Wednesday, December 31, 2008

Once a Life Time Crisis


Dampak krisis ekonomi global yang telah melibas semua lini kehidupan bangsa di dunia ini tampaknya semakin hari semakin terasa berat. Krisis yang dimulai dari krisis keuangan di AS pada Agustus 2007 itu, ternyata sudah hampir satu setengah tahun memorak-porandakan sendi-sendi ekonomi dunia. Krisis yang diawali dari subprime mortgage di AS tersebut telah melebar ke seluruh sendi perekonomian. Dampak krisis ekonomi sudah meluas dari AS dan kawasan Amerika lainnya merebak ke Eropa serta Asia, Afrika, dan Australia.

Krisis ekonomi yang sering dipandang sebagai once a life time crisis (krisis yang terjadi sekali dalam kehidupan kita) memang sangat luar biasa dampak merusaknya. Bahkan, Brazil, Rusia, India, dan China (BRIC) yang dikagumi banyak orang karena telah mampu menunjukkan kebolehannya dalam membangun ekonomi juga terpukul tajam dengan krisis global itu.

Perkembangan krisis ekonomi global yang semakin berat terlihat dari berbagai proyeksi ekonomi ke depan yang dari bulan ke bulan cenderung semakin memburuk. Bahkan, ekonomi dunia 2009 yang diramalkan tumbuh di atas 4 persen diperkirakan terus merosot sehingga November lalu diramalkan hanya akan tumbuh 0,9 persen oleh Bank Dunia. Bahkan, proyeksi yang lebih baru semakin mengkhawatirkan kita karena ekonomi dunia tahun depan diproyeksikan mengalami konstraksi 0,4 persen menurut lembaga think thank The Institute of International Finance akhir-akhir ini. Demikian juga keyakinan bahwa ekonomi dunia akan mulai pulih 2010 mulai diragukan.

Akhir-akhir ini, bos IMF Mr Dominique Strauss Kahn menyatakan bahwa krisis global bisa semakin lama dan menimbulkan gejolak sosial yang semakin luas jika pemerintah negara-negara di dunia tidak meningkatkan paket stimulus dan melaksanakan paket stimulus yang sudah dikomitmenkan. Jelas itu semua perlu membuat kita waspada bahwa situasi krisis ekonomi global memang semakin mengkhawatirkan.

Bagaimana Indonesia?
Ekonomi Indonesia yang sudah direformasi lebih dari satu dekade sehingga mestinya memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia tampaknya tidak terbukti.

Tingginya dana jangka pendek dalam perekonomian dan pendanaan defisit APBN yang bersumber dari pasar modal serta ketergantungan ekonomi Indonesia yang besar pada pasar internasional -baik pada sisi modal, pangan, maupun energi- jelas membawa kerapuhan yang serius. Apalagi, jika krisis ekonomi global semakin parah dan lama, akan semakin besar pengaruhnya pada ekonomi kita. Indonesia yang merupakan a small open economy akan menghadapi masalah dan tantangan yang semakin berat pada tahun mendatang.

Tahun 2009 akan menjadi tahun yang sulit bagi Indonesia. Krisis ekonomi domestik dapat saja menghantam kita setiap saat. Selain itu, pemilu yang biasanya juga memunculkan ketidakpastian baru akan memengaruhi perkembangan bisnis dan investasi. Apalagi, perbankan semakin pruden dalam menyalurkan dananya sehingga masalah dan tantangan yang dihadapi dunia usaha juga semakin berat. Meski paket stimulus sebesar Rp 12,5 triliun sudah diluncurkan, hasilnya banyak diragukan. Bahkan, oleh dunia usaha sendiri. Padahal, keuangan negara juga akan semakin berat karena bebannya besar serta tidak mudahnya mendapatkan pendanaan dari defisit yang harus ditanggungnya.

Itu semua akan membuat kemampuan Indonesia untuk memberikan stimulus fiskal juga terbatas. Padahal, dari sisi perdagangan internasional, kondisi kita mulai memburuk. Kita tidak dapat lagi mengandalkan perdagangan barang dan jasa internasional untuk memperkuat cadangan devisa kita karena dalam kuartal 2 dan 3 tahun ini sudah defisit USD 1,2 miliar dan USD 500 juta.

Padahal, komponen impor industri kita masih tinggi (rata-rata masih di atas 30 persen, bahkan ada yang sampai di atas 70 persen, seperti tekstil dan produk tekstil). Data-data tersebut membuat turunnya harga BBM ataupun suku bunga belum banyak membantu perekonomian. Bahkan, turunnya harga komoditas akhir-akhir ini juga ikut merugikan Indonesia yang merupakan salah satu negara produsen barang primer di dunia. Karena itu, tidaklah aneh jika kita membaca koran ataupun melihat TV serta mendengarkan dari radio, semakin banyak perusahaan yang gulung tikar ataupun turun omzetnya, demikian juga semakin tingginya PHK.

Jelas bahwa tren kemerosotan ekonomi yang terjadi di dunia sudah mulai masuk ke Indonesia. Bahkan, dampaknya mungkin dapat lebih besar karena kemampuan kita menahan krisis juga rendah. Karena itulah, sangat penting bagi kita semua waspada dan membuat berbagai skenario antisipasi sehingga apa pun yang terjadi, kita akan tetap dapat bertahan. Bahkan, jika mungkin, kita bisa berkembang dalam gelombang krisis ekonomi global yang semakin dalam dan panjang.

Dalam menghadapi ancaman krisis ekonomi yang sudah mulai tertransmisikan ke Indonesia sekarang, pemerintah diharapkan dapat menjadi pemimpin, seperti negara-negara lainnya di dunia. Bahkan, AS yang dikenal sebagai negara kapitalis saja mengintervensi perekonomian habis-habisan. Pemerintah federal menyediakan paket penyelamatan lebih dari USD 700 miliar. Belum lagi, bank sentralnya yang juga berkomitmen menyediakan sekitar USD 500 miliar untuk menyelamatkan pasar keuangan AS. Bahkan, pemerintahnya juga menyelamatkan industri mobil.

Tiongkok (China) yang merupakan negara pasar sosialis jelas intervensi habis-habisan untuk menyelamatkan ekonominya. Itu pun tampaknya tidak akan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Beberapa sumber memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan terpangkas sekitar separo daripada biasanya sehingga diperkirakan hanya tumbuh 5 persen. India diperkirakan mengalami hal yang sama. Indonesia sendiri jika tidak hati-hati akan menyusul.

Tantangan Tahun Baru
Tiap pergantian tahun, kita selalu menaruh harapan yang tinggi akan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa dan negara kita ataupun kehidupan kita pribadi. Namun, tahun ini tampaknya berbeda. Jelas bahwa masalah dan tantangan yang ada di depan mata cukup berat. Ekonomi nasional tampaknya akan memburuk. Potensi bisnis ambruk, keuntungan menguap, bahkan pendapatan hilang karena PHK juga bisa kita hadapi. Sudah demikian, politik akan memanas karena pemilu. Akibatnya, mayoritas di antara kita akan menghadapi masa yang berat. Meski demikian, tidak berarti kita harus larut dan terseret arus yang memang semakin besar dan keras.

Kemampuan Indonesia untuk menghadapi masa yang berat tersebut akan banyak bergantung pada kepemimpinan pemerintah serta dukungan semua; otoritas ekonomi terkait, dunia usaha, dan masyarakat luas. Komitmen dan kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi akan sangat menentukan keberhasilan itu.

Leadership pemerintah yang kredibel dan meyakinkan dapat menjadi pedoman dunia usaha dan masyarakat dalam bertindak. Jika semua saling mendukung dengan arah dan kebijakan yang benar, kita akan mampu menghadapi krisis ekonomi global dengan lebih baik. Jangan sampai Indonesia yang baru saja mengatasi krisis ekonomi pada akhir 2003 harus masuk dalam krisis ekonomi lagi.

Dr Sri Adiningsih, Ekonom UGM
Jawa Pos, 29 Desember 2008

Friday, December 26, 2008

Kita Mesti Kerja

Kita mesti kerdja.
Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil sebagaimana mesti ia terima?!


Kulyubi Ismangun

Menyemai Politik Harapan


Aku memohon kepada seorang tua yang berdiri di ambang Tahun Baru, ’Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan.’ Orang itu pun menjawab, ’Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada tangan Tuhan. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya, dan lebih aman daripada jalan yang dikenal’.”

Begitulah Raja George VI memberikan wejangan menyambut Hari Natal 1939. Sebuah tamsil bagaimana sepatutnya bangsa Inggris menghadapi pergantian tahun dalam suasana krisis berkepanjangan, menyusul depresi ekonomi dunia dekade 1930-an.

Sebuah krisis muncul karena warisan sisi-sisi gelap masa lalu yang tak sepenuhnya kita kenali. Untuk mengenalinya, kita harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk menemukan visi dan formula perubahan yang tepat, bukan mengandalkan resep-resep umum yang telah dikenal.

Bagi siapa saja yang bertekad menghadapinya, krisis yang diwariskan itu bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental. Dengan sikap demikian, krisis merupakan kritik alam tentang perlunya kerendahan hati, bahwa kemungkinan historis itu jauh lebih kaya dan beragam ketimbang konsepsi intelektualitas manusia. Oleh karena itu, betapapun krisis bisa membawa tragedi kemanusiaan, kita tidak boleh kehilangan harapan.

