Wednesday, April 28, 2010

Siaga Satu Jenderal Terlempar


Susno Duadji bergegas meninggalkan rumahnya di Puri Cinere, Depok, Selasa sore pekan lalu. Padahal baru dua jam sebelumnya, jenderal polisi berbintang tiga itu masuk rumah, untuk diwawancarai Tempo. "Ada pesan pendek dari anak buah saya di Mabes Polri: saya harus waspada satu," katanya. Setiap malam, tidurnya berpindah-pindah. "Saya takut di-Munir-kan," kata Susno, berbisik. Matanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Munir adalah aktivis hak asasi manusia yang tewas diracun pada 2004.

Tak hanya itu. Oleh istrinya, Susno kini dilarang minum kopi. Sebelum wawancara dimulai, dia sempat berbisik kepada pelayannya, minta dibuatkan segelas minuman barkafein itu. "Supaya tidak ngantuk," katanya. Tapi yang datang malah segelas besar teh hangat. "Kata Ibu tidak boleh," ujar si pembantu. Susno merengut, tapi kemudian mengakui, "Kesehatan saya memang agak drop," tuturnya.

Wajar kalau Susno susah tidur dan gelisah. Tudingannya tentang sepak terjang para makelar kasus di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri membuatnya berhadap-hadapan dengan banyak mantan koleganya. Pekan lalu, dua kali dia diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), sebelum akhirnya ditetapkan sebagai terperiksa. "Itu sama saja jadi tersangka," katanya, mendengus. "Buktikan dulu omongan saya tentang kasus ini," kata Susno. "Kalau tidak terbukti, saya akan sukarela masuk bui." Ketika dipanggil untuk ketiga kalinya akhir pekan lalu, Susno menolak hadir.


Tindak-tanduk Susno yang menantang membuat panas banyak jenderal. Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sempat berkeras tak mau menindaklanjuti laporan Susno soal dugaan makelar kasus dalam kasus pencucian uang oleh pegawai Direktorat Pajak, Gayus Tambunan. Bambang baru melunak setelah Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemuinya, Kamis pekan lalu. "Memang ada kejanggalan dalam penyidikan, ada sesuatu," katanya. Sebuah tim independen lalu dibentuk untuk menelusuri dugaan kongkalikong itu.

Aroma perseteruan antarperwira berbintang di markas polisi tercium keras. Banyak yang menduga pemberhentian Susno yang mendadak sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) pada November 2009 adalah pangkalnya.

"Saya tidak kecewa dicopot," kata pria kelahiran Pagar Alam, Palembang, 56 tahun lalu ini. Dia memang sempat menyepi ke kampung halaman, sehari setelah dia menerima telegram rahasia pemberhentiannya. Setelah lima hari di Palembang, Susno kembali ke Jakarta pada 30 November untuk upacara serah-terima jabatan. "Saya rela," katanya.

Mantan Kepala Polda (Kapolda) Jawa Barat ini mengaku baru terusik ketika Mabes Polri mempersoalkan kehadirannya di persidangan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Januari lalu. Ketika bersaksi di sana, Susno mengaku tidak tahu-menahu soal penyidikan Antasari. Dia menjelaskan kasus Antasari dikendalikan langsung oleh Kepala Polri.


Dua pekan kemudian, Susno muncul lagi. Kali ini di Senayan, menjadi saksi untuk Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat yang tengah menelisik kasus pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Di sana Susno lagi-lagi bikin berita. Dia meninggalkan dokumen yang menyatakan upaya polisi menyelidiki kasus Century tertunda karena salah satu pejabat yang bakal diperiksa adalah calon wakil presiden Boediono.

Melihat gelagat Susno mulai "liar", Mabes Polri pun bereaksi. Dia dipanggil Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk pertama kalinya, tiga bulan lalu. "Saat itulah saya mulai marah," kata Susno terus terang. Wajahnya mengeras. Berkali-kali dia menyebut "saya ini mantan Kabareskrim" atau "saya ini jenderal bintang tiga" dengan nada geram.

Mabes Polri bukannya tidak berbuat apa pun untuk meredam Susno. Tatkala insiden kesaksian di sidang Antasari mencuat, Kepala Badan Intelijen Irjen Saleh Saaf sempat mendatangi kediaman Susno. Campur tangan Saleh ketika itu bahkan sampai membatalkan upaya Divisi Propam memeriksa Susno. Kepala Divisi Humas Irjen Edward Aritonang juga sempat dua kali menemui Susno. "Tidak saya saja. Ada beberapa kawan yang satu angkatan dengan Pak Susno," kata Edward pekan lalu.

Pertemuan berlangsung dua pekan lalu di sebuah hotel di kawasan Mahakam, tak jauh dari Mabes Polri. Di sana para jenderal dan komisaris besar dari angkatan 1977 ini membujuk Susno agar tak bikin ramai di luar institusi. "Kami sama-sama setuju mereformasi polisi, tapi panggungnya di dalam saja," kata Edward. Susno saat itu tak banyak bicara. "Dia hanya bilang akan mempertimbangkan masukan kami," kata Edward.


