Wednesday, December 23, 2020

Pentingnya Membangun Rekonsiliasi “Westphalia Arab”


Meratapi karut-marut situasi di dunia Arab sejak meletupnya Musim Semi Arab 2010-2011 hingga saat ini, beberapa waktu terakhir muncul wacana dari sejumlah cendekiawan Arab tentang pentingnya membangun "Westphalia Arab" dalam upaya mengakhiri situasi karut-marut tersebut.

Perang saudara di banyak negara Arab dan konflik sesama negara, serta keterlibatan negara-negara Arab dalam pertarungan geopolitik selama hampir satu dekade terakhir, telah mengundang intervensi kekuatan regional, seperti Turki dan Iran, hingga kekuatan internasional, seperti Rusia dan Amerika Serikat (AS).

Iran kini sudah mengontrol empat ibu kota Arab, yaitu Baghdad (ibu kota Irak), Damaskus (ibu kota Suriah), Beirut (ibu kota Lebanon), dan Sana'a (ibu kota Yaman). Turki saat ini mengontrol dua ibu kota Arab, yaitu Tripoli (ibu kota Libya) dan Doha (ibu kota Qatar).

Konferensi perdamaian di Westphalia, Jerman, 24 Oktober 1648.

Rusia memiliki pangkalan udara dan laut permanen di Suriah, yaitu pangkalan udara Khmeimim dan pangkalan laut Tartus. Rusia juga sudah memiliki pangkalan udara permanen di Libya, yaitu pangkalan udara Jufra.

AS pun menempatkan pasukannya secara permanen di Suriah bagian timur dan utara. Di Irak, AS punya pangkalan udara Ain Assad (Irak barat), pangkalan udara K1 di Kirkuk, dan pangkalan udara Harir di dekat Erbil.

Maka, kini muncul wacana di dunia Arab bahwa tidak ada pilihan untuk mengakhiri situasi karut-marut yang sudah akut tersebut, kecuali membangun Westphalia Arab. Nama Westphalia merujuk pada tempat digelarnya konferensi perdamaian di Westphalia, Jerman, yang melahirkan kesepakatan politik di Eropa pada 24 Oktober 1648.


Kesepakatan politik yang kemudian populer dengan sebutan rekonsiliasi Westphalia itu adalah mengakhiri perang 30 tahun (1618-1648) antara Katolik dan Protestan di Eropa. Salah satu butir dalam kesepakatan Westphalia itu menegaskan tidak diizinkannya satu kaum atau kelompok ikut campur dalam urusan kaum atau kelompok lain.

Turut campur dalam urusan keyakinan atau kepercayaan antara satu dan lain kaum atau kelompok merupakan faktor yang mengobarkan perang agama di Eropa. Rekonsiliasi Westphalia itu kemudian disepakati menjadi titik tolak lahirnya negara bangsa yang modern di Eropa, dengan kedaulatan sebuah negara dan bangsa menjadi prioritas, di atas segala-galanya.

Rekonsiliasi Wetsphalia tersebut lahir dari kandungan sejarah berdarah di Eropa yang memakan korban ribuan putra-putri benua itu. Ide lahirnya rekonsiliasi Wetsphalia itu berasal dari para pemikir dan cendekiawan Eropa saat itu yang sangat prihatin melihat situasi karut-marut Benua Eropa, saat antara satu dan lain kaum dan negara berperang.

Hugo Grotius (kiri) dan Cardinal Richelieu (kanan).

Di antara cendekiawan Eropa yang dianggap berandil melahirkan rekonsiliasi Wetsphalia adalah cendekiawan asal Belanda, Hugo Grotius (1583-1645), yang dikenal sebagai bapak hukum internasional, dan cendekiawan asal Perancis, Cardinal Richelieu (1585-1642).

Munculnya wacana pentingnya membangun Westphalia Arab di kalangan cendekiawan Arab saat ini didorong oleh berita positif dari kawasan Arab Teluk bahwa Arab Saudi dan Qatar semakin mendekati rekonsiliasi. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Manama, Bahrain, akhir Desember ini, diimbau menjadi titik tolak digulirkannya proyek Westphalia Arab dengan misi membangun rekonsiliasi di dunia Arab.

Dijadwalkan, rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar akan diumumkan dalam forum KTT GCC di Manama nanti. Di antara isi rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar itu adalah Riyadh akan kembali membuka akses wilayah udara, laut, dan darat atas Qatar. Rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar itu dicapai berkat mediasi intensif Amerika Serikat (AS) dan Kuwait beberapa waktu terakhir.

Jared Kushner dan Donald Trump.

Penasihat politik Presiden AS Donald Trump yang sekaligus juga menantunya, Jared Kushner, pada awal Desember lalu melakukan kunjungan ke Arab Saudi dan Qatar untuk mendesak kedua negara Arab itu melakukan rekonsiliasi. Arab Saudi dan Qatar kemudian secara prinsip bersedia melakukan rekonsiliasi.

Hampir dipastikan, Bahrain akan segera mengikuti jejak Arab Saudi untuk melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Apalagi, KTT GCC tahun ini akan digelar di Manama, yang akan dihadiri Raja Saudi Salman Bin Abdulaziz dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani.

Adapun Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA) diharapkan menyusul mengikuti jejak Arab Saudi untuk melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Trump diberitakan mulai menekan Mesir agar bersedia melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Trump yang kalah dari Joe Biden dalam pemilihan presiden AS berharap rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk sudah terwujud sebelum ia meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari 2021.


Seperti diketahui, konflik di kawasan Arab Teluk meletup bermula dari aksi kuartet Arab (Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain) yang melancarkan blokade total terhadap Qatar pada Juni 2017. Kuartet Arab tersebut menuduh Qatar mendukung jaringan teroris di Timur Tengah. Namun, Qatar membantah keras tuduhan itu.

Para cendekiawan Arab mengingatkan, meskipun sejarah bangsa Arab didominasi oleh perpecahan dan peperangan, ada sepenggal sejarah yang meninggalkan kenangan romantisisme kemesraan bangsa Arab dalam menghadapi musuh bersama. Oleh karena itu, tidak mustahil, kebersatuan bangsa Arab bisa terwujud lagi.

Para cendekiawan Arab menyebut, kenangan romantisisme bangsa Arab adalah ketika mereka bersatu mendukung Mesir, saat Terusan Suez mendapat serangan segitiga dari Inggris, Perancis, dan Israel pada 1956. Serangan itu merupakan reaksi atas kebijakan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang melakukan nasionalisasi atas Terusan Suez pada 1956.


Saat itu, serikat pekerja di kota Aden, Yaman selatan, menolak mengisikan bahan bakar untuk kapal-kapal perang ataupun komersial Inggris yang berada di pelabuhan kota Aden sebagai solidaritas terhadap rakyat Mesir yang mendapat serangan Inggris, Perancis, dan Israel.

