada setiap orang.


Tidak peduli kaya atau miskin, berpendidikan atau buta huruf, pejabat atau rakyat, ulama atau umat, sakit atau sehat, semua kebagian waktu yang sama, yaitu 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun. Tinggal terserah kepada kita (manusia) masing-masing untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.

Makin banyak waktu kita manfaatkan untuk kemaslahatan orang-orang lain, ataupun untuk diri kita sendiri, semakin baik, dan pahalanya pun tidak usah menunggu sampai hari kiamat. Di dunia ini pun Allah akan membalaskan kerja kita dengan balasan yang kontan dan bisa dinikmati, baik oleh diri kita sendiri, maupun oleh masyarakat yang ikut merasakan manfaat dari kerja kita.

Beberapa hari sesudah talk show tersebut, tepatnya tanggal 28 Desember 2014, terjadi musibah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang diduga menewaskan seluruh penumpang dan awaknya. Terlepas dari drama dan tragedi yang pasti mengikuti setiap musibah, kecelakaan pesawat AirAsia kali ini menyuguhkan tontonan (di TV) betapa sekian banyak orang (termasuk yang tadinya tidak saling mengenal) bisa bekerja sangat kompak berkejaran dengan waktu.

Presiden Jokowi yang ketika musibah terjadi sedang di Papua, segera menggelar konferensi pers dan memerintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk menemukan pesawat yang hilang itu dan mengevakuasi korban secepat-cepatnya. Maka semua langsung bergerak! Basarnas sebagai pemimpin dan semua pihak terkoordinasi dengan sangat rapi.


Bantuan negara lain berdatangan dengan alat-alat dan personel. Helikopter terbang dan mendarat, kapal-kapal mencari korban di tengah laut yang bergolak, setelah lokasi jatuhnya pesawat ditemukan. Di pos-pos evakuasi, petugas bersama-sama berlarian membawa brankar, ada yang berseragam Basarnas, TNI, dan Polisi (sama sekali tidak terasa adanya isu pertikaian antar TNI-Polisi).

Dalam waktu tiga hari, Wali Kota Surabaya, Risma, hadir di Lanud Juanda Surabaya dan juga mendatangi rumah-rumah penumpang yang ditinggalkan semua penghuninya yang ikut dengan pesawat nahas itu. Rumah-rumah itu digembok dan disuruh jaga oleh Satpol PP. Di Kabupaten Belitung Timur, Bupati Basuri Tjahaja Purnama spontan menyiapkan sarana posko karena ada dugaan pesawat jatuh di sekitar situ.

Ketika korban mulai dievakuasi ke Pangkalan Bun, presiden menyempatkan diri untuk mengunjunginya dan dari situ langsung terbang ke Surabaya untuk bertemu langsung dengan keluarga korban. Bukan itu saja. Sebagian sejawat saya, psikolog-psikolog yang ada di Surabaya, melalui Himpunan Psikologi Indonesia cabang Jatim, langsung membuka meja-meja konseling di Lanud Juanda. Tidak ada yang menanyakan uang makan apalagi honorarium. Pokoknya: kerja!

Hasil kerja itu ternyata memang luar biasa. Dalam waktu tiga hari lokasi kecelakaan sudah ditemukan dan selanjutnya bantuan dan evakuasi bisa dilaksanakan. Pujian dari luar negeri bermunculan, dan yang terpenting rasa puas dari keluarga korban sendiri di tengah duka mereka (inilah pahala langsung bagi para pekerja keras itu).


Tentu hal ini tidak akan terjadi jika dibentuk Pansus dulu, diseminarkan dulu, atau dibahas dulu dengan Panitia Anggaran DPR. Memang budaya Indonesia lebih cenderung kepada budaya oral atau lisan. Kita mahir sekali untuk berdebat, berdiskusi, berpantun, berseloka, berdendang atau mendongeng, tetapi kurang cekatan kalau disuruh kerja.

Waktu bisa dibuang-buang untuk kebiasaan oral ini. Saya lihat sendiri di Banda Aceh (dua minggu dan dua tahun pasca-tsunami ketika saya kesana) warung-warung kopi buka seharian sampai malam, dan selalu penuh dengan orang yang mengobrol sambil minum kopi. Bahkan, mungkin lebih dari tiga jam. Konon para elite Aceh juga mengobrol di warung-warung kopi itu.

Tetapi kata kawan-kawan saya yang belakangan ini sering mondar-mandir ke Aceh, jalan-jalan raya di Aceh sekarang mulus-mulus, dibeton, bukan seperti yang dulu jamannya DOM (daerah operasi militer). Jadi siapa yang membangun prasarana itu? Jelas orang-orang yang senang bekerja demi waktu, karena tidak bisa orang membangun sesuatu sambil ngobrol .... Ya kan?

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 11 Januari 2015