Tapi tampaknya Susno tak peduli. Kepada Tempo, dengan tersirat dia mengaku perlawanannya dirancang matang. "Saya sudah menghitung semua risikonya," katanya. Selain menerbitkan buku, Susno mempersiapkan "senjata" lain: dokumen.

Sejumlah sumber Tempo di kepolisian mengatakan Susno pernah minta dibelikan tiga brankas besar, sesaat sebelum dicopot dari kursi Kepala Badan Reserse. Susno tak menyangkal cerita itu. "Saya pakai untuk menyimpan berkas tentang sejumlah kasus lain di kepolisian," katanya. Kasus apa? Susno bungkam. Dia hanya sesumbar, "peluru" itu baru akan dipakai jika dia terpojok. "Atau kalau terjadi apa-apa pada saya," kata Susno serius.

Seteru Susno di Mabes Polri tak percaya pada ancaman itu. "Saya kok tidak yakin ada brankas isinya dokumen. Boleh tidak kita lihat sama-sama?" kata Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Raja Erizman dengan sinis. Pekan lalu bahkan beredar berkas "dosa-dosa Susno" di Trujonoyo, markas besar polisi. Isinya macam-macam dugaan "permainan" Susno ketika masih berjaya. Misalnya soal kepemilikan rumahnya yang sampai 16 buah, kasus-kasus korupsi yang disetop penyidikannya selama dia menjabat Kabareskrim, sampai tudingan dia "memelihara" makelar kasus sendiri. "Ada transfer uang dari si makelar langsung ke rekening Susno," kata sumber Tempo.


Keterlibatan Susno dalam kriminalisasi dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi akhir tahun lalu juga diungkit. Kedekatannya dengan Anggodo Widjojo, yang kini tersangka kasus penyuapan di KPK, misalnya, dibuka lagi. Dia bahkan dituduh merekayasa teror kepada dirinya sendiri.

Dimintai konfirmasi, Susno sudah punya jawaban. "Saya punya banyak rumah, karena saya jual-beli properti," katanya. Dia mengaku mengembangkan bisnis macam-macam sejak "sebelum jadi polisi". Soal makelar kasus, dia pasang badan. "Nama-nama yang disebut itu kawan saya sejak letkol, tapi mereka tidak pernah bawa kasus. Silakan diperiksa," katanya. Soal rekayasa pesan pendek berisi ancaman? "Kalau mereka yakin saya bersalah, ayo tangkap saja."

Gebrakan Susno menantang pimpinan Polri membuat sebagian orang curiga pada motifnya. Buku “Mereka Menuduh Saya”, yang dipromosikan Susno ke mana-mana, misalnya, jelas-jelas berisi harapan agar mantan Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu direhabilitasi dan diangkat menjadi Kapolri atau bahkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Bak gayung bersambut, sejumlah anggota DPR mulai berkoar mengirim sinyal serupa.

Kursi Ketua KPK saat ini memang kosong sepeninggal Tumpak Hatorangan Panggabean yang mengundurkan diri. Kalau tidak diperpanjang Presiden, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pun akan pensiun akhir 2010 ini. "Saya tahu diri. Masak orang yang tidak dipakai di polisi mau memimpin KPK?" Susno membantah. Ketua Komisi Hukum DPR Benny K Harman menguatkan. "Pencalonan pimpinan KPK itu otoritas pemerintah, tidak bisa dicampuri parlemen."

Wahyu Dhyatmika, Sutarto
http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/03/29/LU/mbm.20100329.LU133143.id.html

Tuesday, April 13, 2010

Aksi Keblinger "Peniup Peluit"


Komisaris Jenderal Susno Duadji bisa dikatakan sebagai seorang whistle blower atau bukan? Susno menyampaikan informasi keberadaan mafia hukum dalam tubuh Polri kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Menurut Susno, ada empat perwira Polri dan seorang di luar Polri yang diduga menjadi makelar kasus (Markus) pencairan dana sebesar Rp 25 miliar pada rekening milik terdakwa Gayus Tambunan, anggota staf Direktorat Jenderal Pajak.

Susno menegaskan, ia hendak membantu Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mereformasi Polri dan membasmi pengkhianat yang merusak citra Polri (Kompas, 19 dan 21 Maret).

Pihak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum akan menindaklanjuti laporan itu. Reaksi yang bertentangan muncul dari para perwira yang mendapat tudingan sebagai makelar kasus. ”Markus itu sarangnya di tempat Susno. Itu namanya maling teriak maling,” kata Brigjen (Pol) Radja Erizman, Direktur Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri.

”Pak Susno harusnya sampaikan fakta atas apa yang dia katakan. Kata-katanya harus dikoreksi,” kata Brigjen (Pol) Edmon Ilyas, bekas Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, yang kini menjabat Kepala Polda Lampung. Respons lain muncul pada rubrik Pojok: ”Peniup peluit, dalam lomba lari, biasanya bukan pemain!” (Kompas, 20 Maret 2010).


Rangkaian kata pada rubrik Pojok boleh saja dipandang sebagai seloroh. Namun, seloroh itu berisi sindiran yang memperlihatkan kelucuan sekaligus kebenaran. Dalam seloroh itu juga menyajikan gugatan.

