Wednesday, December 23, 2020

Pentingnya Membangun Rekonsiliasi “Westphalia Arab”


Meratapi karut-marut situasi di dunia Arab sejak meletupnya Musim Semi Arab 2010-2011 hingga saat ini, beberapa waktu terakhir muncul wacana dari sejumlah cendekiawan Arab tentang pentingnya membangun "Westphalia Arab" dalam upaya mengakhiri situasi karut-marut tersebut.

Perang saudara di banyak negara Arab dan konflik sesama negara, serta keterlibatan negara-negara Arab dalam pertarungan geopolitik selama hampir satu dekade terakhir, telah mengundang intervensi kekuatan regional, seperti Turki dan Iran, hingga kekuatan internasional, seperti Rusia dan Amerika Serikat (AS).

Iran kini sudah mengontrol empat ibu kota Arab, yaitu Baghdad (ibu kota Irak), Damaskus (ibu kota Suriah), Beirut (ibu kota Lebanon), dan Sana'a (ibu kota Yaman). Turki saat ini mengontrol dua ibu kota Arab, yaitu Tripoli (ibu kota Libya) dan Doha (ibu kota Qatar).

Konferensi perdamaian di Westphalia, Jerman, 24 Oktober 1648.

Rusia memiliki pangkalan udara dan laut permanen di Suriah, yaitu pangkalan udara Khmeimim dan pangkalan laut Tartus. Rusia juga sudah memiliki pangkalan udara permanen di Libya, yaitu pangkalan udara Jufra.

AS pun menempatkan pasukannya secara permanen di Suriah bagian timur dan utara. Di Irak, AS punya pangkalan udara Ain Assad (Irak barat), pangkalan udara K1 di Kirkuk, dan pangkalan udara Harir di dekat Erbil.

Maka, kini muncul wacana di dunia Arab bahwa tidak ada pilihan untuk mengakhiri situasi karut-marut yang sudah akut tersebut, kecuali membangun Westphalia Arab. Nama Westphalia merujuk pada tempat digelarnya konferensi perdamaian di Westphalia, Jerman, yang melahirkan kesepakatan politik di Eropa pada 24 Oktober 1648.


Kesepakatan politik yang kemudian populer dengan sebutan rekonsiliasi Westphalia itu adalah mengakhiri perang 30 tahun (1618-1648) antara Katolik dan Protestan di Eropa. Salah satu butir dalam kesepakatan Westphalia itu menegaskan tidak diizinkannya satu kaum atau kelompok ikut campur dalam urusan kaum atau kelompok lain.

Turut campur dalam urusan keyakinan atau kepercayaan antara satu dan lain kaum atau kelompok merupakan faktor yang mengobarkan perang agama di Eropa. Rekonsiliasi Westphalia itu kemudian disepakati menjadi titik tolak lahirnya negara bangsa yang modern di Eropa, dengan kedaulatan sebuah negara dan bangsa menjadi prioritas, di atas segala-galanya.

Rekonsiliasi Wetsphalia tersebut lahir dari kandungan sejarah berdarah di Eropa yang memakan korban ribuan putra-putri benua itu. Ide lahirnya rekonsiliasi Wetsphalia itu berasal dari para pemikir dan cendekiawan Eropa saat itu yang sangat prihatin melihat situasi karut-marut Benua Eropa, saat antara satu dan lain kaum dan negara berperang.

Hugo Grotius (kiri) dan Cardinal Richelieu (kanan).

Di antara cendekiawan Eropa yang dianggap berandil melahirkan rekonsiliasi Wetsphalia adalah cendekiawan asal Belanda, Hugo Grotius (1583-1645), yang dikenal sebagai bapak hukum internasional, dan cendekiawan asal Perancis, Cardinal Richelieu (1585-1642).

Munculnya wacana pentingnya membangun Westphalia Arab di kalangan cendekiawan Arab saat ini didorong oleh berita positif dari kawasan Arab Teluk bahwa Arab Saudi dan Qatar semakin mendekati rekonsiliasi. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Manama, Bahrain, akhir Desember ini, diimbau menjadi titik tolak digulirkannya proyek Westphalia Arab dengan misi membangun rekonsiliasi di dunia Arab.

Dijadwalkan, rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar akan diumumkan dalam forum KTT GCC di Manama nanti. Di antara isi rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar itu adalah Riyadh akan kembali membuka akses wilayah udara, laut, dan darat atas Qatar. Rekonsiliasi Arab Saudi-Qatar itu dicapai berkat mediasi intensif Amerika Serikat (AS) dan Kuwait beberapa waktu terakhir.

