Sunday, October 16, 2016

Sekolah 24 Jam, untuk Apa?


Kebijakan pendidikan berupa full day schooling sebaiknya dibatalkan. Menerapkan kebijakan berkonsep mentah di bidang pendidikan sama saja dengan membuat semua peserta didik menjadi kelinci percobaan, mengotak-atik masa depan negara-bangsa melalui anak-anak yang lugu tak berdaya. Jangan mempermainkan pendidikan hanya bersendikan kekuasaan formal.

Tanggapan harfiah full day schooling, yaitu siswa berada sehari penuh di sekolah, harus ditolak karena membebaskan orangtua dari tugasnya mendidik anak-anaknya sendiri. Rumah adalah home, sekolah kedua dan orangtua adalah guru kedua anak di rumah. Anak butuh family education. Ada nilai-nilai kekeluargaan khas yang pantas kita hormati kalau kita tidak mau negara kita menjadi totaliter.

Di samping family education, anak-anak Indonesia, selaku warga dari negara-negara yang merdeka, memerlukan pula formal education. Ia berupa proses pembelajaran nasional yang mengembangkan mereka dari makhluk menjadi warga negara terbaik dan yang terbaik dalam diri warga negara ––to cultivate the best citizens and the best in citizens. Berarti yang kita perlukan adalah education, bukan schooling. Schooling memang beda dengan education. Mengidentikkan kedua nomenklatur kerja ini bisa dan sudah mengacau pelaksanaan pendidikan selama ini.

Schooling secara esensial berurusan dengan keterpelajaran (scholarship), yaitu kemampuan intelek untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan, dari pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, dan berujung pada penguasaan teknikalitas. Semua jenis kemampuan tersebut diperlukan bagi anak didik sebagai bekal kelak bagi pencapaian kehidupan yang layak. Education however is more than that. Then what is this "more" ?!


Manusia terdidik (educated man) bukanlah orang yang menuntut kiat dan ilmu pengetahuan demi manfaat komersialnya. Spirit begini dapat betul-betul merusak konsep pendidikan karena mendegradasi sekolah menjadi sekadar training institutes, mengelirukan bayangan sebagai substansi. Pendidikan merupakan sejenis tangga yang kita panjat dari informasi ke pengetahuan, dari pengetahuan ke ilmu pengetahuan, dan selanjutnya meningkat lagi ke kearifan. Yang dibina kemampuan penuh-utuh keseluruhan siswa, tidak hanya inteleknya.

Gagasan full day schooling diketengahkan, katanya, demi meningkatkan karakter siswa yang tidak tercakup secara eksplisit dalam pembelajaran mata pelajaran yang berlaku. Jika demikian, justru untuk keperluan itulah maka diperlukan education, bukan schooling.

Namun, apakah pendidikan karakter yang diniscayakan ini memerlukan waktu yang begitu banyak hingga siswa perlu diukur dan diatur dengan banyaknya (jumlah) jam yang dihabiskan? Pendidikan karakter hendaknya jangan diukur dengan banyaknya (jumlah) jam yang dihabiskan oleh pendidikan ini, melainkan durasi jam belajar yang pada umumnya berlaku sebagai standar di setiap jenjang dan jenis pendidikan. Dalam hal ini bukan yang banyak itu baik, tetapi yang baik itu adalah banyak. Dengan kata lain, waktu belajar yang tersedia diisi dengan kegiatan didaktis yang memberikan teladan terbaik, dengan program kerja kolektif yang mendukung atau mengukuhkan pembentukan sikap dan perilaku positif.

Pelaksanaan program kerja kolektif mau tidak mau memerlukan pemimpin. Siswa perlu dibiasakan sedini mungkin mengakui dengan jujur “kelebihan orang lain” dan berdisiplin. Melalui kejadian yang terarah, siswa akan banyak belajar berkomunikasi. Selaku makhluk sosial, kinerjanya sangat bergantung pada kepiawaiannya berkomunikasi. Dan melalui kerja sama kolektif dan positif itu mereka akan menemukan minat dan bakatnya sendiri. Setiap orang punya bakat dan kemampuan berlainan yang tidak gampang dikuantifikasi dengan hanya sekadar tes IQ.


Pembentukan karakter
Harus diakui bahwa pembentukan karakter memerlukan waktu. Selain itu, keteladanan ikut berperan dalam pembentukan tersebut. Ia berasal ––disengaja atau tidak, disadari atau tidak–– dari orangtua, teman sebaya (peer group), lingkungan, dan organisasi masyarakat.

Selaku lembaga pendidikan yang adalah merupakan bagian dari kebudayaan, nilai-nilai yang dapat diajarkan sekolah kepada siswa/mahasiswanya selaku calon warga negara andalan adalah disiplin diri (self discipline), jujur, tanggung jawab, nasionalisme, gotong royong, kemandirian, kemaritiman, kewirausahaan, sense of holistic interrelationship, dan spirit kepanduan.

Apabila pembelajaran ilmu pengetahuan dilakukan dengan betul dan konsisten sesuai dengan metode ilmiah yang tepat dan ketat (regorous), ia dengan sendirinya akan mengukuhkan nilai-nilai keintelektualan tadi.


Kebajikan keilmuan dissent (membantah), misalnya, akan mengukuhkan nilai self discipline, originality, dan tolerance akan mengukuhkan nilai “gotong royong”, sehingga the habit of truth merupakan “nilai jujur” yang sebenarnya. Sedangkan freedom of inquiry dan thought and speech adalah nilai kemandirian. Jadi, kalau metode ilmiah sudah diterapkan dengan baik dan konsisten, karakter sudah akan menjadi second nature.

Nilai kekeluargaan apa yang relevan dan perlu kita biasakan pada anak sedini mungkin? Ia berupa serangkaian pertanyaan yang perlu direspons anak. Apakah mereka mengatakan kebenaran kepada sesama dan diri sendiri? Apakah mereka turut ambil bagian dalam setiap kerja kolektif/berkelompok? Apakah mereka dapat mengendalikan/mengekang diri dan menyalurkan dorongan agresif pribadinya secara benar? Apakah mereka dapat dipercaya jika diberi tanggung jawab dalam bertugas, mengenai keuangan dan hal-hal lainnya?

Kemudian kalau memang bertalenta positif/kreatif, apakah mereka sudah memanfaatkannya? Apakah mereka ikhlas membantu penyandang cacat atau anak-anak difabel? Apakah mereka punya toleransi sosial, religius, ideologis, dan politis?


Melampaui persekolahan
Keberadaan seorang anak diawali dengan pengakuan anak terhadap larangan/pantangan. Anak-anak perlu dibiasakan untuk menerima larangan-larangan tertentu (the don'ts). Jika anak belajar hidup dewasa, dia harus memulainya dengan menghargai (respecting) orang dewasa yang paling dia kenal, yaitu ibu dan bapaknya, serta nenek dan kakeknya. Dengan belajar mematuhi orangtuanya, anak akan memiliki kebebasan dalam batasan yang pasti.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang perlu diwujudkan adalah full day education, bukan full day schooling. Berarti menteri pendidikan dan kebudayaan perlu bertugas sesuai dengan sebutan itu, sebab lembaga resmi yang dipimpinnya adalah “Kementerian Pendidikan”, bukan “Kementerian Persekolahan”, dan itu semua merupakan bagian dari kebudayaan (sistem nilai yang kita hayati).

Pendidikan jauh melampaui (transcends) persekolahan. Dan dalam kerangka full day education, ia bermakna proses pembentukan disposisi intelektual dan emosional ke arah keterdekatan (closeness) dengan alam dan sesama manusia, sehingga kita semua menjadi betah (at home) menetap di mayapada.


Makna ini jika dipahami dengan betul bisa mengantar ke penghayatan pengertian Pendidikan yang berhuruf awal P kapital, yaitu “pendidikan seumur hidup”, life long education yang dicanangkan oleh UNESCO. Hal ini hendaknya jangan ditafsirkan sebagai full day schooling, tetapi sebagai kesadaran bahwa manusia perlu belajar sendiri meneruskan studi formalnya di sekolah. Bukankah adagium ini yang persis diucapkan oleh Rasulullah SAW pada abad VII, yaitu “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat”?

Maka, Pendidikan berinisial P kapital berarti suatu proses yang membiasakan manusia sedini mungkin menggali, mengenali, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna, bermanfaat dan berfaedah bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Demikianlah, sebelum nasi menjadi bubur, senyampang masih bisa dikendalikan oleh pencetusnya sendiri, pelaksanaan full day schooling yang berkonsep serba mentah, sebaiknya distop saja. Untuk apa menghamburkan energi bagi hal yang tidak berguna? Bertindak hanya untuk bertindak, berkebijakan berhubung aji mumpung? Jangan main-main dengan pendidikan karena masa depan negara-bangsa menjadi taruhannya.

Daoed Joesoef,
Alumnus Université Pluridisciplinairs Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 14 Oktober 2016