Benarkah dalam pembongkaran mafia hukum itu ada seseorang yang pantas disebut sebagai peniup peluit (whistle blower)? Seorang whistle blower yang bermaksud mengungkap skandal adalah pihak yang tidak terlibat pada kasus yang dilaporkannya. Intensi (maksud yang disengaja) dan integritas moral (kesatuan ucapan dan perbuatan) adalah taruhannya.

Seseorang tidak bisa dianggap sebagai whistle blower jika motif yang menjadi kalkulasinya adalah keuntungan pribadi. Dalam wikipedia ditegaskan, whistle blower dipandang sebagai martir yang tidak mementingkan diri sendiri. Kepentingan publik dan akuntabilitas organisasional adalah tujuan yang hendak dicapai. Whistle blower bukanlah sosok yang ingin mendapatkan kemenangan dan popularitas pribadi dengan strategi menggulirkan sensasi.

Pengungkapan skandal yang didasari balas dendam untuk menunjukkan egoistis bukan pula sifat dasar whistleblower sejati.


Tindakan komunikatif
Tidak mudah mendefinisikan tindakan meniup peluit (whistleblowing). Sejauh ini, urai Peter B Jubb (Whistleblowing: A Restrictive Definition and Interpretation, 1999), whistleblowing dicirikan oleh tindakan yang melawan kesepakatan terhadap organisasi. Tindakan itu memerlukan sikap tidak loyal bagi organisasi.

Ada enam elemen dalam tindakan ini. Pertama, aksi dalam bentuk pengungkapan suatu masalah. Kedua, hasil berupa catatan publik. Ketiga, aktor yang memiliki akses terhadap data atau informasi organisasi. Keempat, subyek yang memuat ilegalitas dan tindakan keliru. Kelima, target yang berimplikasi pada organisasi. Keenam, penerima laporan yang terdiri atas entitas eksternal.

Dalam enam elemen itu memang tidak secara eksplisit ditunjukkan mengenai motivasi yang mendorong tindakan whistle blower. Namun, merujuk gagasan Jurgen Habermas, whistleblowing pada prinsipnya merupakan tindakan komunikatif. Artinya adalah whistleblowing harus didasarkan pada kejujuran. Informasi yang disampaikan harus benar-benar sesuai dengan fakta yang terjadi. Ketulusan menjadi faktor yang penting dalam tindakan itu. Tanpa ketulusan, whistleblowing bukan diarahkan untuk kepentingan publik, melainkan mewujudkan ambisi pribadi yang sarat intrik. Kejelasan merupakan faktor determinan berikutnya. Tindakan itu disampaikan dengan bahasa yang jelas dan bukan dimaksudkan untuk menantang pertikaian.

Kejujuran, ketulusan, dan kejelasan menjadi parameter yang dapat digunakan untuk menilai motif tindakan whistle blower. Kejujuran tanpa dilandasi oleh ketulusan mudah mendatangkan kecurigaan. Namun, ketulusan yang tidak diungkapkan dengan kejelasan melahirkan berbagai prasangka yang tidak diperlukan.


Kejelasan tanpa memiliki basis kejujuran menghasilkan rangkaian tudingan tidak berkesudahan. Bukan fenomena yang janggal jika di sejumlah negara yang sudah maju, karena sifat jujur, tulus, dan jelas dalam mengungkapkan suatu skandal sedemikian dihargai, whistle blower dilindungi peraturan hukum yang pasti.

Lebih dari itu, organisasi-organisasi yang bertujuan menerima pengaduan dari kalangan whistle blower menerapkan kode etik yang baku. Organisasi-organisasi itu bahkan mengajak siapa pun yang menemukan skandal dalam birokrasi atau korporasi untuk berani memberikan kesaksian.

Seattle Ethics and Elections Commision (SEEC), misalnya, membuat pengumuman bertajuk Calling All Heroes yang bertujuan untuk mendorong masyarakat melaporkan ketidakberesan.

Sebab, dengan cara itulah aneka perbaikan untuk kepentingan bersama dapat dijalankan. Hanya saja, SEEC memberi ketegasan jika whistle blower melaporkan kekeliruan yang dilakukannya sendiri atau membuat laporan palsu, SEEC tidak memberi perlindungan. Terlebih lagi jika laporan whistle blower didasari kepentingan promosi jabatan, organisasi yang bertugas melakukan investigasi itu tidak akan menindaklanjuti.


Dilema moral
Persoalan besar yang dihadapi whistle blower biasanya ada dua. Pertama, rasa takut yang terus membayangi kalau pihak organisasi yang menjadi tempatnya bekerja melakukan aksi balasan (retaliation).

Pencemaran nama baik, pembocoran rahasia, menjalankan pengkhianatan, bahkan ancaman pembunuhan merupakan konsekuensi yang harus diterima. Masalah ini bisa diatasi kalau lembaga perlindungan saksi dan kepastian hukum bisa beroperasi secara maksimal. Bukankah memberikan testimoni dengan tujuan memperbaiki kemaslahatan bersama adalah perilaku yang amat mulia?

Kedua, dilema moral. Whistle blower menghadapi problematik etis yang tidak gampang dipecahkan. Kesetiaan pada lembaga atau memihak kepada kebenaran hati nurani adalah dilema yang harus diselesaikan.