Jared Kushner dan Donald Trump.

Penasihat politik Presiden AS Donald Trump yang sekaligus juga menantunya, Jared Kushner, pada awal Desember lalu melakukan kunjungan ke Arab Saudi dan Qatar untuk mendesak kedua negara Arab itu melakukan rekonsiliasi. Arab Saudi dan Qatar kemudian secara prinsip bersedia melakukan rekonsiliasi.

Hampir dipastikan, Bahrain akan segera mengikuti jejak Arab Saudi untuk melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Apalagi, KTT GCC tahun ini akan digelar di Manama, yang akan dihadiri Raja Saudi Salman Bin Abdulaziz dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani.

Adapun Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA) diharapkan menyusul mengikuti jejak Arab Saudi untuk melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Trump diberitakan mulai menekan Mesir agar bersedia melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Trump yang kalah dari Joe Biden dalam pemilihan presiden AS berharap rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk sudah terwujud sebelum ia meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari 2021.


Seperti diketahui, konflik di kawasan Arab Teluk meletup bermula dari aksi kuartet Arab (Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain) yang melancarkan blokade total terhadap Qatar pada Juni 2017. Kuartet Arab tersebut menuduh Qatar mendukung jaringan teroris di Timur Tengah. Namun, Qatar membantah keras tuduhan itu.

Para cendekiawan Arab mengingatkan, meskipun sejarah bangsa Arab didominasi oleh perpecahan dan peperangan, ada sepenggal sejarah yang meninggalkan kenangan romantisisme kemesraan bangsa Arab dalam menghadapi musuh bersama. Oleh karena itu, tidak mustahil, kebersatuan bangsa Arab bisa terwujud lagi.

Para cendekiawan Arab menyebut, kenangan romantisisme bangsa Arab adalah ketika mereka bersatu mendukung Mesir, saat Terusan Suez mendapat serangan segitiga dari Inggris, Perancis, dan Israel pada 1956. Serangan itu merupakan reaksi atas kebijakan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang melakukan nasionalisasi atas Terusan Suez pada 1956.


Saat itu, serikat pekerja di kota Aden, Yaman selatan, menolak mengisikan bahan bakar untuk kapal-kapal perang ataupun komersial Inggris yang berada di pelabuhan kota Aden sebagai solidaritas terhadap rakyat Mesir yang mendapat serangan Inggris, Perancis, dan Israel.

Demikian juga, para pekerja pelabuhan di negara-negara Arab lain yang berada di bawah pemerintah kolonial Inggris saat itu, seperti pelabuhan di Oman, Kuwait, dan Irak, juga menolak mengisikan bahan bakar untuk kapal-kapal perang Inggris yang hendak menuju Terusan Suez.

Para pekerja pelabuhan di negara-negara Arab yang berada di bawah pemerintah kolonial Perancis saat itu, seperti Tunisia, Maroko, dan Aljazair, juga menolak mengisikan bahan bakar untuk kapal perang Perancis yang hendak menuju Terusan Suez sebagai bentuk dukungan terhadap Mesir.

Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser (Foto: Getty Images).

Kebersatuan bangsa Arab itu juga terwujud ketika menghadapi perang Arab-Israel tahun 1967 dan 1973. Arab Saudi bisa melupakan perbedaan pendapat dengan Mesir soal perang saudara di Yaman 1962-1970, ketika memimpin embargo minyak atas negara-negara Barat karena mendukung Israel, sebagai solidaritas terhadap Mesir dan Suriah pada perang Arab-Israel tahun 1973.

Para cendekiawan Arab melihat situasi dunia Arab saat ini mirip dengan situasi Eropa pada tahun 1618-1648 yang dilanda perang berlarut-larut. Mereka terkesima melihat keberhasilan para cendekiawan Eropa melalui forum rekonsiliasi Westphalia yang telah berandil mengakhiri perang 30 tahun di Eropa dan mengantarkan lahirnya negara bangsa modern di benua itu. Maka, para cendekiawan Arab memimpikan rekonsiliasi Wetsphalia juga terwujud di dunia Arab dengan menggulirkan ide Westphalia Arab.

Musthafa Abd Rahman,
Wartawan Senior Kompas
Editor:‎ Prasetyo Eko

KOMPAS, 11 Desember 2020

No comments: