Wednesday, December 7, 2016

Pulihkan Kedamaian Dan Persatuan Kita


Ada dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya. Saya rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita saat ini.

Bangsa Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya amati juga terjadi di seluruh tanah air. Yang semula isunya cukup sederhana dan bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi rumit.

Gerakan massa yang mengusung tema mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu, pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru.

Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan krisis?  Menurut saya tidak. Saat ini tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.

Hati-hatilah memimpin rakyat, karena mereka bukan mesin dan bukan robot, tapi manusia.

Dalam situasi seperti ini, secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk sementara saya menutup komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), daripada kami semua kena fitnah.

Saya masih ingat ketika saya melakukan klarifikasi atas informasi (baca: fitnah) yang sampai ke pusat kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya berpikir, tak baik jika saya berdiam diri. Oleh karena itu, melalui wahana inilah saya ingin menyampaikan harapan dan pandangan sederhana saya tentang solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.

Memburuknya situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini, sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif. Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci.

Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah terjadi trust deficit. Karenanya, menurut pandangan saya saat ini prioritasnya adalah  mengembalikan  kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.

Selesaikan setiap masalah dengan cermat, cepat, tegas dan tuntas, dan tanpa menimbulkan masalah baru.

Mengalirkan isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya menurut saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horisontal. Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara.

Upaya untuk membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan. Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horisontal baik di Jakarta maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.

Sementara itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan. Dulu ketika saya mengemban tugas sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan internasional.

Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah isu pelanggaran HAM. Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri. Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara, apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap rule of law.

Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan.

Tetapi dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang penjatuhan Presiden Jokowi. Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.

Di samping ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka. Terus terang saya kurang percaya. Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara makar?

Demikian juga, jika ada pihak di dalam lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan kekuasaan, apakah saat ini juga sudah gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden, pemimpin yang telah mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.

Memang sekarang ini yang namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang sudah menjadi korban, termasuk saya. Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk yang mengadu-domba saya dengan Pak Jokowi, misalnya.


Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan logika bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa bukan? Semua harus waspada. Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang memancing di air keruh.

Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini. Banyak yang berpendapat bahwa “mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tetapi uang (money power).

Saya amat sedih jika menyimak penggunaan bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu. Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih lagi anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya mereka juga telah menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling bermusuhan.

Sementara itu, jangan sampai pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga diisukan adanya Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan Jenderal.


Berbicara tentang makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyatnya kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi politik.

Kalau kita paham konstitusi, seorang Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara, seorang penguasa jatuh oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja. Tak mungkin seorang elit politik sendirian bisa menciptakan revolusi sosial dengan mudahnya.

Saya jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Namun saya tetap tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. Saya tetap bekerja, dan terus bekerja. Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk mempidanakan mereka. Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat dan turunkan SBY" akhirnya cepat berlalu ....

Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden lagi. Sabar. Jangan nggege mongso.


Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang ada, menurut saya sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), sehingga harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis.

Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.

Musti diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Dalam keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa absolut". Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat.


Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.

Saya berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan.

Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....


Dalam situasi seperti ini, sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kebersamaan kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.

Akhirnya, menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10 tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak ....

Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden RI ke-6
Harian Rakyat Merdeka, 28 November 2016

Wednesday, November 9, 2016

Umat Islam Indonesia Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri


Andaikan kalah di satu pertempuran (battle), tidak mengagetkan bagi pasukan yang bersiap menjalani peperangan (war) yang panjang. Raka’at pertama yang umpamanya kurang utuh, pasti mendorong raka’at-raka’at berikutnya akan menjadi lebih utuh dan khusyu. Umat Islam Indonesia tidak memuncakkan perjuangannya pada 4 November 2016, sebab mereka menata nafas untuk Jurus Raka’at Panjang dalam sejarahnya yang penuh tantangan, ancaman dan penderitaan.

Selama ini saya diberi gambaran bahwa sesudah pemecah-belahan Uni Sovyet, Balkanisasi dan Arab Spring, sekarang ada formasi baru persekongkolan internasional yang bekerja keras dan sangat strategis untuk menghancurkan Islam dan Indonesia. Kemudian agak lebih mengarah: merampok kekayaan Negara Indonesia dengan cara memecah belah Bangsa Indonesia dan utamanya Umat Islam. Sekarang tampaknya semakin terlihat penggambaran baru yang lebih spesifik dan akurat.

Yakni bahwa NKRI bukan akan dihancurkan, melainkan akan dimakmurkan, tetapi bukan untuk rakyat Indonesia. Kedaulatan politik, bangunan konstitusi, pasal-pasal hukum, tanah dan modal, alat-alat produksi, serta berbagai perangkat kehidupan dan penghidupan ––tidak lagi berada di tangan kedaulatan Bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia tetap dikasih makan dan bisa ikut kecipratan sedikit kemakmuran, asalkan rela menjadi pembantu rumahtangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos yang setia dan patuh kepada Penguasa baru NKRI, yang merupakan kongsi dari Dua Adidaya dunia. Syuraqoh, alias keserakahan, diteknokrasi sedemikian rupa.


Sukar saya hindari penglihatan bahwa yang paling sengsara di antara bangsa dan rakyat Indonesia adalah Umat Islam, karena mereka didera dua penjajahan. Di samping ada paket penguasaan atas NKRI, terdapat juga disain untuk mendevaliditasi Islam di kalangan pemeluknya. Ini berposisi sebagai cara atau strategi penguasaan NKRI, maupun sebagai tujuan itu sendiri untuk memaksimalkan de-Islamisasi kehidupan bangsa Indonesia. NKRI tidak boleh menjadi Negara Islam, artinya boleh menjadi Negara Agama selain Islam.

Hampir selama 40 tahun, intensif 20-an tahun belakangan, saya keliling jumpa rakyat rata-rata 10.000 orang perminggu untuk ikut memelihara ke-Indonesiaan, keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan antar golongan apapun yang dinding-dindingnya mungkin etnik, agama, parpol, madzhab, aliran, muara-muara kepentingan, segmen-segmen dan level. Agenda saya adalah membesarkan hati mereka, merabuki optimisme penghidupan dan keyakinan akan masa depan mereka. Kalau orang bilang pluralisme, mereka saya himpun dan ayomi sebagai semacam keindahan orkestrasi. Kalau disebut toleransi, saya carikan formula, aransemen, modulasi sosial untuk puzzling dan saling paham atas batas-batas di tengah kemerdekaan.

Kalau ada kelompok terlibat bentrok dengan lainnya, saya disuruh menambal dan menyatukan kembali. Kalau ada yang diserbu, saya ditugasi untuk menyiapkan segala sesuatu untuk melindungi dan menampung. Saya minta kepada Tuhan agar dianugerahi ilmu untuk menemani rakyat, agar berada dalam keseimbangan hubungan, meracik skala prioritas dan tata-etika untuk disepakati, dengan menomorsatukan keutuhan kemanusiaan dan kebangsaan. Saya ditarik untuk menemani mereka mencari solusi-solusi dalam rembug pengetahuan atau diskusi ilmu dan kasih sayang, minimal 5 jam, bahkan sering berlangsung hingga dihentikan oleh Subuh.


Akan tetapi saya dan kami semua diam-diam ditikam dari belakang. Kami dimunafiki: bilangnya satu dalam perbedaan, tapi diam-diam di belakang punggung menciptakan pecahan-pecahan, menanam perilaku yang menimbulkan amarah, kebencian, permusuhan dan dendam. Saya mengajak kaum Muslimin untuk “la ikroha fiddin” dan memahami metoda-metoda tasammuh atau toleransi, untuk secara rasional menata ke-Indonesiaan. Tetapi diam-diam Kaum Muslimin digerogoti dari belakang: pergerakan-pergerakan sangat taktis dan strategis dari upaya-upaya de-Islamisasi penduduk kampung-kampung, de-Islamisasi Kraton, hingga de-Islamisasi Pemerintahan Nasional, dengan plan dan timeline yang seksama, sangat kentara, bahkan terang-terangan dengan arogansi dan keculasan.