Demikian juga, para pekerja pelabuhan di negara-negara Arab lain yang berada di bawah pemerintah kolonial Inggris saat itu, seperti pelabuhan di Oman, Kuwait, dan Irak, juga menolak mengisikan bahan bakar untuk kapal-kapal perang Inggris yang hendak menuju Terusan Suez.

Para pekerja pelabuhan di negara-negara Arab yang berada di bawah pemerintah kolonial Perancis saat itu, seperti Tunisia, Maroko, dan Aljazair, juga menolak mengisikan bahan bakar untuk kapal perang Perancis yang hendak menuju Terusan Suez sebagai bentuk dukungan terhadap Mesir.

Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser (Foto: Getty Images).

Kebersatuan bangsa Arab itu juga terwujud ketika menghadapi perang Arab-Israel tahun 1967 dan 1973. Arab Saudi bisa melupakan perbedaan pendapat dengan Mesir soal perang saudara di Yaman 1962-1970, ketika memimpin embargo minyak atas negara-negara Barat karena mendukung Israel, sebagai solidaritas terhadap Mesir dan Suriah pada perang Arab-Israel tahun 1973.

Para cendekiawan Arab melihat situasi dunia Arab saat ini mirip dengan situasi Eropa pada tahun 1618-1648 yang dilanda perang berlarut-larut. Mereka terkesima melihat keberhasilan para cendekiawan Eropa melalui forum rekonsiliasi Westphalia yang telah berandil mengakhiri perang 30 tahun di Eropa dan mengantarkan lahirnya negara bangsa modern di benua itu. Maka, para cendekiawan Arab memimpikan rekonsiliasi Wetsphalia juga terwujud di dunia Arab dengan menggulirkan ide Westphalia Arab.

Musthafa Abd Rahman,
Wartawan Senior Kompas
Editor:‎ Prasetyo Eko

KOMPAS, 11 Desember 2020

Sunday, November 1, 2020

Sambung Rasa


Kita memerlukan semacam kekuatan spiritual untuk merekatkan kembali tenunan kewargaan yang robek. Politik harus dikembalikan ke pangkal pengertiannya sebagai seni mulia mengelola republik demi kebajikan kolektif.

Bahkan, di tengah cengkraman wabah, yang memerlukan penguatan empati dan proteksi, elit politik terus bertikai. Sejumlah rancangan undang-undang miskin kapasitas argumentatif dan deliberatif terus diproduksi. Padahal, akar terdalam dari sengkarut demokrasi kita bukanlah problem legal, melainkan problem hati dan pikiran. Perkembangan demokrasi kita dikerdilkan oleh kombinasi mematikan dari residu watak feodalistik yang memuja hierarki serta watak kapitalistik yang memuja egoisme dan kerakusan.

Di tengah cengkraman kuku-kuku feodalistik dan kapitalistik, demokrasi reformasi dirayakan dengan euforia kebebasan (liberty-liberte), tanpa dibarengi semangat kesetaraan (equality-egalite) dan persaudaraan (fraternity-fraternite). Kebebasan tanpa kesetaraan dan persaudaraan berkembang liar sebatas “kebebasan alamiah” (natural liberty) yang mengedepankan kepentingan sendiri dan golongan (oligarki), mengabaikan “kebebasan kewargaan” (civil liberty) yang memperjuangkan kebaikan hidup bersama (common good).


Kebebasan tanpa kesetaraan dan persaudaraan membuat kedirian tak memiliki ikatan solidaritas kewargaan, komunalisme tak memiliki pertautan imajinasi kebangsaan. Kebebasan tanpa kesetaraan dan persaudaraan membuat produk perundang-undangan hanya mengukuhkan kemapanan dan status quo; mengingkari cita rasa keadilan dan keadaban publik. Kebebasan tanpa kesetaraan dan persaudaraan membuat prosedur-prosedur pemilihan langsung hanya membentangkan karpet merah bagi dominasi oligarki feodalistik dan kapitalistik.

Di atas semua itu, kebebasan tanpa kesetaraan dan persaudaraan membuat demokrasi kehilangan basis moralnya. Dengan sila Ketuhanan, manusia dipandang setara di depan kasih Tuhan. Namun, dimana rasionalitasnya bahwa manusia dipandang setara di depan Tuhan, tetapi tidak setara di depan sesama manusia? Dengan sila Kemanusiaan, manusia dipandang ada bersama dengan yang lain atas dasar cinta kasih yang mewujud dalam keadilan dan keadaban. Namun, dimana rasionalitas keadilan dan keadaban dalam sutu komunitas politik yang penuh diskriminasi, eksklusi dan permusuhan?


Dengan sila Persatuan, negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Namun, dimana rasionalitas persatuan dalam suatu komunitas politik yang berdiri di atas kepentingan perseorangan dan golongan tanpa kesanggupan merajut kekuatan semua buat semua?

Dengan sila kerakyatan, demokrasi hendak dijalankan melalui negara hukum yang memperjuangkan negara persatuan dan keadilan dengan semangat permusyawaratan dan hikmat-kebijaksanaan.  Namun, dimana rasionalitas negara persatuan dan semangat permusyawaratan dalam suatu komunitas politik dengan gurita dominasi partai politik yang menyulitkan proses agregasi aspirasi kekuatan lain serta menepikan proses-proses deliberatif yang inklusif dan bijaksana?

Dengan sila keadilan sosial, manusia sebagai makhluk rohani yang menjasmani dipandang sama-sama memerlukan kesejahteraan yang menuntut keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial. Namun, dimana rasionalitas keadilan sosial dalam suatu komunitas politik dengan ketimpangan sosial yang tajam, ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan, serta dalam penguasaan privilese politik oleh oligarki keturunan dan pemodal?


Pada akhirnya, kebebasan tanpa kesetaraan dan persaudaraan membuat kebebasan demokratis kehilangan roh kebajikan bersamanya. Perkembangan demokrasi yang kita alami ini seolah menjelmakan bayangan kekhawatiran Alexis de Tocqueville tentang pasar yang menciptakan kondisi demokrasi dengan “raga yang bebas, tetapi jiwanya telah diperbudak”. Di bawah hegemoni watak feodalistik dan kapitalistik, kebebasan demokratis berpotensi meminggirkan kepentingan umum dan peran warga dalam berdemokrasi.

Dalam kaitan itu, Benjamin Barber mengingatkan bahwa pendalaman dan perluasan penetrasi pasar pada demokrasi bisa memprivatkan warga negara sehingga “aku” ditinggikan di atas “kita”. Ideologi “privatisasi” menempatkan pilihan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi; bukan menentukan “kehendak bersama”, tetapi sebatas kumpulan dan rerata dari keinginan pribadi.