Persoalan ini bisa mendapatkan solusi jika perspektif moral yang digunakan oleh whistle blower tidak bersandar pada prinsip tindakan semata. Tindakan yang berdasarkan konsekuensi (teleologis) dan kewajiban (deontologis) hanya menuntun pada keputusan untuk berperilaku pada situasi tertentu.

Whistle blower selayaknya melandaskan diri pada etika keutamaan yang bertumpu pada karakter personal. Bukan lagi tindakan baik (good action) yang harus dipilih, melainkan menjadi orang baik (good person) yang lebih pantas diambil whistle blower.

Tindakan baik boleh jadi mendatangkan sanjungan dari sejumlah pihak karena dianggap menciptakan gebrakan. Sekalipun begitu, potensi kepentingan pribadi tetap terselip di dalamnya. Jujur, berani, santun, dan bijaksana adalah sejumlah karakter moral yang dapat dirujuk whistle blower. Dengan mengedepankan ciri-ciri moral itu, whistle blower tidak dianggap melakukan aksi yang keliru, ngawur, apalagi keblinger.

Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
KOMPAS, 5 April 2010

Saturday, April 10, 2010

Perang Melawan Korupsi!


Seorang hakim tinggi kembali ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ikut bersamanya seorang advokat dan barang bukti uang senilai Rp 300 juta.

Sejak KPK hadir, paling tidak sudah 17 orang yang tertangkap tangan ketika sedang melakukan transaksi suap. Penangkapan hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta itu berbarengan dengan gencarnya pemberitaan soal calo pajak dan calo perkara di lingkungan sistem peradilan kita.

Gayus Tambunan, pegawai pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, yang berada di Singapura, dibawa pulang ke Indonesia oleh Tim Mabes Polri dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dalam kasus calo pajak itu ikut ditahan kuasa hukum Gayus dan seorang pengusaha.

Dua peristiwa itu memunculkan pertanyaan dalam benak kita. Ada apa dengan bangsa ini? Ketika media gencar memberitakan calo pajak, seorang hakim dan seorang advokat tertangkap tangan melakukan transaksi suap? Kok, berani? Kok, tidak ada efek jera sama sekali?


Reformasi birokrasi dalam salah satu wujudnya adalah perbaikan remunerasi pegawai negeri yang telah dilakukan di Kementerian Keuangan. Akan tetapi, mengapa korupsi dalam berbagai jenisnya tetap terjadi? Pengawasan internal ataupun eksternal tampaknya masih menjadi titik lemah.

Kejadian beruntun ini sebenarnya makin mengonfirmasi pendapat mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Membudaya bisa diberi makna bahwa korupsi telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar, proses yang biasa saja. Itulah banalisasi korupsi. Orang yang tertangkap tangan dianggap sebagai orang apes.

Terus terjadinya praktik tercela tidak boleh membuat kita patah harapan untuk memerangi korupsi. Perang terhadap korupsi harus terus digelorakan dengan berbagai upaya karena korupsi memang perang yang belum kita menangi. Cerdik cendekia, partai politik, organisasi massa, dan para aktivis perlu mencari solusi mengatasi korupsi di Indonesia melalui pendekatan historis, kebudayaan, pendidikan, sistem, ataupun penegakan hukum.


Jawaharlal Nehru pernah mengatakan, ”Semata berteriak-teriak dari atap rumah bahwa setiap orang melakukan korupsi hanya akan menciptakan atmosfer korupsi. Orang jadi merasa mereka hidup dalam lingkungan yang begitu korup dan akhirnya mereka sendiri menjadi korup juga.” (Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2009, halaman 693).

Apa yang dibayangkan Nehru tentunya harus dihindari. Pemberantasan korupsi tak boleh melemah atau malah dilemahkan. Kejadian beruntun yang kita hadapi justru harus makin menguatkan sikap kita bahwa perang terhadap korupsi membutuhkan energi besar bangsa ini. Keberhasilan dalam aspek penindakan harus diimbangi dengan keberhasilan dalam mencegah terjadinya korupsi melalui perbaikan sistem atau berbagai langkah lainnya.

Tajuk Rencana KOMPAS, 1 April 2010

Saturday, April 3, 2010

Negara Tanpa Kredibilitas!


Indonesia barangkali dapat disebut sebagai negara tanpa kredibilitas. Yang penulis maksud dengan negara tanpa kredibilitas ini adalah negara itu sebagai institusi tengah mengalami krisis wibawa (the crisis of authority) dan karena itu menjadi tidak dapat dipercaya.

Fenomena krisis wibawa dan tak dipercaya ini muncul dari isu korupsi. Beberapa dari isu korupsi telah terbukti dan beberapa masih merupakan tudingan. Terbukti atau masih merupakan tudingan, hasilnya tetap sama: publik meragukan kredibilitas hampir seluruh lembaga negara itu. Kini hampir tak ada lembaga negara yang tidak terlanda fenomena krisis wibawa dan tak dapat dipercaya ini. Publik menyaksikan secara telanjang melalui liputan media massa betapa belasan anggota lembaga legislatif (DPR) tengah diusut atas kasus dugaan korupsi dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom.

Lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berseteru dalam kasus Anggodo Widjojo. Polisi juga tengah terlanda isu kasus korupsi pajak melalui Gayus Tambunan yang dimunculkan oleh Susno Duadji. Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga disinyalir menjadi bagian dari mata rantai jual beli kasus hukum.

Presiden pun tak luput dari tudingan ini melalui publikasi buku Gurita Cikeas oleh George Aditjondro. Di luar kasus-kasus ini, kredibilitas institusional BI juga belum sepenuhnya pulih dengan ketidakjelasan guliran kasus hukum Bank Century.


Bukan anomali demokrasi
Mengapa semua ini kita alami? Bagaimanakah kita harus menjelaskannya? Bukankah pemikir politik klasik Montesquieu pernah menyatakan, korupsi terjadi ketika tiga cabang kekuasaan negara ini disatukan? Bukankah ia pernah menyatakan sebab dari korupsi adalah ketika para pembuat (legislators), pelaksana aturan hukum (executive institution), dan penegak hukum (law enforcers) tidak dipisahkan dan menyatu dalam diri seorang penguasa lalim?

Mengapa setelah kita mengikuti saran Montesquieu dengan menurunkan penguasa lalim dan menumbuhkembangkan demokrasi, korupsi seakan juga tidak berhenti? Mengapa mekanisme checks and balances yang tengah kita kembangkan antara tiga cabang kekuasaan negara ini belum mampu memberantas korupsi? Apakah Indonesia merupakan suatu anomali atau kasus penyimpangan khusus?

Sebagian orang berpandangan, demokrasi yang tengah kita tumbuh kembangkan jadi penyebabnya. Demokrasi disebutkan telah menciptakan lembaga-lembaga negara yang tak memiliki daya kuasa karena bekerja di tengah kegaduhan politik yang luar biasa. Situasi tanpa aturan yang mendekati semrawut ini pada gilirannya diyakini menjadi sebab korupsi kian marak. Karena keyakinan ini pula, kelompok ini merindukan masa lalu, yaitu hadirnya pemimpin kuat yang dapat membuat negara memiliki daya kuasa itu. Bagi kelompok ini, jauh lebih penting membuat negara memiliki daya kuasa walaupun tak dapat dipercaya daripada tak memiliki daya kuasa sekaligus tak dapat dipercaya. Pandangan seperti ini tentu saja mengingatkan kita pada ungkapan oderint dum metuant, ”biarkan mereka membenci saya sepanjang mereka takut terhadap saya”.

Penulis tidak sepakat dengan pandangan dan ungkapan ini karena tidak ada hubungan sebab akibat yang jelas antara bentuk negara dan pemimpin yang kuat. Seperti halnya negara demokratis, negara otoriter juga tidak dapat memberikan jaminan akan muncul pemimpin nasional yang peduli kepentingan publik yang luas. Yang membuat negara demokratis lebih baik daripada negara otoriter adalah karena publik punya peluang mengganti pemimpin yang dianggap tak kredibel. Peluang seperti ini tentu saja tak tersedia dalam negara otoriter kecuali pemimpin itu diturunkan secara paksa dari takhta kekuasaannya. Karena itu, Indonesia bukanlah suatu anomali demokrasi.

Terlebih lagi pemimpin yang kuat dapat saja hadir di dalam negara demokratis. Churchil dan Margareth Thatcher di Inggris pada masa lalu, misalnya, menunjukkan secara jelas contoh kasus bahwa pemimpin yang kuat dan asertif dapat hadir dalam suatu negara demokratis. Karena itu, kalau ada ketidakpuasan terhadap pemimpin nasional karena dipandang kurang asertif, beban kesalahan sebaiknya tak ditimpakan pada demokrasi. Demokrasi tak pernah memberikan jaminan bahwa suatu negara, pasti akan menghasilkan pemimpin tegas. Tidak tegasnya seorang pemimpin lebih disebabkan bawaan karakter individualnya dan bukan karena demokrasi itu.


Pembaruan hukum
Penulis cenderung menyatakan fenomena negara tanpa kredibilitas lebih disebabkan skala prioritas reformasi. Dalam satu dasawarsa terakhir, perhatian pembaruan lebih banyak diarahkan pada dua bidang, reformasi ekonomi dan politik. Pada reformasi ekonomi kita lebih banyak fokus pada tindakan liberalisasi. Pada bidang politik, kita lebih banyak memerhatikan penataan hubungan institusi legislatif dengan eksekutif.

Hal ini mengakibatkan reformasi hukum tertinggal. Kalaupun kita mengadakan pembaruan hukum, kita melakukannya dengan menciptakan berbagai lembaga dan badan baru, seperti Mahkamah Konstitusi, KPK, Satgas Antikorupsi, Pengadilan Tipikor, dan Komisi Yudisial. Namun, pembaruan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum utama yang telah ada, seperti terhadap institusi Polri, MA, dan Kejaksaan Agung, terkesan mengalami stagnasi.