Bahkan Kaum Muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk mempercayai bahwa demokrasi tetap gagal selama pemimpin nasionalnya berasal dari mayoritas. Demokrasi tercapai sempurna kalau pucuk pimpinannya adalah tokoh minoritas. Kalau mayoritas berkuasa itu artinya diktator mayoritas dan intoleransi. Kalau minoritas berkuasa itu maknanya demokrasi dan keadilan. Kalau orang Islam dibunuh, itu perjuangan melawan radikalisme dan fasisme. Kehancuran Islam adalah tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi. Penguasaan atas Kaum Muslimin dilakukan atas dasar subyektivitisme Ras dan Agama para pelakunya, kalau Kaum Muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA. Umat Islam dipaksa untuk menerima kehendak kekuasaan, dan kalau menolak mereka disebut memaksakan kehendak. Umat Islam diinjak, kalau bereaksi dituduh tidak toleran, anarkis dan radikal.

Sebenarnya selama puluhan tahun terakhir, proses pengikisan hak milik, penjebolan kedaulatan dan penguasaan harta benda Ibu Pertiwi, juga pencurangan cara berpikir tentang mayoritas-minoritas seperti itu sudah berlangsung. Tetapi kemudian, sukar saya elakkan pandangan, bahwa melalui rekayasa penyelenggaraan kepengurusan yang baru atas institusi Negara, dengan tiga tajaman di ujung Trisula politiknya, serta pendayagunaan seluruh perangkat lembaga pengelolaan itu, termasuk kerjasama proaktif dengan media-media informasi tertentu, pun jangan lupa sebagian tokoh dan institusi atau organisasi Islam tertentu yang dipekerjakan: hal itu dipacu maksimal dan total. Sampai Tanah Air Ibu Pertiwi Indonesia bukan lagi milik pribumi asli Indonesia. Dari kursi nomer satu di puncak kuasa hingga sejengkal tanah di pelosok desa, akan berangsur-angsur menjadi bukan lagi milik rakyat Indonesia.


Logika normalnya, siapa menolak kenyataan itu, akan hanya tersisa tempat untuk menjadi gelandangan di kampung sendiri. Dan kalau memberontak, akan dibunuh dengan berbagai jenis dan kadar pembunuhan. Kalau pemberontakannya sangat merepotkan, maka harus dimusnahkan. Rakyat Indonesia dikelabuhi secara intelektual, dininabobo secara mental, ditipudaya secara politik dan hukum, ditelikung secara ideologi, dikanak-kanakkan melalui tayangan-tayangan, disesatkan pengetahuannya, dikebiri keksatriaannya, serta ditidak-seimbangkan cara pandang kehidupannya.

Para ilmuwan, aktivis atau para tradisionalis penghitung sejarah dipersilahkan menjelaskan bebendu sejarah yang sedang deras dilangsungkan itu melalui tema Perang Asia Pasifik, Perang Asimetris, Kubhilai Khan seri-II, Manifestasi Dajjal yang “mensorgakan neraka dan menerakakan sorga”, kulit dan mata Ya’juj Ma’juj, “wong jawa gari separo cina landa gari sakjodho”, tafsir baru 500 tahun Sabdopalon Noyogenggong, atau apapun. Yang pasti rakyat asli Nusantara Indonesia sedang dikurung oleh perampokan dan penjarahan besar-besaran, di mana mereka belum ada 10% pun menyadarinya.

Kalau para pejuang kebenaran 411 tidak memperoleh goal yang dimaksudkannya pada ‘pertempuran awal’, tidak boleh kaget dan malah perlu introspeksi total. Misalnya, karena medan perang dan sasaran tembaknya dipersempit menjadi hanya Al-Maidah 51, yang di dalam ketersediaan pasal pidana tidak sukar untuk di-syubhat-kan. Tidak ada tonjokan tentang kasus-kasus korupsi, reklamasi, atau penyiapan Jakarta untuk pilot project disain penjajahan nasional. Lebih 90% kejahatan manusia tidak selalu bisa dijangkau oleh hukum: ketidak-berbudayaan dalam memimpin, ‘hawa’ negatif eksistensinya, kejinya ucapan, brutalnya tindakan, aura dan nuansa kebenciannya kepada Islam, dst.


Pejuang 411 terfokus pada setitik hilir dan belum menemukan determinasi terhadap hulunya yang dahsyat. Juga para pejuang 411 tidak tepat untuk meneruskan himbauan atau desakan kepada para pelaku sistem kekuasaan, institusi, pejabat pemerintahan atau atasan-atasan, agar turut menembak sasaran yang mereka tembak. Sebab harus berjaga-jaga siapa tahu mereka semua adalah bagian dari suatu formasi kekuatan yang justru bertugas menjaga jangan sampai sasaran itu kena tembak.

Umat Islam perlu melakukan ke dalam dirinya sendiri (Islam dan Kaum Muslimin) muhasabah komprehensif. Kaum Muslimin tidak bisa menunda waktu lagi untuk lebih meng-Islamkan dirinya, sebab itulah modal paling kuat untuk mempertahankan Indonesia. Kaum Muslimin di setiap titik harus menyelenggarakan tahqiqi ke-Islaman sampai ke anak-anak dan cucu-cucu mereka. Menyusun tradisi budaya kependidikan Ta’limul Islam, Tafhimul Islam, Ta’riful Islam, Tarbiyatul Islam hingga tertradisikan Ta’dibul Islam. Setiap lingkaran Muslimin memastikan perkumpulan yang berlatih bersama untuk tidak ditimpa kemalasan berpikir, berpuasa dari egosentrisme kelompok, melawan tradisi amarah, atau memasrahkan persoalan-persoalan kepada para pemimpin, padahal pada saat yang sama sesungguhnya mereka tidak benar-benar percaya kepada pemimpin.

Umat Islam tidak perlu melemahkan dirinya terus menerus dengan khilafiyah dan ikhtilafiyah, apalagi dengan tema-tema furuíyah. Aliran-aliran (produk tafsir) ke-Islaman tidak bisa mengelak lagi untuk mulai duduk bersama, ber-majlis-fatwa bersama, memandu umat mereka berhimpun dan bersatu di dalam kebijakan sejarah “wa amruhum syuro bainahum”. Mengkonsisteni keseimbangan berpikir, keadilan sikap, cerdas kapan hitam-putih kapan warna-warni, serta memastikan bahwa Umat Islam tidak dipersatukan oleh kebencian bersama kepada pihak yang memusuhi mereka. Melainkan berukhuwah sejati karena iman kepada Allah, cinta kepada Kanjeng Nabi dan penjunjungan kepada Al-Quran yang Allah Sendiripun maha bekerja untuk menjaganya.


Termasuk tidak membiarkan kebiasaan mudah kagum, gampang terhanyut, mentakhayulkan idola, Satrio Piningit, Ratu Adil, atau bahkan Imam Mahdi, tanpa mengelaborasinya dengan akal sehat dan rahasia firman. Syukur akhirnya Allah menghidayahi Umat Islam untuk memiliki keridlaan sebagai “ummatan wahidah”, umat yang satu dan selalu menyatu. Dengan kepemimpinan yang juga satu, yang Allah sendiri Maha Pengangkat dan Pelantiknya. Mohon mafhum ini bukan gagasan tentang Imamah.

Salah satu modal Kaum Muslimin adalah mereka yang memusuhinya beranggapan dan meyakini, bahwa berdasarkan teori peperangan: Kaum Muslimin Indonesia kalah hampir di semua segi. Modalnya, pengorganisasiannya, kohesi keumatannya, mesiunya, penguasaan medan dan cuacanya, soliditas pasukan-pasukannya yang jahr maupun yang sirr. Mereka juga menyangka bahwa hizbullah 4 Nov adalah gambaran maksimal kekuatan Kaum Muslimin.

Ada sejumlah dimensi, kekuatan, aura, energi, probabilitas “min haitsu la yahtasib”, immanensi “inna nahnu nazzalnadzdzikro wa inna lahu lahafidhun”, rahasia “wamakaru wamakarallah wallahu khoirul makirin” dst, dst, yang semua penguasa di dunia sejak zaman Nabi Nuh hingga Abrahah serta para adikuasa abad-abad mutakhir, tidak pernah serius memperhitungkannya. Apalagi untuk konteks Nusantara Penggalan Sorga dengan sejarah tanah liat dan Tapel, dengan Iblis Smarabhumi dan Izroil, yang dianggap klenik dan khoyal, sehingga akan membuat mereka salah sangka di ujung penjajahannya atas tanah berkah ini. Fa’álul-lima Yurid, Allah Maha Bekerja mewujudkan kehendakNya.


Saya sendiri, bersama saudara-saudara yang bersama saya, hanyalah manusia, sehingga lemah dan tak berdaya. Yang Maha Kuat dan Maha Berdaya adalah Allah swt. Dan dengan segala ketidakberdayaan itu saya sudah berkali-kali membisikkan ke telinga para syuraqoh penindas manusia dan penganiaya nilai-nilai hakiki Tuhan yang hari-hari ini sedang berbuat adigang-adigung-adiguna di Tanah Air Indonesia: “Tolong dipikir ulang, agar tidak menyesal kemudian.”