Terjadilah peminggiran terhadap segala yang bersifat “civic” dan “publik”. Dengan kata lain, kapitalisme tanpa ketahanan budaya kewargaan yang inklusif bisa menggerus kebajikan publik dan demokrasi di titik terdalamnya, yaitu pada individu. Masyarakat demokratis akhirnya dijajah oleh kepentingan imperatif pasar, kehidupannya diseragamkan, ruang publiknya dirampas dengan privatisasi, dan identitasnya digerus ke dalam merek dan logo.


Dengan tendensi seperti itu, usaha menyehatkan demokrasi Indonesia tidak bisa hanya dengan terus gonta-ganti prosedur dan perundang-undangan, melainkan perlu menyembuhkan sisi kejiwaannya. Kita memerlukan semacam kekuatan spiritual untuk merekatkan kembali tenunan kewargaan yang robek.

Politik harus dikembalikan ke pangkal pengertiannya sebagai seni mulia mengelola republik demi kebajikan kolektif. Dasar mengada dari politik adalah budaya kewargaan (budaya kota). Warga kota (negara) menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya; bukan sekadar penduduk yang menumpang tidur demi mencari makan dan kepentingan sendiri. Aktif terlibat, bergerak dan berbaur dengan segala keragaman di ruang publik.


Keterlibatan dalam ruang publik itu memerlukan penguatan ikatan kewargaaan berbasis kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, yang menumbuhkan emosi publik. Ikatan kewargaan itu berupa seperangkat keyakinan, nilai, simbol dan ritual bersama yang kerap disebut sebagai “civil religion”.  Bahwa setiap warga, selain sebagai pribadi yang otonom harus juga bisa menyatu dalam spirit kolektif kewargaan, di bawah tuntunan “civil religion” yang dapat membawa bangsa menuju kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama.

Dalam spirit Pancasila, usaha menumbuhkan emosi publik itu tidak dikehendaki lewat jalan pemaksaan dan penyeragaman seperti dalam fasisme. Namun, melalui jalan-jalan estetis dan kesukarelaan: dengan memperluas ruang-ruang perjumpaan, merayakan festival keberagaman, permainan dan kerja sama senasib sepenanggungan, yang dapat menumbuhkan emosi simpati dan cinta. Itulah yang harus disemai di jantung pendidikan kita.

Yudi Latif
Pakar Aliansi Kebangsaan
KOMPAS, 17 September 2020

Sunday, October 18, 2020

November Jadi Bulan Menegangkan bagi AS

 

Pemilu AS akan berlangsung pada 3 November 2020. Donald Trump dari Republikan dan Joe Biden dari Demokrat bersaing untuk pemilu presiden pada hari yang sama. Jajak pendapat yang jauh lebih saksama, termasuk per negara bagian lokasi pertarungan penting, menunjukkan keunggulan Biden.

Kesaksamaan jajak pendapat oleh lembaga jajak pendapat dilakukan mengingat trauma atas kekalahan Hillary Clinton pada Pemilu 2016. Waktu itu, hasil jajak pendapat menunjukkan Hillary unggul, tetapi hasil pemilihan berkata lain. Hillary memang menang popularitas dengan meraih 65,853 juta suara dan Trump meraih 62,984 juta suara. Akan tetapi, Hillary kalah dalam suara elektoral. Ini merujuk pada suara proporsional berdasarkan negara bagian. Trump meraih 306 suara dan Hillary meraih 232 suara dari total 538 suara elektoral.

Jajak pendapat yang dilakukan Fox News, saluran televisi pendukung Trump, juga menunjukkan keunggulan Biden. Jajak pendapat oleh sejumlah lembaga di beberapa negara bagian, yang dianggap ajang pertarungan sengit, hanya Texas yang hasilnya mengunggulkan Trump. Selebihnya Biden meraih keungggulan atas Trump. Persentase keunggulan Biden atas Trump, jauh melebihi keunggulan Hillary saat akhirnya malah kalah dari Trump pada Pemilu 2016.

Ini menjadi kekhawatiran,” kata John Pudner, veteran pelaksana kampanye Republikan seperti dikutip situs berita The Hill, 2 Oktober 2020.

George W Bush (Kiri) dan Al Gore (Kanan).

Sejarah kemelut pemilu
Nah, apakah Presiden Trump akan bersedia mengakui jika kalah dalam pemilu November nanti? Ini menjadi kekhawatiran yang sudah mulai muncul.

Dalam sejarah Pemilu AS, ada kemenangan yang membuat politik domestik menjadi hiruk pikuk. Hillary berseru soal perubahan suara proporsial, menjadi winner takes it all secara nasional, bukan per negara bagian. Akan tetapi, Hillary dengan cepat mengakui kekalahan dan hadir saat inagurasi kepresidenan Trump.

Kemenangan George W Bush atas Al Gore pada Pemilu 2000 sempat diwarnai ketegangan. Lantas dilakukan penghitungan ulang suara di Negara Bagian Florida AS, di mana gubernurnya ketika itu adalah Jeff Bush, adik George W Bush. Akan tetapi, Al Gore tetap dengan jentelmen menerima kekalahan.


Kemelut dengan kasus serupa Hillary, walau tidak separah saat Hillary kalah dari Trump, juga pernah muncul. Ini terjadi pada pemilu 7 November 1876 saat Rutherford B Hayes (Republikan) mengalahkan Samuel J Tilden (Demokrat).

Kisah Hayes serupa dengan Trump, yang tidak meraih suara paling banyak secara nasional. Adalah Tiden, sama seperti Hillary, yang meraih suara popularitas. Tiden meraih sebanyak 4.288.546 suara (50,9 persen), unggul atas Hayes yang meraih 4.034.311 suara (47,9 persen).

Namun, berdasarkan suara proporsional, Hayes meraih 185 suara dan Tiden meraih 184 dari total 369 suara elektoral ketika itu. Sempat amat tegang, tetapi Hayes akhirnya berhasil menjabat.

Dari Kiri ke Kanan: Mike Pence, Donald Trump, Joe Biden, Kamala Harris.

Trump tolak debat daring
Jajak pendapat yang konstan memperlihatkan indikasi kemenangan Biden, kini memunculkan kekhawatiran. Diduga akan ada potensi kemelut pada pemilu November dan setelahnya. Ketua DPR AS Nancy Pelosi telah melihat potensi penolakan Trump jika kalah dari Biden.

Mengapa ada kekhawatiran? Trump itu petarung, apa pun caranya. Setidaknya secara verbal dia sudah terkesan Machiavelis. Dia pakai segala kalimat untuk menyerang musuh-musuh politiknya. Trump akan mendaulat apa saja yang menguntungkan baginya.

Terbaru, Trump menjuluki Kamala Devi Harris ––cawapres dari Joe Biden–– sebagai monster dan komunis serta menyebutkan Wapres Mike Pence mengalahkan Harris dalam debat cawapres pada 7 Oktober 2020 yang lalu. Padahal, jajak pendapat berkata lain. Trump juga mendaulat kemenangan atas debatnya dengan Biden pada 29 September 2020 lalu. Padahal jajak pendapat tidak berkata demikian.

