Friday, December 26, 2014

Dari Rawa Mangun ke Pintu Besi

Kawasan stasiun Jakarta Kota yang masih nampak asri, sekitar tahun 1970-an.

Saya kira semua orang Jakarta tahu Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Rawa Badak, dan Rawa Bangke. Juga Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung, dan Pintu Besi. Terus Pasar Ikan, Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat.

Juga Pulomas, Pulogebang, Pulosari, Pulogadung, atau Tanah Abang, Tanah Merah, Tanah Kusir. Masih ada lagi, Kampung Jawa, Kampung Ambon, dan seterusnya. Juga banyak di antara kita yang tahu bahwa semua nama itu dibuat sejak dulu, yaitu oleh pemerintah kolonial Belanda. Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa nama-nama itu diberikan dengan maksud untuk memberi tanda geografis pada daerah-daerah yang dimaksud.

Yang judulnya “rawa” dulunya pasti daerah rawa-rawa, jadi nggak heran kalau sekarang jadinya rawan banjir. Yang namanya “pulo” atau “tanah” berarti berpermukaan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Jadi teorinya, kalau mau beli rumah, jangan pilih daerah dengan nama “rawa”, tetapi pilih yang namanya berawal dengan “pulo” atau “tanah”.

Jakarta ketika masih ada becak, oplet dan bus tingkat.

Tetapi sekarang karena perubahan tekstur geografis, banyak pulo dan tanah yang kebanjiran, sedangkan daerah rawa justru bebas banjir karena sudah ditinggikan oleh pengembang (dengan mengorbankan daerah lain yang kemudian jadi banjir). Pasar Ikan dan Pasar Senen (dulu bukanya setiap Senin saja) masih ada sampai hari ini, tetapi kalau dengar Pasar Rebo sekarang, asosiasi kita adalah terminal bus antarkota, dan Pasar Jumat adalah sekolah kepolisian.

Pal dan Pintu artinya adalah batas kota. Pal Sigunung adalah batas kota paling selatan dari Batavia, persisnya di jalan raya Jakarta-Bogor, yang sekarang ada Universitas Krisna Dwipayana, yang berseberangan dengan Panti Asuhan Muslimin. Pintu Besi di daerah Jakarta Kota, adalah batas kota pertama ketika Batavia belum meluas ke arah selatan. Pintu Air, di Pasar Baru, bukan batas kota, melainkan benar-benar tempat pintu bendungan untuk mengatur air ke kanal buatan yang mengalir di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada.

Kawasan bunderan HI yang masih terlihat sepi.

Pada zaman dulu, dalam wilayah-wilayah yang dibatasi oleh pal atau pintu hanya boleh tinggal orang-orang Belanda. Rumah-rumahnya pun bagus-bagus dan besar-besar, seperti yang sampai hari ini masih bisa dilihat di daerah Menteng, Jakarta Pusat (sayang sudah mulai banyak yang jadi pertokoan, apartemen, bahkan rumah sakit).

Orang-orang pribumi disediakan tempat sendiri di kampung-kampung yang diberi nama sesuai dengan etnik yang menghuni kampung-kampung tersebut, seperti Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Kampung Jawa. Pribumi yang boleh tinggal di dalam batas-batas pal hanya yang bekerja untuk melayani atau memasok kebutuhan orang Belanda. Kebon Sirih, misalnya, adalah tempat petani pribumi menanam sayuran untuk para sinyo-sinyo dan nyonya-nyonya atau noni-noni Belanda di daerah Menteng.

Tugu Pancoran ketika belum dibangun jalan layang.

Saya sendiri baru tahu informasi yang menarik tentang lingkungan Jakarta ini ketika pada suatu hari Minggu, teman saya di majelis taklim Masjid al-Irfan, Kompleks Perumahan Dosen UI (Pak Djamang Ludiro, pakar geografi) mendapat giliran berbagi (bahasa agamanya: taushiyah) dan mengangkat isu lingkungan sebagai topiknya dalam pengajian rutin bakda subuh hari itu.

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir tentang masalah yang sebenarnya sangat krusial itu. Saya termasuk rombongan dosen UI yang di tahun 1975 mendapat rumah dinas di Ciputat, pas di tepi Situ (artinya: danau kecil) Gintung yang asri. Waktu itu belum ada apa-apa di Ciputat. Belum ada listrik, apalagi telepon, dan baru ada jalan tikus lewat Pondok Pinang, ke Kebayoran Lama, tembus Kebayoran Baru. Baru dari situ masuk kota Jakarta.

Aldiron Plaza, Pintu Air, Pasar Senen, dan kawasan Blok M.

Kalau saya harus membeli sendiri rumah pada waktu itu, saya tidak akan memilih lokasi tempat “jin buang anak” itu. Tetapi Ciputat sekarang sudah jadi kota satelitnya Jakarta yang berkembang sangat pesat. Sayangnya, kita-kita ini (termasuk saya sebelum tahu) tidak berpikir tentang relevansi nama-nama tempat itu. Sekarang dengan sesuka hati nama-nama asli jalan-jalan di Jakarta diganti dengan nama-nama pahlawan.

Saya tidak tahu apa nama Jalan Diponegoro dan Jalan Imam Bonjol pada zaman Belanda, tetapi yang jelas kedua pahlawan itu tidak pernah tinggal di jalan-jalan yang sekarang menyandang nama mereka. Di Jatinegara ada Kelurahan Rawa Bunga yang dulunya bernama Rawa Bangke, suatu nama yang diambil dari peristiwa tahun 1813, dimana ratusan tentara Inggris dibantai oleh tentara Prancis dan Belanda yang menyerbu Pulau Jawa.

Bus kota tingkat warna merah sedang melintas di kawasan Semanggi yang masih terlihat sepi, tidak ruwet dan macet.

Tetapi hari ini hampir tidak ada yang ingat lagi tentang sejarah Rawa Bangke. Jadi kelihatannya orang Indonesia, terutama sejak pertumbuhan perekonomian yang pesat di zamannya Orde Baru, tidak peduli lagi dengan makna tempat-tempat. Maka bangunan-bangunan bersejarah pun dirombak jadi supermarket dan mal.

Karena itu, lambat laun hilang juga budaya asli Indonesia. Kesenian Keroncong Toegoe, yang berawal dari kesenian lokal di Kampung Toegoe, yang kemudian menjadi cikal-bakal kesenian musik Betawi, sekarang hampir punah, karena komunitas asli di Kampoeng Toegoe, Jakarta Utara sudah tidak ada lagi. Bahkan, komunitas Betawi pun sekarang sudah makin tergeser ke wilayah pinggiran.

Jakarta tempo dulu ketika masih ada trem, kereta api kuno dan masih banyak orang bersepeda dan becak.

Makin hari makin sedikit tempat buat kehidupan kebudayaan lokal Betawi. Zaman sekarang susah sekali mencari roti berbentuk buaya, padahal dulu roti itu menjadi persyaratan pada setiap perkawinan adat Betawi. Begitu juga wayang Purwa (Jawa, Sunda), wayang Potehi (peranakan Tionghoa), tari Gandrung (Banyuwangi), dan masih banyak yang lain.