Warisan terbaik para pendiri bangsa adalah ”politik harapan”, bukan ”politik ketakutan”. Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan identitas sebagai bangsa.

Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala.

Akan tetapi, politik harapan harus berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Di sinilah titik genting politik Indonesia saat ini.
Melemahnya kekuatan visi membuat politik kehilangan responsibilitasnya. Berbagai kebijakan dan pilihan politik yang dikembangkan sering kali tidak memenuhi empat prinsip utama: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.

Dengan keempat prinsip itu, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat pada pemerintah.

Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi, watak politik menjadi narsistis, mengecilkan harapan banyak orang.

Politik harapan
Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan lewat aktualisasi politik harapan.

Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk merealisasikan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar.

Pada tahap pertama, semua tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarjinalkan orang lain.

Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tetapi justru apatis. Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batas-batas politik lama.

Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberikan inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.

Semua pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan Hannah Arendt, adalah suatu ”ruang penjelmaan” yang memungkinkan dan merintangi pencapaian manusia di segala bidang. Oleh karena itu, terang-gelapnya langit harapan di negeri ini sangat ditentukan oleh warna politik kita.

Para pemimpin harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung jawab dan penghormatan pada yang lain.

Bermula dari keinsafan para pemimpin di pusat teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa keluar dari kelam krisis menuju terang harapan.

YUDI LATIF
KOMPAS, 23 Desember 2008

Industri Masuki Masa Suram

Industri alat berat dunia kini menghadapi masa suram. Setidaknya, akan terjadi pengurangan 25 juta pekerja akibat kurangnya permintaan. Perusahaan Amerika Serikat pembuat alat-alat berat, seperti Caterpillar, mengakui sedang memasuki masa sulit.

Pihak Caterpillar mengatakan sedang melakukan perampingan karyawan, mengurangi kegiatan, serta menurunkan gaji karyawan.

Berita ini muncul setelah industri raksasa otomotif Jepang, Toyota, juga memberikan proyeksi terburuk selama 70 tahun terakhir.

Toyota, perusahaan otomotif raksasa Jepang, memperkirakan akan mengalami kerugian operasional untuk pertama kalinya dalam 70 tahun. Kerugian ini karena penjualan mobil anjlok di seluruh dunia.

Manajemen Toyota menyatakan akan mengalami kerugian sebesar 150 miliar yen atau 1,66 miliar dollar AS untuk tahun fiskal yang berakhir pada Maret 2009.

Penurunan penjualan mobil yang terjadi pada Toyota di pasar utama Toyota, yaitu AS, menimbulkan pertanyaan apakah Toyota akan menyentuh titik nadir.

"Kesulitan ini menyeret kita lebih cepat, lebih luas, dan lebih dalam daripada perkiraan semula. Ini adalah krisis yang tidak dapat dihindari dan memerlukan tindakan segera," ujar Presiden Toyota Katsuaki Watanabe.

Toyota juga dikabarkan akan mengangkat Akio Toyoda, anak mantan Presiden Toyota Shoichiro Toyoda dan cucu pendiri Toyota, untuk menggantikan Watanabe. Selama bertahun-tahun, Toyoda telah menjadi kandidat posisi itu. Akan tetapi, Watanabe mengatakan, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan pergantian kepemimpinan di Toyota.

Tak bisa bayar gaji
Ini adalah berita suram di samping kesulitan yang sudah melanda perusahaan otomotif AS, General Motors, Chrysler, dan Ford.

Industri otomotif Perancis juga menghadapi masalah serupa. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, Selasa, saat berada di Rio de Janeiro, Brasil, mengatakan terpaksa mengulurkan tangan untuk menolong industri otomotif yang sedang kesulitan. Tidak disebutkan bentuk pertolongan yang dimaksudkan.

Akan tetapi, dari Seoul, Korea Selatan, diberitakan, raksasa otomotif Perancis, Renault, cabang Korea Selatan untuk sementara menutup unit-unit bisnisnya. Renault Samsung mengatakan, semua aktivitas perakitan di pabrik mereka yang ada di kota pelabuhan Busan akan dihentikan setidaknya untuk delapan hari.

Raksasa-raksasa otomotif Korea Selatan lainnya, termasuk Hyundai Motor, juga mulai mengurangi kegiatan pembuatan mobil karena turunnya permintaan dari dalam dan luar negeri.

Ssangyong Motor, perusahaan otomotif Korea Selatan, Senin, menyatakan sudah tidak bisa membayarkan gaji karyawan tepat waktu pada Desember ini. Perusahaan kekurangan uang tunai karena seretnya penjualan mobil.

KOMPAS, 24 Desember 2008

Tuesday, December 23, 2008

MERDEKA ATAU MATI


Ελευθερία ή θάνατος
Eleftheria i thanatos
"Freedom or Death"

Wajah Demokrasi di Tanah Leluhur Demokrasi

Sejarah politik dunia bercerita secara gamblang bahwa Yunani adalah tanah kelahiran demokrasi. Namun, saat ini di tanah leluhur itu demokrasi sedang diuji.

Ujian itu dimulai dengan pecahnya bentrokan antara kaum muda dan polisi di banyak kota di Yunani sebagai buntut tewasnya Alexandros Grigoropoulos (15), Sabtu lalu, karena tembakan polisi. Aksi kaum muda mendapat simpati dan dukungan berbagai kalangan dalam segala bentuk, termasuk penjarahan dan perusakan.

Para pegawai bank dan kantor mogok kerja. Transportasi publik pun macet. Para buruh industri berencana ikut mogok juga. Dua perusahaan penerbangan Yunani, Olympic dan Aegean, membatalkan sejumlah penerbangan. Feri-feri yang menghubungkan negara kepulauan itu tak beroperasi, demikian pula kereta api.

Para guru, wartawan, dan pekerja sektor publik pun ikut mogok kerja. Aksi kekerasan dan vandalisme terjadi di mana-mana. Di Athena sendiri, lebih dari 130 toko dirusak. Kerusuhan telah meluas di paling kurang 10 kota di negeri berpenduduk 11 juta jiwa itu.

Tewasnya Grigoropoulos telah menjadi semacam pelatuk pecahnya protes terhadap pemerintah pimpinan PM Costas Karamanlis yang dianggap kurang berhasil karena banyaknya skandal korupsi, banyaknya penganggur. Lawan-lawan politik Karamanlis menyatakan reformasi pemerintah memperburuk kondisi perekonomian.

Akan tetapi, pertanyaannya adalah mengapa jalan kekerasan dipilih sebagai cara untuk mengungkapkan sikap protes kepada pemerintah? Apakah memang karena karakter politik riil adalah pertarungan kekuatan?

Politik memang pada dasarnya adalah pertarungan kekuatan dan kecenderungannya adalah ”tujuan menghalalkan cara”, mengutip pendapat Machiavelli. Namun, betapa pun kerasnya pertarungan, tetap masih ada kerinduan akan keteraturan dan kedamaian.

Mengapa demikian? Oleh karena orang tidak akan sanggup terus bertahan menghadapi kekerasan dan ketidakpastian. Jalan kekerasan barangkali akan memberikan hasil, tetapi harga yang harus dibayar dengan menempuh jalan itu terlalu mahal.

Jalan kekerasan juga telah merusak komitmen masyarakat pada prinsip civic virtue (kebajikan sipil), yakni dedikasi kepada negara dan mendahulukan kepentingan serta kebaikan orang banyak daripada kepentingan pribadi.

Kita pernah mengalami hal serupa, yakni saat terjadi huru-hara pada tahun 1998, yang hanya memberikan luka di hati yang sulit sembuh.

Karena itu, kita prihatin mengapa jalan itu yang sekarang ditempuh rakyat Yunani, negeri leluhur demokrasi itu.

KOMPAS, 11 Desember 2008

Monday, December 22, 2008

Adn, Aden, Eden, ... lho kok ... Edan


Lia Aminudin akan masuk bui lagi. Saya bersangka baik ia tidak berniat jahat dengan “Jibril, Ruhul Kudus, Kerajaan Sorga, Imam Mahdi”-nya. Mungkin ia orang yang khilaf, tetapi tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami kekhilafannya.

Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.

Kita tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani.

Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”

Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.

10-8-2 dan kontra-hidayah
Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering. Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit.

Kurang tepat sebenarnya menemui saya untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang harus dilakukan dan sebagainya. Saya tidak punya kredibilitas untuk mampu menjawab itu. Tetapi, wajib hormat tamu, saya jawab sekenanya. Allah yang bikin tamu datang, Ia juga yang siapkan fasilitas pelayanan.

Saya jawab, Allah kasih hidayah kepada siapa saja yang Ia maui. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah di pandangan kita, Ia simpan rahasia petunjuk-Nya kepada orang yang kita benci atau kita remehkan. Kita berlaku biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol.

Waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual maupun spiritual. ”Mbak, kalau ke dalam jiwamu masuk pendaran 10 gelombang, kita waspadai bahwa yang dari Allah mungkin hanya 2, sedangkan yang 8 adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari dajjal, jin, iblis atau energi liar yang bukan amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul dianggap berasal dari Tuhan….”

Presidium jin Gunung Kawi
Kemudian ia dipinjami Allah kemampuan menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra. Ia ke Padang Bulan, Jombang, seusai acara banyak anggota jemaah antre diobati olehnya. Paginya saya antar menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim. Setiap akan makan atau minum, ia bilang bahwa ia harus bertanya kepada Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Jibril terkadang milih rawon terkadang nasi padang.

