Wednesday, April 25, 2012

KPK “Melempem”


Sebagian besar orang Indonesia pasti sudah tahu apa arti kata ”melempem”. Ya, macam kerupuk keanginan: kalau digigit tidak lagi berbunyi “kriyuk-kriyuk”, tetapi seperti kita menggigit tempe yang tidak berbunyi apa-apa. Akan tetapi, kita hendaknya jangan menyamakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tempe. Itu suatu penghinaan!

Bung Karno dulu selalu mengatakan, “Bangsa kita bukan bangsa tempe.” Tempe dalam konteks kata-kata Bung Karno berarti makanan yang inferior sehingga dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang murahan. Kalau kita katakan KPK “melempem” bolehlah karena nyatanya memang seakan-akan KPK ”keanginan”. Macam kerupuk tadi, angin yang tidak kelihatan, tetapi baunya menyengat sehingga rakyat merasa mual: mau muntah.


Betapa tidak! Tempo hari KPK berjanji mau memeriksa seorang tokoh penting. Mana buktinya? Sampai sekarang tidak nyata. Yang ada malah isu tentang perpecahan unsur pimpinan KPK. Ini pun kemudian dibantah sendiri. Katanya bukan perpecahan, melainkan perbedaan pendapat.

Fokus perhatian kita pun berubah arah: bukan pada pemeriksaan tokoh penting itu, melainkan pada perbedaan pendapat.

Sebelumnya ada salah seorang pimpinan KPK yang mengatakan bahwa dua orang yang bersaksi di sidang pengadilan di bawah sumpah belum cukup dijadikan alat bukti untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka. Kata sang anggota pimpinan KPK tersebut, menurut KUHAP masih harus ada alat bukti lain.

Waduh! Dua saksi, apalagi keterangan itu diberikan di bawah sumpah di depan sidang pengadilan, bukankah sudah lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai alat bukti permulaan?

5 Pendekar KPK

Krisis Kepercayaan?
Saya sebenarnya sudah mengenal Anas Urbaningrum dan Andi A Mallarangeng sewaktu keduanya menjadi anggota Tim 11 di bawah pimpinan (almarhum) Nurcholish Madjid dan Adnan Buyung Nasution yang bertugas menyeleksi partai politik yang akan mengikuti Pemilu 1999. Waktu itu mereka merupakan dua tokoh muda yang penuh semangat, berdedikasi tinggi, dan jauh dari terpaan isu korupsi. Menurut pendapat saya, mereka sebaiknya kini diperiksa oleh KPK supaya mereka tidak terombang-ambing oleh isu dan rakyat pun cepat dapat mengetahui kebenarannya.

Sekarang mengapa semua unsur pimpinan KPK menjadi kuthuk-kuthuk alias diam, tidak bersuara galak seperti ketika baru dilantik dulu?

Belum lagi ditambah kenyataan bahwa mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari telah dinyatakan sebagai terdakwa oleh Kejaksaan Agung atas tuduhan melakukan tindak pidana korupsi. Apakah ini bukan menjadi porsi KPK untuk memeriksanya?


Apakah sudah ada kesepakatan baru yang rakyat tidak tahu ataukah ini sekadar menandakan adanya krisis kepercayaan kepada KPK?

Saya termasuk orang yang tak setuju apabila KPK dibubarkan. KPK sebagai lembaga superbody dalam pemberantasan korupsi harus tetap dipertahankan keberadaannya sampai korupsi benar-benar hilang dari bumi Indonesia. Akan tetapi, tentu dengan catatan, KPK yang benar-benar bisa diandalkan; tidak melempem seperti sekarang, yang mudah masuk angin.

Perbedaan pendapat di antara pimpinan yang bersifat kolektif boleh-boleh saja dan hal itu pasti tidak bisa dihindari. Akan tetapi, yang penting di antara pimpinan itu harus to make the best of it sehingga selalu bisa dicapai keputusan yang kompak tanpa ada saling menjegal di dalam.

