Wednesday, May 26, 2010

Sekber Golkar Plus


Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar pilihan Munas di Riau tahun lalu, ternyata sungguh-sungguh mulai menepati janjinya di depan Munas Riau. Di hadapan keluarga besar Partai Golkar, ia berjanji mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mengembalikan kejayaan yang pernah diraih Sekretariat Bersama Golongan Karya, Sekber Golkar, dalam lebih dari tiga dekade di panggung perpolitikan nasional.

Pada 6 Mei lalu di Cikeas, secara cerdik dan telak ia berhasil mengunci kesepakatan politik dengan pensiunan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono di markas-kebijakan Partai Demokrat (PD) itu. Bermodalkan kecerdikan pembacaan peta politik dan karakter personal SBY serta disertai dengan manuver licik, terukur, dan dingin (shrewedness), Ical, sapaan akrabnya, berhasil menekuk jenderal asal Pacitan ini untuk menerima kenyataan bahwa hanya dengan mengandalkan hubungan yang bersahabat dengan Golkarlah pemerintahan SBY-Boediono bisa selamat sampai tahun 2014.

Posisi sebagai Ketua Harian Sekber Koalisi akan memberi kesempatan yang luas bagi Ical untuk mengulang kisah sukses Sekber Golkar pada awal Orde Baru. Selamat datang Sekber Golkar Plus, gabungan pragmatis antara para politisi Soehartois-Orde Baru yang promodal dengan politisi oportunis, miskin karakter, produk Reformasi yang telah melupakan rakyat.


Bukan tandingan
Sudah sangat jelas sejak awal Reformasi, 12 tahun lalu, bahwa sebagai akibat tekanan pengerdilan terhadap parpol di era Orde Baru, satu-satunya parpol yang paling kokoh secara institusional, organisasional, dan kepemimpinan adalah Golkar. Demikian kenyalnya kekokohan Golkar dalam hampir semua bidang kelembagaan sehingga, walaupun partai Beringin ini babak-belur diterpa badai Reformasi, ia tetap membandel tegak walau agak oleng. Begitu badai Reformasi mulai mereda, Golkar bangkit kembali secara bertahap. Walau terus mengalami penyusutan perolehan suara dalam tiga pemilu sejak 1999, Partai Golkar ogah dihabisi dengan mudah.

PD dan Partai Keadilan Sejahtera adalah dua parpol pendatang baru produk Demokrasi yang sampai titik tertentu mampu mengembangkan kekokohan institusional, organisasional, dan kepemimpinan ala Golkar. Namun, tetap saja sama sekali belum menyamai keunggulan Partai Golkar. Karena itu, dalam dinamika Sekber Golkar Plus sampai dengan 2014 akan sangat diwarnai secara kuat oleh kepemimpinan Golkar dalam kendali Ical. Baik cetak biru maupun warna biru kebijakan pemerintahan SBY-Boediono akan kian memudar teralingi oleh warna kuning yang diperkirakan akan kian asertif dalam forum Sekber Golkar Plus.

Paling kurang ada tiga keunggulan tak tertandingi yang dipunyai Golkar saat ini dibandingkan dengan anggota koalisi lain. Pertama, dalam kualitas ketegasan arah kepemimpinan. Dalam hal ini, nyaris tidak satu pun dari jajaran pimpinan parpol-parpol sekarang ini yang dapat menandingi kualitas kepemimpinan Ical, syahdan SBY sekalipun. Ketegasan dan kelugasan kepemimpinan Ical ini sangat kentara bedanya, seperti langit dengan bumi, dengan ketegasan kepemimpinan yang diperagakan SBY dalam sengkarut skandal Bank Century.


SBY cenderung diam, menunggu arah angin, safety first, hanya bertindak saat semua sudah kasep. Pernah sedikit bergeming membela integritas dan profesionalitas Sri Mulyani Indrawati dan Boediono, tetapi itu pun hanya seumur jagung. Berpura-pura tegas memerintahkan penindakan para pengemplang pajak, tetapi hanya sebentar saja. Tiba-tiba loyo berhadapan dengan kartu-kartu as se-troly yang dilemparkan Ical plus Golkar. Sebaliknya, Ical sedari awal menegaskan pemisahan lugas antara bisnis pribadinya dan entitas Partai Golkar. Tegas menginstruksikan, usut kasus Bank Century hingga tuntas lewat koridor politik kemudian ke koridor hukum. Kartu-kartunya dibuka jelas transparan di atas pentas politik.