Sepanjang Jombang-Bondowoso-Malang, ia memoderatori tantangan Jibril kepada saya untuk lomba puisi. Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian saya pun bikin puisi balasan, lantas Jibril balas lagi dan saya juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.

Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin, Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling. Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan mencari Polsek terdekat.

Bereslah Indonesia
Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.

Ia sempat kirim SMS kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.

Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”

Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.

Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”, ”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula.

Emha Ainun Nadjib, Budayawan
KOMPAS, 20 Desember 2008

Sunday, December 21, 2008

Ramalan Si-Alan Greenspan


Abad Prahara : Ramalan Kehancuran Ekonomi Dunia Abad Ke-21
Abad Prahara merupakan sebuah kisah tak tertandingi Alan Greenspan tentang sifat dari dunia baru ini, yang disampaikan melalui pengalamannya sendiri selama bekerja di ruang komando ekonomi global dengan pengaruh yang lebih lama dan lebih besar daripada manusia lain mana pun.

Ia mulai dengan cerita tentang peristiwa pagi hari tanggal 11 September itu, tapi kemudian melompat ke belakang ke masa kecilnya dan mengikuti kurva perjalanan kehidupannya yang luar biasa selama lebih dari delapan belas tahun saat ia menjabat sebagai ketua Federal Reserve Board, dari 1987 hingga 2006, suatu masa yang berisi perubahan besar-besaran.

Alan Greenspan menuturkan cerita kehidupannya pada awalnya untuk menghargai sejumlah besar sejarah yang telah ia alami dan bentuk. Tapi tujuannya yang lain adalah menuntun pembaca di sepanjang kurva pemelajaran yang ia ikuti sehingga pembaca bisa memperoleh pemahaman tentang pengertiannya sendiri mengenai berbagai dinamika dasar yang menggerakkan peristiwa-peristiwa dunia.

Dalam bagian kedua buku ini, setelah membawa kita ke masa kini dan memperlengkapi kita dengan alat-alat konseptual untuk mengikuti dia, Dr. Greenspan memulai pembahasan yang menakjubkan tentang ekonomi global. Ia menyingkapkan fakta-fakta universal pertumbuhan ekonomi, mendalami fakta-fakta spesifik masing-masing negara dan wilayah utama dunia, dan menjelaskan ke mana kecenderungan globalisasi akan menuju.

Sebagai kebijaksanaan dan wawasan seumur hidup yang diintisarikan menjadi pernyataan yang elegan berupa pandangan yang jelas terhadap dunia, Abad Prahara akan tampil sebagai warisan pribadi dan intelektual Alan Greenspan.

Semua Ekonomi Dunia Serentak Ambruk

Injeksi Dana Tak Menolong
Kesalahan Serius Telanjur Terjadi,
Ratusan Miliar Dollar AS Modal Hengkang


Ekonomi global mengalami kontraksi 0,4 persen pada tahun 2009 dengan pola resesi yang lebih sinkron sepanjang sejarah. Resesi terburuk sejak 1960-an tak terhindarkan. Pemerintah dan otoritas moneter mencoba mencegahnya, tetapi kerusakan serius telanjur terjadi. Injeksi dana tak menolong.

Demikian diutarakan The Institute of International Finance (IIF) yang berbasis di Washington, Kamis (18/12/2008). IIF beranggotakan 375 lembaga keuangan dunia.

Direktur Pelaksana IIF Charles Dallara menyebutnya sebagai resesi terburuk dunia. Kontraksi ditandai dengan resesi sinkron di sejumlah negara. Resesi merujuk pada pertumbuhan yang menurun setidaknya selama dua kuartal berturut-turut. Meski derajat penurunan berbeda-beda dan titik awal penurunan berbeda- beda, ada satu hal yang terjadi jelas atau terjadi sinkron, yakni semua perekonomian di dunia sama-sama mengalami penurunan.

Sejak 1960-an, resesi di satu kawasan biasanya teratasi dengan pertumbuhan di kawasan lain. Sekarang hal ini tidak terjadi. Semua ekonomi dunia serentak ambruk.

Resesi tidak dimulai dengan penurunan permintaan swasta atau pemerintah, tidak diawali dengan penurunan pasokan barang. Resesi dimulai dengan kredit macet massal dan global. Kerusakan serius sistem keuangan dan perbankan telanjur terjadi.

Studi empiris menunjukkan resesi karena kekacauan sektor keuangan lebih besar potensinya menjungkalkan perekonomian.

Kekacauan lembaga kuangan tidak saja membuat aliran kredit seret. Kekacauan ini memacetkan pinjaman antarbank, memacetkan pinjaman untuk konsumen lewat penggunaan kartu kredit.

Kekacauan ini mengganggu kelancaran transaksi perdagangan, baik secara nasional maupun global. Episentrum kekacauan sektor keuangan ini terjadi di AS, mesin ekonomi dunia. Macetnya transaksi keuangan makin memerosotkan aktivitas ekonomi.

Pasar uang terganggu
Kekacauan juga menyebabkan terganggunya bursa saham dan pasar modal, dua sumber pembiayaan berjangka pendek dan berjangka panjang. Kekacauan ini mengimbas ke sejumlah negara.

Para penyedia modal atau pemilik modal, yang selama ini menjadi sumber pinjaman, memegang sikap hati-hati.

Hal ini yang membuat injeksi modal dan penurunan suku bunga tidak berhasil mencegah resesi. Ketersediaan pinjaman relatif murah dari Bank Sentral AS, bahkan hanya 0,1 persen dari Bank Sentral Jepang, tak mampu menggerakkan ekonomi.

Kantor berita Associated Press menuliskan, lembaga keuangan menimbun uang. Fenomena ini sudah terjadi sejak Desember 2007, yang menyebabkan resesi sudah mulai terjadi sejak tahun 2007.

Steven Hansen di situs Seeking Alpha mengatakan, dalamnya beban utang korporasi, pemerintah, dan individu di AS membuat keberadaan pinjaman murah bank sentral tak mampu lagi diserap.

Transaksi atau spekulasi di bursa dan penempatan dana di negara berkembang yang dianggap prospektif dihentikan atau dikurangi untuk sementara.

Presiden Argentina Cristina Kirchner terpaksa melakukan pencegahan pelarian uang, yang sudah terjadi sebesar 100 miliar-120 miliar dollar AS. Argentina mencanangkan, antara lain, pembebasan pajak bagi modal yang ditanamkan kembali ke dalam negeri.

Wakil Gubernur Bank Sentral Rusia Alexei Ulyukayev mengatakan, ”Sejak September sudah terjadi pelarian modal 80 miliar dollar AS atau bahkan akan mencapai 100 miliar dollar AS sepanjang 2008.”

Krisis ekonomi, di samping kekacauan sektor keuangan, membuat pemodal menarik dana dari negara berkembang dengan menempatkan ke lokasi yang dianggap jauh lebih aman.

Sebab itu, Philip Suttle, Direktur Analisis Ekonomi Makro IIF, mengatakan, data sejak 1950-an menunjukkan tidak pernah ada kontraksi ekonomi global. Namun, kini semua negara terimbas krisis.

Respons bersama
Dallara mengatakan, respons global yang terkoordinasi dibutuhkan untuk mencegah keadaan lebih buruk. Dallara memuji tindakan Pemerintah AS menurunkan suku bunga dan pencanangan stimulus ekonomi berupa penyiapan dana talangan 700 miliar dollar AS.

”Adalah penting bagi Eropa dan Jepang untuk melakukan hal serupa,” kata Dallara.

Namun, Jepang dan Uni Eropa tidak meluncurkan paket penyelamatan ekonomi selengkap AS. UE tidak mau karena khawatir peluncuran dana-dana itu akan mengalir kembali ke pasar uang AS, yang tidak tertata rapi, dan bahkan bisa dimainkan ke bisnis yang penuh tipu muslihat seperti yang terlihat dari skandal ”skema Ponzi”, yang diotaki Bernard Madoff, mantan ketua bursa saham AS, Nasdaq.
Ketua Komisi Urusan Moneter Uni Eropa Joaquin Almunia, mengatakan, 27 negara anggota UE mencanangkan dana stimulus 292,32 miliar dollar AS.

Namun, Uni Eropa memiliki rambu-rambu yang harus dituruti, yakni tidak boleh menjalankan defisit anggaran pemerintah melampaui 3 persen dari total produk domestik bruto. Gubernur Bank Sentral Eropa Jean-Claude Trichet mengingatkan semua pemerintah untuk menghargai peraturan UE tentang peraturan anggaran yang dianggap aman.

KOMPAS, 20 Desember 2008

Saturday, December 20, 2008

Two in One; "Betul Tidak?!"


Masih terngiang-ngiang kalimat tanya AA Gym yang sering disisipkan setiap kali memberikan ceramah -dengan logat Sundanya yang sangat kental- “Betul tidak?!”

Sekarang beliau sudah berada diantara 2 Cinta. Beliau sudah berada diantara 2 Teteh, Teh Rini dan Teh Ninih. Kenyataannya sekarang memang seperti itu. Walaupun dulu ia pernah lantang berkata: “Aah … boro-boro punya istri lagi. Satu saja repot!”

Tapi itu kan duluuu … kalau sekarang mah, laeeen. “Betul tidak?!” “Betul tidak?!” “Betuuul tiiidaaak?!”

Makna Membangkitkan Minat Baca


HEBAT. Itu tanggapan atas berita bahwa Indonesia bisa menjadi model untuk pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik. Penilaian itu diberikan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Sejak 2007, buta aksara di Indonesia turun 1,7 juta orang, menjadi 10,1 juta. Sekitar 7 juta di antaranya perempuan. Sukses program pemberantasan buta aksara antara lain berkat dukungan 59 perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai daerah di Indonesia. Jendela dunia terbuka makin lebar bagi mereka yang melek aksara.

Namun, angka tadi tidak seiring dengan hasil survei UNESCO yang menunjukkan minat baca kita sangat rendah. Dua tahun lalu kita yang paling rendah di kawasan Asia. Sementara itu International Educational Achievement mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Kesimpulan itu diambil dari penelitian atas 39 negara. Indonesia menempati urutan ke-38. Dua hal itu antara lain menyebabkan United Nations Development Program (UNDP) menempatkan kita pada urutan rendah dalam hal pembangunan sumber daya manusia.

Kenyataan-kenyataan tadi membuktikan, melek aksara tidak menjamin peningkatan kemampuan maupun minat membaca. Kita perlu prihatin. Tanpa minat baca, dari mana kita bisa memperoleh ide-ide segar dan baru? Dilihat dari jumlah penduduk kita dan jumlah harian yang beredar tiap hari, persentase bacaan koran amat sangat kecil. Seputar 1%? UNESCO menetapkan, sebaiknya 10%.

Editorial Media Indonesia hari Senin lalu khusus membahas soal ini. Antara lain disebutkannya, kemajuan media elektronik salah satu faktor yang ikut menghambat lajunya minat baca. Memang masyarakat kita sejak dulu jauh lebih mengandalkan budaya lisan daripada tulisan. Masyarakat kita lebih suka menonton wayang, misalnya. Bahwa jumlah buku dalam bahasa-bahasa daerah tidak berarti, membenarkan asumsi tadi. Maka kita tidak terlalu kaget ketika melihat masyarakat kita sekarang jauh lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi daripada membaca. Gejala ini sebenarnya ada di semua negara, bergantung pada kelompok masyarakatnya, tontonannya, dan jenis bahan bacaan yang ada.

Tekanan sosial seharusnya ada pengaruhnya. Misalnya, apakah minat dan kemampuan membaca merupakan persyaratan bagi klasifikasi sosial masyarakat? Di tingkat bawah, orang-orang kita yang buta aksara, atau yang kemampuan membacanya kurang, lebih sulit mencari pekerjaan yang memadai jika dibandingkan dengan mereka yang lebih terdidik. Ini seharusnya mendorong masyarakat untuk belajar membaca lebih baik.

Lain situasinya dengan masyarakat di negara-negara maju. Membaca kelihatannya sudah menjadi bagian dari hidup. Membaca juga memberi hiburan. Sistem dan fasilitas dibangun untuk mendukungnya. Begitu bertimbun bacaan-bacaan yang padat makna sejarah, makna ilmiah, atau padat nilai-nilai kemanusiaan, moral dan spiritual, maupun hiburan, sehingga masyarakat tinggal memilih sesuai selera. Membaca sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.

Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institut, Universitas Stanford, pernah mengatakan tujuan pokok pembangunan ekonomi adalah mengusahakan tercapainya taraf penghidupan yang layak bagi segenap rakyat. Namun, rasanya kita sepakat, kemajuan suatu bangsa tidak bisa hanya diukur dari GNP per kapita rakyatnya. Pembangunan juga mencakup ide mendewasakan kehidupan politik, seperti tercermin dalam proses pemerintahan yang stabil dan tertib, yang didukung kemauan rakyat banyak. Juga mencakup pendidikan yang menyeluruh bagi rakyat, termasuk pengembangan seni budaya, sarana komunikasi, dan penyuburan segala bentuk rekreasi. Kesimpulannya, pembangunan mensyaratkan perubahan sikap dan perilaku manusia. Perlu transformasi. Sarana paling ampuh untuk transformasi adalah komunikasi. Bacaan termasuk di dalamnya.

Sejauh ini kita terkesan bingung menghadapi ide transformasi. Wajar karena transformasi menuntut perubahan cara berpikir. Secara berangsur kita harus meninggalkan cara berpikir yang sudah mengendap lama dalam budaya kita dan sudah kedaluwarsa. Sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun. Meninggalkannya seperti meninggalkan prinsip-prinsip kehidupan asli kita. Tarik ulur pertentangan mengenai hal ini masih terjadi sampai sekarang. Dalam hal modernisasi, kita masyarakat heterogen.

Menurut Inkeles, ciri-ciri manusia modern ada dua; yang eksternal dan yang internal. Yang pertama berkaitan dengan lingkungan. Yang kedua tentang sikap, nilai-nilai, dan perasaan. Perubahan eksternal mudah dikenali. Urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi, kehidupan politik, dan pendidikan, semua itu gejala-gejala modernisasi.

Namun, sekalipun lingkungan telah modern, tidak dengan sendirinya kita menjadi manusia modern. Baru kalau kita berhasil mengubah cara berpikir kita, mengubah perasaan kita, mengubah perilaku kita, maka kita bisa menyebut diri manusia modern.

Ciri-ciri manusia modern adalah kalau dia bersedia membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Maka jendela dunia akan terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan karena manusia modern tidak hanya membatasi wawasannya pada lingkungan dekatnya, tetapi ingin melebarkan wawasannya ke cakrawala lain.

Permasalahannya sekarang, bagaimana meningkatkan minat baca, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan-bahan bacaan sesuai kebutuhan masyarakat modern? Tentang buta aksara, kalau kita memang dianggap model untuk pemberantasan buta aksara, sistem yang ada tentunya akan kita teruskan. Kalau bisa, mempercepatnya. Kartini (1879-1904) sudah lebih dari seabad lalu berprakarsa mengajar membaca dan menulis kaumnya sekalipun dia sendiri hanya berpendidikan sekolah dasar. Sekarang masih ada 7 juta perempuan buta aksara. Fakta itu menyedihkan dan patut disesalkan. Kemungkinan mereka itu tinggal di desa-desa dan daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.

Tentang kualitas dan kuantitas bahan bacaan, sebenarnya dua hal itu, dan minat baca, membentuk lingkaran setan. Minat baca bisa dibangkitkan oleh bahan bacaan yang bermutu dan/atau memikat. Kalau minat baca jumlahnya banyak, kuantitasnya menjadi banyak. Demikian seterusnya. Kualitas dan kuantitas buku yang mencukupi, dan harganya terjangkau, bisa menjauhkan masyarakat dari godaan-godaan hiburan lain yang tidak bermutu.

Bahwa masyarakat, dari anak-anak sampai orang tua, sering terpaku menonton televisi, boleh dikata sepanjang waktu luang mereka. Mungkin karena tidak ada hiburan lain, atau karena tidak ada keharusan bagi anak-anak untuk banyak membaca di rumah. Selain tidak ada keharusan bagi orang tua untuk memberikan teladan. Tentang keteladanan orang tua, Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, menyiasatinya dengan meminta kerja sama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah yang dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.

Pengalaman itu disampaikan oleh perwakilan Malaysia ketika menghadiri seminar internasional Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) bertema Reading for all. Organisasi sosial GPMB berdiri Oktober 2001, diprakarsai antara lain oleh Perpustakaan Nasional RI dan Departemen Pendidikan Nasional. Dia berfungsi menjadi mitra kerja pemerintah pusat maupun daerah dalam usaha meningkatkan minat baca masyarakat. Namun, sekalipun sudah berdiri tujuh tahun, gaungnya tidak banyak kita dengar. Mungkin masyarakat juga tidak terlalu peduli kalau itu menyangkut minat baca.

Seminar Reading for all yang diselenggarakan dua tahun lalu, juga dihadiri wakil-wakil dari Jepang, Belanda, Australia, dan Singapura. Mereka sependapat bahwa meningkatkan minat baca bisa dilakukan dengan menumbuhkan kebiasaan membaca secara disiplin lewat jalur pendidikan formal. Pembicara dari Jepang, misalnya, mengatakan mereka sekarang memiliki prinsip; teman duduk terbaik adalah buku. Di mana-mana di tempat-tempat umum kita melihat mereka membaca. Kebiasaan itu terpelihara. Sekolah-sekolah di Jepang mewajibkan para siswa membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.

Tentang minat baca masyarakat Jepang yang tinggi, memang sudah sejak Restorasi Meiji lebih seabad lalu, Jepang memiliki tekad untuk mengejar kemajuan kebudayaan Barat. Sampai sekarang pun ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tidak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Pemegang rekor dunia. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan.

Ekspose para utusan luar negeri di seminar Reading for all itu menyemangati publik yang gemar membaca di Indonesia. Intinya mereka menegaskan, maju tidaknya minat baca masyarakat berkaitan erat dengan peningkatan kemajuan suatu masyarakat. Dan peningkatan minat baca yang paling efektif adalah yang melalui jalur pendidikan formal. Di Belanda, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan yang memenuhi kebutuhan mereka. Di Singapura, minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku. Di Australia, para siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah dibacanya. Sistem ini sekarang diberlakukan juga di sekolah-sekolah Indonesia yang berafiliasi dengan sekolah-sekolah Australia.

Untuk menunjang peningkatan minat baca, memang tidak akan cukup hanya dengan imbauan dan seruan. Banyak persoalan lebih gawat yang dihadapi masyarakat sehingga peningkatan minat baca dianggap bukan secara langsung menjadi tanggung jawab mereka. Karena itu kebijakan tersebut harus dijalin dalam sistem, khususnya dalam sistem pendidikan formal. Di luar itu, terbangunnya sistem dan fasilitas-fasilitas pendukung menjadi harapan banyak orang, termasuk pengadaan buku-buku bermutu yang harganya terjangkau dan jumlahnya mencukupi. Juga perpustakaan-perpustakaan yang jumlahnya memadai, untuk sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi maupun perpustakaan-perpustakaan umum. Misalnya, selain yang milik pemerintah, akan sangat ideal kalau tiap RT, atau paling tidak tiap RW, berprakarsa membangun perpustakaan atau balai bacaan bagi warganya. Sejumlah budayawan aktivis telah melakukannya.

Semoga nanti kita bisa membuktikan, apa manfaat menggulirkan tradisi membaca bagi pembangunan manusia modern Indonesia untuk masa depan. Buku-buku bacaan anak-anak yang memuat dongeng-dongeng dan kisah-kisah menantang atau misterius, misalnya, bisa mengembangkan imajinasi anak Indonesia tanpa mengenal batas. Bila imajinasi mereka cukup kuat, tidak mungkin mereka akan meninggalkannya tanpa mencoba meraihnya. Begitu pula lewat bacaan, kita dengan rela akan meninggalkan pandangan-pandangan sempit yang tidak sesuai lagi dengan zamannya. Berbagai buku yang padat informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan serta pengalaman masyarakat dunia pada gilirannya nanti akan membuat kita ikut berpacu mengejar kemajuan yang juga dicoba diraih bangsa-bangsa lain.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
mediaindonesia.com - 12 September 2008

Satanic Circle "Siapa yang Bodoh?!"


Tanya: Kenapa kamu bodoh?
Jawab: Karena tidak sekolah!
Tanya: Kenapa kok tidak sekolah?
Jawab: Karena tak punya uang!
Tanya: Kenapa nggak punya uang?
Jawab: Karena miskin!
Tanya: Kenapa miskin?
Jawab: Karena nganggur, tidak punya pekerjaan!
Tanya: Kenapa nggak kerja?
Jawab: Karena tak punya ijazah!
Tanya: Kok nggak punya ijazah. Kenapa?
Jawab: Karena aku nggak pernah sekolah, BODOOOH !!!

Friday, December 19, 2008

Pertumbuhan Profesionalitas Keguruan


Profesionalitas keguruan —atau keprofesionalan di bidang keguruan— adalah sesuatu yang tumbuh, berkembang, dan layu.

Keprofesionalan itu tumbuh saat seseorang menyiapkan diri menjadi guru. Berkembang saat mereka bekerja sebagai guru; layu saat mereka tak lagi menggeluti pekerjaan sebagai guru.

Pandangan ini bertentangan dengan anggapan banyak orang, profesionalisme dan profesionalitas merupakan sesuatu yang konstan, tidak berubah-ubah, dalam diri guru. Menurut anggapan ini, jika seseorang telah mendapat pendidikan profesional untuk pekerjaan guru, ia akan menjadi guru profesional dengan profesionalitas yang menetap di suatu jenjang tangga profesionalitas keguruan.

Mana yang benar? Menurut saya anggapan pertama. Dalam setiap profesi, profesionalitas seseorang akan berubah dan umumnya perubahan itu berupa kenaikan. Amat langka profesionalitas seseorang mengalami kemunduran. Ini hanya terjadi ketika orang meninggalkan jabatan profesionalnya.

Almarhum Prof Dodi Tisna Amijaya semula adalah seorang ilmuwan biologi. Namun, setelah bertahun-tahun menjadi birokrat —mulai dari Rektor ITB, lalu Dirjen Pendidikan Tinggi, Ketua LIPI, dan akhirnya Duta Besar RI di Paris— beliau merasa bukan lagi seorang ilmuwan biologi. Katanya suatu ketika, "Saya ini kan bukan biologist lagi. Saya sudah berubah menjadi biopolitician."

Begitu pula jika seorang dokter pindah jabatan menjadi menteri. Ia akan kehilangan profesionalitasnya sebagai dokter, apalagi jika dokter itu bertahun-tahun bertahan menjadi menteri. Almarhum dr Soedarsono, mantan Dubes RI di Yugoslavia, pada tahun 1947 duduk sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Linggarjati. Suatu saat, ada seorang anggota delegasi asing jatuh sakit. Dr Soedarsono diminta memeriksa anggota delegasi asing itu. Merasa tidak sanggup lagi melakukan pekerjaan seorang dokter, dia meminta koleganya, almarhum dr Yuwono, untuk menggantikan memeriksa pasien asing itu. Kata dr Soedarsono kepada dr Yuwono: "Tolong gantikan saya! Saya sudah bertahun-tahun tidak memeriksa pasien." Konon, selama pendudukan Jepang beliau sibuk dengan urusan politik.

Profesionalitas
Mari kita periksa dinamika profesionalitas bidang kepilotan.

Ketika seseorang menyelesaikan pendidikannya sebagai pilot, ia sudah seorang pilot profesional. Tetapi, profesionalitasnya dalam mengemudikan pesawat terbang masih terbatas. Ia hanya boleh mengemudikan pesawat terbang dari jenis yang dipelajari selama pendidikan. Biasanya jenis ringan atau kecil dan belum boleh mengemudikan pesawat terbang besar, seperti Boeing 737 atau Boeing 747. Izin untuk ini kelak akan diperoleh setelah ia mengikuti serangkaian pendidikan pilot tambahan. Jika kelak pilot itu dipindahkan dari pesawat Boeing 747 ke Airbus 380, ia harus menjalani pendidikan atau pelatihan khusus untuk Airbus 380 sebelum benar-benar boleh mengemudikan Airbus 380.

Bagaimana dengan seorang guru? Ketika ia menyelesaikan pendidikan profesionalnya sebagai guru, ia sudah disebut guru profesional. Gajinya pun sudah lebih tinggi daripada guru yang belum mendapat predikat guru profesional. Tetapi, dalam status guru profesional pemula, profesionalitas keguruannya masih terbatas. Ia belum dapat melaksanakan tugas-tugas keguruan yang kompleks. Misalnya, ia belum dapat menangani murid yang bandel. Ia juga belum mampu melayani dengan baik kebutuhan murid yang amat cerdas atau yang lamban pikirannya. Ia baru dapat melayani murid-murid biasa, murid "rata-rata" (average pupils) karena baru itulah yang dipelajari.

Batas profesionalitas
Dalam setiap profesi, ada tugas-tugas profesional yang relatif mudah selain yang relatif rumit. Tugas profesional yang relatif mudah dapat diserahkan kepada profesional pemula dengan kecakapan profesional minimal. Adapun tugas profesional yang kompleks atau rumit harus ditangani petugas profesional dengan profesionalitas lebih tinggi.

Di bidang kedokteran, dokter muda dengan profesionalitas kedokteran masih minim hanya boleh menangani apa yang disebut "penyakit-penyakit umum". Untuk penyakit-penyakit khusus harus ditangani dokter dengan profesionalitas lebih tinggi, seperti dokter spesialis.

Masalahnya, apa batas minimal profesionalitas keguruan? Ini merupakan masalah yang harus ditentukan secara hati-hati. Dalam bidang profesionalitas pilot, batas minimalnya (mungkin) mampu menerbangkan pesawat secara lancar dan selamat. Tetapi, jika pilot profesional pemula ini dibajak di udara, dapatkah dia mengatasinya dengan baik, tanpa seorang penumpang pun menjadi korban? Mungkin tidak! Untuk mengatasi pembajakan udara, diperlukan pilot dengan profesionalitas kepilotan lebih tinggi.

Profesionalitas tambahan seperti ini biasanya datang dari pengalaman. Jadi, dalam bidang kepilotan, peningkatan jenjang profesionalitas ditentukan oleh dua faktor, pendidikan lanjutan dan pengalaman.

Profesionalitas keguruan
Bagaimana dengan keguruan? Faktor-faktor apa yang menjadi kriteria untuk menentukan, apakah jenjang profesionalitas seorang guru harus dinaikkan atau belum? Saya tidak tahu! Saya tidak punya pengalaman di bidang supervisi pendidikan.

Pertanyaan ini dikemukakan dengan maksud agar kita yang merasa turut berkepentingan juga ikut memikirkannya. Jika masyarakat tidak turut berpikir, proyek besar nasional untuk membuat guru-guru kita menjadi profesional bisa terancam bahaya kekacauan konseptual yang dalam praktik bisa muncul dalam berbagai jenis malapraktik dalam pengelolaan guru.

Tujuan profesionalisasi keguruan ini akhirnya bukan hanya menciptakan kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendapatannya secara sah (legitimate). Yang lebih penting ialah menaikkan kompetensi para guru kita dalam kegiatan pembelajaran (teaching), kegiatan pelatihan (training), dan kegiatan pendidikan (educating).

Secara umum, batas minimal profesionalitas keguruan ditentukan oleh definisi kita tentang kompetensi keguruan. Apa tugas guru? Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran saja, atau juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan pendidikan?

Pertanyaan ini pada gilirannya bergantung pada paradigma pendidikan yang kita ikuti. Jika kita ingin membentuk watak para murid, selain membimbing mereka memupuk pengetahuan dan keterampilan, mau tidak mau kita harus mengikuti paradigma klasik, yaitu pendidikan adalah kegiatan untuk memupuk keterampilan hidup, yaitu keterampilan menghidupi sendiri, keterampilan hidup secara bermakna, dan untuk turut memuliakan kehidupan.

Jika ini paradigma yang diikuti, berdasarkan pelajaran sejarah pendidikan universal, di sekolah para murid harus dibimbing untuk memupuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kearifan (wisdom).

Jika pandangan ini yang diikuti, profesionalitas keguruan sungguh bukan hal sederhana, yang cukup dipelajari sekali dalam hidup. Profesionalitas keguruan merupakan keterampilan yang kompleks, yang harus jelas dirinci untuk dapat dikuasai dengan baik oleh setiap guru.

Mochtar Buchori, Pendidik
KOMPAS, 17 Desember 2008

Pilih yang Perjuangkan Kembali UUD 1945


Indonesia saat ini dinilai mengarah pada penyimpangan di bidang politik maupun ekonomi. Di bidang politik saat ini tercemar akibat amandemen UUD 1945. Sedangkan di bidang ekonomi tidak lagi dilaksanakan ekonomi kerakyatan, tetapi sebaliknya terjadi persaingan bebas, yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah sekarang kian terpuruk.

Oleh karena itu, menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan datang, bangsa Indonesia harus benar-benar memerhatikan kampanye calon presiden dan wapres yang layak dipilih itu, sejauh mana perhatian dan upaya mereka melalui kampanyenya untuk mewujudkan kembali Indonesia yang harmonis di bidang politik dan ekonomi dengan landasan UUD 1945.

Demikian disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) R Soeprapto seusai bertemu Wapres M Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (16/12/2008). Hadir pula Ketua Umum IPKI Syamsu Djalal.

Terkait calon presiden, Syamsu menyatakan, IPKI bersikap independen terhadap capres yang muncul. Namun, ia mengisyaratkan IPKI mendorong memilih calon yang berpengalaman.

Soeprapto menuturkan, "Terhadap calon presiden dan wapres dalam pemilu mendatang, ada dua yang harus benar-benar diperhatikan rakyat, yaitu masalah amandemen UUD 1945 yang menjadi landasan politik dan kedua keterpurukan ekonomi serta kesejahteraan rakyat. Seberapa jauh calon memiliki perhatian yang penuh menyelesaikan masalah itu dalam kampanyenya supaya tercipta stabilitas nasional di bidang politik dan ekonomi."

Sejahtera itu, lanjutnya, kalau rakyat bisa makan. "Rakyat bisa makan apabila memiliki daya beli. Bisa memiliki daya beli apabila rakyat memiliki uang. Untuk punya uang, dia harus bekerja. Kalau tidak ada pekerjaan, lalu bagaimana rakyat punya uang. Jadi, yang penting bagaimana mereka menciptakan lapangan pekerjaan," ujar Soeprapto.

Soeprapto menuturkan, IPKI tak menolak perubahan konstitusi, tetapi yang terjadi sekarang UUD 1945 dirombak. Padahal, semestinya ditambah saja.

KOMPAS, 17 Desember 2008


Friday, December 12, 2008

Pemerintah yang Tidak Memerintah


Ungkapan sarkastik bahwa keledai pun tak ingin terperosok dua kali di lubang yang sama, yang membuat ia makin terlihat begitu bodoh, rasanya kembali menemukan signifikansinya ketika melihat peta persoalan ekonomi kita hari ini. Selama satu dekade terakhir ternyata kita memang belum banyak belajar dari kesalahan masa lampau.

Sebagai bangsa, tentu saja kita jauh lebih pintar daripada keledai. Lihatlah, untuk menata bangsa ini, para teknokrat punya fokus dan perencanaan yang begitu bagus. Konsep-konsep pembangunan yang dirancang, berikut program-program andalan pemimpin pemerintahan yang diekspos ke publik manakala bangsa ini dihadapkan pada satu situasi kritis, di atas kertas terlihat serba sempurna.

Namun, dalam banyak kasus, gagasan-gagasan besar itu kerap tidak jalan di tingkat implementasi. Faktor koordinasi yang tidak berjalan mulus diakui oleh peserta diskusi sebagai salah satu penyebabnya. Ego sektoral yang sudah menjadi salah satu ciri buruk pembangunan masa lampau di negeri ini sepertinya masih terus bertahan, bahkan terkesan ”dipelihara”, sehingga gagasan-gagasan besar itu hanya terlihat menarik di tingkat wacana.

Dalam kasus lain, tiap kali suatu kebijakan dengan perencanaan yang begitu bagus tersebut akan dieksekusi, dalam praksis di lapangan tidak jarang menimbulkan semacam distorsi. Begitu dihadapkan pada kepentingan-kepentingan lain di luar masalah ekonomi, tetapi dianggap bisa mengganggu popularitas sang pemimpin, misalnya, muncul sikap ragu-ragu.

Belum lagi bila dikaitkan pada perubahan sistem demokrasi dari sentralisasi ke desentralisasi, dengan euforia otonomi daerah yang cenderung berlebihan, ketidaktegasan menjalankan program yang sudah dirancang masih terlihat menonjol. Padahal, kemampuan mengimplementasikan suatu kebijakan yang sudah menjadi ”tujuan bersama” —tentu setelah melewati tahapan-tahapan perencanaan yang sudah teruji— harus dikawal oleh model kepemimpinan yang kuat dan teguh pada tujuan.

Infrastruktur ekonomi
Di bidang infrastruktur, berbagai upaya mereformasi sektor ini sudah digagas paling tidak sejak tahun 2005. Instrumen-instrumen pendukung pun sudah disiapkan. Skema kerja sama dengan swasta juga dirintis, termasuk mekanisme penjaminan oleh pemerintah terkait proyek-proyek infrastruktur ekonomi yang melibatkan pihak swasta.

Upaya membangun prasarana jalan di lintas timur Sumatera agar benar-benar mantap, guna menunjang mobilitas perekonomian skala menengah-besar, tentu saja harus diapresiasi. Juga rencana pengembangan ruas jalur Jakarta-Surabaya yang melibatkan swasta, terlepas dari pro-kontra yang mengikutinya, adalah gagasan besar untuk meretas permasalahan mobilitas barang dan jasa, yang pada gilirannya akan dapat memobilisasi kekuatan ekonomi rakyat.

Begitu pun upaya memecahkan kebuntuan akses barang ekspor-impor dari kawasan industri menuju pelabuhan, seperti gagasan melibatkan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan swasta dalam kasus ruas Cikarang- Tanjung Priok, bisa dianggap sebagai langkah maju. Belum lagi menyangkut proyek-proyek infrastruktur pedesaan, pembangunan irigasi, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, konsep pengembangan dan skema-skema yang dirancang tersebut masih dihadapkan pada kompleksitas permasalahan di lapangan. Pemantapan lintas timur Sumatera nyatanya masih bersifat ”tambal sulam”. Arus angkutan barang dari dan ke pelabuhan masih menjadi masalah besar. Nota kesepahaman yang sudah ditandatangani antarpihak, dalam kasus Cikarang- Tanjung Priok, ternyata tidak berjalan mulus.

”Kawasan industri Cikarang (di Bekasi) itu dihuni sekitar 2.000 perusahaan dengan nilai lebih kurang 10 miliar dollar AS atau 15 persen dari total ekspor nonmigas tahun 2005. Walau jaraknya hanya tiga kilometer dari pintu Tol Cikarang, saking macetnya, angkutan barang dari kawasan industri ini untuk masuk tol saja butuh 1-2 jam,” kata salah seorang peserta diskusi.

Tak berlebihan bila disebutkan seorang narasumber dari kalangan pemerintah bahwa daya saing kita di bidang infrastruktur masih sangat rendah. Dibandingkan Banglades, Nepal, dan Kenya, boleh jadi Indonesia sedikit lebih baik. Namun, secara umum ketersediaan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi yang kita miliki masih belum cukup memadai untuk menopang persaingan di tingkat global. Posisi Indonesia selalu berada di level menengah-bawah dan belum pernah masuk ke level menengah-atas.

Salah satu penyebabnya, di saat krisis kita memang tidak membangun apa-apa. Infrastruktur dianggap tidak begitu mendesak di tengah keterpurukan yang melanda negeri ini. Padahal, di banyak negara, justru sebaliknya: di saat krisis malah infrastruktur harus segera dibangun agar perekonomian bisa bangkit.

Dihadapkan pada kompleksitas persoalan semacam ini, lagi-lagi isu menyangkut pentingnya kepemimpinan yang kuat menjadi suatu keniscayaan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar berbicara tentang konsep-konsep yang mumpuni, lalu didiamkan, tetapi sejauh mana gagasan-gagasan besar itu bisa diimplementasikan di tingkat praksis.

Kesadaran bahwa Indonesia masih berada di tengah krisis haruslah dipahami tidak sekadar dalam tataran politis, melainkan satu situasi yang memang masih terjadi. Politik pencitraan sudah waktunya ditinggalkan.

Ironisnya, di tengah situasi yang begitu berat, yang mestinya memerlukan tindakan-tindakan ekstra luar biasa, yang membutuhkan kedisiplinan tinggi untuk mengawal perubahan dan tetap fokus pada rencana yang ingin dituju, para pemimpin bangsa justru seperti terlihat bermain-main dengan kekuasaan.

Di satu sisi, ada kesan serba menggampangkan persoalan yang dihadapi, tetapi pada saat bersamaan kecenderungan untuk menerapkan politik pencitraan terasa begitu menonjol, terutama akhir-akhir ini melalui iklan-iklan politik para menteri yang bahkan sampai ”membeli” slot acara di televisi.

Bangsa ini memang membutuhkan pemimpin yang tangguh, kuat, tetapi sekaligus memiliki fleksibilitas untuk bermanuver dalam mencapai tujuan. Sebab, meminjam ungkapan seorang peserta diskusi, ”... kita tidak berenang di air yang datar, tetapi di antara gelombang besar. Oleh karena itu, kita harus berenang di atas air dan bukan di bawah air. Orang yang kaku akan terperangkap di bawah air sehingga akhirnya mengalami kesulitan.”

Ini memang sebuah paradoks. Di satu sisi, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat, teguh pada tujuan, dan selalu fokus pada kebijakan yang diprioritaskan, tetapi pada saat bersamaan ia mesti fleksibel untuk melakukan manuver demi pencapaian tujuan.

Di atas segalanya, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah bisa memahami kekesalan seorang peserta diskusi dari kalangan pelaku bisnis terkait model kepemimpinan saat ini, yang ia nilai kurang tegas. Sampai-sampai ia berkata, ”... sebenarnya kita punya pemerintah, tetapi tak memerintah....”

KOMPAS, 11 Desember 2008

Thursday, December 11, 2008

2009 Sebagai Tahun Politik


"Tahun Politik" 2009 sudah di ambang pintu. Sederet peristiwa politik bakal kita jalani sepanjang tahun, dan lima tanggal di antaranya patut dicatat.

Pemungutan suara untuk pemilu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) berlangsung pada 9 April. Pemungutan suara untuk pemilu presiden putaran pertama diselenggarakan pada 6 Juli, disusul putaran kedua, jika diperlukan, pada 21 September. Ketiganya disusul pelantikan anggota legislatif periode 2009-2014 pada 1 Oktober dan pelantikan presiden dan wakil presiden 2009-2014 pada 20 Oktober.

Membaca jadwal Komisi Pemilihan Umum itu, Prof Don Emmerson pun berkelebatan di kepala saya. Tahun 2004 disebut Emmerson sebagai the year of voting dangerously (tahun pemilihan yang berbahaya). Begitulah tampaknya 2009. Maka, mari kita jemput 2009 dengan mendata apa bahaya terbesar yang mengancam dan bagaimana kita menaklukkannya.

Bintang dan penentu
Pemilu bukanlah tujuan. Ia adalah sarana atau kendaraan. Pemilu yang demokratis, berkala, bebas, jujur, adil, dan damai akan percuma manakala tak berhasil memfasilitasi tegaknya keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat serta tercapainya kesejahteraan dan keadilan.

Bahaya terbesar dari rangkaian Pemilu 2009 adalah gagal terfasilitasinya perikehidupan publik yang lebih baik hari ini dan esok. Untuk menaklukkannya, selain berharap penyelenggara pemilu bisa menunaikan tugasnya secara layak, kita menumpukan harapan pada dua pelaku: kandidat dan pemilih.

Ratusan ribu kandidat terlibat dalam kontestasi 2009, memperebutkan 18.442 kursi, terdiri dari 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD provinsi, 560 kursi DPR, 132 kursi DPD serta kursi presiden dan wakil presiden. Merekalah ”bintang”, pusat sorotan kamera televisi, pengisi utama berita media massa, berdiri di pusat panggung kampanye.

Kualitas mereka akan ikut menentukan sukses atau gagal Pemilu 2009 dalam menggapai tujuan yang dikejarnya. Inilah ”sukses-gagal seleksi”. Sebab, mereka adalah produk mekanisme seleksi partai dan nonpartai (khusus untuk DPD). Sukses seleksi bersifat elitis, tak melibatkan massa atau pemilih dalam jumlah besar. Tetapi, sukses ini menjadi hulu sukses pemilu.

Di hilir, ada mekanisme ”eleksi”. Dalam medan pertarungan yang sesungguhnya inilah ratusan ribu ”bintang” itu akan ditentukan nasibnya oleh sekitar 171 juta ”penentu”, yakni pemilih, kita, yang tersebar di 611.636 tempat pemungutan suara.

Pada akhirnya, terlebih-lebih di tengah rendahnya kualitas para kandidat hasil mekanisme seleksi, peran para pemilih menjadi penting dan genting dalam menentukan sukses akhir Pemilu 2009. Maka, alih-alih runyam memikirkan rendahnya kualitas para kandidat, lebih konstruktif menjemput 2009 dengan menyiapkan diri masing-masing menjadi pemilih berkualitas dan bertanggung jawab.

Ada baiknya kita tak menjadi pemilih cengeng dan kanak-kanak, yang menyalahkan partai politik dan kandidat atas rendahnya kualitas pemilu. Jauh lebih konstruktif, membangun kualitas diri sebagai pemilih dewasa, atau, sekalipun pada akhirnya memutuskan untuk tak memilih, kita melakukannya dengan sama dewasanya.

Jebakan popularitas
Pemilu 2009 pun menuntut kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, dari pendukung yang irasional, emosional, dan primordial menjadi pemilih yang kalkulatif, rasional, dan dewasa. Pemilih semacam ini tak merasa tugasnya usai saat sudah mencontreng dalam bilik suara, melainkan merasa tugasnya sebagai warga negara justru baru dimulai.

Transformasi berikutnya pun diperlukan, yakni dari ”pemilih” menjadi ”penagih janji” yang berupaya menjaga haknya serta menunaikan kewajibannya atas orang lain dan orang banyak sepanjang waktu. Dalam konteks itulah, salah satu temuan Lembaga Survei Indonesia pada 8-20 September lalu memprihatinkan.

Menjawab pertanyaan, ”Bila pemilihan anggota DPR diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih dari nama-nama berikut?”, lebih banyak calon pemilih yang terpesona popularitas dan kepesohoran ketimbang kompetensi kandidat. Di antara 10 pesohor dan 10 politisi yang diajukan, Ferry Mursidan Baldan, legislator berpengalaman dan diandalkan partainya, hanya dipilih oleh sekitar 0,1 persen responden, jauh di bawah suara yang diperoleh pesohor yang belum teruji, seperti Eko Patrio (5,6 persen) atau Marissa Haque yang meraih sekitar 5,2 persen.

Mari kita hindari jebakan popularitas itu. Dengan cara inilah antara lain kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, lalu menjadi ”para penagih janji”. Dengan inilah kita jemput 2009 dengan riang.

EEP SAEFULLOH FATAH Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji”
KOMPAS, 9 Desember 2008

Monday, December 8, 2008

Kilas Balik Bom Bali


Hakim yang memvonis mati Amrozi Cs telah mati duluan. Jaksa yang menuntut (Urip Tri Gunawan) kini dipermalukan kasus suap Rp 6 M. Siapa yang akan menyusul terhina berikutnya?

Tiga terpidana mati Amrozi Cs telah dipanggil Allah SWT. Tapi masih banyak orang belum mencermati secara jeli peristiwa itu. Tulisan berupa kilas balik ini sekedar mengingatkan Anda semua atas peristiwa itu.

Pulau Bali mempunyai nama lain sebagai pulau Dewata, karena memang dikaruniai oleh Allah SWT memiliki keindahan panorama alam, khususnya panorama di pantai Kuta. Karena keindahannya, tidak mengherankan jika para wisatawan selalu berdatangan silih berganti, baik wisatawan lokal (domestik) maupun turis asing. Karena banyaknya wisatawan asing, sampai-sampai ada tempat hiburan yang dikhususkan untuk para turis asing, yaitu Paddy’s Bar dan Sari Club.

Pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2002 menjelang tengah malam tiba-tiba sebuah bom meledak di Paddy’s Bar tempat para turis asing berpesta pora. Seketika itu juga aliran listrik padam, sehingga sepanjang jalan Legian Kuta gelap gulita. Dalam hitungan detik sesaat kemudian muncul cahaya terang yang memancar membentuk awan, semburan api raksasa terlihat hampir bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat. Disusul dengan bom kedua di Sari Club, yang efeknya terdengar sampai radius puluhan kilometer, dan jaring-jaring bangunan berhamburan ke udara sampai 50 meter tingginya.

Indonesia tersentak, tak menyangka akan terjadi targedi Bom Bali I tersebut, sementara pemerintah Amerika – Israel – Australia dan pemerintah barat lainnya tidak kaget atau hanya pura-pura kaget atas kejadian yang mengakibatkan sebagian warganya jadi korban. Sangat disayangkan, pemerintah Indonesia tidak segera mengambil sikap, tidak seperti pemerintah Amerika yang cepat membuat pernyataan “Amerika under Attack” (Amerika sedang diserang) yang langsung diikuti penutupan akses keluar dari Amerika, baik yang lewat udara maupun laut.

Sementara pemerintah Indonesia bingung, tidak tahu apa yang harus dan cepat dilakukan untuk melindungi rakyatnya. Pintu ke luar masuk, baik jalur udara maupun laut dibiarkan terbuka lebar, sehingga kalau ada dugaan keterlibatan pihak asing, maka barang-barang bukti akan gampang lenyap dibawa lari ke luar negeri. Yang tersisa hanya bukti lokal, yang menyebabkan rakyatnya sendiri jadi korban tuduhan.