Adi Andojo Soetjipto, Mantan Hakim Agung
KOMPAS, 24 April 2012

Tuesday, April 24, 2012

Budaya Populer, Defisit Nalar Surplus Kebodohan


“Ternyata budaya populer juga menyergap wilayah spiritualitas. Agama menjadi komoditas. Spiritualitas dicopot dari akar ilahiahnya."

Diakui atau tidak, saat ini semua media sedang dirambah budaya populer untuk menyebarkan misi utama mereka, melakukan ‘kolonialisasi kesadaran’. Majid Tehranian menyebut itu dengan istilah ‘tirani kognitif’ atau ‘ilusi-ilusi modernitas’ dalam bahasa Peter L Berger.

Herbert J Gans dalam Popular Culture and High Culture: An Analysis and Evaluation of Taste menyebut beberapa identitas ‘anak kandung’ budaya populer: berorientasi profit, mendangkalkan nalar, mengundang kesenangan sesaat, dan akhirnya mendorong totalitarianisme dengan mengondisikan jemaah (penonton, audiens, khalayak, dan pembaca) yang pasif. Sudarsono (1993) menyebut serbuan budaya ini dalam jangka panjang bisa lebih berbahaya ketimbang fanatisme agama dan pesona laten komunisme.


Seluruhnya bergerak di wilayah simbolis, kekerasan simbolis. ‘Penjajahannya tidak terasa’ bahkan boleh jadi diterima dengan senang hati karena secara sempurna menawarkan kegembiraan yang tuntas. Itulah yang dikatakan sebagai ‘hegemoni’ oleh Gramsci. “Jati kasilih ku junti” dalam kearifan lokal etnik Sunda.

Dari semua media itu, yang paling kentara adalah televisi. Kotak ajaib (ada juga yang menyebutnya ‘kotak stupid’) saat ini telah menjadi imam kita. Konsep diri kita sesungguhnya didefinisikan layar kaca. Layar televisi menjadi potret seluruh sejarah pengalaman kita dan sekonyong-konyong televisi sedang menonton kita. Itu serupa dengan metafora yang dibuat Jean Baudrillad.

Televisi tentu tidak beragama, tidak memiliki KTP, tidak juga mengenal gender, bebas nilai. Apa pun yang ditayangkan, yang penting memenuhi hasrat pasar yang diketahui lewat sabda rating.


Budaya Populer
Di dalam televisi budaya populer menemukan habitatnya, memerankan dirinya dihadapan audiens yang nyaris tidak ada lagi yang bisa bersikap kritis (apalagi dalam konteks budaya kita yang tradisi bacanya belum tumbuh, tiba-tiba dipaksa melakukan lompatan dengan memasuki tradisi menonton). Maka, sempurnalah keterpurukan kita. Bukankah dengan berhenti membaca berarti berhenti berpikir. Sebuah tragedi dalam infrastruktur kognitif bangsa ketika Perpustakaan Nasional menduga hanya 1% (dari 250 juta) yang rajin mengunjungi perpustakaan.

Akhirnya, terjadilah defisit nalar, namun surplus kebodohan. Ujungnya, semua menjadi serba tanggung. Di ruang remang-remang seperti ini, kekerasan simbolis dengan mudah menyebar dan beranak-pinak. Ketika tayangan televisi sudah menganeksasi layar bawah sadar kita dan akhirnya menjadi limbo yang tak bermakna, maka budaya, perilaku, sikap, dan keinginan menjadi berwajah homogen yang bergantung pada ‘tokoh’ yang menjadi rujukannya di layar kaca, baik ‘tokoh lokal’ ataupun ‘tokoh luar’.


Di televisi, semua tayangan bermuara pada pusaran pop culture. Kita catat saja beberapa contoh. (1) Perempuan (dan laki-laki) hadir lebih didominasi tubuh, bukan akal budi baik dalam sinetron, entertainment, terlebih lagi iklan. Stereotipnya body and beauty, bukan brain. Feminist Media Studies, seperti dikutip I Subandi Ibrahim (2007), menyebutnya sebagai display yang sengaja diperlihatkan dengan nawaitu untuk dilihat khalayak (laki-laki). Media cetak menyebutnya dengan ‘jurnalisme lheeer’.