Keledai (Partai Demokrat) versus Gajah (Partai Republik).

Harris tidak menjawab kecuali menyebut Trump sebagai kekanak-kanakan. Namun, Biden menyebutkan, Trump tidak kuat menghadapi perempuan tangguh.

Trump juga sudah mulai menyuarakan pencoblosan lewat pos sebagai rawan kecurangan. Kubu Trump sudah menyusun strategi pemenangan termasuk menggugat jika kalah. “Risiko atas penolakan (Trump) pada kekalahan meningkat,” kata Ned Foley, akademisi tentang hukum pemilu dari Ohio State University, seperti dikutip situs harian The Los Angeles Times, 24 September 2020.

Trump juga kembali berulah. Biden setuju dengan debat daring mengingat Trump baru saja terkena Covid-19. Namun, Trump menolak debat kedua dengan Biden secara daring yang seharusnya berlangsung 15 Oktober. “Saya tidak akan buang-buang waktu untuk debat daring,” kata Trump.
Komisi Debat Kepresidenan akhirnya memutuskan debat kedua 15 Oktober ditiadakan dan hanya ada debat terakhir pada 22 Oktober. Inilah salah satu indikasi terbaru, Trump bisa melakukan apa saja semaunya.


November akan menegangkan
Tim kampanye Trump membantah strategi penolakan atas kekalahan jika kekalahan benar-benar terjadi. Akan tetapi, seorang pejabat senior lain dari kubu Trump mengatakan, tim hukum Trump akan mendalami setiap pilihan untuk memastikan kemenangan Trump.

Jika ada pencurian suara, kita akan bertarung beringas,” kata seorang manajer kampanye Trump. Akan tetapi, sumber ini mengatakan, Trump tidak akan bertahan jika kalah secara terhormat.

Andaikan Trump kalah dan menolak kekalahan, para komandan militer akan turun tangan dan memaksa Trump mundur. Richard Hasen, penulis buku Election Meltdown: Dirty Tricks, Distrust, and the Threat to American Democracy, mengatakan, jika Trump kalah dan sudah menyuarakan penolakan kekalahan, “Bukan berarti ini akan terjadi. Akan tetapi, tidak salah juga jika khawatir kalau hal itu akan terjadi.”
Alex Conant, seorang ahli strategi Republikan, mengatakan, kubu Republikan tidak melihat ancaman tentang penolakan Trump atas kekalahan.


Cara terbaik untuk transisi kekuasaan, jika Trump kalah, adalah kemenangan telak atau meyakinkan Biden dalam pemilu nanti. Jika kemenangan mendekati hasil jajak pendapat, yang tergolong besar, potensi penolakan Trump niscaya akan melemah.

Sebaliknya, kubu Trump juga telah dimunculkan isu serupa. Bagaimana jika Biden yang kalah? Ini pertanyaan dari sisi Republikan, yang juga masuk akal sekaligus mungkin pula. Ini sehubungan dengan isu pengaruh Rusia pada Pemilu 2016 untuk kemenangan Trump.

Situs The Atlantic, edisi 13 September 2020, sudah menyuarakan isu kekalahan Biden, yang dikatakan akan membuat Demokrat sulit menerimanya. Jadi, bisa dipastikan, bulan November mendatang adalah bulan menegangkan bagi politik AS.

Simon Saragih
Wartawan senior Kompas
KOMPAS, 12 Oktober 2020

Sunday, September 20, 2020

Catatan Dahlan Iskan: Jakob Oetama

 

Yacob Utama, Yakob Utama, Jacob Utama, Jakob Oetama.

Yang terakhir itu ejaan yang benar. Saya bernah bertanya langsung kepada beliau tentang ejaan  nama beliau itu –saking banyaknya versi di media.

Beliau juga menjelaskan secara khusus bahwa kata "Oetama" di situ harus dibaca: utomo.

Beliau kan orang Jawa Tengah. Lahir di desa sekitar candi Borobudur. Bahwa ''utomo'' itu ditulis ''Oetama'' justru itulah yang benar –menurut grammar bahasa Jawa: bunyi “o” harus ditulis “a” manakala kata itu berubah bunyi ketika diberi akhiran “ne”.

“Utomo” ketika diberi akhiran “ne” bunyinya menjadi “utamane”. Bukan “utomone”.

Jangan disangka hanya bahasa Inggris yang grammar-nya bikin pusing. Cukup sampai di situ kita bicara bahasa Jawa.

Kita kan lagi membicarakan sosok hebat tokoh pers Indonesia yang meninggal Rabu siang kemarin: Jakob Oetama. Baca: Yakob utomo.

Saya tengah dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta (pakai mobil) ketika staf di Kompas TV menghubungi saya.

Kompas TV minta agar saya ikut memberi kesaksian tentang Pak Jakob. Saya diminta menyiapkan HP dan laptop untuk pengambilan suara dan gambar.

“Saya tidak membawa laptop,” jawab saya.

Lima menit kemudian saya baru tahu ada apa. Yakni setelah Joko “Jagaters” Intarto menghubungi saya: bahwa Pak Jakob meninggal dunia. Rabu, jam 13.00, di RS Mitra Keluarga, Jakarta.

Tentu saya tidak terlalu kaget. Saya sudah lama mendengar beliau sakit. Usianya juga sudah 89 tahun –beberapa hari lagi.

Saya langsung teringat semua kenangan lama. Pak Jakob adalah orang yang sabar, kalem, tenang, kalau berjalan tidak bergegas, kalau bicara lirih, ritme kata-katanya lamban dan wajahnya lebih sering datar –tidak bisa terlalu kelihatan gembira atau terlalu kelihatan sedih.

Pak Jakob, karena itu, adalah simbol sosok orang Jawa yang sangat sempurna.

Kepindahan beliau ke Jakarta tidak membuat beliau berubah menjadi “lu gue”. Tidak seperti saya: begitu pindah ke Surabaya langsung ikut menjadi bonek.

Kesantunan Pak Jakob itu mungkin karena budaya desa di Jawa Tengah sangat merasuk ke jiwanya. Mungkin juga karena roh Borobudur ikut mewarnainya. Mungkin sekali latar belakangnya sebagai guru masih terus terbawa. Mungkin pula kultur sekolah Seminari Katolik masih ada padanya –meski beliau tidak menyelesaikan seminarinya.

Rambut beliau lurus tapi dibiarkan agak panjang. Ibarat guru besar, Pak Jakob itu sempurna karena linier. Tidak seperti saya yang zig-zag: tamat SMA di Magetan langsung ke Kalimantan. Kawin pun dengan galuh Banjar, lalu jadi bonek, dan menjelang tua harus mengganti hati saya dengan hatinya orang Tionghoa dari Tianjin.

Pak Jakob adalah orang yang santun –santun yang linier. Dan itu tercermin dari gaya pemberitaan koran yang dilahirkannya: Kompas. Jurnalistik Kompas adalah jurnalistik yang santun. Terutama bisa dilihat dari Tajuk Rencananya. Yang bagi pengkritiknya dianggap sebagai tajuk dengan gaya yang muter-muter.

Di era saya muda, gaya Kompas seperti itu sangat menjengkelkan. Tidak radikal sama sekali. Tidak seperti Harian Kami-nya Nono Anwar Makarim yang dar-der-dor. Tidak seperti Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis yang memberontak. Atau tidak seperti Harian Nusantara-nya –aduh lupa siapa pemiliknya– yang menyerang-nyerang.

Keberanian Kompas yang paling berani –menurut anak-anak muda kala itu– hanyalah sebatas ini: menyindir.

Tapi “Purwodadi kutane, sing dadi nyatane”. Maksudnya: yang penting kan kenyataannya. (Di kalimat peribahasa itu terdapat akhiran “ne”. Maka kata “kuto” menjadi “kuta”, “nyoto” menjadi “nyata”).

Kenyataan adalah bukti yang sungguh tidak bisa diabaikan.

Kenyataannya: Kompas-lah yang paling hebat. Paling besar. Paling kaya. Kaya-raya.

Harian Kami, milik ayah Nadiem Makarim itu, tewas dibredel. Harian Nusantara, milik TD Hafaz, juga dibredel. Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis belakangan juga dibredel. Semua karena tidak mau tunduk pada kemauan penguasa.

Harian Kompas memang juga pernah dibredel. Tapi sangat sebentar –mungkin seminggu saja.

Koran saya dulu malah tidak pernah dibredel. Saya ikut gaya Pak Jakob yang sesekali harus mengalah –untuk menang. Lebih baik tetap bisa menyindir bertahun-tahun daripada sekali membentak lalu mati.

Waktu itu, perdebatan mana yang lebih baik –menyindir berlama-lama atau bisa membentak tapi hanya sekali– tidak pernah reda di kalangan wartawan saat itu. Topik perdebatan itu lebih disederhanakan: pilih jalan Mochtar Lubis atau Jakob Oetama. Terutama dalam memilih strategi perjuangan menegakkan demokrasi.

Perdebatan seperti itu kini tidak ada lagi di kalangan pelaku media masa. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Bahan yang dibahas juga habis –tidak ada lagi mahasiswa yang galak. Yang mestinya membahas pun –para wartawan profesional– sudah lelah. Atau takut pada bos pemilik media.

Gaya Pak Jakob adalah gaya yang ternyata lebih bisa diterima siapa saja –kecuali yang progresif.

Nyatanya Kompas menjadi raja media masa di Indonesia. Lalu menjadi raja toko buku: Gramedia. Raja hotel: Santika-Amaris. Dan banyak lagi.

Bahkan bisnis Kompas melebar ke mana-mana: perkebunan, jalan tol dan bank –Bank Media yang kemudian dilepas.

Tapi Kompas telat masuk bisnis TV. Saya yakin itu karena idealisme yang berlebihan sebagai wartawan media cetak. Seperti juga saya.

Gak tahunya kue media terbesar adalah di TV. Pendapatan koran tidak ada seujung kuku pendapatan stasiun TV. Akhirnya bos-bos TV-lah yang menjadi raja media –bukan yang merangkak dari bawah: si wartawan.

Pada akhirnya Kompas mendirikan stasiun TV juga. Tidak sukses. Lalu dikerjasamakan dengan Chairul Tanjung menjadi Trans 7. Lalu kelihatannya menyesal: kok tidak punya TV lagi. Maka didirikan lagi Kompas TV. Yang seperti sekarang.

Mungkin juga Pak Jakob tidak menyesal bekerja sama dengan Chairul Tanjung. Stasiun TV-nya itu dari rugi bertahun-tahun menjadi laba. Dari “menggerogoti” keuangan Kompas menjadi “sumber pendapatan”. Toh Kompas Gramedia masih memiliki sekitar separo saham di TV 7.

Pak Jakob juga terasa telat ekspansi ke daerah-daerah. Itu juga karena tingginya kesantunan dan rasa tepo sliro pak Jakob: kalau Kompas ekspansi ke daerah-daerah akan terasa “yang besar  ‘memakan’ yang kecil”. Koran-koran daerah akan mati semua.

Pak Jakob tentu sering mendengar aspirasi koran-koran kecil di daerah seperti itu. Beliau adalah Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Setiap kali rapat SPS muncul keluh kesah penerbit koran kecil: kalah bersaing dengan koran besar. Yang jumlah halamannya begitu banyak dengan harga jual yang begitu murah.

Tapi, akhirnya Kompas juga ekspansi ke seluruh Indonesia –setelah si Bonek dari Surabaya berlari kencang ke mana-mana.

Pak Jakob selalu “menjewer” saya dengan senyumnya dan pujiannya. “Ini lho anak muda yang hebat. Ekspansi ke mana-mana tanpa beban,” katanya kepada teman-teman penerbit yang lagi kumpul. Berkata begitu beliau sambil tersenyum dengan ekspresi mulut yang –dalam bahasa Jawa disebut– “mencep”.

Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan Jakob Oetama.

Pak Jakob sebenarnya tidak mau jadi ketua umum SPS. Bukan agar tidak punya beban ekspansi. Tapi Pak Jakob memang bukan orang yang ambisius di bidang politik. Bahkan sama sekali tidak berpolitik secara praktis. Tidak pula punya sedikit pun keinginan di jabatan publik.

Rasanya itu sikap yang benar. Daripada seperti yang dilakukan si Bonek yang sampai terperangkap jebakan politik.

Bahwa akhirnya Pak Jakob mau menjadi ketua umum, itu karena terpaksa. Kami semua mendaulat beliau. Kami semua merasa Pak Jakob lah yang harus kami tuakan.

Sambil memaksa beliau, kami juga berdoa agar kali ini ketua umum SPS tidak meninggal dalam jabatan. Itu karena ketua-ketua umum sebelumnya selalu meninggal dunia sebelum mengakhiri masa jabatan mereka. Dan itu juga karena seseorang bisa menjadi ketua umum SPS sampai berapa periode sekali pun. Toh tidak banyak yang mau. Apalagi orang seperti saya: yang bekerja lebih baik dari berbicara.

Setelah beberapa periode, Pak Jakob benar-benar tidak mau lagi dipilih. Beliau merayu saya untuk menggantikan. Saya juga tidak mau.

Dalam suatu kongres SPS di Jakarta pak Jakob “menggalang” utusan: jangan lagi memilih beliau. Harga mati. Lantas beliau “menggalang” suara agar memilih saya.