Satu per satu terancam punah, karena tempat kesenian dan kebudayaan itu bermukim dan bertumbuh kembang, sudah tidak ada lagi. Satu per satu komunitas-komunitas lahan budaya itu bubar, digantikan oleh budaya ultramodern atau digusur oleh budaya religi yang kaku (tidak toleran) atau bahkan ideologi ultrakanan (radikal) yang keras dan sempit wawasan.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 7 Desember 2014

Saturday, December 20, 2014

Literasi Sebagai Budaya Mencerdaskan Bangsa


Definisi literasi
Genre, wacana, literasi, teks, dan konteks, saat ini menjadi bahan perbincangan di kalangan guru. Dan dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan pada zamannya. Jika dahulu definisi literasi adalah sekedar kemampuan membaca dan menulis, pada zaman sekarang ini, literasi adalah praktik kultural yang mencakup dan berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.

Definisi baru dari literasi menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan proses pembelajarannya. Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan lain sebagainya. Hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat yang demokratis dapat diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi beraneka ragam informasi (utamanya teks).

Dalam perkembangannya literasi terus berevolusi, makna dan rujukannya semakin meluas dan kompleks. Sementara itu rujukan linguistik dan sastra relatif konstan. Literasi memiliki tujuh dimensi yang berurusan dengan penggunaan bahasa.


Pertama, dimensi geografis, yang meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial.

Kedua, dimensi bidang, yang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa di bidang-bidang tersebut.

Ketiga, dimensi keterampilan, yang meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu yang dapat dilihat dari tampak dan semaraknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga keterampilan dasar yang lazim diutamakan, yakni: reading, writing, dan arithmetic.

Keempat, dimensi fungsi. Yakni fungsi literasi untuk memecahkan persoalan, memenuhi persyaratan dalam upaya mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan meningkatkan kapasitas pribadi dan potensi diri.

Kelima, dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Seiring dan sejalan dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi.

Keenam, dimensi jumlah (kuantitas). Kemampuan yang berkaitan dengan jumlah (kuantitas) ini tumbuh dan berkembang karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi. Karena seperti halnya kemampuan berkomunikasi pada umumnya, kemampuan literasi yang berkaitan dengan jumlah, juga bersifat relatif.

Ketujuh, dimensi bahasa (etnis, lokal, internasional). Proses literasi yang terjadi bisa singular maupun plural. Hal inilah yang menjadikan literasi bisa merupakan proses monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang mampu menulis dan berlitersi dengan bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia disebut seseorang yang berkemampuan multilingual.


Bicara tentang literasi multilingual tentu erat kaitannya dengan pembelajaran bahasa asing. Apabila dilihat dari metode dan pendekatannya, ada lima kelompok besar dalam pengajaran bahasa asing.

Pertama, pendekatan struktural dengan grammar translation methods. Penekanannya adalah pada pemahaman mengenai bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa. Kelemahan dari metode ini adalah bahwa, pendekatan model ini tidak menjamin siswa menjadi mampu menganalisis bahasa dalam konteks persoalan sosial, seperti bahasa iklan, dan lain sebagainya.

Kedua, pendekatan audiolingual atau dengar-ucap. Metode ini menggunakan dialog-dialog saat terjadi komunikasi secara spontan. Kelemahan dari metode ini adalah kurangnya memberi ruang terhadap variasi ujaran (dialek, slang dll.) sehingga kurang berfungsi secara maksimal.

Ketiga, pendekatan kognitif dan transformatif. Metode ini berorientasi pada pembangkitan potensi berbahasa siswa sesuai dengan kebutuhan lingkungan hidupnya.

Keempat, pendekatan communicative competence. Pengajaran bahasa ini menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas hingga komunikasi spontan atau alami.

Kelima, pendekatan literasi atau pendekatan genre-based. Tujuan pembelajaran model terakhir ini adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai konteks komunikasi dalam arti yang luas.


Budaya Literasi
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung makna jamak, atau beragam arti (multi literacies). Ada beraneka macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy).

Seseorang dikatakan sudah “literat” (kebalikan dari illiterat), jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya (yang tepat) terhadap isi bacaan tersebut.

Data dari Association For the Educational Achievement (AFEA), mencatat bahwa pada tahun 1992, Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua terbawah.

Secara umum ada tiga kategori besar masyarakat Indonesia, yakni praliterasi, literasi dan posliterasi.


Masyarakat praliterasi. Yakni masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan dan masih mengalami kesulitan dalam mengakses media, seperti buku, TV, internet dan lain-lain. Kalaupun mereka dapat mengakses, tetapi mereka tidak bisa mencernanya dengan mudah.

Masyarakat literasi. Yakni masyarakat yang sudah memiliki akses terhadap buku atau sumber-sumber bacaan secara umum. Namun demikian, tidak berarti tradisi baca-tulis, serta merta dapat tumbuh subur di kalangan masyarakat literasi ini.

Masyarakat posliterasi. Yakni masyarakat yang memiliki akses yang luas dan variatif kepada buku dan sumber-sumber bacaan yang lain, serta akses yang mudah dan melimpah pada teknologi informasi dan audio visual.

Perbandingannya dengan kondisi masyarakat kita saat ini barangkali tidak berbeda jauh, jika melihat indikator yang ada. Namun suatu tingkat literasi yang sangat ironis adalah fakta dan kenyataan yang terjadi, bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.


Sebuah survey dari Program for International Students Assessment (PISA), ketika pertama kali ikut serta dalam survey pada tahun 1997, tentang budaya literasi, Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang berpartisipasi. Selanjutnya pada tahun 2000 dalam survey yang sama, Indonesia malah menempati peringkat 64 dari 65 negara partisipan.

Survey tersebut sudah cukup menjelaskan kurangnya budaya literasi di Indonesia, bahkan kita kalah tingkat literasinya dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain sekalipun dengan Vietnam, misalnya, negara yang jauh lebih muda usianya dibandingkan Indonesia.

Karena itu, penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin Indonesia menjadi bangsa yang besar, apabila kita hanya mengandalkan budaya oral (tradisi lisan) yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi. Namun sayangnya, saat ini disinyalir tingkat literasi khususnya di kalangan siswa sekolah semakin tidak diminati (tak dipedulikan). Apakah hal ini menunjukkan ketidakmampuan kita dalam mengelola sistem pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa? Karena itulah, sudah saatnya budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak-anak kita bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis dengan lebih baik.

Ada sepuluh gagasan kunci tentang literasi yang menunujukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini yaitu, ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relatif, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia (internasional), warga masyarakat demokratis, keragaman lokal dan hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa Inggris ragam dunia (multiple Englishes), kemampuan berpikir kritis dan masyarakat semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda, kode, struktur, dan komunikasi.

Jadi dengan kesepuluh gagasan kunci ini, yang berkaitan dengan hal ihwal literasi, seseorang diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas membaca dan menulisnya sehingga mampu menemukan suatu makna –baik baru maupun tersembunyi– dalam suatu teks yang tidak terlepas dari konteksnya.

Jangan malu untuk belajar pada kehidupan semut.

Dalam pendidikan bahasa yang baik seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip literasi sebagai berikut:

1) literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara lisan maupun tertulis.
3) literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4) literasi mencerminkan penguasaan dan apresiasi budaya dan peradaban manusia.
5) literasi adalah kegiatan refleksi (diri) untuk membangun dan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang (capacity building).
6) literasi adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi. Sudah dijelaskan pula bahwa berbaca-tulis ibarat kakak-adik (saudara kandung) yang tak terpisahkan.
7) literasi adalah kegiatan untuk melakukan interpretasi dan atau penafsiran. Seperti halnya para penafsir al-Quran (Kitab Suci) yang telah menghasilkan beraneka ragam bentuk tafsir sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing, baik tafsir al-Maraghi, tafsir Jalalain, tafsir Ibnu Katsir, dan lain sebagainya. Semua para mufasir ini melakukan penginterpretasian secara khusus yang merujuk dan berkaitan erat dengan latar belakang pendidikannya, masyarakatnya, bangsanya, negaranya, etnisnya dll.

Kesimpulan
Jadi dapat saya simpulkan bahwa, rekayasa literasi adalah suatu jalan menuju pada suatu perubahan dan peningkatan literasi anak bangsa dengan metode dan teknik pengajaran literasi yang mencerdaskan. Dan bahwa dalam pembengkelan bahasa (utamanya baca-tulis) dibutuhkan yang namanya keterampilan berbahasa, yang dimulai dari bahasa ibu, kemudian bahasa nasional (Indonesia), dan selanjutnya bahasa asing.

Sumber:
https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/
dengan editing seperlunya.

Yang sedang menjadi trending topics dan populer belum tentu baik dan bermanfaat.

Sejarah Literasi Media
Sejarah literasi media dimulai pada tahun 1964 saat UNESCO mengembangkan prototype model program pendidikan media yang hendak diterapkan di seluruh dunia. Pada waktu itu, baru dua Negara yang menaruh perhatian pada literasi media, yakni Inggris dan Australia. Kalangan pendidik di dua Negara itu menyarankan agar pelaksanaan pendidikan mampu menjangkau persoalan literasi media, “agar anak-anak remaja secara kritis melihat dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam media.

Pada tahun 1970-an, pendidikan media masuk ke dalam kurikulum di sekolah menengah di Negara-negara di Eropa dan Amerika Latin untuk membantu menghapuskan kesenjangan sosial akibat ketidaksetaraan akses terhadap informasi. Demikian pula di Afrika Selatan yang menyelenggarakan pendidikan media dengan tujuan untuk mendorong reformasi pendidikan.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an di Negara-negara Amerika Latin, literasi media pada awalnya hanya mendapat perhatian dari kalangan LSM dan tokoh-tokoh masyarakat. Literasi media pada masa itu lebih dipandang sebagai persoalan politik dan bukan persoalan pendidikan. Namun dalam perkembangannya kemudian, literasi media digunakan pula oleh para guru di sekolah dan tokoh-tokoh masyarakat yang lain. Sedangkan di Eropa, literasi media sejak awal telah dikembangkan melalui pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah.


Di negara Amerika Serikat, perhatian besar terhadap literasi media baru diberikan sejak tahun 1990, setelah diselenggarakan “National Conference Leadership on Media Education”. Setelah itu, ada 15 negara bagian yang memasukkan literasi media ke dalam kurikulum sekolah.

Intinya, literasi media merupakan salah satu upaya menjaring dan menskrening dampak negatif media massa, karena literasi media memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir kritis terhadap media dan pesan yang diusungnya.

Bacaan rujukan: Iriantara, Yosal. 2006. Model Pelatihan Literasi Media untuk Pembelajaran Khalayak Media Massa. Disertasi Doktor. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

©dilanovia 19062013
http://tulisandila.wordpress.com/2013/06/20/sejarah-literasi-media/

Friday, November 28, 2014

Berpikir Arif


Ketika terus-menerus menyaksikan di tayangan televisi bagaimana anggota-anggota DPR berperilaku, berseteru, dan membanting meja yang pasti bukan miliknya, orang-orang bertanya, “Apakah mereka tidak pada berpikir?”

Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa “ya” dan bisa “tidak”. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak berpikir. Bukankah mereka rata-rata punya pendapat, mengajukan opini, dan menawarkan ide tentang sesuatu atau keadaan, merasionalkan, membentuk serangkaian premis yang menjurus pada kesimpulan yang berargumen.

Semua itu adalah bukti-bukti valid dari adanya kegiatan berpikir. Lagi pula, mereka rata-rata adalah warga negara terpelajar, di antaranya ada lulusan jenjang S-3, bahkan pernah menjadi dosen.

Lebih terhormat mana antara anggota DPR dengan anggota AIPI ?

Brutal dan barbar
Apabila demikian, mengapa olah pikir mereka jadi begitu rupa hingga membuat DPR menjadi ajang keributan brutal, kalaupun bukan barbarisasi, dan akhirnya pecah menjadi dua kubu yang terpisah, saling menandingi. Ternyata dalam berpikir itu mereka telah melupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi pelaksanaan profesi politis mereka, yaitu bahwa mereka adalah wakil rakyat.

Protokol mengharuskan kita —termasuk presiden, wakil presiden, dan menteri— menyapa mereka dengan ucapan “yang terhormat”. Ini suatu keharusan yang tidak diberlakukan terhadap anggota-anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), padahal para ilmuwan itu merupakan tokoh-tokoh yang dianggap merupakan the best brains of the country.

Jadi, para anggota DPR perlu menyadari, dalam berpikir dan berbuat, bahwa mereka mewakili rakyat. Kesadaran ini, pada gilirannya, menuntut mereka berpikir lain daripada cara berpikir individual biasa. Hal inilah yang persis tidak mereka lakukan.

Mereka memang berpikir, tetapi tidak sebagaimana seharusnya berpikir seorang wakil rakyat. Seharusnya mereka perlakukan olah pikir itu sebagai respons terhadap aspirasi rakyat, yang berasal dari sanubari warga negara yang telah memilih mereka selaku wakilnya. La noblesse oblige!


Berpikir seperti yang diniscayakan itu dapat kiranya dikualifikasi sebagai berpikir arif, wise thinking. Hal ini ada dinarasikan di dalam Alkitab berupa cara berpikir Salomo, anak Daud. Pada suatu hari datang menghadap sang raja dua perempuan yang sama-sama mendaku seorang bayi sebagai anak kandungnya. Hakim-hakim di seluruh negeri tidak bisa dan tidak berani mengambil keputusan karena ketiadaan bukti. Lagi pula, peristiwa ini terjadi pada zaman sebelum Masehi ketika pengetahuan dan penelitian tentang DNA belum dikenal.

Setelah Salomo mendengar keterangan setiap ibu, katakanlah Ibu-A dan Ibu-B, dia memberi perintah untuk mengambilkan pedangnya. Sebagai keputusan perkara, dia akan membelah tubuh bayi menjadi dua dan setiap ibu akan mendapat sebagian untuk dibawa pulang. Adil, bukan?

Begitu mendengar keputusan sang raja, Ibu-A langsung menjerit dan bersujud menyembah Salomo. Perempuan ini bersumpah akan mengikhlaskan sang bayi diberikan kepada Ibu-B asalkan anak ini dibiarkan hidup. Mendengar ratapan dan permohonan Ibu-A, Salomo bersabda, “Ya, bayi ini akan dibiarkan hidup dan bawalah dia pulang bersamamu! Kamu adalah ibu sejati dari bayi ini.

Untuk bisa menerka dengan tepat siapa sebenarnya ibu dari bayi yang menjadi rebutan, demi pengambilan keputusan yang adil, dalam berpikir Salomo berusaha menyimpulkan dirinya seorang ibu, bukan seorang raja. Ketika menempatkan dirinya begitu, dia menyadari bahwa konsen pertama dan utama dari seorang ibu, di mana pun dan kapan pun, adalah supaya anaknya selamat, panjang umur.

Ilustrasi Raja Salomo (Solomon/Sulaiman) ketika harus menentukan siapakah ibu sebenarnya dari bayi yang diperebutkan?

Dengan berpikir begini, Salomo dapat menyerap cinta-kasih dan kepribadian seorang ibu sejati. Dengan kata lain, Salomo mampu membuat keputusan yang adil dan tepat karena dia menganggap olah pikir sebagai respons terhadap aspirasi ibu yang telah memercayai dia untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan harapan keadilan human. Begitulah kiranya jalannya proses pembentukan berpikir arif yang dinarasikan di dalam Alkitab.

Namun, melalui proses serupa, kita dapat membayangkan kemungkinan yang lain dari bentuk keputusan yang adil dan tepat seperti, misalnya, mengenai kebijakan keluarga berencana (KB).

Setelah menyerap pendapat sebagian warga yang menolak KB dengan alasan bahwa penetapan besar-kecilnya keluarga merupakan hak asasi manusia yang dibenarkan oleh kepercayaan religius, multiply yourself, dan kepasrahan pada takdir, ono dino ono upo, penguasa negeri justru bertekad melaksanakan kebijakan KB.

Sebab, apabila pendapat warga itu yang dibenarkan, demi popularitas politik, ia bisa menghambat usaha kesejahteraan umum dan menimbulkan beban ekstra kepada kelompok warga yang sudah tercerahkan dan pada bumi berdasarkan kondisi alami kontemporer.


Keluarga juga saksi
Maka, alangkah baiknya apabila para anggota DPR berusaha mengembangkan cara berpikir arif, tidak pernah lupa barang sedetik pun bahwa mereka adalah wakil-wakil rakyat. Mereka bisa saja terus bertingkah laku yang tidak terpuji di ruang sidang gedung parlemen, tidak peduli pada tanggapan reaktif rakyat yang sangat negatif, sebab mereka lebih bersandar kepada kehendak partai masing-masing, dibanding kepada rakyat. Namun asalkan mereka tahu bahwa yang menyaksikan proses barbarisasi itu tidak hanya masyarakat luas, tetapi juga sanak kerabat keluarga terdekat mereka sendiri, yaitu istri atau suami, dan anak serta cucu mereka. Pernahkah mereka berkonsultasi pada bisikan jujur hati nurani keluarga terdekatnya masing-masing?

Atau keluarga terdekat tersebut juga sudah tidak peduli lagi pada bisikan hati nuraninya karena desakan realitas kehidupan. Buat mereka, yang penting ada rumah berfasilitas memuaskan, ada kendaraan, makanan terjamin karena bergaji lumayan, dan sesekali bisa gratis bepergian menemani suami atau istri berstudi banding ke mana saja, di dalam atau, lebih-lebih, ke luar negeri.

Apabila keadaan mental para politikus, tokoh-tokoh parpol, serta keluarganya memang sudah separah itu, Ibu Pertiwi pasti berurai air mata. Sesudah 69 tahun kita merdeka, kok keadaan masih begitu memprihatinkan? Dia tetap tertatih-tatih seorang diri, tanpa panduan, dalam kondisi semakin tua.

Padahal, pada setiap upacara resmi, termasuk seremoni pengambilan sumpah wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, himne nasional “Indonesia Raya” selalu dinyanyikan. Rupanya bait “... di sanalah aku berdiri menjadi pandu ibuku ...,” hanya berupa bunyi di mulut, bukan berasal dari nurani dan spirit kebangsaan.

Ibu Pertiwi pantas menangis. Biarkan dia tidak menyeka air matanya dengan ujung kebayanya yang sudah kumal. Sebab, hanya dengan mata yang basah, jiwa masih berpeluang melihat pelangi. Had the eyes no tears, the soul would have no rainbow.

Daoed Joesoef,
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 19 November 2014

Sunday, November 23, 2014

Logika Sosialisme


Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk, alamnya yang indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah lapangan golfnya yang memikat dan menantang.

Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya saya merasa dada sesak sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter datang ditemani tiga orang lain, lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis selesai, saya merasa nyaman kembali.

Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini gratis. Kami semata melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk tamu yang berkunjung ke sini. Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati saya.

Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa melayani kesehatan tamunya dengan baik. Kenangan yang sudah cukup lama itu muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu seorang teman yang berkarier sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang.


Dia merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China kepada para pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia. Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak.

Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu menciptakan lapangan kerja, berarti telah membantu meringankan tugas dan beban negara sehingga pemerintah wajib berterima kasih dan membantu kelancaran usahanya. Jika pemerintah pusat menerima laporan bahwa birokrasi layanannya mempersulit, langsung ditindak.

Ada cerita lain dari seorang teman yang memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Tahun 1998 ketika dilanda krisis keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan untuk menghemat biaya karena tamu sedang sepi. Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak boleh dimatikan.

Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di malam hari mesti gemerlap terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota yang mengurusi perhotelan, pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan menurun, sehingga manajemen mesti melakukan penghematan biaya.

Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa pengurangan pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak sampai keadaan kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun baca buku, tetapi mendengar langsung dari seorang teman.


Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara sangat berat. Terlebih China yang menamakan dirinya sebagai negara sosialisme-komunisme, negara memiliki peran dan tanggung jawab jauh lebih besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang menganut ideologi kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya.

Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses konvergensi antara narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin bergerak mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah kapitalisme.

Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi antara pertarungan dua narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik di Indonesia sangat mengecewakan.

Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan keluhan teman-teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit memperoleh izin, kecuali mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya sebagai dosen yang berstatus pegawai negeri sipil.

Alih-alih memberi kemudahan dan dorongan seperti cerita di atas, melainkan malah memeras. Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga beredar di kalangan pengusaha asing. Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal ketimbang barang impor, khususnya dari China.


Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada mazhab sosialisme yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong, bukan pasar bebas yang memberikan panggung kompetisi bebas bagi para aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga peran negara semakin lemah dalam melindungi pemain-pemain kecil.

Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara, negara sangat lemah dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil. Aktor-aktor besar sudah pasti yang selalu akan memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir karena pilihan rakyat untuk memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?

Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral. Pesan dan gerakan agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Jangan sampai pesan dan gerakan agama hanya sebatas untuk kepentingan komunal semata.

Komaruddin Hidayat,
Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah

KORAN SINDO, 14 November 2014

Sunday, November 9, 2014

Permainan Uang di Media-media Besar


Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad adalah menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO.

Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga kepada negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO. Apalagi, sebagai orang awam, saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata (plesetan) dari kosakata ‘Jelas’.

Jelas nggak nih acaranya?

Ada kejelasan nggak nih?

Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?


Kira-kira begitulah pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slang untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’.

Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi, jujur saja, sangat jijik dengan perilaku tersebut.

Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya sejak dulu, saya merasa lega.

Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang,” pikir saya.

Dulu, saya berpikir, media besar seperti TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain uang seperti itu.

Namun fakta berkata lain. Saya sempat tidak percaya karena begitu dibutakan oleh kekaguman saya pada kewartawanan Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya. Saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan lain-lainnya, terlibat dalam jejaring permainan uang. Namun rupanya benar adanya.

Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media kelas ‘Bodrek’ bermain uang dalam peliputannya, itu sudah biasa. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya uang receh belaka. Bukan the big money, bukan uang segunung.


Dan mafia-nya bukan disitu. Media-media kelas ‘Bodrek’ ini bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi, dan pemerintahan. Adalah media-media besar seperti TEMPO, KOMPAS, Detik, Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang para wartawan.

Siapa tak kenal Fajar (KOMPAS) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam mengatur permainan uang di kalangan wartawan perbankan?

Siapa tak kenal Kang Budi (Antara News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?

Siapa tak kenal duet Anto (Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang kuasa mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri?

Dan banyak lagi yang lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya kehilangan iman.

Adalah Bambang Harymurti (eks Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat Dewan Pers), juga salah seorang kepercayaan Goenawan Mohamad di grup TEMPO, yang menjadi kepala dari permainan uang di dalam grup TEMPO.


Siapa bilang TEMPO bersih?
Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham grup Bakrie, setelah TEMPO mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun 2008, yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu, lalu memborong saham Bakrie.

Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang saya sebut di atas.

Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman saya di Jawapos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawapos) adalah, gaji para wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen Jawapos menganjurkan para wartawannya untuk mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.

Gaya TEMPO berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior leluasa bermain proyek pemberitaan.

Media sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sudah saya sebut tadi, tidak bermain receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi, yang high-class. Mereka tidak dibayar per-berita-tayang seperti media kelas ecek-ecek. Mereka dibayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang.


Memangnya, ketika TEMPO membela Sri Mulyani begitu rupa, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?

Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Soerjadjaja, yang merupakan kompetitor bisnis Sukanto Tanoto?

Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinar Mas, lalu balik arah kembali membela Sinar Mas, tidak ada kucuran dana dari Sinar Mas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery?

Memangnya, ketika grup TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harymurti dengan Mustafa Abubakar? Bahkan saat itu, Bambang Harymurti adalah merupakan freelance staff khusus Menteri Mustafa Abubakar.

Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo, yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei, sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan kepada Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Karena ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data itu ke Agus Marto, yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa tambang Newmont. Agus Marto sepakat membayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup TEMPO-lah, yang kemudian bertindak sebagai gerbang pembuka data buruk tersebut kepada masyarakat dan kepada media-media lain, dapat berapa ya? Dan Lin Che Wei dapat berapa?

Rudi Rubiandini, Jero Wacik, dan Lin Che Wei.

Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena fanatisme saya yang begitu buta terhadap TEMPO, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seseorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan hanya fakta soal permainan uang mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa media-media besar bersama para wartawan lainnya, sudah lebih jauh terlibat dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan.

Mereka, media-media besar ini, tidak sekedar bermain uang receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi maupun transaksi korporasi kelas berat.

Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri ketika permainan uang dan jual beli pencitraan itu juga terjadi pada media tempat saya bekerja, yakni TEMPO. Dan dikepalai oleh Bambang Harymurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup.

TEMPO, kini tidak hanya bergerak di dalam internal TEMPO sendiri, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka. Dan semuanya masih di bawah kendali Bambang Harymurti.

Saya pribadi, akhirnya memutuskan untuk resign dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran TEMPO, dan kejorokan media-media di Indonesia, serta jijik melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.


Praktik mafia TEMPO kini semakin menjadi-jadi
Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari permainan kotor ala TEMPO.

Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah, yang kini bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri, Iskandar Tumbuan.

Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, Pak Iskandar pun pamit.

Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan TEMPO dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.

Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul bagaimana perilaku wartawan yang sebenarnya.

Sri Mulyani Indrawati.

Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya.

Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi ya, itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan memang tidak diizinkan untuk menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan, transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK, pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya.

Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari Kata-Data. Itu lho lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira Kata-Data murni bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya Kata-Data juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi Kata-Data menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya.

Rekomendasinya sih menarik, Kata-Data menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim Kata-Data juga sudah bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya.

Data-data yang ditampilkan Kata-Data memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama Kata-Data. Kalau tidak salah, waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya? Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia.


Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan Pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain Kata-Data juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.

Eeh, tahu-tahu Pak Iskandar bilang, gila, TEMPO makin jadi aja kelakuannya. Masak BHM (Bambang Harymurti) sampai menelepon langsung ke Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin), terkait proposal Kata-Data yang memang belum kita respon karena masih memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tahulah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan Kata-Data bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data itu akan dipublikasi, tentunya dengan cara TEMPO mempublikasi data dong, yang selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.

Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingatkan soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) grup TEMPO, dengan akan terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri) bersikeras untuk tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan dengan memberikan respon cepat terhadap proposal Kata-Data pun disampaikan kepada BHM (Bambang Harymurti),” ungkap dia.

Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO edisi 18 Agustus 2013, dengan judul: Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO telah membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila pihak Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia.

Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan ‘Kerah Putih’ dari jejaring TEMPO (Bambang Harymurti), Kata-Data (Metta Dharmasaputra, Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan pendana utama Kata-Data). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tahu kalau TEMPO sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia.


Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur, bahwa saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO, yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak KOMPAS, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan lain-lain.

Saya lega, sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO, maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Ternyata memang sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya sulit di luar organisasi tempat kita bekerja, tetapi juga sulit di dalam organisasi tempat kita bekerja.

Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karir kita akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring wartawan, dan media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup TEMPO telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan.

Kini, TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup TEMPO telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, di departemen-departemen dan sebagainya.

Saya sekarang bersyukur telah dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin kita ketika bekerja sebagai buruh biasa, seperti yang saya lakukan saat ini. Insya-Allah jauh dari dunia hitam.

Jilbab Hitam,
Mantan Wartawan Tempo/KCM/Kompasiana
Sumber : http://www.suaranews.com/2013/11/wow-mantan-wartawan-tempo-ungkap.html#ixzz3IRV96JId

Sunday, November 2, 2014

Janji-janji Jokowi


Inilah 66 janji manis Jokowi saat berlangsungnya kampanye Pilpres 2014 yang lalu. Mari kita kawal bersama dan kita catat agar mudah untuk mengingatkan manakala beliau lupa. Dan yang penting juga, mari kita bersama-sama mendoakan agar beliau berhasil memenuhi harapan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Seperti kita ketahui bersama, Jokowi - JK telah memenangkan Pilpres 2014 dan sekarang telah dilantik menjadi Presiden Indonesia yang ketujuh. Dan dalam kampanye yang digelar sejak bulan Juli 2014 yang lalu setidaknya dapat dicatat 66 janji yang terucap dari beliau.

1. Janji Jokowi-JK akan besarkan Pertamina sehingga bisa kalahkan Petronas (Malaysia) dalam tempo 5 Tahun.
http://finance.detik.com/read/2014/07/04/081943/2627515/1034/janji-jokowi-jk-besarkan-pertamina-kalahkan-petronas

2. Jokowi janjikan akan bangun 50.000 Puskesmas yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/09/jokowi-janjikan-bangun-50-ribu-puskesmas

3. Janji Jokowi untuk perbaiki ekonomi pertanian Indonesia melalui program swasembada pangan.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jokowi-perbaiki-ekonomi-indonesia-jika-jadi-presiden.html

4. Akan mendirikan Bank Tani dan secara bertahap akan mengurangi impor pangan.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jokowi-perbaiki-ekonomi-indonesia-jika-jadi-presiden.html


5. Jokowi berjanji akan tetap blusukan, walaupun sudah jadi Presiden.
http://news.detik.com/read/2014/08/03/143519/2651923/10/jokowi-janji-akan-tetap-blusukan-bila-jadi-presiden?9911012

6. Jokowi berjanji akan benahi kawasan Masjid Agung Banten.
https://id-id.facebook.com/notes/fesbuk-banten-news/jika-terpilih-menjadi-presiden-jokowi-janji-benahi-kawasan-masjid-agung-banten/10151943340196717

7. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan cetak 10.000.000 (10 juta) lapangan kerja.
http://bisnis.liputan6.com/read/2072282/jokowi-janji-cetak-10-juta-lapangan-kerja-jika-jadi-presiden

8. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan buka 3.000.000 (3 juta) lahan pertanian baru.
http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/muliakan-petani-jokowi-janji-buka-3-juta-lahan-pertanian-1

9. Jokowi berjanji akan membatasi bank-bank milik asing.
http://www.merdeka.com/pemilu-2014/janji-manis-prabowo-jokowi-saat-debat-soal-ekonomi/jokowi-janji-batasi-bank-asing.html

10. Jokowi berjanji akan membangun tol laut yang menghubungkan mulai dari Aceh hingga Papua.
http://pemilu.sindonews.com/read/870645/113/jokowi-jk-janji-upayakan-jalan-tol-laut-aceh-papua

11. Jokowi berjanji akan memberi berapapun untuk anggaran pendidikan.
http://www.merdeka.com/pemilu-2014/janji-manis-prabowo-jokowi-saat-debat-soal-ekonomi/jokowi-janji-beri-berapapun-anggaran-pendidikan.html


12. Jokowi berjanji untuk mengurangi impor pupuk, pestisida dan bibit pertanian.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jokowi-perbaiki-ekonomi-indonesia-jika-jadi-presiden/kurangi-impor-pupuk.html

13. Jokowi berjanji akan menghapus Ujian Nasional.
http://pemilu.metrotvnews.com/read/2014/06/10/251278/jokowi-janji-hapus-ujian-nasional

14. Bila jadi Presiden, Jokowi akan membangun e-government, e-budgeting, e-procurement, e-catalog, e-audit, yang akan dirampungkan secepatnya, kurang dari 2 minggu.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/3/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

15. Jokowi berjanji akan terbitkan Perpres Pemberantasan Korupsi.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/4/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

16. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/5/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

17. Janji Jokowi akan meningkatkan pembangunan infrastruktur seperti, pelabuhan, bandara, di wilayah Indonesia bagian timur.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/5/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

18. Akan memberikan dana Rp 1,4 miliar per desa setiap tahun.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/6/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk


19. Akan mengupayakan kepemilikan tanah pertanian untuk 4.500.000 (4,5 juta) kepala keluarga dan perbaikan irigasi untuk 3.000.000 (3 juta) hektar sawah.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/6/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

20. Akan membangun sedikitnya 100 sentra perikanan yang dilengkapi dengan lemari berpendingin.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/7/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

21. Akan membentuk bank khusus bagi para nelayan.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/7/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

22. Jika jadi Presiden, Jokowi akan menggunakan pesawat tanpa awak (drone) untuk mengcover wilayah lndonesia.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/8/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

23. Berjanji akan meningkatkan pemberian beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/9/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk

24. Akan mengalihkan penggunaan BBM (minyak)  ke BBG (gas) dalam waktu 3 tahun.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/07/23/121327/2645746/1562/10/revolusi-mental-dan-8-janji-jokowi-jk


25. Jokowi berjanji akan ‘menyulap’ KJS (Kartu Jakarta Sehat) dan KJP (Kartu Jakarta Pintar) menjadi Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/05/24/103257/2591407/1562/jokowi-janji-sulap-kjs-kjp-jadi-indonesia-sehat-dan-indonesia-pintar

26. Jokowi berjanji tidak akan bagi-bagi kursi (politik transaksional) menteri kepada partai pendukungnya.
http://m.merdeka.com/pemilu-2014/buka-koalisi-tapi-jokowi-tak-janji-bagi-bagi-kursi-menteri.html

27. Jokowi berjanji tak akan berada di bawah bayang-bayang Megawati.
http://www.solopos.com/2014/07/22/hasil-pilpres-2014-jokowi-janji-tak-berada-di-bawah-bayang-megawati-521083

28. Bila sudah jadi Presiden, Jokowi tetap akan membenahi Jakarta dari masalah macet, banjir, permukiman kumuh, dll.
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/05/08/2152423/.Jokowi.Akan.Membenahi.Jakarta.dengan.Cara.Lain.

29. Jokowi akan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina dan akan mendirikan KBRI di Palestina.
http://www.beritasatu.com/nasional/192571-jk-indonesia-siap-buka-kbri-di-palestina.html

30. Jokowi berjanji akan menetapkan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.
http://beta.antaranews.com/berita/441336/jokowi-janji-tetapkan-hari-santri-nasional-pada-1-muharam


31. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan mudah ditemui oleh warga Papua.
http://jkw4p.com/bila-jadi-presiden-jokowi-janji-warga-papua-akan-gampang-menemuinya/

32. Jokowi berjanji akan menurunkan harga sembako, meningkatkan kualitas dan kuantitas program raskin.
http://www.indopos.co.id/2014/06/kampanye-di-purwakarta-jokowi-janji-urus-outsourcing.html

33. Jokowi akan memperhatikan permasalahan outsourcing.
http://www.indopos.co.id/2014/06/kampanye-di-purwakarta-jokowi-janji-urus-outsourcing.html

34. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menghapus subsidi BBM.
http://finance.detik.com/read/2014/05/31/101625/2596038/1034/jokowi-mau-hapus-subsidi-bbm-prabowo-kurangi-subsidi-orang-kaya

35. Jokowi berjanji akan meningkatkan profesionalisme, menaikkan gaji dan kesejahteraan PNS, TNI dan Polri.
http://surabaya.bisnis.com/read/20140703/94/72739/inilah-9-janji-utama-jokowi-jk-jika-menang-pilpres-2014

36. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan, termasuk akan memberi subsidi Rp 1.000.000 (1 juta) per bulan untuk keluarga pra sejahtera sepanjang pertumbuhan ekonomi di atas 7 %.
http://surabaya.bisnis.com/read/20140703/94/72739/inilah-9-janji-utama-jokowi-jk-jika-menang-pilpres-2014


37. Jokowi berjanji akan mengadakan perbaikan setidaknya 5.000 pasar tradisional dan akan membangun pusat pelelangan, penyimpanan dan pengolahan ikan.
http://surabaya.bisnis.com/read/20140703/94/72739/inilah-9-janji-utama-jokowi-jk-jika-menang-pilpres-2014

38. Jokowi berjanji akan membantu meningkatkan mutu pendidikan pesantren guna meningkatkan kualitas pendidikan nasional dan akan meningkatkan kesejahteraan guru-guru pesantren sebagai bagian dari komponen pendidik bangsa.
http://surabaya.bisnis.com/read/20140703/94/72739/inilah-9-janji-utama-jokowi-jk-jika-menang-pilpres-2014

39. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan berbicara terkait kasus BLBI.
http://www.jpnn.com/read/2014/07/17/246771/Jokowi-Janji-Bicara-Kasus-BLBI-jika-Jadi-Presiden-

40. Jokowi berjanji akan memperkuat KPK dengan meningkatkan anggarannya hingga 10 kali lipat, menambah jumlah penyidik KPK, serta membuat regulasi.
http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2069113/jokowi-janji-tingkatkan-anggaran-kpk-10-kali-lipat

41. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menghentikan impor daging dalam tempo 5-6 tahun.
http://pemilu.metrotvnews.com/read/2014/07/06/261741/jokowi-jk-janji-hentikan-impor-daging-dalam-5-6-tahun

42. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor pertanian, perikanan, dan manufaktur.
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/512458-debat-capres-kedua%E2%80%93janji-siapa-paling-realistis-


43. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan meningkatkan pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik, irigasi, dan pelabuhan.
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/512458-debat-capres-kedua%E2%80%93janji-siapa-paling-realistis-

44. Jokowi berjanji akan meningkatkan anggaran pertahanan hingga 3 kali lipat.
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/22/2225457/Jokowi.Janji.Tingkatkan.3.Kali.Lipat.Anggaran.Pertahanan

45. Jokowi berjanji akan meningkatkan kualitas pendidikan melalui pembenahan tenaga pengajar sehingga mempunyai kemampuan merata di seluruh nusantara.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jusuf-kalla-di-pengembangan-sdm-dan-iptek.html

46. Jika jadi Presiden, Jokowi akan pilih Mendikbud dari PGRI.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/01/231136/2596646/1562/jokowi-pilih-mendikbud-dari-pgri-jika-jadi-presiden

47. Jokowi berjanji akan memberikan gaji yang besar bagi para ahli asal Indonesia.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jusuf-kalla-di-pengembangan-sdm-dan-iptek/berikan-gaji-besar-bagi-para-ahli-asal-indonesia.html

48. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menaikkan gaji guru.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jusuf-kalla-di-pengembangan-sdm-dan-iptek/jk-janji-kerja-cepat-naikkan-gaji-guru.html


49. Jika terpilih, Jokowi-JK berjanji akan merealisasikan program sekolah gratis.
http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jusuf-kalla-di-pengembangan-sdm-dan-iptek/sekolah-gratis.html

50. Jokowi berjanji akan menangani kabut asap di Riau.
http://m.koran-sindo.com/node/393930

51. Jokowi berjanji akan membeli kembali Indosat yang telah dijual di era Presiden Megawati.
http://www.solopos.com/2014/06/22/debat-capres-2014-jokowi-janji-beli-kembali-indosat-514768

52. Jokowi berjanji akan membangun industri maritim yang kuat.
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/22/269595079/Jokowi-Pilih-Pidato-di-Kapal-untuk-Bangun-Maritim

53. Jokowi berjanji akan menyederhanakan regulasi perikanan.
http://dprd-tegalkota.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3066&Itemid=18

54. Jokowi berjanji akan mempermudah nelayan mendapatkan solar sebagai bahan bakar kapal dengan mendirikan SPBU khusus.
http://dprd-tegalkota.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3066&Itemid=18


55. Jokowi berjanji akan membuktikan janji-janji seperti yang tertuang dalam visi-misi.
http://www.koran-sindo.com/node/402621

56. Jika terpilih, Jokowi-JK berjanji akan menyejahterakan kehidupan petani.
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/03/269590217/Di-Bandung-Jokowi-Janji-Sejahterakan-Petani

57. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan mengelola persediaan pupuk dan menjaga harga tetap murah
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/03/269590217/Di-Bandung-Jokowi-Janji-Sejahterakan-Petani

58. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan membangun banyak bendungan dan irigasi.
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/03/269590217/Di-Bandung-Jokowi-Janji-Sejahterakan-Petani

59. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menyusun kabinet yang ramping dan diisi oleh profesional.
http://finance.detik.com/read/2014/07/23/064514/2645350/4/jokowi-harus-ingat-janji-susun-kabinet-ramping-dan-profesional

60. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu.
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/23/amnesty-international-jokowi-mesti-wujudkan-janji-janji-ham


61. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menjadikan perangkat desa jadi PNS secara bertahap.
http://www.solopos.com/2014/07/03/pilpres-2014-9-program-nyata-jokowi-janji-naikkan-kesejahteraan-pns-516971

62. Jokowi berjanji akan meningkatkan industri kreatif sebagai salah satu kunci kesejahteraan masyarakat.
http://compusiciannews.com/detail?idnews=1220#.U94B91V_vfI

63. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji cuma satu-dua jam saja di kantor, selebihnya akan bertemu rakyat.
http://politik.news.viva.co.id/news/read/513505-bila-jadi-presiden--joko-cuma-ingin-1-2-jam-di-kantor

64. Jika menang, Jokowi janjikan internet cepat.
http://www.kabar24..com/nasional/read/20140627/98/222330/pilpres-2014-jika-menang-jokowi-janjikan-internet-cepat

65. Jika jadi Presiden, Jokowi berjanji akan menyelesaikan masalah korban lumpur Lapindo.
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/30/078581138/Jokowi-Kontrak-Politik-dengan-Korban-PT-Lapindo

66. Jokowi berjanji akan mengusut kasus penculikan aktivis pada 1998.
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/05/269590563/Jokowi-Akan-Usut-Kasus-Penculikan-Aktivivis-1998


Jika dilihat kebelakang, janji kampanye Jokowi saat pilgub DKI Jakarta 2 tahun lalu, tercatat Jokowi sudah mengobral paling tidak 85 janji kepada rakyat selama kampanye. Setidaknya, ada 19 janji Jokowi yang gagal direalisasikan saat terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta dahulu seperti yang dimuat oleh situs resmi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tertanggal 24 September 2012.

Dalam situs itu dimuat hasil catatan dari Harian Terbit selama Jokowi berkampanye. Berikut ini dua diantaranya:
- Tidak memakai Voorijder untuk ikut merasakan kemacetan di Jakarta.
- Akan memimpin Jakarta selama lima tahun. Tidak akan menjadi kutu loncat dengan mengikuti Pilpres 2014 (Dalam jumpa pers di rumah Megawati Soekarnoputri, tanggal 20 September 2012).

19 Janji Jokowi sewaktu Pilgub DKI bisa dilihat melalui:
http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/03/15/n2h8sz-ingat-inilah-19-janji-jokowi-saat-pilgub-dki-2012

Empat sifat, jika seseorang memilikinya, maka dia termasuk golongan orang munafik. Pertama, jika berbicara dia berdusta, kedua, jika berjanji dia tidak menepati, ketiga, jika bersumpah dia khianat, keempat, jika bertikai dia melampaui batas. Barangsiapa yang terdapat salah satu dari sifat tersebut, maka dia memiliki sifat kemunafikan sampai dia meninggalkannya.
(HR. Bukhari, 3178 dan Muslim, 58)

Barangsiapa yang tidak menepati janji seorang muslim, maka dia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan.
(HR. Bukhari, 1870 dan Muslim, 1370)

Monday, October 27, 2014

Musang Berbulu Ayam


Setelah melihat tayangan televisi tentang detik-detik tingkah laku para politikus cum wakil rakyat ketika membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di DPR lama —dan terkait masalah krusial ini, telekonferensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang serba plin-plan, serta Sidang Paripurna DPR baru yang gegap gempita dalam suasana yang sama sekali tidak bermartabat— bulu tengkuk saya meremang. Betapa tidak. Saya tersentak baru saja menyaksikan kemungkinan sejenis gerak-lambat barbarisasi dari sejumlah polity, yang menyeringai di antara rezim kepolitikan buruk yang ada dan saat pencapaian tujuan barbariknya.

Apa yang sejatinya bisa diraih dengan moral seharusnya tidak dicapai melalui hukum. Namun, berhubung tunamoral, mereka menghabiskan energi dan waktu dengan bermoralisasi (moralizing), asyik mengutak-atik “moral” dan “moralizing” yang begitu berbeda bagai siang dan malam tanpa panduan filosofi Pancasila demi kekukuhan kekuasaan politiknya belaka yang diselimuti dalih “demi rakyat”.

Demokrasi: "Boom.... blast !!!"

Sabotase politik
Perkembangan proses barbarisasi ini mereka sebut dengan bangga sebagai “dinamika politik”. Padahal, hati kecil mereka, saya yakin, mengakui bahwa upaya dinamisasi itu hanya merupakan jegal-jegalan belaka.

Dengan kata lain, Koalisi Merah Putih (KMP) mencari apriori bertekad mencegah at all costs agar Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak bisa mewujudkan niat baiknya bagi Indonesia melalui kebijakan pemerintahan yang dipimpin pasangan pemenang Pemilu Presiden 2014, yang langsung telah dipilih oleh rakyat itu. Apakah upaya penjegalan apriori ini tidak bisa disebut suatu sabotase politik?

Polity dengan lembaga partai politiknya selama ini kiranya bukan mendidik kadernya menjadi negarawan, melainkan membiarkannya tumbuh dan berkembang menjadi makhluk “liar” dan “barbar”. Makhluk liar adalah orang yang secara membabi buta tunduk pada naluri, pada impuls, dan pada nafsunya; dia tidak peduli pada “baik” dan “buruk” yang dituntut oleh keadaan. Makhluk barbar, sebaiknya, adalah orang yang berprinsip dan berpengetahuan spesialistis; dia mengabaikan hal-hal yang diniscayakan dan bergerak langsung ke tujuan.

Sejujurnya, di luar komunitas politik, pada setiap era ada juga orang-orang seperti itu, bahkan lebih buruk lagi, di komunitas religius. Di situ orang tidak segan-segan menggunakan ayat ilahiah sebagai pelindung perbuatan yang justru berlawanan dengan perintah Tuhan.


Tunamoral, tunamalu
Politika adalah sebenarnya sebuah profesi yang serius, serba kompleks, berdedikasi tinggi, mengandung risiko serta, dan karena itu, cukup terpandang dan terhormat. Hal ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa kita yang dahulu berjuang tanpa pamrih pribadi melawan penjajah secara sistematis dari waktu ke waktu, yang kini kita peringati sebagai peristiwa yang merupakan “tonggak-tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional”.

Patriotisme yang dahulu mereka lakukan untuk Indonesia, tanah airnya, adalah perbuatan yang puluhan tahun kemudian dipujikan oleh John F Kennedy melalui ucapannya, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.

Di mana pun di muka bumi ini, orang memerlukan persiapan yang relevan untuk bisa diakui sebagai profesional. Untuk berprofesi sebagai kimiawan, misalnya, orang harus mempelajari ilmu kimia. Untuk menjadi pengacara/jaksa/hakim, orang perlu mempelajari ilmu hukum. Untuk menjadi dokter, orang harus belajar ilmu kedokteran lebih dahulu. Di Indonesia, kelihatannya, untuk menjadi politikus orang cukup mempelajari kepentingannya sendiri dan atau kepentingan partainya dan tunamalu, bahkan tunamoral.

Persiapan profesi politik yang jauh daripada ideal ini kiranya sudah diantisipasi oleh Bung Hatta. Tidak lama setelah kembali ke Tanah Air, dia mendirikan PNI, bukan Partai Nasional Indonesia seperti yang telah dibentuk oleh Bung Karno, melainkan Pendidikan Nasional Indonesia, menggenapi tujuan pendidikan formal yang telah diusahakan Ki Hajar Dewantara. Bersama dengan Bung Sjahrir, dia mengorganisasi klub studi, pendidikan nonformal, yang berfungsi bagai kawah candradimuka penggemblengan para pemimpin politik mendatang.


Sebelum menjadi pemimpin rakyat, mereka harus bisa lebih dulu, menurut visi Bung Hatta, menata cara berpikir mereka sendiri. Melalui pembelajaran klub studi, mereka bukan dilatih untuk bisa lebih maju daripada orang-orang lain (menyombong), melainkan dibiasakan selalu mampu lebih maju daripada dirinya sendiri.

Cara pembinaan kader seperti itulah yang patut ditiru oleh parpol dewasa ini. Artinya, parpol perlu berusaha menerjunkan politikus ke arena politik bukan karena telah berjasa mencari dana bagi kas partai atau memenangkan ketua dalam pilpres/pilkada atau berhubung berada di garis keturunan dari trah person tertentu. Kader yang dijagokan itu seharusnya berdasarkan mutu pendidikan formal, kemampuan berpikir, kematangan bersikap, yang secara obyektif-profesional mengundang respek, bisa diakui kelebihannya, walaupun secara diam-diam, oleh pihak pesaingnya dari parpol lain.

Di Abad Pertengahan, Italia pernah dikuasai keluarga Borgias selama 30 tahun. Periode ini diwarnai oleh pertarungan berdarah, teror, pembunuhan, dan intimidasi. Namun, periode yang sama melahirkan pula Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan gerakan renaissance.

Bangsa Swiss mengalami kehidupan demokratis selama kira-kira 500 tahun. Selama itu mereka mengenal brotherly love and peace. Lalu, apa yang mereka hasilkan? Sistem pendidikan keilmuan yang mantap —Einstein remaja bersekolah di situ— dan jam antik ku-ku clock.



Memperkuat lapisan terdidik
Bangsa Indonesia sudah mengalami periode reformasi selama lebih kurang 20 tahun. Yang direformasi adalah gaya pemerintahan otoriter demi kelancaran pemerintahan demokratis, yaitu yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Apa yang dihasilkan oleh reformasi ini? Suatu barbarisasi, yang memang bergerak lambat tetapi pasti, dimotori oleh kepiawaian bersandiwara seorang presiden yang bakal lengser dan korps politikus yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai bagaimana menyenangkan rakyat tanpa memberikan apa yang mereka betul-betul perlukan —how to please people without giving what they really want. Mereka mendekati setiap subyek dengan mulut terbuka, bukan dengan pikiran dan hati terbuka.

Pergelaran sandiwara dari panggung politik DPR yang memuakkan itu menantang kesadaran rakyat akan hak-haknya yang dirampas begitu saja. Padahal, rakyat telah membiayai para aktor politik yang tampil keren dan cantik di panggung itu dan kelihatannya betul-betul menjiwai serta menikmati peran amoral masing-masing. Jadi, mereka bukan sekadar bersandiwara, melainkan telah main sungguhan dalam proses barbarisasi.

Barisan rakyat harus didukung, diperkuat, terutama oleh lapisannya yang terdidik, kaum intelektual. Di mana Anda berada? Sedang menyendiri di laboratorium atau bersemadi di perpustakaan atau berpesiar somewhere?

Kini masih jauh larut malam, namun sudah berkeliaran musang berbulu ayam.

Daoed Joesoef,
Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 10 Oktober 2014