Kedua, keunggulan kualitas kader. Tertempa selama lebih dari lima dekade, Golkar berhasil membangun sistem dan mekanisme pengaderan berjenjang yang sudah sangat mapan. Para kadernya gesit di lapangan, cermat mengatur administrasi perkantoran, serta andal memimpin rapat-rapat organisasi. Butir-butir keunggulan kader-kader Golkar ini sama sekali tidak teramati di kalangan kader-kader PD. Kader yang dijagokan di Senayan bahkan memimpin rapat paripurna saja tidak becus.


Terlepas dari mayoritas kursi yang dikuasai, kader-kader PD sangat kedodoran, baik dalam wawasan politik, pengetahuan tentang sistem dan mekanisme legislatif maupun keterampilan teknis sebagai wakil rakyat. PD yang hanya unggul dalam dimensi quantity of participation, tetapi jauh terpuruk dalam quality of participation (Habermas, 1980). Mungkin kader PD yang cukup mendapat respek hanyalah SBY sendiri dan Anas Urbaningrum. Bahkan, SBY bukan hanya kader tunggal unggulan, ia sudah identik dengan PD itu sendiri. Kenyataan ini akan sangat memurukkan atau paling kurang merepotkan PD bila SBY lengser secara konstitusional pada 2014. Bisa-bisa perolehan suara PD kembali terpuruk ke angka sekitar 7 persen seperti di Pemilu 2004.

Ketiga, karena SBY identik dengan lembaga PD itu sendiri, sistem dan mekanisme kelembagaan PD relatif tidak terbangun sama sekali. Semua menunggu isyarat, restu, dan komando dari sang jenderal. Bila tidak menerima satu pun dari ketiga hal itu, PD sebagai organisasi tidak bergerak. Feodalisme komando ini akan sangat merugikan PD dalam jangka panjang. Sebaliknya Partai Golkar, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, mesin organisasi kelembagaan sudah sangat jelas dan mapan. Apabila nanti SBY lengser pada 2014, bukan tidak mungkin akan terjadi eksodus besar-besaran, bedol partai, kembali bergabung dengan Golkar karena sebagian besar pengurus dan anggota PD berkampung-halaman di desa beringin.


Kudeta halus Golkar?
Dengan akan dominannya figur Ical bersama Golkar dalam Sekber Golkar Plus ini, secara tersirat sebetulnya dapat dimaknai sebagai kudeta halus Golkar. Dalam perumusan kebijakan-kebijakan nanti, Sekber Golkar Plus ini praktis akan jadi kuda tunggangan politik untuk kembali berkuasanya Golkar pada 2014.

Bagi Indonesia, terbentuknya Sekber Golkar Plus akan sangat berdampak jauh. Berkumpul dan bersatu kembalinya para Suhartois Orde Baru plus oportunis produk Reformasi dalam wadah Sekber Golkar Plus adalah benar-benar berita buruk bagi Indonesia, baik sebagai negeri maupun bagi rakyat wong cilik. Dengan segala keunggulan Partai Golkar tersebut di atas, partai ini justru menjadi sangat berbahaya.

Indonesia akan semakin dikuras, baik oleh modal internasional maupun modal nasional. Kasus-kasus Lapindo dan Freeport akan semakin marak merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat. Faisal Basri (Kompas, 10 Mei 2010) merumuskan dengan sangat tepat: Indonesia akan kembali terjerembap ke dalam cengkeraman dwifungsi yang lebih bengis dari dwifungsi militer Orba, bernama dwifungsi pengusaha-penguasa."