Saya melihat gelagat itu. Menjelang acara pemilihan ketua umum, saya diam-diam ke bandara. Pulang ke Surabaya. Agar tidak bisa dipilih –ketentuannya jelas: calon ketua umum harus ada di arena pemilihan.

Saya pun lega: bisa pulang dari kongres tanpa beban apa-apa.

Gus Dur dan Jakob Oetama.

Ups... Begitu mendarat di Juanda saya ditelepon Pak Jakob.

“Mas Dahlan terpilih sebagai ketua umum,” kata beliau.

“Lho saya kan tidak ada di tempat? Kan anggaran dasar mensyaratkan itu?” jawab saya.

“Menjelang pemilihan tadi anggaran dasarnya sudah diubah. Dan saya yang menjamin bahwa Mas Dahlan pasti mau kalau saya yang minta,” kata beliau.

Tentu saya tidak berani untuk tidak tawaduk kepada Pak Jakob. Saya pun menerima jabatan itu –dengan doa jangan sampai saya meninggal dunia di jabatan itu.

Ternyata saya hampir meninggal dunia. Terkena kanker hati. Sampai harus ganti hati.

Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Surya Paloh, dan Presiden Megawati.

Dan ternyata saya meninggal dunia beneran –secara politik. Saya dikenai perkara bertubi-tubi. Saya pun minta berhenti sebagai ketua umum: tidak pantas ketua umum SPS berstatus tersangka. Saya ajukan surat pengunduran diri itu: ditolak! Mereka tahu bahwa saya tidak seharusnya bernasib seperti itu.

Begitu diangkat menjabat sesuatu dulu saya juga sowan ke Pak Jakob. Minta restu beliau. Kepada beliau saya juga berjanji untuk selama menjabat akan menjaga nama baik institusi pers dan kewartawanan. Beliau tahu maksud saya: jangan sampai korupsi.

Ketika akhirnya saya jadi tersangka saya menghadap beliau lagi. Di kantornya yang megah di gedung Kompas Gramedia. Saya menceritakan apa yang sedang saya hadapi.

Tapi beliau sudah sulit mengikuti pembicaraan. Bahkan beliau awalnya tidak ingat siapa tamunya itu. Sampai-sampai saya harus mendekat ke beliau dan dengan agak lantang mengatakan siapa nama saya. Lalu beliau menganggukkan kepala.

Itu sudah enam tahun lalu. Setelah itu saya menghadap beliau lagi. Yakni setelah saya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Jatim. Tapi beliau sudah semakin lemah dan semakin tidak ingat siapa saya.

Jakob Oetama dan Presiden SBY.

Kini Kompas memiliki gedung pencakar langit yang sangat tinggi dan sangat megah. Juga sangat baru. Saya tidak bisa lagi mengatakan gedung saya lebih bagus dari gedung Kompas –karena kini saya tidak punya gedung sama sekali.

Saya belum sempat berkunjung ke gedung baru Kompas itu. Saya berharap Pak Jakob sempat merasakan kemegahannya.

Ketika akhirnya saya juga tidak mau lagi menjabat ketua umum SPS –sudah tiga periode– saya menghadap putra beliau.

“Pak Lilik, tolong ganti Anda yang menjadi ketua umum SPS,” kata saya. Waktu itu saya didampingi Mas Jauhar, ketua harian SPS dan Mas Asmono, direktur eksekutif SPS.

Pak Lilik bergeming.

Segala jurus rayuan saya pun tidak mempan. Pak Lilik tetap tidak mau.

Jakob Oetama merayakan ulang tahun bersama para karyawan Kompas-Gramedia.

Saya sudah lama mendengar Pak Lilik tidak tertarik pada bisnis koran. Tapi baru hari itu saya mendengarnya sendiri. “Saya tidak paham koran. Ruwet,” katanya merendah.

Untuk mengurus koran, Pak Lilik mempercayakannya kepada kader-kader profesional ayahnya. "Untuk urusan media terserah beliau saja," katanya sambil menepuk pundak orang yang duduk di sebelahnya: Rikard Bagun, wartawan senior yang juga pernah jadi pemred di Kompas.

Pak Lilik sendiri pilih terus memimpin grup Santika. Yang sekarang berkembang mencapai hampir seribu hotel. Pak Lilik terlihat asyik sekali di bisnis hotel.

Kini Pak Jakob sudah tiada. Saya tidak tahu apakah kepemimpinan di Kompas selanjutnya akan dipegang keturunan Pak Jakob atau keturunan Pak Auwjong Peng Koen (P.K. Oyong, Petrus Kanisius Ojong). Yakni orang Sawahlunto yang mengajak dan memboyong Pak Jakob dari Yogya ke Jakarta. Semula untuk bersama-sama mendirikan majalah Intisari, kemudian harian Kompas.

Pak Ojong sudah lama sekali meninggal dunia, tahun 1980. Tapi pasangan Tionghoa-Jawa, UI-UGM itulah yang telah membuat sejarah penting pers di Indonesia. Kompas –nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno itu, benar-benar telah terbukti bisa menjadi kompas di Indonesia. Termasuk kompas saya.

Prof. Dr. (HC) Dahlan Iskan
Mantan CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Group
Direktur Utama PLN (23 Desember 2009 – 19 Oktober 2011)
Menteri BUMN Ke-7 (19 Oktober 2011 – 20 Oktober 2014)

DISWAY, 11 September 2020


Friday, August 21, 2020

"Cabin Syndrome" Covid-19 Lantas Kalap Lepas Tambatan


Saya tidak menyalahkan kalau kebijakan melonggarkan pembatasan sosial keluar rumah disambut dengan melonjaknya jumlah orang bepergian. Wisata penuh, pesawat penuh, restoran, dan tempat hiburan penuh. Terkesan bagai kuda lepas dari tambatan. Sudah tidak tahan lagi terkungkung di rumah sekian lama.

Tidak semua orang punya sifat sebagai orang rumahan, yakni orang yang bisa berdiam diri berlama-lama hanya di rumah saja, dan mereka bisa menikmatinya. Terdapat lebih banyak orang yang gelisah kalau tidak keluar rumah. Membosankan rasanya, bahkan sebagian merasa depresi, galau, tidak tahu harus mengerjakan apa. Julukan untuk mereka yang sedang mengalami hal itu ialah "Cabin Syndrome", sindroma akibat berada lama di dalam ruangan rumah.


Tidak demikian bagi orang rumahan, yang bisa menikmati berlama-lama di rumah, dan mereka tidak galau. Rasa nyamannya justru bila berada di rumah.

Sikap kalap bagi yang tidak tahan berlama-lama di rumah, begitu sudah mulai dibolehkan bepergian itu pula yang nyatanya menambah kasus baru Covid-19 melonjak. Bukan salah kebijakan reopen-nya, melainkan kurang patuhnya orang menaati protokol kesehatan.