Ke mana-manapun berpuluh tahun saya menghimpun para pecinta Allah, berupaya menambah jumlah hamba-hamba agar dicintai Allah, “mengelola arus positif dan negatif menjadi cahaya”. Saya sedih oleh permusuhan, selalu menikmati persaudaraan dengan semua makhluk Tuhan, dan saya tidak bahagia harus bersiap untuk kemungkinan lainnya.

Yogyakarta, 8 November 2016

Muhammad Ainun Nadjib
alias Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
https://caknun.com/2016/ummat-islam-indonesia-dijadikan-gelandangan-di-negerinya-sendiri/

Sunday, October 16, 2016

Sekolah 24 Jam, untuk Apa?


Kebijakan pendidikan berupa full day schooling sebaiknya dibatalkan. Menerapkan kebijakan berkonsep mentah di bidang pendidikan sama saja dengan membuat semua peserta didik menjadi kelinci percobaan, mengotak-atik masa depan negara-bangsa melalui anak-anak yang lugu tak berdaya. Jangan mempermainkan pendidikan hanya bersendikan kekuasaan formal.

Tanggapan harfiah full day schooling, yaitu siswa berada sehari penuh di sekolah, harus ditolak karena membebaskan orangtua dari tugasnya mendidik anak-anaknya sendiri. Rumah adalah home, sekolah kedua dan orangtua adalah guru kedua anak di rumah. Anak butuh family education. Ada nilai-nilai kekeluargaan khas yang pantas kita hormati kalau kita tidak mau negara kita menjadi totaliter.

Di samping family education, anak-anak Indonesia, selaku warga dari negara-negara yang merdeka, memerlukan pula formal education. Ia berupa proses pembelajaran nasional yang mengembangkan mereka dari makhluk menjadi warga negara terbaik dan yang terbaik dalam diri warga negara ––to cultivate the best citizens and the best in citizens. Berarti yang kita perlukan adalah education, bukan schooling. Schooling memang beda dengan education. Mengidentikkan kedua nomenklatur kerja ini bisa dan sudah mengacau pelaksanaan pendidikan selama ini.

Schooling secara esensial berurusan dengan keterpelajaran (scholarship), yaitu kemampuan intelek untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan, dari pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, dan berujung pada penguasaan teknikalitas. Semua jenis kemampuan tersebut diperlukan bagi anak didik sebagai bekal kelak bagi pencapaian kehidupan yang layak. Education however is more than that. Then what is this "more" ?!


Manusia terdidik (educated man) bukanlah orang yang menuntut kiat dan ilmu pengetahuan demi manfaat komersialnya. Spirit begini dapat betul-betul merusak konsep pendidikan karena mendegradasi sekolah menjadi sekadar training institutes, mengelirukan bayangan sebagai substansi. Pendidikan merupakan sejenis tangga yang kita panjat dari informasi ke pengetahuan, dari pengetahuan ke ilmu pengetahuan, dan selanjutnya meningkat lagi ke kearifan. Yang dibina kemampuan penuh-utuh keseluruhan siswa, tidak hanya inteleknya.

Gagasan full day schooling diketengahkan, katanya, demi meningkatkan karakter siswa yang tidak tercakup secara eksplisit dalam pembelajaran mata pelajaran yang berlaku. Jika demikian, justru untuk keperluan itulah maka diperlukan education, bukan schooling.

Namun, apakah pendidikan karakter yang diniscayakan ini memerlukan waktu yang begitu banyak hingga siswa perlu diukur dan diatur dengan banyaknya (jumlah) jam yang dihabiskan? Pendidikan karakter hendaknya jangan diukur dengan banyaknya (jumlah) jam yang dihabiskan oleh pendidikan ini, melainkan durasi jam belajar yang pada umumnya berlaku sebagai standar di setiap jenjang dan jenis pendidikan. Dalam hal ini bukan yang banyak itu baik, tetapi yang baik itu adalah banyak. Dengan kata lain, waktu belajar yang tersedia diisi dengan kegiatan didaktis yang memberikan teladan terbaik, dengan program kerja kolektif yang mendukung atau mengukuhkan pembentukan sikap dan perilaku positif.

Pelaksanaan program kerja kolektif mau tidak mau memerlukan pemimpin. Siswa perlu dibiasakan sedini mungkin mengakui dengan jujur “kelebihan orang lain” dan berdisiplin. Melalui kejadian yang terarah, siswa akan banyak belajar berkomunikasi. Selaku makhluk sosial, kinerjanya sangat bergantung pada kepiawaiannya berkomunikasi. Dan melalui kerja sama kolektif dan positif itu mereka akan menemukan minat dan bakatnya sendiri. Setiap orang punya bakat dan kemampuan berlainan yang tidak gampang dikuantifikasi dengan hanya sekadar tes IQ.


Pembentukan karakter
Harus diakui bahwa pembentukan karakter memerlukan waktu. Selain itu, keteladanan ikut berperan dalam pembentukan tersebut. Ia berasal ––disengaja atau tidak, disadari atau tidak–– dari orangtua, teman sebaya (peer group), lingkungan, dan organisasi masyarakat.

Selaku lembaga pendidikan yang adalah merupakan bagian dari kebudayaan, nilai-nilai yang dapat diajarkan sekolah kepada siswa/mahasiswanya selaku calon warga negara andalan adalah disiplin diri (self discipline), jujur, tanggung jawab, nasionalisme, gotong royong, kemandirian, kemaritiman, kewirausahaan, sense of holistic interrelationship, dan spirit kepanduan.

Apabila pembelajaran ilmu pengetahuan dilakukan dengan betul dan konsisten sesuai dengan metode ilmiah yang tepat dan ketat (regorous), ia dengan sendirinya akan mengukuhkan nilai-nilai keintelektualan tadi.


Kebajikan keilmuan dissent (membantah), misalnya, akan mengukuhkan nilai self discipline, originality, dan tolerance akan mengukuhkan nilai “gotong royong”, sehingga the habit of truth merupakan “nilai jujur” yang sebenarnya. Sedangkan freedom of inquiry dan thought and speech adalah nilai kemandirian. Jadi, kalau metode ilmiah sudah diterapkan dengan baik dan konsisten, karakter sudah akan menjadi second nature.

Nilai kekeluargaan apa yang relevan dan perlu kita biasakan pada anak sedini mungkin? Ia berupa serangkaian pertanyaan yang perlu direspons anak. Apakah mereka mengatakan kebenaran kepada sesama dan diri sendiri? Apakah mereka turut ambil bagian dalam setiap kerja kolektif/berkelompok? Apakah mereka dapat mengendalikan/mengekang diri dan menyalurkan dorongan agresif pribadinya secara benar? Apakah mereka dapat dipercaya jika diberi tanggung jawab dalam bertugas, mengenai keuangan dan hal-hal lainnya?

Kemudian kalau memang bertalenta positif/kreatif, apakah mereka sudah memanfaatkannya? Apakah mereka ikhlas membantu penyandang cacat atau anak-anak difabel? Apakah mereka punya toleransi sosial, religius, ideologis, dan politis?


Melampaui persekolahan
Keberadaan seorang anak diawali dengan pengakuan anak terhadap larangan/pantangan. Anak-anak perlu dibiasakan untuk menerima larangan-larangan tertentu (the don'ts). Jika anak belajar hidup dewasa, dia harus memulainya dengan menghargai (respecting) orang dewasa yang paling dia kenal, yaitu ibu dan bapaknya, serta nenek dan kakeknya. Dengan belajar mematuhi orangtuanya, anak akan memiliki kebebasan dalam batasan yang pasti.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang perlu diwujudkan adalah full day education, bukan full day schooling. Berarti menteri pendidikan dan kebudayaan perlu bertugas sesuai dengan sebutan itu, sebab lembaga resmi yang dipimpinnya adalah “Kementerian Pendidikan”, bukan “Kementerian Persekolahan”, dan itu semua merupakan bagian dari kebudayaan (sistem nilai yang kita hayati).

Pendidikan jauh melampaui (transcends) persekolahan. Dan dalam kerangka full day education, ia bermakna proses pembentukan disposisi intelektual dan emosional ke arah keterdekatan (closeness) dengan alam dan sesama manusia, sehingga kita semua menjadi betah (at home) menetap di mayapada.


Makna ini jika dipahami dengan betul bisa mengantar ke penghayatan pengertian Pendidikan yang berhuruf awal P kapital, yaitu “pendidikan seumur hidup”, life long education yang dicanangkan oleh UNESCO. Hal ini hendaknya jangan ditafsirkan sebagai full day schooling, tetapi sebagai kesadaran bahwa manusia perlu belajar sendiri meneruskan studi formalnya di sekolah. Bukankah adagium ini yang persis diucapkan oleh Rasulullah SAW pada abad VII, yaitu “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat”?

Maka, Pendidikan berinisial P kapital berarti suatu proses yang membiasakan manusia sedini mungkin menggali, mengenali, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna, bermanfaat dan berfaedah bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Demikianlah, sebelum nasi menjadi bubur, senyampang masih bisa dikendalikan oleh pencetusnya sendiri, pelaksanaan full day schooling yang berkonsep serba mentah, sebaiknya distop saja. Untuk apa menghamburkan energi bagi hal yang tidak berguna? Bertindak hanya untuk bertindak, berkebijakan berhubung aji mumpung? Jangan main-main dengan pendidikan karena masa depan negara-bangsa menjadi taruhannya.

Daoed Joesoef,
Alumnus Université Pluridisciplinairs Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 14 Oktober 2016

Thursday, September 1, 2016

Manusia Dubuk


Dubuk atau hyena adalah binatang jenis anjing atau serigala yang tulang punggungnya membentuk diagonal dengan leher dan kepalanya. Binatang ini amat menyebalkan dilihat dari etika manusia.

Mereka yang rajin menonton tayangan National Geographic akan sering menyaksikan "kebinatangan" kelompok ini. Mereka selalu muncul dalam gerombolan. Kerja mereka hanya merampok hasil kerja keras binatang lain, seperti macan, singa dan binatang buas lainnya.

Tampaknya mereka tak pernah bekerja keras memburu mangsanya. Gerombolan serigala masih lebih terhormat walaupun mereka ramai-ramai dalam memburu korbannya.


Simbol kepengecutan
Di kalangan binatang pun, dubuk tidak terhormat. Singa sering membunuh mereka, dan jasadnya tidak pernah mereka makan, tetapi dibiarkan saja untuk menjadi santapan burung-burung bangkai. Mengapa alam mengizinkan makhluk semacam ini tetap terus hidup?

Kepengecutan merupakan ciri utama kaum dubuk. Semakin besar gerombolannya, mereka semakin berani. Dan ketika dalam kelompok kecil, mereka tak berkutik. Apalagi sendirian, pasti akan ngacir, takut lehernya dipatahkan singa.

Itulah sebabnya manusia bangga mengidentifikasikan diri dengan keberanian binatang-binatang tertentu, seperti elang, singa, jaguar, dan cheetah. Mereka ini pekerja keras dalam memburu korbannya, dan melakukannya sendirian. Simbol-simbol binatang pemberani itu sangat digemari para raja dan kesatria. Namun, tak seorang pun memilih simbol dubuk meskipun seorang bajak laut, perampok bank, geng motor, dan mereka yang suka tawuran.

Dubuk adalah simbol kepengecutan. Beraninya bergerombol. Bangsa dubuk tak pernah punya pahlawan. Kepahlawanan adalah keberanian seseorang. Bangsa dubuk hanya mengenal perebutan dari hasil kerja keras orang-orang lain. Mereka kaum konsumtif yang rakus. Mereka tidak mau kerja keras dan tidak mengenal arti kerja keras yang produktif. Mereka menunggu keberhasilan orang lain yang akan dijarah rayah habis-habisan secara bergerombol dan ramai-ramai.


Banyak bangsa maju yang berprinsip seperti tabiat singa dan rajawali. Mereka pemuja keberanian individual. Mereka menganggap negara sebagai rumah kaum pemberani, bukan rumah kaum pengecut yang licik. Pemujaan keberanian individual yang terlalu tinggi itu menyebabkan mereka tak segan-segan menghargai kaum kriminal sebagai bagian dari mitos keberanian bangsanya. Mereka yang gugur membela nama negara-bangsanya dihormati sebagai pahlawan.

Apa yang tidak dimiliki kaum dubuk adalah kepercayaan diri personal. Kepercayaan diri baru muncul setelah berada dalam gerombolan. Semakin besar gerombolan, kepercayaan diri dan keberanian muncul. Tak ada seorang pun koruptor yang tertangkap basah dengan gagah berani mengakui perbuatannya.

Bahkan, koruptor yang tertangkap dengan gagah berani bersikap layaknya pahlawan, karena merasa temannya banyak. Itulah mental dubuk. Kepercayaan diri yang tinggi sebagai seorang dubuk adalah tanda kepahlawanan kaum dubuk.


Mentalitas dubuk
Bagaimana gejala mental dubuk ini kini ada di mana-mana? Padahal di tengah persaingan dalam dunia modern yang semakin keras ini, keunggulan personal amat diperlukan. Hanya mereka yang berani bekerja keras, mandiri, biasa mengasah kecerdasan, tahan banting, dan pantang menyerah akan memenangi persaingan.

Bagi yang bermental dubuk, yang pemalas, konsumtif, dan pendidikan tanggung akan kalah dalam persaingan dan kekerasan dunia modern. Mereka hanya dapat mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan dalam kelompok senasib. Tawuran seharusnya tak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan bermutu, di kompleks kaum terdidik, tetapi di gerombolan putus sekolah, pengangguran dan pemabuk, serta pejabat-pejabat yang tanggung mentalitasnya, yakni terdidik tetapi tetap bodoh.

Pada 1977, Mochtar Lubis pernah menyinggung mental dubuk ini di majalah Budaya Jaya, kemudian diterbitkan sebagai buku, dan menjadi populer dalam mengungkapkan sisi jelek watak bangsa ini. Antara lain ia menyebut adanya sikap kurang tanggung jawab. Saling lempar tanggung jawab apabila terjadi kesalahan yang berdampak kepada publik, merupakan kisah lama yang masih terus berulang.

Mengakui kesalahan dan mundur dari jabatan belum menjadi sikap mental kita. Seekor singa yang luka sehabis bertempur melawan korbannya, lebih tahu diri, yakni menyingkir dari kelompoknya dan mati sendirian.


Juga disebutkan adanya sikap munafik yang keras kepala membenarkan atas tingkah lakunya yang jelas-jelas salah di depan publik. Bagi kaum dubuk, merampas kerja keras binatang lain itu adalah kebenaran. Itulah sebabnya mereka dapat “ketawa-ketiwi” sehabis merampok uang negara.

Mental feodal juga dimiliki kaum dubuk. Mereka ramai-ramai berebut jabatan basah, bukan untuk memikul tanggung jawab, melainkan semata-mata untuk bermalas-malasan demi memanfaatkan tanda tangannya yang bernilai miliaran rupiah. Kaum feodal juga sedikit-sedikit memamerkan kekuasaannya dan kekuatan kelompoknya apabila mendapat kritik tajam.

Mochtar Lubis juga menyebutkan sifat malas dan kurang kerja keras. Kerja keras baru dilakukan ketika merampas harta yang seharusnya mereka jaga tanggung jawabnya. Ini berkaitan dengan sifat bermewah-mewah, boros, dan tak hemat. Hasil jarahan cepat-cepat digunakan untuk memborong rumah mewah dan mobil mewah.

Anda dapat menilai sendiri mana pemimpin dubuk dan mana pemimpin singa, yang tetap gagah berani meskipun sendirian.

Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 22 Agustus 2016

Saturday, August 13, 2016

Cerita Busuk dari Seorang Bandit


–– Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014) ––

Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyelundupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).


Saya  patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.

Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy Budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.

Saya menganggap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap”  justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.


Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.

Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:

“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.

“Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada di China. Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”

Saya menjawab 50.000. Freddy langsung menjawab:

“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di China. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan.”

Freddy Budiman bersama isteri dan anaknya.

“Kenapa Pak Haris?” Freddy menjawab sendiri:

“Karena saya bisa dapat per butir 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000 – 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Freddy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di China). ‘Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”

Menurut Freddy, “Saya tahu pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan.”

Freddy melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, dimana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.

Indonesia Darurat Narkoba: Pemberantasan terus-menerus tak pernah henti, tapi peredaran juga semakin marak dan semakin luas.

“Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan di mana dan siapa bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, Korut apa Korsel –HA). Saya siap nunjukin di mana pabriknya. Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke China, sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.”

“Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu  polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 miliar dari harga yang disepakati 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.

Freddy Budiman, gembong narkoba yang akhirnya jadi mualaf.

Kemudian saya bertanya ke Freddy di mana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini?

Lalu Freddy menjawab: “Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti yang saya sampaikan di sana ada.”

Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.

Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan di mana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.

Haris Azhar,
Koordinator LSM KontraS
http://www.panjimas.com/citizens/2016/07/30/cerita-busuk-dari-seorang-bandit/

Monday, July 11, 2016

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri


Tidak ada kemampuan pada manusia untuk sampai, tetapi wajib ada padanya perjuangan untuk menuju.

Idul Fitri, ‘Iedul Fithri, idulfitri, ngidulfitri
Id(ul), dari ‘ied itu kembali. Fithrah posisi kata-nya di situ menjadi fithri. Penulisan Indonesianya Idul Fithri, Idul Fitri, idulfitri, silahkan yang mana yang disepakati. Yang utama bagi peristiwa silaturahmi adalah ia bisa sampai, dipahami, dan dipercaya keberangkatan dan niat baiknya.

Untuk ‘silaturahmi’ silahkan juga gunakan ‘silaturahim’. Posisi konteksnya sedikit beda, tapi substansinya sama. Banyak kemungkinan, dilemma, relativitas dan kelemahan-kelemahan transliterasi. Apalagi dari Huruf Hijaiyah ke Huruf Latin. Apalagi Huruf Latin dengan tradisi Bahasa Inggris dan Budaya Barat, bisa sangat berbeda dibanding Huruf Latin dengan taste Melayu atau Jawa, yang keberangkatannya adalah sound-taste.

Bahasa Arab yang artinya ‘matahari’ bisa ditransliterasi berbeda: syams, shams, atau sams. Kata Arab yang artinya ‘buah’ ditulis tsamr, atau thamr. ‘Lalim’ ditulis dholim, juga zalim. ‘Sembahyang’ bisa ditulis shalat, syalat, atau salat. ‘Mengingat’ bisa: dzikir, zikir, dhikir….

Yang penting dari perbedaan-perbedaan ini adalah tidak adanya upaya untuk bermusyawarah menuju suatu kemufakatan. Tidak ada silaturahmi antara para transliterator. Tidak ada kerendahan hati antara kelompok-kelompok pengguna. Tidak muncul keperluan bersama yang menyatu dalam kemashlahatan. Dan yang lebih berlangsung adalah saling menyalahkan, egosentristik dengan latar belakang budaya dan pengetahuannya masing-masing. Bahkan saling menghardik, membenci, sampai menerakakan.


Tak Ada Negara Rakyat atau Perseurusan Umat
Yang paling parah dari semua itu adalah, tidak adanya dua hal yang amat dibutuhkan oleh ummat manusia sebagai suatu kebersamaan sesama manusia di dunia ini, ––minimal umat Islam sebagai suatu satuan kolektif sesama pelaku agama Islam–– untuk pertama, tidak ada semacam Kepengurusan Kaum Muslimin yang merangkum semua pemeluk Islam, atau sekurang-kurangnya berkoordinasi atau bersambung dalam suatu mata rantai kebersamaan.

Kedua, dalam kehidupan di dunia ini belum ada Negara, Kerajaan, Kesultanan atau Kepengurusan Kebersamaan, sehingga tidak ada juga Kementerian atau Departemen Bahasa yang mengurusi transliterasi huruf-huruf. Berarti sebaiknya tidak diharapkan juga ada suatu Kepengurusan Bersama dalam skala apapun yang menangani urusan makanan, minuman, nasib, kesejahteraan, keseimbangan, kemajuan, terlebih lagi keadilan.

Yang ada adalah persaingan untuk kekuasaan dan kemenangan masing-masing. Termasuk kemenangan ‘salat’ atas ‘shalat’ yang juga menolak logika ‘syalat’, sekaligus dengan penguasaan asetnya, aksesnya, medianya, dan peralatan politiknya. Maka yang menang menjadi yang benar. Jadi meskipun ada yang benar, belum tentu yang benar menjadi pemenang.

Maka kalau kita kembali ke idulfitri, kalau memang harus terjadi perseteruan antara Idul Fithri dengan ‘Idul Fitri’ dengan ‘Iedul Fithri’ dengan ‘Idulfithri’ dengan ‘idulfitri’ atau juga dengan ‘Ied al-Fithr’: maka semoga muncul aktor baru yang bernama Ngidulfitri untuk saya pilih.


Tidak Harus Sampai, Menuju Saja
Idulfitri itu arti sederhananya adalah kembali ke fithrah. Kalau ditelusuri ke hulu, ke yang paling lubuk, yang paling sumber, yang paling asal usul, fithrah itu ya dari Allah sendiri. Karena tidak ada apapun selain Allah.

Saya anjurkan pemaknaan sederhana itu jangan dikejar dengan aspirasi untuk mengejar kebenaran obyektif, yang sungguh-sungguh benar dan paling suci. Lantas kalau seseorang merasa dirinya sudah memegang kebenaran yang terbenar, maka ia melengos kepada lainnya, menjep ke kiri-kanannya, meremehkan dan merendahkan siapapun karena belum sampai pada tingkat kebenaran seperti yang ia sudah capai.

Rentang antara relativitas semua makhluk dengan kemutlakan Khaliq bukan seperti hamparan tanah di mana masing-masing kita mendirikan Rumah-rumah Kebenaran. Kebenaran tidak statis, sedikit bisa dipadatkan simbolismenya, tetapi ia mengalir sebagai kemungkinan-kemungkinan makna. Sebab para pencarinya memerlukan perjalanan menuju penemuan dan kesadaran baru tentang kebenaran yang seakan sama dengan sebelumnya, padahal benar-benar baru.

Tidak ada rumah permanen bagi kebenaran. Apalagi dengan makuta (mahkota?) madzhab di puncak gentingnya, monumen aliran di tugu halaman depan, atau prasasti golongan di papan nama yang dipasang di pagar pembatas jalan.

Oleh karena itu masukilah “Seribu Idulfitri untuk Seribu Diri.

Biarlah diri masing-masing dan masing-masing diri memproses perjalanan, pencarian dan percintaannya dengan Sang Maha Pencipta Fitrah (Faathir). Yang diperlukan di antara diri-diri itu adalah apresiasi, empati, saling menghormati, atau kalau sama-sama sudah cukup matang: saling belajar, saling bercermin, saling bertanya dan menjawab, saling mengingatkan dan diingatkan.

Tidak ada makhluk yang wajib sampai ke Allah sangkan parannya. Idulfitri tidak mutlak harus sampai ke kefitrian. Yang prinsip adalah ‘menuju’-nya, bukan ‘sampai’-nya, meskipun syukur alhamdulillah kalau Sang Maha Pencipta Fitrah (Faathir) berkenan menariknya untuk sampai dan menyatu. Puji Tuhan kalau rodliyah-mardliyah.


Maka Ia Hanya Kebudayaan
Andaikan Idul Fitri hanyalah sebuah momentum yang dinanti. Sesudah dipaksa berpuasa tiga puluh hari. Kemudian merasa lega karena tidak harus tersayup-sayup membuka mata dan menggerakkan tubuh untuk makan sahur lagi.

Andaikan Idul Fitri adalah saat kita merasa merdeka dari kewajiban seperti kanak-kanak menjalani latihan menahan diri, tak makan dan tak minum dari pagi hingga senja. Lantas bersama keluarga pergi shalat di lapangan dengan rasa lepas dendam.

Dan andaikan Idul Fitri adalah pada akhirnya menikmati cengkerama dengan sanak famili, bersilaturahmi, bermaaf-maafan. Kemudian semua itu kita akhiri dan kembali ke perantauan, bekerja, mencari nafkah, menghimpun kekayaan atau mempertahankan penghidupan.

Andaikan itulah Idul Fitri, andaikan hanya demikian itulah Idul Fitri, maka ia hanya kebudayaan. Yang mungkin indah, tetapi tidak ada jaminan bahwa di dalamnya terkandung suatu kualitas rohani. Atau mutu sejarah. Ia sekedar bedug yang ditabuh dengan aransemen tédur setahun sekali. Ia hanya ketongan atau lesung yang dipukul untuk menandai suatu peristiwa rutin. Ia hanya Gamelan Sekati yang dibunyikan pada saat tertentu. Ia hanya pagi yang menerbitkan matahari dan senja yang menenggelamkannya, yang berlangsung setiap awal hari dan berujung malam.

Ia hanya alam yang diselenggarakan. Atau paling jauh ia hanya kebudayaan yang beku, yang melewati rentang waktu dengan tetap membawa kebekuannya.


Subyek Kedua Sesudah Tuhan
Sedangkan Idul Fitri bukan alam yang dipekerjakan oleh Maha Pemiliknya. Idul Fitri bukan kebudayaan yang dipasang dan dimapankan sepanjang masa.

Idul Fitri adalah route nilai di mana manusia bekerja. Manusia menyetujui perjuangan. Manusia menyepakati tugas kekhalifahan. Idul Fitri adalah manusia melangkah, berjalan, mencari, berijtihad, mengolah, mengelola, membangun, mengubah, menemukan, dan terus berputar dan bergerak di dalam proses itu.

Idul Fitri adalah manusia berlaku sebagai subyek kedua sesudah Tuhan sendiri sebagai Maha Subyek. Alam bukan subyek. Tanah air, gunung, udara, hutan belantara, bumi, angkasa, langit dan ruang kosong bukan subyek. Bahkan Malaikat dan Iblis bukan subyek sebagaimana maqam fa’il atau kesubyekan manusia. Malaikat berposisi “menjalankan apa yang diperintahkan”, sedangkan manusia diberi hak untuk memerintahkan, baik kepada dirinya atau kepada alam.

Maka Idul Fitri tidak berlaku pada sungai dan pepohonan, tidak relevan bagi Iblis dan Malaikat, tidak terkait dengan hulu hilir kehidupan hewan. Idul Fitri hanya memiliki hubungan tematik dengan manusia.

Maka apabila pada kehidupan ruhiyah dan ‘aqliyah umat manusia, utamanya kaum Muslimin, tidak terjadi dinamika tematik, tidak berlangsung pergolakan ijtihad, tidak dilalui oleh manusia dengan pasang surutnya pencarian, pengalaman dan penemuan ––maka ia tidak bisa dinamakan Idul Fitri. Ia hanya tradisi beku Hari Raya.

Yang Maha Pencipta Fitrah adalah Allah itu sendiri. Idul Fitri adalah karya-Nya. Sedangkan Hari Raya adalah bikinan manusia. Hari Raya adalah buih-buih yang bergerak-gerak di tepi pantai. Buih-buih yang menempuh ruang sangat sempit sepanjang garis antara tanah pantai dengan lautan luas tempat Idul Fitri diarungi, ditempuh dan diperjuangkan.

Idul Fitri adalah rohani. Hari Raya adalah jasad. Idul Fitri adalah software. Hari Raya adalah hardware. Jika manusia sebagai subyek kehilangan kemampuan untuk menemukan garis sangat tipis yang memilah antara Idul Fitri dengan Hari Raya, maka di situlah letak jumudnya peradaban.


Negaramu Ini Idul Selangkah Kecil Saja ke Fitri 1945 …
Idul Fitri adalah suatu rentang proses yang tak ada ujungnya, yang bahkan tidak selesai tahapnya oleh kematian, sebab kematian dialami oleh kebanyakan manusia dengan mengangkut persoalan, dosa dan hutang-hutang.

Idul Fitri itu satu tapi tak terhitung jumlahnya, sebagaimana ia tak terhitung jumlahnya tapi hanya satu. Yang hari ini dan yang tahun kemarin sama-sama Idul Fitri, tetapi Idul Fitri yang hari ini bukanlah Idul Fitri yang tahun lalu maupun yang tahun depan.

Setiap diri harus memperjuangkan Idul Fitrinya masing-masing. Baik diri-individu, diri-kemanusiaan, diri-kekhalifahan, diri-keluarga, diri-masyarakat, termasuk diri-Negara dan diri-rakyatnya.

Ketika sebuah diri menemukan Idul Fitrinya, saat itu juga ia harus siap untuk kehilangan Idul Fitri karena mengalirnya waktu, beralihnya komposisi ruang, berubahnya pengalaman, bertambahnya peristiwa, serta berbagai dimensi kehidupan lainnya yang tak terhitung kemungkinannya, meskipun tetap saja semua itu hanya satu.

Maka tiap saat kita memfitrikan ingatan dan kesadaran kita sendiri: bahwa sesungguhnya Fitri, atau kata bendanya: Fitrah, tak lain dan tak bukan adalah manifestasi dari Allah itu sendiri, yang Tunggal, yang Satu-satunya, yang The Only.

Masalahnya adalah Sang Allah itu meregangkan Maha Diri-Nya, memuaikan Eksistensi-Nya, menjelma cahaya, alam semesta, susunan jagat raya, menciprat menjadi kita, engkau dan aku. Keluasan ruang yang dihasilkan oleh regangan-Nya, serta rentang jarak yang dihasilkan oleh pemuaian-Nya, menghasilkan kehidupan yang kita tiba-tiba harus menempuhnya.

Keluasan dan jarak itu, kita sangat mengetahuinya: tak terjangkau, tak terukur, tak terumuskan kecuali dengan simplifikasi kata cakrawala, atau wilayah kegelapan yang kita bayangkan merupakan batas tepian ruang. Namun harus kita tempuh. Harus kita jalani perjuangan melangkahkan kaki kehidupan menuju Yang Maha Tak Terpahamkan itu.


Siapa Sajakah Seribu Diri Itu?
Dari pertanyaan inilah perjalanan dimulai. Dari kesadaran inilah kehidupan mulai hidup: Diri individu, diri suami, diri istri, diri anak, diri bapak, diri ibu, diri manusia, diri khalifah, diri sosial, diri masyarakat, diri umat, diri rakyat, diri negeri, diri negara, bahkan ‘kepingan’ diri pada peristiwa, kasus, pengalaman, konteks, nuansa, suasana. Silahkan ‘memecah’, ‘mengeping’, ‘meluas’, ‘menyempit’, mem-bagian, meng-keseluruhan, men-titik, meng-garis, mem-bidang, me-lingkaran, mem-bulatan, me-lokal, men-dunia, men-semesta, mem-bumi, me-langit, me-malaikat, men-‘tuhan’, atau mem-bagong, me-metruk, meng-gareng dan men-semar, atau apapun.

Tidak ada batas di luar pagar batas. Tidak ada keterbatasan di luar batasan-batasan. Maka tidak ada ‘sampai’. Kita hanya ditagih oleh Maha Penanti Cinta untuk khusyu’ ‘menuju’. Sebagai di awal tulisan: tidak ada kemampuan pada manusia untuk sampai, tetapi wajib ada padanya perjuangan untuk menuju.

Pencapaian diri-individumu mungkin hanya sampai batas pengetahuan bahwa kau tak sanggup mencapai. Pencapaian diri-keluargamu mungkin berputar-putar di lingkup upaya men-sakinah yang jatuh bangun. Pencapaian diri-umatmu barangkali mandeg di lengkingan Toa di puncak menara masjid. Pencapaian diri-masyarakatmu bisa jadi hanyalah ulang-alik menikmati area demi area wisata kuliner.


Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, dan tidak mati oleh pembunuhan.

Adapun diri-negaramu jangan ditunggu muncul dari bibirnya kesadaran pasca-Adam, distribusi dari kembali mendaratnya Bahtera Nuh, kebrahmaan pra-Ibrahim, keris besi angkasa luar, NASA konsultasi, juara permanen olympiade ilmu pengetahuan, trayek Kediri-Mars, tablet padatan tempe kapal Gajahmada, kompatibilitas tanah Jawa toto-tentrem dengan regenerasi Jin, atau Jawa Kuno, Java Tel Aviv dan Javascript ….

Negaramu ini idul selangkah kecil saja ke fitri 1945, sudah meriah tepuk tangan seluruh siswa Sekolah Dasar, karena sangat mengandung penyelamatan besar-besaran ke masa depan.

Kalau tidak, asalkan Negara ini, Pemerintah ini, Pemimpin dan susunan pembantunya ini: sedikiiit saja idul ke fitri pengetahuan bahwa yang begini ini bukan Negara, bukan Pemerintah, bukan Pemimpin ….

Emha Ainun Nadjib
Caknun.com, 6 Juli 2016
https://caknun.com/2016/seribu-idul-fitri-untuk-seribu-diri/

Friday, June 10, 2016

Sebenarnya Apa yang Sedang Terjadi di Sekitar Saya?


Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sekitar saya? Saat saya punya kesempatan buka portal berita online, isinya hanya berita kriminal yang semakin hari semakin mengerikan saja. Yang bahkan saya tak pernah berfikir bahwa cara-cara aneh seperti itu dilakukan oleh pelaku demi memuaskan nafsunya saja.