Relakah Anda? Hanya ada satu kata: ”lawan dwifungsi bengis pengusaha-penguasa ini!’ Caranya: masyarakat sipil pejuang setia Reformasi, khususnya para aktivis LSM dan ormas harus mampu menyingkirkan berbagai hal sepele, apalagi yang bersifat personal, dan kemudian berupaya membentuk suatu ”common political platform” yang menempatkan kepentingan Indonesia sebagai negeri dan rakyatnya pada tempat utama yang pertama di atas segala-galanya. Indonesia First! Utamakan Indonesia dalam pikiran, sikap, kata ataupun perbuatan. Senandungkan ”Indonesia Raya” di mana saja Anda berada.

Tamrin Amal Tomagola,
Sosiolog, Menekuni Kajian Negara dalam Masyarakat
KOMPAS, 11 Mei 2010

Friday, May 21, 2010

Cul-de-Sac


POLITIK jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya ditentukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya anteng di komidi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang mungkin saja.

Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain -katakanlah yang muluk dan rumit- yang bisa menyeru dan memukau di luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih, bukan berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang "baik" bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia bukan sekadar angka-angka sebuah negeri?

Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makin lama makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme. Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang di luar itu. Juga ketentuan mana yang "baik" dan "buruk" dianggap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu kepentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transendental.


Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan "bukti" bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diperlakukan sebagai berhala besar yang berdiri di belakang para ventriloquist. Orang-orang ini berpura-pura menghadirkan suara yang datang dari langit, ya, dari berhala itu, tapi berangsur-angsur orang tahu bahwa yang bicara adalah perut manusia juga. Maka makin lama firman pun diragukan dasarnya: siapa tahu kata-kata suci itu hanya cerminan kecemasan satu kelompok manusia dalam kondisi sejarah tertentu. Sabda Tuhan yang meletakkan perempuan sebagai the second sex, misalnya, makin lama makin ditafsirkan sebagai ekspresi sebuah masyarakat yang dikuasai patriarki. Ayat yang menyuruh menghancurkan umat lain mulai ditafsirkan sebagai pantulan perebutan ruang hidup sebuah masyarakat lama.

Manusia lebih dewasa, tapi juga lebih mudah putus asa. Zaman modern adalah zaman yang menggugat. Di zaman inilah terjadi apa yang bisa disebut sebagai "transisi dari sukma ke jiwa", sebagaimana kata Terry Eagleton dalam bukunya yang terbaru, On Evil (Yale University Press, 2010). Dengan kata lain, manusia telah bergeser "dari theologi ke psikoanalisis".


Dan itu bukan transisi yang sulit. Sebab, tulis Eagleton pula, kedua-duanya adalah "kisah hasrat manusia". Kedua-duanya menganggap manusia dilahirkan dengan cacat. Agama Kristen menyebutnya "dosa asal", sedang kaum psikoanalis, dimulai oleh Freud, menyebutnya sebagai "neurosis".

Tak semuanya muram. Baik agama maupun psikoanalisis menganggap manusia yang cacat itu masih bisa diselamatkan. Bila bagi agama, penyelamatan itu tersedia dengan cara masuk Kristen atau agama yang lain; bagi psikoanalisis, orang bisa selamat dengan mengurai dan mengarahkan traumanya. Kedua-duanya mengakui ada yang tak terjangkau oleh bahasa dan pengetahuan manusia: bagi psikoanalisis, itulah "antah" atau "dunia bawah sadar"; bagi agama: yang "antah berantah" itu Tuhan.

Dengan transisi dari theologi ke psikoanalisis itu -ketika sukma manusia tak lagi diakui, dan yang diakui hanya jiwa (psyche)- orang diam-diam makin tak percaya bahwa ada hal-hal yang bisa disebut "transendental". Dalam ketidakpercayaan itu, nilai-nilai jadi sepenuhnya nisbi. Tak ada apa pun yang bisa mengatasi ruang dan waktunya sendiri. Yang "baik" bagi orang Kristen tak berarti "baik" bagi orang Islam. Yang "busuk" bagi orang Eropa abad ke-20 tak berarti "busuk" bagi orang Cina abad ke-21. Transendensi pergi. Imanensi menetap.


Tapi yang bagi saya menarik dan penting dalam pemikiran Eagleton ialah bahwa ia, seorang Marxis, tak melihat transendensi sepenuhnya bisa pergi. Banyak hal, misalnya seni dan bahasa, yang bukan sekadar respons dan pantulan keadaan sosialnya. Tapi itu tak berarti hal-hal itu "jatuh dari langit".

Demikian pula manusia. Jika tak ada konflik antara hal-hal yang lahir dari sejarah ("the historical") dan hal-hal yang melampau sejarah ("the transcendental"), hal itu karena sejarah justru "merupakan sebuah proses transendensi-diri". Inilah arti manusia sebagai "makhluk sejarah"; artinya ia yang mampu mengatasi dirinya sendiri. Maka ada transendensi yang "vertikal" dan ada yang "horizontal" -kata Eagleton. Yang pertama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tuhan, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus loncatan melampaui batas-batas sejarah.

Saya kira di sinilah kita bisa percaya bahwa politik mampu untuk bergerak meloncat melampaui pusarannya sendiri: politik yang terpanggil untuk menjangkau sesuatu yang transendental meskipun tak membawa-bawa Tuhan; politik yang merasa diseru untuk melakukan yang "baik" bagi semua orang meskipun itu usaha perjuangan sekelompok orang.


Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada politik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai yang menggugah manusia di luar cul-de-sac kita. Kita tak usah selalu menghalalkan bahwa politik tak lebih dan tak kurang adalah perhitungan kekuatan. Kita masih bisa menampik pandangan "siapa yang kuat akan dapat" dan "yang lemah tak akan pernah benar".

Maka kita perlu kembali ke politik yang tergoda oleh cakrawala: politik yang terpanggil untuk memperoleh dan memberikan nilai-nilai yang transendental.

Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat. Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi manusia.

Goenawan Mohamad
MBM TEMPO, 10 Mei 2010

Thursday, May 13, 2010

Sri Mulyani "Outside"


Tentang hal ini mungkin hanya yang bersangkutan yang merasakan. Dalam beberapa wawancara, ada isyarat bahwa Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebetulnya amat kecewa dengan mengatakan, kalau jadi atasan jangan pernah mengorbankan bawahan. Kita tentu mafhum siapa yang dia maksud dengan ”atasan”.

Terlepas apakah dia merasa ”dikorbankan” atau malahan sedang cari selamat, perjalanan karier SMI akhir-akhir ini memang penuh drama. Dari seorang super minister di era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I —saat merangkap jabatan Menkeu dan Menko Perekonomian— menjadi tidak berdaya menghadapi penolakan sejumlah anggota DPR di Komisi XI pada KIB II. Dari sosok yang pernah menjadi salah satu aset terpenting pemerintahan SBY, tiba-tiba menjadi beban politik yang membuat koalisi tidak kompak.

Dari berbagai peristiwa yang menimpa SMI, saya dapat menarik beberapa pelajaran yang merupakan inti dari tulisan ini. Hal itu penting untuk kita simak karena drama seperti ini bukanlah yang pertama kali menimpa para profesional pemegang jabatan tinggi. Sebelumnya, beberapa petinggi BI terbelit kasus BLBI dan Bank Bali. Berikut ini adalah beberapa pelajaran yang dimaksud.


Pertama adalah bahwa para profesional seperti SMI terkadang salah menafsirkan jabatan yang diembannya sebagai murni jabatan profesional. Padahal, menteri, dewan gubernur BI, dan jabatan lain sejenisnya adalah jabatan politis. Walaupun jabatan itu sering diberikan kepada para profesional dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari memerlukan keahlian di bidangnya, pada akhirnya jabatan itu harus dipertanggungjawabkan secara politis. Maka, menjadi sangat mengherankan ketika SMI dan kawan-kawannya uring-uringan manakala kasus Bank Century dibawa ke ranah politik.

Kalau sudah menyangkut pertanggungjawaban, dimensi politisnya jauh lebih kental dibandingkan dengan dimensi teknis ekonomi. Kasus Bank Bali menjadi salah satu alasan kenapa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR.

Bahkan, kasus Bulog secara tragis telah menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid walaupun ia secara hukum tak pernah terbukti korupsi. Esensinya, setiap keputusan dan kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan harus bisa dipertanggungjawabkan secara politis. Bukankah kebijakan publik tak perlu dipertanggungjawabkan dalam ruang kuliah atau di hadapan guru besar ekonomi?


Kasus unik
Kasus Bank Century memang tergolong unik karena nafsu para teknokrat untuk ”berkuasa” terlalu kental. Blunder pertama menyangkut pengambilan keputusan di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang tidak pernah dikomunikasikan secara politik kepada pemangku kekuasaan. Bahkan, Wakil Presiden yang ketika itu menjadi pejabat Presiden tidak diberi tahu.

Lebih parah lagi susunan KSSK hanya terdiri dari Menkeu sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Wajar saja kalau mereka berdua jadi bidikan utama. Sebaliknya, pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ”selamat” dari jerat hukum karena pengambilan keputusan tidak eksklusif dan intensif berkomunikasi politik dengan DPR. Padahal, BPPN sangat rawan korupsi.

Blunder berikutnya, dalam pelaksanaan keputusan bail out Bank Century ternyata tanpa konsultasi kepada DPR dan laporan tertulis yang sangat detail tidak pernah diberikan kepada para pemangku kekuasaan. Saat yang sama, Partai Demokrat tampak berada di atas angin dalam mendanai kampanye secara masif.

Perpaduan antara ketertutupan penanganan Bank Century dengan melimpahnya sumber daya keuangan Partai Demokrat menjadi penyebab timbulnya kecurigaan dari partai lain: jangan-jangan dana kampanye sebagian berasal dari Bank Century. Walaupun hal ini tidak pernah terbukti, kecurigaan semacam ini menjadi salah satu pemicu dibentuknya Pansus Century.


Kedua, terlalu sering SMI secara naif dan berlebihan menampilkan superioritas akademis di hadapan para politisi dan pengusaha. Latar belakang akademis seperti doktor dan profesor memang penting dalam mendongkrak kredibilitas, tetapi itu bukan instrumen untuk unjuk gigi. Terlalu sering saya mendapatkan keluhan dari para politisi dan pengusaha yang merasa gaya komunikasi SMI bernada melecehkan. Mereka seakan-akan dianggap seperti orang-orang yang kurang cerdas. Bahkan, beberapa menteri sejawatnya pernah mengeluhkan hal serupa.

Hal tersebut menimbulkan luka yang dalam dan bersifat personal. Ketidaknyamanan hubungan antarpersonal telah mempersulit penyelesaian kasus Century. Para politisi ini sering memuji SMI di dalam rapat hanya sekadar untuk menyindir, kecerdasan tak harus selalu diperlihatkan.

Ketiga, konsistensi menjadi bagian penting dalam menjaga kredibilitas kebijakan dan ini menjadi bagian tersulit dari pejabat publik yang mengandalkan diskresi. Contohnya, pada foto di halaman 1 Kompas (21/11/08) tampak Wapres Jusuf Kalla sedang memimpin rapat pada 20 November 2008 yang membahas situasi perekonomian. Selesai rapat, para pejabat di sektor keuangan meyakinkan publik bahwa keadaan ekonomi dalam kendali pemerintah. Malamnya, KSSK memutuskan bail out Bank Century dengan pertimbangan bahwa situasi perekonomian makin memburuk. Dua buah peristiwa yang saling bertolak belakang dan sulit diterima logika publik.


Konsistensi substansi
Kebijakan ekonomi juga dituntut memiliki konsistensi substansi di bidang keuangan negara, administrasi, dan hukum. Namun, kesalahan teknis kemudian berlanjut dari mulai tidak pernah ditetapkannya pagu dana talangan secara pasti, penyaluran dana kepada pihak yang terkait dengan pemilik lama, sampai akhirnya DPR terkaget-kaget ketika tahu dana talangan yang tersalur mencapai Rp 6,7 triliun pada pertengahan 2009.

Rentetan kesalahan teknis menjadikan kasus Century sangat sulit dipertanggungjawabkan secara profesional. Bahkan, hasil pemeriksaan BPK menyimpulkannya sebagai penyaluran dana ilegal karena tidak memiliki dasar hukum.

Logika Ilmu Ekonomi dan berbagai pertimbangan akademis tentu menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan. Akan tetapi, itu hanya bagian yang menentukan apakah langkah yang akan diambil tepat atau tidak. Setelah itu, tertib administrasi dan dukungan politik lebih berperan. Inilah yang dilupakan oleh SMI dan kawan-kawan karena sejak awal bail out tidak disertai dukungan politik.

Maka, saat BPK menemukan berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan, semua kesalahan ditimpakan kepada para pengambil keputusan. Itu bukanlah bentuk politisasi. Karena adalah tugas para politisi untuk menjamin bahwa semua keputusan eksekutif tak menabrak peraturan perundang-undangan.

Terakhir, saya menyimpulkan bahwa apa yang menimpa SMI merupakan wujud dari lemahnya daya adaptasi seorang profesional dengan lingkungan politik yang sedang mencari bentuk. Barangkali cuaca di Washington lebih bersahabat dengan dia.

Iman Sugema,
InterCAFE, Institut Pertanian Bogor
KOMPAS, 11 Mei 2010

Misteri "Penculikan" Sri Mulyani


Mundurnya Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan RI karena menerima tawaran untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia hingga kini masih merupakan misteri.

Misteri itu muncul karena, pertama, Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, merasa tidak pernah mengajukan lamaran untuk menduduki posisi apa pun di Bank Dunia (The Jakarta Post, 7/5/- 2010). Kedua, surat permintaan dari Presiden Bank Dunia Robert Zoellick kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dikirim pada 25 April 2010, tetapi mengapa baru diterima Presiden pada 30 April 2010.

Antara 30 April 2010-4 Mei 2010 Presiden Yudhoyono juga tidak pernah mengungkapkan adanya permintaan dari Bank Dunia tersebut kepada umum, seolah ada permufakatan terselubung antara Bank Dunia dan Presiden RI untuk ”menculik Sri Mulyani” dari Indonesia ke Amerika Serikat.

Ketiga, Sri Mulyani mengajukan pengunduran dirinya untuk menduduki jabatan baru di Bank Dunia per 1 Juni 2010, diajukannya pada 5 Mei 2010, hanya satu hari setelah ia untuk keempat kalinya diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan skandal Bank Century. Padahal, sehari sebelumnya ia meminta kepastian hukum mengenai status dirinya agar tugas-tugasnya sebagai menteri keuangan tidak lagi diboikot oleh sebagian anggota partai politik di DPR.


Keempat, jika benar Sri Mulyani dinilai oleh Robert Zoellick telah sukses membimbing Indonesia melewati resesi ekonomi global, sukses melawan korupsi dan memperkuat tata kelola yang baik di Kementerian Keuangan RI (Kompas, 6/5/2010), mengapa pula Bank Dunia tega ”menculik Sri Mulyani” dari Indonesia?

Mengapa pula Presiden Yudhoyono ”rela” melepas Sri Mulyani (Seputar Indonesia, 6/5/- 2010) jika memang Ani merupakan perempuan pertama yang menjadi menteri keuangan dan sangat cakap dalam memimpin kementeriannya bahkan mendapatkan penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik di Asia.

Kelima, terlepas adanya bantahan dari Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum soal adanya kaitan antara pengunduran diri Sri Mulyani dan deal politik pengangkatan Aburizal Bakrie sebagai ketua harian sekretariat bersama (Sekber) partai-partai koalisi (Kompas , 9/5/2010), publik tentunya patut menduga bahwa hal itu amat terkait satu sama lain. Apalagi Partai Golkar sudah mengisyaratkan akan menutup kasus Bank Century (Media Indonesia, 7/5/2010) yang merupakan momok bagi pemerintahan Presiden Yudhoyono.


Pro dan kontra
Di mata penulis, Sri Mulyani adalah satu dari sekian banyak alumnus Universitas Indonesia (UI) yang terjun langsung memberi andil pada kejatuhan rezim otoriter Soeharto.

Ani, yang pada tahun 1998 masih menjadi Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) FE UI, bukan saja aktif mengikuti diskusi-diskusi yang digalang alumni UI dan ITB, melainkan juga memberi tempat di kantornya di FE UI untuk mengadakan rapat-rapat membahas bagaimana kebijakan ekonomi Indonesia ke depan jika Soeharto benar-benar dapat ditumbangkan.