Reformasi yang kita lakukan cenderung menciptakan lembaga baru tanpa membenahi lembaga-lembaga utama penegakan hukum yang telah ada. Terlebih lagi pembentukan lembaga-lembaga baru itu terkesan sangat reaktif dan tidak dibuat sebagai suatu mata rantai yang terpadu dengan lembaga-lembaga penegakan hukum utama yang telah ada sehingga dapat menjerat seluruh pelanggaran hukum.

Ini yang mengakibatkan penegakan hukum seperti bergerak di rimba belantara. Kita lupa, liberalisasi ekonomi tanpa penegakan hukum hanya akan menghasilkan penggelapan kekayaan negara. Kita juga lupa, penataan hubungan legislatif-eksekutif tanpa institusi yudikatif yang kuat hanya akan menghasilkan watak negara yang pasif tanpa nilai. Kita perlu menyadari ungkapan Erhard Eppler (2009) bahwa inti dari wibawa negara adalah pada lembaga penegakan hukum. Jika intinya mengalami pengeroposan, seluruh institusi negara tak pelak juga akan keropos.

Dan, ketika negara mengalami pengeroposan hingga tak lagi memiliki kredibilitas, orang tentu saja akan bertanya mengapa dan untuk apa kita memiliki negara?

Makmur Keliat, Pengajar di FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 1 April 2010

Friday, April 2, 2010

Kekecewaan Berdemokrasi di Indonesia


DEMOKRASI dewasa ini memang sulit, karena ia sekaligus merupakan filosofi, cara hidup, agama, dan lagi pula bentuk pemerintahan. Keaneka-ragaman signifikansi yang melekat pada watak demokrasi bukanlah berasal dari efektivitasnya, melainkan jauh lebih banyak dari ide yang dipegang orang tentang demokrasi itu pada saat makhluk ini mempercayakan kepadanya harapan akan kehidupan yang lebih baik. Memisahkan realitas dan harapan dalam demokrasi itu akan mengaburkan tidak hanya dinamisme yang menggerakkannya, tapi juga lembaga-lembaganya yang positif, karena makna lembaga-lembaga tersebut bergantung pada mistik yang dijelmakannya.

Demokrasi menjadi samar ketika terpaksa diterapkan secara tidak langsung. Penghayatannya yang baik dan benar memerlukan daya pikir abstrak yang kuat, baik di kalangan yang diperintah maupun yang memerintah. Bila kondisi ini tidak terpenuhi, pasti terjadi frustrasi, kekisruhan, kekecewaan, dan penipuan kerah putih, disengaja atau tidak. Pengertian demokrasi jauh lebih simpel daripada penerapan pengertian itu demi mentransformasikan ide menjadi realitas. Kita mudah membuat abstraksi literer, artistik, matematis, atau ilmiah, tapi tidak dalam abstraksi praksis.

Selaku pengertian, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat (A), oleh rakyat (B), dan untuk rakyat (C). Secara literer, ketiga kategori rakyat ini -A, B, C- merupakan sarana, tapi ia tidak serupa dalam praksis, bahkan bisa berlawanan. Ketidakserupaan itu merupakan sumber kekecewaan terhadap "demokrasi" itu sendiri dari semua orang dan lembaga yang berkepentingan dalam politik.


Bayangkan! Rakyat A adalah penduduk berstatus warga (citizen). Ia dipahami sebagai makhluk abstrak, suatu entitas global, tidak terbelah-belah, identik, tanpa kelas, betul-betul homogen, jadi diabstrakkan dari realitas sosiologis. Keanekaragaman riil dari para individu direduksi ke satu penyebut umum -common denominator- yaitu warga. Konsep idiil dan abstrak dari kewargaan ini langsung dikaitkan dengan konsep idiil dari kebangsaan. Rasionale dari keterkaitan ini adalah kedaulatan warga yang berasal dari hak-hak politik kerakyatannya. Ia menjadi semakin kukuh dan prinsipiil ketika negara, sejak revolusi Amerika dan Prancis, ditanggapi sebagai entitas substansial yang mewadahi bangsa dan berbentuk republik demokratis. Kelebihan demokrasi terhadap lain-lain formula pemerintahan adalah apa yang ia haramkan, yaitu kekuasaan otoritas yang tidak berasal dari rakyat A.

Walaupun berdaulat penuh, tidak semua warga bisa ikut langsung mengendalikan pemerintahan. Jadi, perlu ada pilihan. Sistem pemilihan ini menjadi keniscayaan, mengingat dewasa ini demokrasi menjadi tidak langsung. Artinya, rakyat yang berdaulat itu terpaksa mendelegasikan otoritas dan tanggung jawabnya atas pemerintahan kepada orang-orang tertentu di antara sesamanya. Maka warga A, makhluk abstrak ini, pada waktu tertentu diundang ke kotak suara untuk menyatakan pilihan dan/atau pendapatnya. Itulah sebabnya mengapa disebut "dari" rakyat.