Tidak tahu mengapa, saya merasa harus segera menuliskan hal ini dan kemudian mengirimkannya ke Mojok.co. Saya tidak sering menulis, tapi saya akan mencoba menuliskan keresahan yang belakangan melanda saya. Ini adalah tulisan pertama saya dan semoga Anda berkenan membacanya.

Umur saya 23 tahun. Saya merupakan salah satu dari 3000 peserta program sarjana mendidik di daerah terpencil. Dan kini saya mengajar sekolah menengah pertama di pedalaman Aceh. Daerah penugasan saya sebetulnya tidak terlalu terpencil. Hanya saja di sini sinyal susah didapat, dan tidak ada angkutan umum. Di sini juga tidak ada jalan lain selain satu jalur utama yang medannya terjal, naik turun, dan di kanan kiri jurang tanpa batas pagar pengaman jalan dan tentu saja rawan longsor, serta listrik yang sering mati.


Untuk bisa mengirimkan tulisan ini, saya harus pergi ke warnet yang terletak di pojok pasar Centhong di pusat kota. Lokasi tersebut berjarak 2 jam perjalanan dari mess saya jika ditempuh dengan menggunakan motor bodongan dan harus melewati medan yang sudah saya jelaskan di atas. (Plis lho ya, kalau ndilalah Mojok berkenan memuat tulisan saya ini, semoga itu karena tulisan saya memang layak dimuat, bukan karena nggak enak sama usaha saya dalam menembus medan berat hanya untuk ke warnet).

Saya tidak akan menceritakan pengalaman mengajar saya di sini. Namun hal lain yang saya kira memang perlu untuk ditulis dan dibaca banyak orang.

Kamis tanggal 26 Mei 2016, saya dipanggil Kepala Sekolah saya dan diberikan mandat untuk menjadi Wali Kelas. Saya mengira dipanggil karena anak di kelas saya ada yang tidak naik kelas. Ternyata saya dipanggil untuk sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari yang saya pikirkan. Saya diberitahu bahwa ada anak di kelas saya yang ditangkap polisi karena terlibat kasus pemerkosaan.

Ya, pemerkosaan. Bahkan, kata Kepala Sekolah saya, berita tersebut telah beberapa kali ditayangkan di televisi.


Sontak saya menangis mendengar hal itu. Saya tidak punya TV di sini, jadi bagaimana saya bisa tahu? Dan di sini, kita tidak bisa melakukan komunikasi kalau tidak bertatap muka secara langsung. Jadi wajar sekali apabila kabar itu tersebar dengan sangat lambat. Padahal pelaku adalah ketua kelas di kelas saya. Dia seorang yatim piatu. Saya sangat menyayanginya karena walaupun ia nakal, tetapi ia masih mau menuruti nasehat saya.

Selama menjadi wali kelasnya, berkali-kali saya harus menandatangani surat panggilan untuk walinya karena ia telah melakukan pelanggaran, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Berkali-kali juga saya membelanya di depan guru lain yang bermasalah dengannya. Dan tak terhitung berapa kali saya menahan tangis di depannya karena saya merasa tak becus menjadi orang tuanya di sekolah.

Akan tetapi, masalahnya kali ini begitu berbeda dengan semua kenakalan yang pernah ia perbuat.

Mendengar kabar itu saya langsung sakit hati. Saya merasa gagal menjadi orang yang paling bertanggungjawab untuknya di sekolah. Saya merasa, selama ini berarti dia tidak benar-benar mendengarkan nasehat saya. Saya sering kali memohon kepadanya untuk tidak berbuat yang tidak baik kepada teman-temannya. Ia mau menurut pada saat itu, dan tak pernah ia ulangi lagi setelah saya nasehati demikian. Namun yang terjadi ini malah tak pernah saya bayangkan akan ia lakukan. Dan inilah pertama kalinya bagi saya, memiliki murid yang tersandung kasus yang saya tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi.


Kepala Sekolah memberitahukan bahwa anak didik saya itu melakukan hal tersebut beramai-ramai bersama 3 pelaku lainnya yang tidak lain adalah saudara kandung dan saudara iparnya. Saya tidak mengerti, setan apa yang merasukinya sehingga dia bisa berbuat seperti itu. Dia masih remaja kecil. Usianya belum genap 16 tahun.

Mengapa dia bisa seperti itu? Mengingat di sini, di daerah penempatan saya, ganja dikonsumsi warga sebagai bumbu dan rokok, apakah betul karena itu? Orang-orang di sini bilang mungkin saja karena pengaruh ganja yang sering dihisap warga sini pada saat ada acara kumpul-kumpul. Kebetulan anak didik saya ikut kumpul pada malam itu. Apa benar anak didik saya menghisap ganja, mabuk, tak sadar, lalu mau saja disuruh abang kandungnya untuk ikut mencabuli istri abangnya itu? Saya sungguh tak habis pikir.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sekitar saya? Saat saya punya kesempatan buka portal berita online, isinya hanya berita kriminal yang semakin hari semakin mengerikan saja. Yang bahkan saya tak pernah berfikir bahwa cara-cara aneh seperti itu dilakukan oleh pelaku demi memuaskan nafsunya saja. Bahkan pelaku adalah anak SD, anak kecil, belum disunat, dan mungkin belum pernah mimpi basah.

Seingat saya, zaman saya SD tidak ada yang tahu apa dan bagaimana video porno. Tetapi anak SD di sini saat ini, sudah ada yang tertangkap guru karena sedang melihat video tak senonoh di gawai milik abangnya yang ia bawa ke sekolah. Seingat saya dulu waktu saya SMP, tidak ada laki-laki yang menggoda murid perempuan dengan brutal. Namun di sini saat ini, hampir setiap minggu ada saja siswi datang ke kantor sekolah sambil menangis dan mengaku telah dipegang-pegang oleh kawan-kawan lelakinya.


Zaman saya SMA pun tidak ada yang ketahuan sedang “in the hoy” ataupun berbuat mesum di sekolah. Tapi kenapa ada anak SD di sini yang kedapatan sedang “ngocok” ketika gurunya sedang menulis di depan kelas?

Anda boleh tidak percaya, tapi yang saya tulis ini benar-benar terjadi di sekitar saya. Ada apa sebenarnya? Apa yang salah sehingga anak-anak di sekitar saya sangat berbeda dengan kawan-kawan saya pada waktu saya bersekolah dulu? Dan ini tidak hanya terjadi di sini, seperti yang telah anda ketahui, ini terjadi di hampir semua tempat di Indonesia.

Kalau saya boleh mengutuk, saya sangat benci acara-acara TV yang mengumbar kemesraan dan mengumbar aurat. Anda boleh menyebut saya kolot dan sebagainya. Silakan! Namun saya menemui anak-anak di sekitar saya jadi menirukan apapun yang mereka tonton. Mereka tidak seperti kita, yang sudah paham bahwa segala sesuatu harus disikapi secara bijak. Mereka, anak-anak ini, belum sampai ke tahap itu. Mereka menganggap segala sesuatu yang ada di depan mereka sebagai hal yang boleh mereka tiru. Dan mereka belum siap dengan segala konsekuensi yang akan mereka terima ketika melakukan hal tersebut.


Sebagai contoh, ketika ada anak perempuan di sini yang memakai busana seksi seperti baju yang dipakai Centini (tokoh lakon televisi), lalu ia berjalan di depan gerombolan pemuda lajang putus sekolah yang sedang nongkrong di jembatan kampung. Kita tidak pernah tahu apa yang akan mereka lakukan kepada anak itu. Mengingat mereka bahkan tidak tahu bahwa ganja itu tidak boleh dikonsumsi.

Kita tidak sedang membicarakan masalah tingkat pendidikan, keimanan ataupun moralitas. Tapi bukankah itu semua saling berhubungan? Dan tidak sedikit pelaku pelecehan seksual mengaku alasan mereka melakukan hal tersebut karena tergoda oleh penampilan korban. Kita bisa saja bilang “if her clothes provokes you, i should break your face because your stupidity provokes me”, kepada orang-orang yang mengerti. Tapi nyatanya masyarakat kita saat ini masih banyak yang belum memiliki pemahaman seperti itu.

Tapi, apa benar aurat penyebabnya? Atau ganja? Atau acara televisi? Atau internet? Atau kurangnya pemahaman akan agama? Atau para orangtua? Atau kami para guru?

Saya tidak mau berbicara perkara benar dan salah. Tapi saat ini saya merasa sangat bersalah. Dan saya tidak tahu pasti kenapa bisa demikian.