Dengan cara seperti itu, makna kefemininan dan maskulinitas secara ontologis dipertaruhkan, minimal dipertanyakan kembali. Kita bahkan ditahbiskan sebagai pengunduh (downloader) dan pengunggah (uploader) situs porno peringkat 1 di dunia, padahal pertengahan Januari lalu Indonesia masih menduduki urutan ketiga setelah China dan Turki.

Itu juga barangkali yang menjadi alasan utama SBY membentuk Satuan Tugas (Satgas) Antipornografi. DPR kita sibuk mengurus rok mini. Di lain sisi, dengan sangat telanjang pikiran kotor dan korup yang ada dalam kepala kita tidak pernah disensor (bukankah korupsi jauh lebih keji ketimbang rok mini?).


(2) Sosial-politik. Ketika aspek ini diangkat ke televisi, nyaris tidak kita temukan pendidikan politik yang mencerahkan kecuali hanya menyisakan drama kekerasan opini, bahkan minggu kemarin ILC dengan primitif tidak mempertontonkan ‘kekuatan logika’, tapi ‘logika kekuatan’ antara penasihat hukum dan aktivis partai. Tayangan politik di media menjadi sebuah drama untuk membangun citra.

Televisi dalam konteks ini menjadi media yang menyembunyikan agenda tirani (hidden tyranny) sekaligus, kata Hannah Arendt, ruang untuk mempraktikkan kejemawaan akal bulus hasrat berkuasa dengan memproduksi tayangan dan komunikasi yang tidak real. Tempat sikap dan tindakan politik yang belum tentu secara objektif memiliki korespondensi dengan hajat dan kebenaran publik mendapatkan panggung yang meriah dan gempita.

Saat ini kita sering (dipaksa tanpa sadar) melihat televisi berulang kali yang menayangkan argumentasi primitif ketua DPR(D) yang tidak lebih cerdas daripada rakyat yang diwakili. Barangkali betul apa yang disebut Nietzsche bahwa dunia (televisi) menjadi saluran strategis dari auman kerumunan politisi yang lebih mengerikan daripada monster sekalipun. Kebenaran politik dan kebudayaan tidak diacukan lagi kepada alur akal (Descartes), roh (Hegel), ada transendental (Haidegger), kematangan iman (Kierkegaard), cinta kasih (Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa etis (Nietzsche), phallogocentrism (Freud), tapi justru kepada ketamakan dan nafsu merasa paling benar sendiri.


(3) Agama. Ternyata budaya populer juga menyergap wilayah spiritualitas. Agama menjadi komoditas. Spiritualitas dicopot dari akar ilahiahnya. Maka pada gilirannya, yang mencuat ke permukaan ialah sengketa memperebutkan simbol, memburu identitas dianggap lebih penting ketimbang melakukan penghayatan yang tuntas.

Bagaimana kita harus membubuhkan autentisitas makna dari perilaku selebritas yang hari ini sekujur tubuhnya tertutup jilbab, tiga hari kemudian ‘merayakan kebebasan’ sebebas-bebasnya (jilbab dalam konteks budaya populer tidak ada kaitannya dengan kesadaran religi, tapi semata diacukan kepada haluan mode, dan kekhawatiran tidak laku kalau tetap memerankan imaji bintang film bom seks, akurasi membaca keinginan audiens yang pada akhirnya memosisikan busana sebagai ‘identitas’ sekaligus ‘kapitalisasi’). Termasuk, kesulitan menelusuri genealogi religiositas ustadz pop (ustadz solmed) yang sudah kehilangan hakikat makna semantiknya ketika yang diwartakan mobil Alphard, merek sepatu, parfum, selera berbelanja, ‘pacaran islaminya’ dan hal lainnya yang bagi kiai di pelosok adalah sesuatu yang megah bahkan bisa jadi ‘tak terpikirkan’.


Alhasil, interupsi atas gelombang dahsyat budaya populer yang menumpang globalisasi melalui berbagai media melakukan counter culture atas fenomena yang mendangkalkan muruah kemanusiaan yang harus tetap dinyalakan jika kita semua tidak ingin celaka.

Budaya lokal dan kearifan perenial juga memiliki fungsi yang strategis untuk tugas profetik seperti ini.

Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
Harian MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2012

Wednesday, April 18, 2012

Rakyat Tetap Jadi Bulan-Bulanan


Dari Pelita ke Pelita berikutnya dan dari zaman reformasi ke zaman reformasi lebih lanjut, rakyat tetap menjadi bulan-bulanan permainan politik para begundal hawa nafsu, yaitu mereka yang berkuasa atas orang lain tapi tak pernah berkuasa atas diri mereka sendiri.

Kehidupan rakyat sudah sangat berat sejak abad ke-18 ketika mereka dibebani kewajiban kerja paksa dan membayar upeti kepada para ngabehi. Lebih dari itu, di kawasan daerah makmur di Banyumas selatan, khususnya di sekitar pasar utama Jeruk Legi, rakyat hidup di bawah ancaman menakutkan. Desa-desa mereka selalu dijarah-rayah oleh para perompak dari Bali, Bugis, dan Timor.

Para perompak itu juga menangkap warga desa untuk dikerjapaksakan sebagai awak kapal perompak atau dijual kepada para kapten kapal Inggris di Malaka. Kehidupan desa itu pun tak pernah betul-betul pulih kembali selama belasan tahun kemudian. Dari 12 desa yang penghuninya mencapai 13.000 jiwa itu, hanya tinggal tiga desa yang tetap berpenghuni. Akibat serbuan perompak tersebut, desa itu tak pernah betul-betul pulih kembali. Sejak saat itu dua sersan Hungaria ditempatkan di Nusa Kambangan untuk memberi peringatan tentang adanya serangan para perompak.

Kita diberi kesan, datangnya “perlindungan” pemerintah jajahan itu membuat rakyat menjadi lebih aman karena para perompak tak ada yang datang lagi. Itu gambaran pemikiran kaum penguasa, yang harus memaksimalkan arti dari apa yang telah dilakukannya. Tapi rakyat berpikir lain. Mereka melihat persoalan lebih tajam, lebih jernih: terang saja para perompak tak menjarah rayah desa-desa mereka lagi. Tapi harus dicatat, hal itu bukan terutama karena perlindungan penguasa telah membuat mereka ketakutan, melainkan karena di desa itu memang sudah tak ada lagi barang yang bisa dirampas dengan kekerasan.

Itu catatan sejarawan Peter Carey di dalam buku Kuasa Ramalan yang memfokuskan diri pada Perang Jawa, yang juga dikenang sebagai Pemberontakan Pangeran Diponegoro. Sejarawan itu mengutip pendapat Baker, sebagaimana dapat kita cek kembali dalam buku tersebut di halaman 24. Para budak nafsu yang jahat itu tentu saja sudah mati, tapi penjahat lain yang juga merupakan budak nafsu yang baru telah dilahirkan lagi di dunia ini. Dengan begitu, corak kehidupan seolah tak berubah.


Tata pemerintahan negara bisa berganti menjadi republik. Governance yang ditampilkannya bisa saja kelihatan transparan dan demokratis seperti kita alami di zaman sesudah reformasi ini. Tapi mereka yang berkuasa sekarang sukar diharapkan untuk betul-betul berubah lebih melindungi warga, lebih manusiawi, lebih adil. Penguasa, yang juga membaca buku politik, dan tahu bahwa mereka memanggul mandat kerakyatan, lebih suka membiarkan apa yang diketahuinya berhenti di pengetahuan sementara.

Dan pengetahuan sementara itu tak ada hubungannya dengan tindakan perlindungan terhadap rakyat. Memang betul, sekarang ini para perompak dari Bali, Bugis, Timor tidak lagi menjarah desa-desa lewat jalan laut atau selat atau sungai. Perompak yang dulu berasal hanya dari tiga daerah itu sekarang bertambah banyak. Mereka datang dari etnik mana pun. Dan penjarahan bukan dilakukan di desa-desa, yang sudah tak memiliki apa pun yang pantas dijarah, melainkan di kota, di Senayan, lewat penjarah baru yang status politik resminya mentereng, gagah, dan sah secara hukum, sah secara politik.

Selebihnya penjarah macam itu juga terdapat di jajaran eksekutif. Mereka ahli memainkan peran menjarah rakyat, namun demikian, tak jarang orang-orang ahli ini masih harus bekerja sama dengan kubu Senayan. Mereka berbagi wilayah jarahan dan berbagi tanggung jawab, terutama jika salah satu di antara mereka tertangkap. Tanggung jawab? Ya, mereka yang tertangkap harus dilindungi.

Harus ada kekuatan pendukung yang menyatakan bahwa penjarah yang tertangkap itu bukan penjarah, melainkan orang suci, keturunan rohaniwan, ada hubungan —darah maupun perkawinan— dengan para ahli surga yang “maksum”, yang tak tersentuh dosa. Pernyataan macam itu harus diteriakkan para pendukung setia dan dia sendiri juga harus berani bersumpah, siap digantung, siap diapakan saja kalau terbukti menjarah. Politik harus tangkas mengubah kebusukan menjadi sejenis aroma terapi. Pendek kata mereka itu profesional. Mereka ahli membalikkan fakta, ahli memanipulasi apa saja, termasuk kitab suci, selama masih ada lowongan manipulasi.

Orang-orang itu ibarat pemburu berdarah dingin yang menyandang bedil, bukan untuk memburu binatang buas di rimba raya, melainkan memburu binatang piaraan yang jinak dan tak berdaya. Dengan sendirinya, yang dimaksud buruan jinak tak berdaya itu rakyat. Dan benar, yang namanya rakyat itu memang sudah tak berdaya sejak lama. Mereka, rupanya, sudah dikebiri oleh birokrasi dan para penguasa yang lebih suka melindungi diri sendiri daripada melindungi orang banyak yang bernama rakyat tadi.


Maka, catatan harus diperluas: bukan hanya dari Pelita ke Pelita atau dari zaman reformasi ke reformasi berikutnya, melainkan dari abad ke abad, rakyat tak pernah diperbolehkan berdaulat. Sampai hari ini, ketika kita bicara perkara harga bahan bakar minyak (BBM). Karena suara lain yang tak sama dengan suara pemerintah lebih besar, rencana menaikkan harga BBM pun batal. Pemerintah kalah. Suara kaum oposisi menang. Dan dengan bangga pemerintah menyatakan inilah tanda bahwa kami memerintah secara demokratis.

Demokratis? Apa gunanya demokratis dalam percaturan politik yang dampak ekonominya nyata-nyata menekan rakyat macam ini? Hanya kedunguan politik tanpa kesadaran moral yang menilai hal itu berguna. Apanya yang berguna kalau harga BBM jadi naik atau tidak, efek ekonominya tetap berat bagi rakyat? Siapa yang tak tahu bahwa diskursus politik kaum elite ini betul-betul sudah membikin harga semua jenis barang telanjur naik dan bahwa kehidupan ekonomi rakyat makin terhimpit? Politisi macam apa mereka bila tak sensitif memahami perkara sederhana ini?

Dari abad ke abad, raja-raja di Jakarta boleh datang dan pergi. Parlemen boleh mengganti anggotanya kapan saja.Tapi kemiskinan rakyat tak pernah pergi dan tak ada pihak yang mampu dan mau membikin kondisi kehidupan macam itu berganti menjadi lebih baik. Dari abad ke abad, hingga hari ini, rakyat dibiarkan hidup tanpa pelindung, tanpa pembela. Dari hari ke hari rakyat seperti pengemis jalanan yang makin sadar bahwa mereka tak punya pemerintah.

Tapi sementara itu mereka tahu, anggaran besar yang dikuasai orang Senayan dan jajaran pemerintahan ibaratnya langsung dijarah-rayah di antara sesama mereka sendiri. Dan kelihatannya tak ada yang betul-betul menaruh rasa peduli terhadap kebusukan ini. Dari abad ke abad, rakyat tak terurus, tertekan, dan melarat, serta tetap menjadi bulan-bulanan.

M Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
Koran SINDO, 2 April 2012

Monday, April 2, 2012

Sang Pengeluh


Dalam kunjungan kenegaraan di Beijing, China, Presiden Yudhoyono kembali mengeluh dan menyesalkan anggota kabinet yang tidak melakukan pembelaan dan masih diam saja ketika dikritik.

Pokok keluhan SBY, anggota kabinet yang cenderung berdiam diri atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak awal April ini. Sebagaimana dilansir harian Kompas (26/3), isyarat yang dapat dibaca dari aksi diamnya menteri: ada masalah antara Presiden dan anggota kabinet. Lebih dari itu, keluhan terbuka SBY meneguhkan gejala yang berkembang selama ini: terbelahnya soliditas di jajaran kabinet.

Bahkan, jika dilacak lebih jauh ke belakang, keluhan terhadap anggota kabinet (baik karena disebabkan kinerja maupun alasan kekompakan) paling sering dikemukakan SBY ke ruang publik. Misalnya, pertengahan 2011 SBY mengeluh soal lambannya tidak lanjut instruksi yang diberikan kepada menteri. Tak tanggung-tanggung, SBY menyebutkan bahwa hanya kurang dari 50 persen instruksinya yang dijalankan anggota kabinet.

Tak lama berselang, hanya hitungan hari sebelum membancuh kabinet, SBY kembali berkeluh kesah yang mengesankan beberapa menteri jadi beban pemerintah sekaligus jadi beban Presiden. Setelah itu, belum berjarak dua bulan, SBY muncul dengan keluhan lain: sistem pelaporan cepat di kabinet acap tak berjalan baik (Kompas, 26/3).

Selain kinerja dan kekompakan anggota kabinet, keluhan SBY merambah pula ke ranah pemberantasan korupsi.

Sebagai Presiden yang merengkuh dukungan pemilih dengan kalimat mahasakti “Saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”, menjadi sulit dimengerti ketika SBY mengeluh bahwa pemberantasan korupsi sangat sulit, berat, butuh waktu, dan kerja semua pihak.


Tak Bernyali
Sebagai Presiden dengan dukungan pemilih sangat tinggi, sulit menerima dan membenarkan untaian panjang keluhan itu. Terkait dengan soal kinerja dan kekompakan anggota kabinet, misalnya, keluh kesah yang disampaikan ke ruang publik menggambarkan betapa Presiden SBY gagal menunjukkan kuasa konstitusional seorang presiden dalam desain sistem presidensial.

Jamak diketahui, dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif menilai keberlanjutan posisi menteri di jajaran kabinet. Jika memang ada di antara menteri yang merusak kinerja kabinet secara keseluruhan, dengan instrumen hak prerogatif SBY dapat melakukan evaluasi kapan saja diperlukan. Dalam hal ini, Pasal 17 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.”

Dengan kuasa konstitusional yang demikian, tak dapat dipersalahkan jika sejumlah pihak bergumam sinis atas keluh kesah SBY soal kinerja dan kekompakan jajaran kabinet. Oleh karena itu, masalah mendasar yang sesungguhnya dihadapi SBY tidak pada desain konstitusional, tetapi lebih pada kekuatan personal untuk berada di titik sentral konsekuensi logis yang mungkin sulit dihindarkan dalam praktik sistem presidensial.

Sebagaimana dipahami, meskipun masa jabatan presiden didesain dengan masa edar tetap, praktik sistem presidensial acap hadir dengan pola hubungan eksekutif dan legislatif yang relatif tak stabil. Guna menghadapi kemungkinan instabilitas itu, para pengkaji sistem presidensial hampir selalu menempatkan personalitas seorang presiden sebagai salah satu faktor kunci. Biasanya seorang presiden dengan karakter kuat menjadi lebih mampu menghadapi paradoks yang muncul dalam praktik sistem presidensial.


Sulit dibantah, keluhan atas kinerja dan kekompakan anggota kabinet adalah buah dari sikap dan pilihan SBY sendiri. Sekalipun mendapatkan dukungan besar pemilih (60,8 persen) pada Pemilu 2009, SBY gagal menjadikan angka itu sebagai modal membangun pemerintah yang solid. Sejak awal nyali SBY meluruh untuk membentuk kabinet dengan dukungan parpol pas-terbatas. Boleh jadi, persoalan nyali pula yang memaksa SBY membentuk koalisi kedodoran dengan dukungan partai politik hampir mendekati angka 80 persen.

Bahkan, ketika mengeluh atas kinerja dan kekompakan sejumlah menteri, yang dilakukan tidak mengganti mereka yang berkinerja rendah, tetapi mengangkat sejumlah wakil menteri. Sekalipun pilihan mengangkat wakil menteri untuk “melapis” sejumlah menteri dibenarkan oleh undang-undang, langkah demikian tetap saja tak mampu menyelesaikan masalah sesungguhnya.

Yang terbentang di hadapan kita, karena kehilangan nyali, SBY justru melakukan eksperimentasi yang dalam batas tertentu kian memperumit masalah. Kini, yang kita saksikan, SBY benar-benar tengah berenang di dalam perangkap yang ia bangun sendiri. Celakanya, ketika kesempatan keluar dari keluhan atas kinerja dan kekompakan jajaran kabinet, misalnya ketika merombak kabinet Oktober lalu, nyali untuk “melangkah” lebih jauh kian lenyap ditelan bumi. Jika memiliki nyali untuk melakukan perubahan besar, keluhan saat melakukan kunjungan kenegaraan di Beijing tak perlu keluar lagi dari Presiden SBY.

Selain persoalan di atas, banyak kalangan menilai, keluhan demi keluhan sengaja dibuka ke publik agar segala macam kritik terhadap kinerja pemerintah tak dipandang sebagai kesalahan SBY semata, tetapi juga karena persoalan serius di jajaran anggota kabinet. Jika penilaian demikian benar, berarti SBY tak mau ambil risiko dan tanggung jawab atas kinerja pemerintah.


Cuci Tangan
Padahal, dalam logika sistem pemerintahan presidensial, kinerja pemerintah menjadi tanggung jawab presiden. Karena logika pertanggungjawaban demikian, keluhan terhadap kinerja dan kekompakan menteri menjadi urusan ”dapur” kabinet.

Ibarat petuah lama, membawa persoalan demikian ke ruang publik sama saja dengan “mencabik baju di dada”, “menepuk air di dulang tepercik muka sendiri”. Tegasnya, seorang presiden tidak boleh cuci tangan atas kinerja anggota kabinetnya sendiri.

Dalam berbagai kejadian, SBY kelihatan enggan menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk mengambil tanggung jawab langsung. Terkait dengan hal ini, Teten Masduki pernah mengemukakan presiden acap kali mengeluh tak puas atas kinerja penegakan hukum. Namun, SBY lebih memilih membentuk Satuan Tugas Mafia Hukum ketimbang campur tangan langsung membenahi institusi kepolisian dan kejaksaan yang berada langsung di bawah kekuasaannya.

Pertanyaan besar yang menggantung di kepala banyak orang: mungkinkah negeri ini keluar dari tumpukan dan impitan persoalan jikalau pemimpinnya lebih banyak berkeluh kesah? Pertanyaan ini begitu menggelitik karena di tengah lilitan persoalan saat ini, harusnya rakyat yang mengeluh, bukan pemimpin.

Mr. President, jangan tambahi beban rakyat, berhentilah menjadi sang pengeluh!

Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas

KOMPAS, 2 April 2012