Banyak yang mengabaikan memakai masker, tetap berkerumun, mengobrol berdekatan, makan bersama kelompok. Itu sekaligus membuktikan bahwa apabila protokol kesehatan dilanggar, akibatnya memang malapetaka tertular Covid-19.


Persepsi risiko masyarakat tidak sama. Bahwa hanya karena kelalaian melanggar protokol kesehatan, memikul kekonyolan tertular Covid, kalau bukan langsung berisiko kehilangan nyawa. Ini mestinya menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk menyamakan persepsi risiko, bahwa inilah bukti tak terbantahkan, supaya persepsi risikonya sama.

Bahwa semua masyarakat mestinya menyadari betapa luar biasa besar risiko tertular dan kehilangan nyawa, padahal sekadar lalai berada di luar rumah. Bahkan sudah patuh protokol kesehatan sekalipun, celah Covid-19 bisa menerobos masuk tubuh masih besar. Dari mana?

Dari kesalahan memilih masker, dari kesalahan memakai masker, dan atau merawat masker yang dipakai berulang, serta cara membuka masker sewaktu makan. Selain itu, juga tidak teguh menjaga jarak, masih tetap mendekati kerumunan, pergi ke restoran, ke destinasi wisata, ke tempat hiburan yang kondisinya tidak mengindahkan protokol kesehatan. Masih memasuki hotel yang seluruh permukaan kamar hotel berisiko sudah tertempel Covid-19 bila sebelumnya bekas dihuni pembawa Covid-19, khususnya telepon kamar, remote TV kamar, sekalipun sudah didisinfektan, tetap selalu ada celah lain sebagai sumber penular Covid-19.


Sikap bijak masyarakat perlu dibangun untuk mampu menahan diri agar tidak memasuki kondisi yang memperbesar risiko mereka tertular. Bahkan tempat ibadah saja pun terbukti berisiko tinggi.

Kita membaca minggu lalu, bermunculan klaster baru di tempat ibadah, bukti bahwa protokol kesehatan saja belum jaminan masyarakat terbebas dari risiko tertular Covid-19. Maka kalau pergi beribadah saja kita perlu menahan diri, apalagi pergi untuk yang bukan prioritas, seperti ke tempat wisata, tempat hiburan, dan rekreasi.

Kita semua tentu tidak ingin mengalami nasib konyol, yang padahal untuk mencegah kejadian konyol tersebut hanya perlu cara yang mudah dan murah saja, yakni menahan diri untuk tidak memasuki wilayah yang berisiko tinggi tertular Covid-19, yakni semua ruangan tertutup: restoran, kafe, bar, gedung bioskop, karaoke, kamar hotel, tempat ibadah, yang kesemuanya tergolong berisiko tinggi tertular Covid-19.


Kalau memang harus keluar rumah, pilih tempat yang risikonya tidak tinggi, seperti ruangan terbuka dan tanpa ada yang berkerumun, apalagi berdesakan dan berhimpitan. Di tempat orang berkerumun, berdesakan dan berhimpitan, masker saja belum jaminan kita bisa terbebas dari penularan. Tidak pula cukup hanya dengan mengandalkan baca doa.

Salam sehat,

Dr Handrawan Nadesul
Nama asli, Gouw Han Goan
Dokter, Penyair, dan Penulis Artikel serta Opini Kesehatan,
Narasumber Masalah Kesehatan untuk Berbagai Media

Facebook.com, 4 Agustus 2020

Tuesday, July 14, 2020

Ke Mana Jokowi Akan Membawa Kita?


Saya adalah seorang pendukung Jokowi yang oleh sebagian orang dikatakan fanatik. Mungkin tidak terlalu salah. Sejak pilpres pertama, saya telah mendukung beliau. Sayalah yang membuat tulisan “10 alasan kenapa saya memilih Jokowi” yang kemudian jadi viral. Juga tulisan “10 alasan mengapa saya tidak akan memilih Prabowo” pada pilpres berikutnya.

Saya yakin benar saat itu bahwa memilih Jokowi adalah sebuah keputusan yang tepat. Baru pertama kali dalam perpolitikan Indonesia ada seorang calon Presiden yang benar-benar merakyat, jujur, berasal dari rakyat, bukan dari elite politik maupun kelompok kekuatan besar lain. Ternyata itu saja tidak cukup untuk menjadikan seorang pemimpin yang efektif.

Menyimak berbagai peristiwa yang terjadi berulang pada periode 2 pemerintahan Jokowi yang belum setahun ini, membuat saya menjadi makin sulit untuk membela Jokowi dan mengatakan bahwa Jokowi memang merupakan pilihan tepat sebagai Presiden RI. Tidak berarti bahwa bila waktu diputar kembali ke belakang, saya akan memilih Prabowo.

Kerja dan diamnya Jokowi pada periode kedua ini memunculkan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Mulai dari pemilihan para pembantunya yang tidak tepat dan berkualitas rendah.


Awal kekecewaan saya adalah ketika pada detik-detik terakhir beliau membatalkan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya. Kabinet sekarang adalah kabinet yang tidak sesuai dengan janjinya yang katanya akan lebih banyak menempatkan menteri-menteri profesional pada bidangnya.

Posisi kabinet dihadiahkan lebih banyak kepada berbagai kekuatan partai politik pendukungnya serta mereka yang memiliki senjata. Kementerian kesehatan, umpamanya, dipimpin oleh seorang dokter tentara yang oleh IDI sendiri sempat dipertanyakan keprofesionalannya. Beliaulah antara lain yang menjadi penyebab utama terlambat dan berlarutnya penanganan kasus Pandemi Covid-19 di negeri ini, ketika negara-negara tetangga kita telah menunjukkan keberhasilannya.

Saat berbagai negeri sedang sibuk meneliti dan berupaya mengembangkan vaksin corona, beberapa lembaga dan bahkan sebuah kementerian memberi kejutan dengan mengumumkan keberhasilan memproduksi obat, bahkan kalung mujarab untuk penyembuh virus corona. Semua itu diumumkan secara terbuka bahkan langsung diproduksi dengan kemasan yang menarik, dan presiden kita diam, seakan merestui hasil hebat “penemuan” itu.


Perencanaan program kartu Pra Kerja yang kurang cermat berujung pada dugaan pemahalan harga yang nyaris dinikmati oleh perusahaan milik anak-anak muda yang keburu diangkat sebagai staf pembantu presiden, bila masyarakat tidak sigap dan segera berteriak.

Begitu cepat setelah Jokowi dilantik, muncul berbagai Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang baru yang bikin banyak pihak tersentak. Yang utama adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU KPK.

Meski telah terjadi berbagai protes dan keberatan atas UU tersebut, Presiden tidak menggubrisnya. Inilah warisan (Legacy) utama yang akan ditinggalkan Jokowi dalam pelemahan upaya pemberantasan korupsi, bila Mahkamah Konstitusi nantinya menolak mengabulkan gugatan yang sedang dalam proses.