Orang-orang yang terpilih inilah yang menduduki kursi di jajaran legislatif dengan label "wakil rakyat" dari kategori A. Di jajaran eksekutif, hanya petinggi-petinggi terpenting (presiden dan wakilnya, kepala daerah otonom dan wakilnya) yang dipilih langsung oleh rakyat atau oleh "wakil rakyat". Namun sebagian besar pada umumnya ditetapkan berdasarkan kemampuan teknis yang banyak-sedikitnya terkait dengan prestasi pendidikan formal dan pengalaman kerja. Demikian pula halnya dengan pejabat-pejabat di jajaran yudikatif. Dengan kata lain, mereka inilah yang really menjalankan pemerintahan. Jadi, kalau disebut demokrasi adalah pemerintahan "oleh" rakyat, sang rakyat ini tidak lagi tergolong pada kategori A, tapi pada kategori B, lebih-lebih bila hanya partai politik yang berhak mencalonkannya untuk dipilih.


Sesudah "berpesta demokrasi", sebagai warga abstrak dari negeri, dia, rakyat A, kembali ke masyarakat sipil selaku "makhluk riil dan konkret" yang didefinisikan tidak berdasarkan hakikatnya atau kesamaannya dengan suatu tipe ideal, tapi menurut partikularitas bawaan dari kedudukan/profesi tertentu, yang disodorkan kepadanya oleh suatu situasi fungsional tertentu. Maka makhluk riil dan konkret ini adalah "manusia situasional". Dia adalah pencari nafkah. Menurut profesi yang ditekuninya, dia bisa disebut apa saja: buruh/pegawai, guru, wartawan, perajin, sopir, petani, nelayan, pengusaha, prajurit, dan lain-lain, yaitu rakyat C.

Sebutan tersebut berlaku menurut ciri-ciri konkret, empiris, dan khas. Namun kekhasan dari pencari nafkah itu tidak termasuk dalam politik dan negara karena manusia yang punya akses ke politik dan negara adalah pemilih, yaitu warga, makhluk abstrak, rakyat A, yang menetapkan eksistensi rakyat B, yaitu elite politik yang, pada gilirannya, bertugas mengurus rakyat C karena peran politik elite adalah (seharusnya) melayani dan menciptakan warga yang puas, warga selaku rakyat C. Dengan kata lain, kalaupun dikatakan demokrasi adalah pemerintahan "untuk" rakyat, sang rakyat ini dari kategori C. Namun tidak jarang dia kemudian disia-siakan, dibiarkan memecahkan sendiri masalah kehidupan yang dihadapinya selaku pencari nafkah, karena pilih kasih elite politik (rakyat B). Elite inilah yang sebenarnya terus "berpesta demokrasi".

Ada "harga finansial" yang perlu dibayar untuk bisa menjadi anggota elite, berupa uang yang harus dikeluarkan untuk biaya iklan di media massa dan setoran pada kas parpol. Keanggotaan elite ini memungkinkannya menjadi raja kecil, OKB, dan mendirikan dinasti politik demi mempertahankan kenikmatan pesta demokrasi bagi anak-cucunya.

Bagi rakyat kategori A dan B, "harga virtual" yang harus dibayar untuk bisa berdemokrasi adalah keharusan mereka mendelegasikan otoritas dan tanggung jawabnya kepada orang lain. Maka, demi mengelakkan kekecewaan dalam berdemokrasi, praksis demokrasi harus mampu memuaskan secara seimbang kepentingan ketiga kategori rakyat tadi sesuai dengan wataknya masing-masing.


Sementara itu, setiap warga dewasa perlu menyadari bahwa yang dia delegasikan kepada orang lain adalah otoritas, bukan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang dilaksanakan dalam rangka masyarakat sipil. Hal ini berpeluang besar terwujud bila pihak eksekutif melaksanakan pembangunan nasional menurut konsep yang mensinergikan pembangunan ekonomi dan pembangunan politik.

Lalu monopoli parpol dalam pencalonan orang untuk dipilih perlu dibatalkan. Harus dimungkinkan pencalonan oleh serikat pencari nafkah dan individu independen bagi dirinya sendiri yang selama ini telah membuktikan soliditas pengetahuan (pendidikan) dan pengalaman kerjanya (kemampuan teknis) serta loyalitasnya kepada negeri. Bukankah semua parpol dewasa ini nyaris tidak lagi berdasarkan "ide filosofiko-politis besar", tapi wacana teknis kesejahteraan rakyat? Kemudian, setiap calon, siapa pun yang mencalonkannya, adalah warga yang tidak pernah dihukum karena perkara pidana.

Last but not the least, begitu seorang calon politikus dari parpol dan serikat pencari nafkah terpilih dan ditetapkan menduduki jabatan politis di jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif, loyalitasnya harus beralih ke negeri, bukan lagi kepada parpol atau ormas induknya.

Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/03/15/KL/mbm.20100315.KL132978.id.html

Thursday, April 1, 2010

Kota Kata


Pada mulanya kata, lalu jadilah kota. Begitulah, dalam khazanah cerita rakyat kerap kita temui adegan pemberian nama suatu tempat. Lazimnya sang tokoh bersabda, "Kunamakan tempat ini bla-bla-bla." Ingat Raden Wijaya, tatkala beristirahat dalam pelarian, ia memetik buah maja dan memakannya. Rasanya pahit. Ia lantas menamai tempat kejadian itu Majapahit dan membangun hunian di sana hingga merekah jadi kota kerajaan.

Sebuah nama dipilih lantaran terkait dengan kenangan, tapi tak jarang juga sebagai harapan. Purwodadi, misalnya, gabungan kata purwa dan dadi, berarti awal kejadian. Purworejo bisa diartikan awal kesejahteraan. Nama sebagai harapan, itulah yang kini kerap digunakan orang untuk menandai suatu tempat. Misal: Bumi Serpong Damai. Kadang nama tempat dipilih untuk memberikan citra agung bagi para penghuninya. Misal: Pesona Khayangan.


Adakalanya kata mengalami perubahan pelafalan dan pergeseran makna. Desa Sala berubah jadi kota sejak Keraton Mataram dipindah dari Kartasura ke desa itu dan diberi nama baru: Surakarta. Nama Sala (ditulis dengan /a/) tidak lenyap dan masih digunakan sampai sekarang, meski mengalami pergeseran. Orang Jawa melisankan vokal /a/ dengan bunyi yang sama dengan /o/ dalam bahasa Indonesia (seperti Dipanegara dibaca Diponegoro). Selanjutnya, bahasa Indonesia menulis vokal /a/ (Jawa) itu dengan huruf /o/, yang bisa diujarkan seperti /o/ pada motor ataupun moto. Kini, dalam tulisan juga lisan, Sala lebih dikenal sebagai Solo-dengan bunyi /o/ seperti pada Oslo.

Lalu bagaimana kita sebut Daerah Istimewa di bagian selatan Jawa itu: Jogjakarta atau Yogyakarta? Majalah Tempo, misalnya, konsisten menulis Yogyakarta, tapi tak sedikit orang, termasuk sebagian warganya, menuliskan Jogjakarta. Sebuah iklan pariwisata: Jogja, never ending Asia!


Mari kita merunut ke awal. Semula kerajaan sempalan Mataram itu bernama Ngajogjakarta Hadiningrat. Diperpendek jadi Jogjakarta, acap disingkat lagi jadi (hanya) Jogja. Keajekan penulisan huruf /j/ itu ternyata mempengaruhi penuturan sebagian orang. Mereka mengucapkannya sebagai Jogja dengan /j/ seperti pada jamak. Padahal, penulisan /j/ itu menggunakan ejaan lama, mestinya diujarkan /y/ seperti pada Yamaha. Jadi, jika konsisten pada pelisanan dan mengikuti pembaruan ejaan, kota itu seyogianya disebut Yogyakarta.

Beda dengan Djajakarta yang bermetamorfosis jadi Jakarta. Jelas, Jakarta adalah bentuk singkat dari Djajakarta. Bisa diduga ada dua kemungkinan proses penyingkatan. Pertama, sebagaimana Ngajogjakarta menjadi Jogjakarta, dengan melenyapkan suku kata awal, Djajakarta menjadi Jakarta. Jika kemungkinan ini yang terjadi dan kita mengikuti perubahan ejaan, mestinya kita menulis ataupun melisankan ibu kota negara kita itu sebagai Yakarta. Bahwa prakteknya kita menyebut Jakarta dengan /j/ seperti pada jagat, berarti telah terjadi perubahan pelafalan akibat pengaruh penulisan yang setia pada ejaan lama. Kedua, penyingkatan dari Djajakarta menjadi Jakarta bisa terjadi akibat peluluhan satu suku kata di tengah. Seperti baharu menjadi baru atau asmaradahana menjadi asmaradana; maka Djajakarta bisa menjadi Djakarta. Disesuaikan dengan ejaan baru, jadilah Jakarta. Jika ini yang terjadi, kemungkinan besar akibat pengaruh percepatan pelisanan, seperti Tanah Abang dalam dialek Betawi menjadi Tenabang.


Dari kata menjelma kota. Di sana bersemayam puja dan doa. Semarang, dari asem dan arang, menahbiskan kondisi suatu tempat berpohon asam jarang. Gunung Kidul menandai wilayah pegunungan di selatan. Surabaya, sebagaimana dinyatakan ikon kota itu, mengenang pertarungan ikan sura dan baya (buaya). Sidoarjo diharap terkabul jadi permai. Tapi, sungguhkah kita peduli? Tanpa kita sadari peralihan nama kota ternyata tak hanya mengubah, tapi bisa meniadakan maknanya semula.

Pada kasus Ngajogjakarta yang berarti mematut kota atau membangun kota, menjadi Yogyakarta yang bermakna kota yang patut atau kota yang layak, terjadi sedikit pergeseran makna. Untung kedua maknanya tetap baik. Tapi, kenangkanlah, dulu Djajakarta, dari djaja dan karta, bisa berarti kota yang jaya atau kota kemenangan. Kini, Jakarta berarti apa? Jika mau berseloroh, meniru gaya orang Yogya, Jakarta bisa jadi karta ja, berarti sekadar kota.

Memang ada banyak nama kota yang seolah tak bermakna: Blora, Comal, Demak, Trenggalek, dan lainnya. Kita tak tahu riwayatnya atau belum mendapat terang dari kata-kata yang masih bercahaya ataupun yang sudah jadi fosil dalam leksikon. Jika mau mencarinya, mungkin akan kita temukan jejak kenangan dan harapan.

Sitok Srengenge, Penyair
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/03/15/BHS/mbm.20100315.BHS132964.id.html