Ani juga seorang yang konsisten pada pendiriannya, terlepas badai datang dari berbagai arah mengkritik kebijakan reformasi birokrasi di jajaran Kementerian Keuangan, termasuk di Direktorat Jenderal Pajak. Langkahnya dalam artian tersurat ataupun tersirat amat tegas. Sorot matanya juga menunjukkan ketegasan dan keberaniannya menantang badai.


Amat naif
Namun, Ani juga memiliki kelemahan. Pertama dan paling utama ialah tampaknya ia masih anak Semarang tulen meski dilahirkan di Tanjung Karang, Lampung, yang sangat ”njawani ” dalam artian negatif, yaitu ”mikul nduwur mendem jero” yang tetap memegang kerahasiaan apa yang diperintahkan atasan kepadanya. Ini bertentangan dengan transparansi politik dan menyulitkan pembukaan tabir misteri skandal Bank Century. Ani juga seorang yang, maaf, ”who cannot say no to her number one boss” meski mungkin perintah itu salah.

Terlepas dari kebijakan penalangan Bank Century memang untuk mencegah terjadinya tragedi perbankan seperti pada 1997-1998, hingga kini masih juga menjadi misteri apakah kebijakan itu juga sangat terkait dengan banyaknya uang keluarga dan atau kroni penguasa serta perusahaan BUMN yang tersimpan di Bank Century.

Jika bank itu tak dibantu, uang para nasabah yang dekat dengan kekuasaan itu akan ”pergi dan tak akan kembali lagi”. Keingintahuan kita ini jangan dianggap mencurigai kekuasaan karena hingga kini masih banyak nasabah Bank Century yang miliaran rupiah depositonya di Bank Century hingga kini belum juga dicairkan dan dikembalikan kepada yang berhak.

Kedua, Ani adalah seorang ekonom yang andal, tetapi, lagi-lagi maaf, amat naif dalam soal politik. Tak heran bila pertarungannya untuk menerapkan kebijakan pajak yang konsisten tanpa pandang bulu selalu kandas bila itu menyangkut pajak terutang dari perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie. Pertanyaannya, mengapa ia tak mengundurkan diri saja ketika persoalan pajak perusahaan Bakrie ternyata dikandaskan oleh kekuatan politik di atasnya?


Hingga kini masih terdapat pro dan kontra soal kepergian Ani ke Washington DC. Ada yang merelakannya pergi demi menjalankan tugas negara yang diembankan kepadanya di Bank Dunia. Ada pula yang mencemooh karena ia meninggalkan persoalan yang belum selesai, yaitu soal Bank Century, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan RI, dan soal penyelesaian atas para pengemplang pajak.

Satu hal yang amat keras, ada kelompok yang terus mendesak agar Sri Mulyani dicekal untuk pergi ke luar negeri karena dianggap sebagai penjahat yang merugikan keuangan negara atau rakyat Rp 6,7 triliun.

Meski Ani ingin meninggalkan Indonesia dengan status hukum yang pasti soal dirinya, harapan itu tampaknya hanya impian belaka. Ia pergi dengan perasaan kecewa yang mendalam karena bos nomor satunya tidak pernah berusaha melindungi dan mengambil alih tanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya. Memang Presiden Yudhoyono pernah mengatakan bertanggung jawab atas tragedi Bank Century sehari sebelum Sidang Paripurna DPR membahas hasil kerja Pansus Bank Century, tetapi itu hanya ucapan tanpa makna.

Kita hanya berharap Sri Mulyani akan semakin tegar dalam menjalankan tugas barunya di Bank Dunia. Itu semua demi nama baik Indonesia. Semoga Ani tidak menjadi orang yang kalah atau takut mengungkapkan kebobrokan Bank Dunia jika memang institusi itu semakin memiskinkan negara berkembang yang berutang kepada Bank itu. Penulis yakin, Sri Mulyani bukanlah coward atau seorang pecundang. Bukan mustahil ia bahkan dapat menjadi orang nomor satu di negeri ini pada 2014!

Ikrar Nusa Bhakti,
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta
KOMPAS, 11 Mei 2010