Thubany Amas   
http://mojok.co/2016/06/apa-yang-sedang-terjadi-di-sekitar-saya/

Friday, May 13, 2016

Tenaga Kerja Tiongkok


Dalam perjalanan di pesawat Garuda, saya melihat-lihat majalah The Economist terbitan 23 April 2016. Ada sebuah artikel yang menarik saya mengenai hubungan Myanmar-Tiongkok.

Dalam artikel itu dibahas betapa hubungan Myanmar dengan Tiongkok, dua negara yang berbatasan dan terkait dalam tali-temali sejarah yang panjang, belakangan ini memasuki fase baru. Hal itu terkait proses demokratisasi di Myanmar dengan kemenangan NLD yang dipimpin Aung San Suu Kyi di pemilu lalu.

Tapi, yang utamanya menarik bagi saya, hubungan ekonomi kedua negara yang erat dalam masa pemerintahan para jenderal di Myanmar itu ditandai makin kuatnya peran Tiongkok dalam ekonomi Myanmar. Curahan investasi proyek-proyek infrastruktur skala besar telah menimbulkan “kemarahan” yang dalam di kalangan masyarakat. Ditulis di situ betapa investasi Tiongkok yang datang dengan puluhan ribu tenaga kerja telah membangkitkan kerisauan rakyat Myanmar, bahwa negaranya akan berubah jadi sebuah provinsi Tiongkok.

Indonesia musti belajar dari hubungan ekonomi Myanmar dan Tiongkok (China).

Para jenderal pun mulai menyadari dukungan ekonomi Tiongkok itu makin merupakan liability. Maka, pada 2012, Presiden Myanmar Jenderal Thein Sein mendadak membatalkan proyek dam besar Myitsone di hulu Sungai Irrawaddy. Beberapa proyek besar lainnya juga dibatalkan, antara lain tambang tembaga dan proyek kereta api yang menghubungkan Provinsi Yunan di Tiongkok ke Teluk Bengal.

Saya tidak terlalu memikirkan tulisan itu sampai beberapa hari lalu, sewaktu mencuat masalah tenaga kerja Tiongkok melakukan pengeboran tanah di lokasi TNI AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta, yang mendapat tanggapan keras masyarakat.

Otomatis pikiran saya menghubungkan keduanya. Rupanya ada pola yang sama dalam praktik kerja sama ekonomi Tiongkok di Myanmar dan Indonesia. Sebelumnya juga kita mendengar betapa besar kehadiran Tiongkok di sejumlah negara Afrika, dan bersama proyek-proyek infrastrukturnya datang pula puluhan ribu tenaga kerjanya, bahkan karena situasi di sana tak aman disertai dengan aparat militernya.

Aung San Suu Kyi (Myanmar) dan Xi Jinping (Tiongkok/China).

Saya tergugah menulis opini ini karena mengalami sendiri masalah tenaga kerja Tiongkok ini. Kurang lebih 30 tahun lalu, dalam sebuah proyek di Banten, datang ratusan pekerja Tiongkok. Sebagian besar mereka adalah pekerja konstruksi bangunan, bahkan ada juru masaknya. Kami, pemerintah waktu itu, memulangkan pekerja-pekerja itu dan meminta investor memakai tenaga-tenaga Indonesia untuk pekerjaan yang dapat kita lakukan sendiri.

Belakangan ini proyek-proyek Tiongkok makin banyak di Indonesia. Saya kira itu tak masalah. Tapi, setelah pensiun, saya juga tak tahu apakah pola yang terjadi di Myanmar, di Afrika, dan yang coba diterapkan di Indonesia 30 tahun itu masih berjalan dalam masa pasca reformasi sekarang.

Berita belakangan ini menunjukkan bahwa pola itu masih berjalan, bahkan mungkin cukup intens. Kalau saja tidak tertangkap basah oleh petugas keamanan TNI AU, mungkin tidak pernah ada orang yang tahu atau ada yang tahu tetapi tidak peduli.


Menggelisahkan
Dalam kasus ini sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menggelisahkan. Pertama, tenaga kerja Tiongkok melakukan pekerjaan yang sangat sederhana, pengeboran tanah untuk mengambil cuplikan. Untuk pekerjaan tersebut kita pasti mampu.

Dengan proyek kereta api cepat, ada tanda-tanda akan datangnya ribuan pekerja asing, yang akan melakukan pekerjaan yang sudah bisa kita kerjakan sendiri. Seharusnya proyek-proyek pembangunan, siapa pun investornya dan dari mana pun dananya, diwajibkan menggunakan tenaga kerja sendiri. Pihak investor cukup mendatangkan penyelia bila ahli-ahli di Indonesia tak ada atau masih kurang.

Investor-investor besar dari dunia Barat, termasuk Jepang, tidak pernah mengirim tenaga-tenaga dengan keterampilan rendahan karena biayanya memang lebih mahal. Sementara Tiongkok, karena mereka memiliki jumlah penduduk yang melimpah dan ongkos buruh yang rendah, proyek-proyek itu datang disertai tenaga kerja.

Selalu cermat, hati-hati dan waspada adalah langkah yang tepat.

Sungguh ironis manakala kita masih mengirimkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri (TKI), namun di Indonesia sendiri lapangan kerja kita justru diisi orang lain. Dari angka resmi tenaga kerja Tiongkok pada 2015 tercatat sekitar 12.800 orang atau 23 persen dari total tenaga kerja asing yang ada di Indonesia. Ini jumlah tertinggi tenaga kerja asing, jauh dibandingkan Korea dan Jepang. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah angka tak resmi atau yang datang tidak secara sah diperkirakan berlipat kali lebih banyak. Angka di atas kelihatannya hanya puncak dari gunung es yang jauh lebih besar.

Kedua, masalah keamanan. Bagi negara mana pun kedaulatan dan keselamatan negara adalah kepentingan nomor satu. Tak masuk akal bahwa orang asing boleh melakukan kegiatan di wilayah militer; di negara mana pun tak mungkin. Di Tiongkok pun mereka tak akan membolehkan hal itu.

Tidak masuk akal mereka tidak tahu kegiatan itu berlangsung di wilayah militer karena ada pemandu orang-orang Indonesia; orang Indonesia mana yang tidak tahu Halim adalah wilayah angkatan udara.

Seseorang tidak perlu dianggap xenophobia dan penganut teori konspirasi jika punya kecurigaan adanya motif lain di belakang kejadian itu. Apalagi jika dilihat betapa agresifnya Tiongkok memasuki wilayah-wilayah di Laut China Selatan yang juga didaku oleh negara-negara ASEAN. Mereka mengirim armada dan membangun pangkalan di pulau-pulau yang masih dalam sengketa. Saya kira kita bisa membaca sikap Tiongkok yang agresif itu dengan gerakan Presiden Xi Jinping yang kembali kepada ideologi politik komunis garis keras, yang juga diberitakan dalam majalah The Economist edisi yang sama.

Salah satu karikatur yang mengingatkan dan menyindir keras kaum pribumi.

Dalam sejarahnya, Tiongkok memang sangat ekspansif dan agresif. Tentu saja ini sesuatu yang wajar bagi negara yang demikian besar dan dengan sejarah peradaban yang panjang. Kita juga telah mengalami serangan Tiongkok yang mencoba menempatkan wilayah kita dalam hegemoni dan menjadi vassal-nya. Saya ingat pelajaran sejarah, pada abad XIII, Kubilai Khan mengirim 20.000 hingga 30.000 anggota pasukan lautnya untuk menaklukkan Singosari. Tapi usaha itu dapat digagalkan oleh Raden Wijaya, yang kemudian menjadi pendiri Kerajaan Majapahit. Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.

Ketiga, siapa yang harus bertanggung jawab? Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Yang sungguh menyedihkan adalah respons dari pejabat yang mensponsori proyek kereta api cepat ini. Tanggapan pertama yang kita dengar adalah telah terjadi kesalahpahaman, bukan kesalahan. Tidak ada sama sekali pengakuan bahwa telah terjadi kesalahan besar dalam dua hal di atas, yaitu didatangkannya orang-orang asing melakukan pekerjaan sederhana dan, kedua, melakukan kegiatan di wilayah militer.

Saya menulis artikel ini tak lain untuk mengingatkan kita semua, terutama mereka yang sedang memikul amanah mengurus bangsa ini, agar lebih peka, lebih peduli, dan lebih punya rasa tanggung jawab.

Ginandjar Kartasasmita,
Mantan Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri
KOMPAS, 12 Mei 2016