Ada kesan konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk menghasilkan berbagai undang-undang secara kilat tanpa memperhatikan aspirasi dan masukan dari publik. Ada RUU Omnibus Law yang sedang dalam proses yang sangat berpihak kepada investor dan nyaris tidak mencerminkan kepentingan rakyat kecil. Juga banyak UU lain yang lolos yang menguntungkan hanya sponsornya, seperti UU Minerba yang bahkan telah menimbulkan korban jiwa dari anak mahasiswa yang demo protes.


Kasus penyiraman air keras kepada seorang penyidik KPK yang sudah berlarut dibiarkan sejak periode 1, berakhir dengan berita sangat mengejutkan. Peranan kejaksaan agung yang merupakan bawahan presiden, tidak mencerminkan tugas sebenarnya sebagai penuntut umum yang mewakili aspirasi rakyat tetapi lebih mengesankan sebagai pembela “terdakwa”.

Ujungnya, pada kasus besar yang mempunyai implikasi luas terhadap upaya pemberantasan korupsi ini, terdakwa dihukum sangat ringan. Ada kesan kuat para pengatur di belakang tindak kriminal ini telah dilindungi identitasnya.

Belakangan masih ada lagi kasus-kasus yang mengesankan pembiaran oleh pimpinan tertinggi negeri ini. Kasus menghilangnya Harun Masiku, fungsionaris PDIP dalam dugaan permainan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Kasus koruptor buron selama 11 tahun, Djoko Tjandra yang dibiarkan melenggang dengan bebas di ibu kota dan sampai saat tulisan ini diterbitkan belum tertangkap.

Djoko Tjandra dan Harun Masiku, sama-sama buron.

Kasus lain yang baru terungkap antara lain adalah bagi-bagi jatah ekspor benur Lobster oleh menteri kelautan baru yang menggantikan Susi Pudjiastuti kepada konco-konconya. Inilah menteri baru yang membatalkan beberapa kebijakan Susi, termasuk penenggelaman kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita.

Masih segar dalam ingatan kita ketika presiden pada pelantikan menjelang jabatan periode keduanya antara lain mengatakan di hadapan sidang MPR, 20 Oktober 2019: “Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat dan birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya copot.”

Belum berselang lama tersebar rekaman pidato presiden pada sidang kabinet tertutup yang menunjukkan kemarahan beliau terhadap kinerja menteri-menterinya dan lagi berjanji akan tidak ragu bertindak. Ketika tindakan presiden dinanti-nanti, Menteri Sekretaris Negara justru membantah dan menyampaikan tidak ada relevansi antara kegusaran presiden dan rencana kocok ulang kabinet.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Paling Kiri) dan beberapa menteri yang lain sedang membicarakan ketahanan pangan nasional bersama Presiden Joko Widodo.

Kejutan terbaru pada saat saya menulis kolom ini adalah keputusan presiden untuk menugasi Menteri Pertahanan, bukan Menteri Pertanian, menggarap lumbung pangan. Alasannya, ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional.

Bagaimana dengan ketahanan keuangan, telekomunikasi, pendidikan, dan lain sebagainya? Apakah ini juga bagian dari ketahanan nasional dan perlu juga ditugaskan ke Menteri Pertahanan?

Semua itu ditambah lagi dengan sikap presiden sebagai seorang ayah yang menduduki kekuasaan tertinggi di negeri ini, membiarkan putranya yang masih hijau dan tidak berpengalaman, maju sebagai Calon Walikota Solo. Presiden tidak berdaya membujuk putranya untuk sabar menanti lima tahun lagi setelah selesai masa baktinya sehingga tidak ada spekulasi macam-macam yang melibatkan kekuasaan tertinggi negara dalam proses pemilihannya.

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang akan mencalonkan diri sebagai Walikota Solo.

Sesungguhnya banyak dari kami yang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada seorang Jokowi yang pada periode pertama menghasilkan prestasi yang cukup mengesankan? Bisa saja kita mengatakan bahwa Jokowi yang bukan petinggi partai apa pun memerlukan segala macam pembiaran itu. Karena bila tidak, maka rezimnya akan mengalami berbagai kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugas tanpa dukungan kekuatan politik yang nyata.

Tidak sadarkah beliau bahwa masa bulan madu dengan politisi pendukungnya itu akan berumur tidak lebih lama dari dua tahun dari sekarang ketika mereka akan ramai-ramai meninggalkan misi presiden dan berkonsentrasi pada perebutan kekuasaan pada pemilu 2024?

Tidak lama setelah pelantikannya, Presiden Jokowi pernah mengungkapkan bahwa beliau tidak punya beban lagi. Kami menafsirkannya karena setelah 2 periode beliau tidak akan maju lagi sebagai presiden.

Pada mulanya orang bernapas lega karena tidak berbeban itu ditafsirkan sebagai tidak akan dapat disandera oleh kekuatan politik yang mengusungnya. Kenyataannya, dari berbagai peristiwa yang disebut di atas, “tidak berbeban” itu tampaknya bukan demikian maknanya, tetapi lebih sebagai tidak peduli dan bebas dari beban gangguan aspirasi, keberatan, serta protes dari rakyat pemilihnya.


Sebagai pendukung Jokowi, setelah memperhatikan begitu banyak kondisi suram yang lepas kendali atau terkesan dibiarkan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan tidak sampai setahun dalam pemerintahan Jokowi periode dua ini, khususnya kondisi penegakan hukum yang makin memprihatinkan, sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa dukungan saya kepada Presiden Jokowi masih dapat dipertanggungjawabkan.

Sikap ini, saya rasakan, juga disuarakan oleh banyak pendukung lain yang kecewa pada kinerja tahun pertama periode dua Jokowi yang mencuatkan berbagai kejutan yang menimbulkan kerisauan.

Bila dalam waktu dekat tidak muncul tanda-tanda yang mengindikasikan langkah-langkah nyata dalam rangka mengoreksi semua itu, maka akan sangat sulit bagi orang seperti saya dan banyak pendukung lain untuk bertahan sebagai barisan “pembela” Jokowi.


Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa dukungan atau penolakan saya dan kawan-kawan punya bobot politik dan pengaruh terhadap nasib politik Jokowi ke depan. Tanpa kami pun Pak Jokowi bisa jadi akan sukses besar karena pandangan kami ternyata keliru oleh sebab ketidakmampuan kami menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Bila demikian, anggap saja tulisan pendek ini sebagai upaya meringankan beban moral yang saya pikul dan sekaligus sebagai penyalur unek-unek. Siapa tahu ada gunanya.

Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua.

Abdillah Toha 
Pengamat Politik,
Peminat dan pemerhati sosial, politik, ekonomi, keagamaan.
Believe in God, freedom, peace, and human responsibility.
QURETA.COM, 10 Juli 2020