Bom jenis apa yang meledak di kedua tempat hiburan Paddy’s Bar dan Sari Club? Siapa yang pantas tertuduh sebagai pelaku utamanya? Para pembaca dipersilahkan untuk mengambil kesimpulan sendiri setelah membaca berita dan cara penanganannya.

Setelah bom meledak, dalam tempo 5 mikro-detik detonasi yang sangat dahsyat berupa gelombang tekan (shock wave) berkekuatan satu juta kaki perdetik membongkar jalan yang berada di depan Sari Club. Aspal, batu dan tanah dengan berat dua ton-an terlempar berhamburan ke udara, sementara tanah dan pasir berputar ke segala arah bak angin putting beliung, mampu memotong tubuh para turis menjadi seperti mie kwetiau. Potongan-potongan tubuh manusia terserak sampai beberapa blok jauhnya, sedang yang berada pada radius demolisi yang panjangnya 200-an meter akan tewas meski dengan tubuh utuh, tapi tulang belulangnya patah dan remuk redam bak bandeng presto.

Ledakan bom tersebut menewaskan 202 orang, melukai sekitar 300 orang, menghancurkan 47 bangunan, beberapa mobil terlempar ke udara sampai enam meter dan membakar ratusan mobil dari berbagai merk dan jenis. Potongan-potongan besi bangunan juga patah-patah dan bengkok oleh kuatnya tekanan ledak, kaca bangunan beterbangan ke segala arah, getaran akibat ledakan bom bisa dirasakan sampai radius 12 kilometer.

Belum juga pihak kepolisian Indonesia selesai mengadakan penyelidikan, tiba-tiba keluarlah beberapa pernyataan dan tuduhan dari pihak pemerintahan Barat. Presiden AS George Walker Bush sudah mendahului menuduh Al-Qaidah sebagai dalangnya, yang akan diamini oleh negara-negara barat yang lainnya. Sementara, Lembaga Studi Pentagon dan Israel menuduh Jamaah Islamiyah yang melakukannya.

Dengan munculnya beberapa pernyataan dari negara-negara kuat yang mendahului hasil penyelidikan pihak kepolisian, sudah barang tentu sangat mempengaruhi independensi dan obyektifitas proses penyelidikan kepolisian Indonesia. Cecaran negara-negara barat tersebut jelas membuat kepolisian Indonesia ketar–ketir dan ketakutan, karena merasa mendapat intervensi. Walau masih tetap melakukan proses penyidikan dan penyelidikan, tapi sudah tidak bisa mandiri lagi.

Perhatikan dari perkembangan pernyataan-pernyataan yang disampaikan pihak yang berkompenten:

Pertama, Pada hari awal pasca ledakan Tim Mabes Polri mengadakan kajian bersama dengan Tim FBI, sudah berani membuat pernyataan: “Berdasarkan efek ledakan bom, besar kemungkinan material yang digunakan dari jenis C-4,” kata Kabag Humas Polri Irjen Polisi Saleh Saaf. Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan Kepala BIN AM Hendropriyono, “Ya, salah satu dari bom yang dipakai adalah C-4,” disampaikan saat berkunjung ke TKP tanggal 19 Oktober 2002.

Kedua, Mark Ribband seorang ahli dan praktisi eksplosif Inggris mengatakan kepada AFP (15/10/02): “Bom C-4 memang diproduksi oleh beberapa negara, tetapi produsen utamanya adalah AS dan Israel”. Dia menambahkan: “Meskipun relatif gampang dibawa dan mudah diselundupkan, bom plastik ini tak bisa diperoleh sembarangan pihak, selain amat sulit juga mahal”. Melihat dampaknya, dia percaya bom di Bali itu punya daya ledak yang luar biasa, kalau benar itu C-4, tentu itu C-4 yang amat powerfull.

Ketiga, Joe Vialls, ahli bom dan investigator independen yang bermukim di Australia punya pendapat yang berbeda. Menurut hasil investigasi dan analisanya, bom yang meledak di Bali itu lebih dari C-4. Menurutnya, C-4 itu hanya hebat di film-film Hollywood yang dibintangi Sylvester Stallone atau Bruce Willis. C-4 itu sebenarnya hanya lebih baik dari TNT. C-4 yang standar terbuat dari 91% RDX dan 9% Polyisobotciser dan daya ledaknya 1,2 kali lebih baik dari TNT. Yang pasti kata Joe Vialls: "Skenario bom C-4 tak bisa menjelaskan mengapa bom Bali menimbulkan cendawan panas dan kawah yang cukup besar."

Adanya cahaya dan cendawan panas setelah lumpuhnya aliran listrik serta munculnya kawah, bisa menjadi indikasi yang spesifik dari hadirnya senjata micronuclear. Sejumlah kalangan mempertanyakan tidak adanya radiasi sinar gamma dalam kasus tersebut. Karena radiasi gamma dan neutron tidak terdeteksi, mereka menyimpulkan tak mungkin ada mikronuklir di Bali. Sanggahan itu sekilas masuk akal, tapi sebenarnya menunjukkan kurangnya wawasan akan khazanah senjata nuklir.

Keempat, Nuklir konvensional memang selalu menghasilkan radiasi radio aktif, sementara yang dipakai di Bali adalah mikronuklir non konvensional yang disebut SDAM (Special Demolition Atomic Munition). Dilengkapi reflector neutron, mikronuklir ini didesain sedemikian rupa hingga tidak sampai menghasilkan sinar gamma dan neutron yang gampang disidik oleh alat Geiger Counter, limbah yang dihasilkan SDAM itu berupa awan panas dan sedikit sinar alpha. Maka jika mendeteksi radiasi mikronuklir SDAM dengan menggunakan alat itu jelas salah alamat, pasti tak akan terukur adanya radiasi gamma dan neutron, kecuali memang di TKP terdapat bahan radioaktif Uranium.

Sedangkan bahan yang dipakai untuk membuat SDAM umumnya adalah Uranium 238 dan Plutonium 239. SDAM tidak meninggalkan jejak radiasi neutron dan atau sinar gamma, hanya menghasilkan panas dan sedikit pertikel alpha. Partikel itu tersedia dalam jumlah amat sedikit, sekitar satu partikel dalam radius dua meter. Itu pun bisa hilang atau tidak terdeteksi setelah TKP kena hujan, atau partikel terhirup oleh para korban yang telah dievakuasi dan diabukan di Australia. Persoalannya, para petugas kepolisian sudah kehilangan momen dan kesempatan untuk menjejak partikel alpha yang menjadi ciri khasnya.

Kelima, Kepala Staf TNI Angkatan Bersenjata (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu (kini sudah pensiun) mengatakan: “Saya yakin bahwa bom yang meledak di Bali adalah buatan luar negeri, dan bukan buatan orang Indonesia. Bom yang begitu dahsyat seperti itu tidak mungkin produk dalam negeri, itu pasti produk luar negeri”, ujarnya usai memberikan pengarahan kepada prajurit Kopassus Grup 2 dan Brigif 413 Kostrad di Markas Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan Solo (12/11/02). Menurut Ryamizard, “Indonesia sampai saat ini belum mampu membuat bom Atom, bom Napalm, Mikronuklir atau sejenisnya. Tapi kalau ada orang kita yang disuruh saya tidak tahu, serahkan saja pada polisi. Tapi saya yakin ada orang luar yang terlibat,” jelasnya.

Keenam, Kapten Rodney Cox, seorang tentara Australia mengomentari kejadian meledaknya bom Bali. Dia menyaksikan langsung dahsyatnya bom tersebut, karena berada di dekat TKP, katanya: “Saya pernah mengikuti kursus Demolisi, tapi tak pernah menyaksikan efek ledakan yang begitu hebat”.

Kesaksiannya yang cukup detail itu mengundang analisis lebih jauh terhadap identitas bom Bali. “Pernyataan listrik mati sebelum adanya kilatan cahaya pra ledakan telah menjadi petunjuk kuat dan tak terbantahkan, bahwa masa kritis dari suatu senjata mikronuklir telah tercapai” kata Joe Vialls.

Bom kecil di Paddy’s Bar hanya menimbulkan kerusakan lokal, 10 detik kemudian meledaklah bom ke-2 di Sari Club yang sangat dahsyat, menyebabkan seluruh aliran dan jaringan listrik di kota saat itu lumpuh total oleh pengaruh gelombang elektromagnetik SREMP (Source Region Electromagnetic Pulsa) yang dipancarkan mikronuklir pada titik kritisnya. Pulsa Elektromagnetik itu merambat melalui semua medium pada kecepatan cahaya (300.000 km/jam). Karena itu Kapten Cox menyatakan, bahwa listrik mati sebelum dia menyaksikan semburan api dan awan panas di atas permukaan jalan. Laporan yang disusun oleh Kapten Jonathan Garland, wartawan koran resmi Angkatan Bersenjata Australia itu rupanya telah membuat keki dan blingsatan pemerintah dan petinggi militer Australia. Mereka khawatir kesaksian itu akan menjadi blunder bagi Australia di masa depan, maka dengan memo seorang menteri, laporan dan kesaksian penting itu kemudian dihapus dari situs ARMY.

Polri Kurang Mandiri dan Tidak Konsisten
Pada hari pertama pihak kepolisian Indonesia menduga kuat bahwa bom yang meledak di Bali dari jenis C-4, dugaan itu didasarkan pada efek ledakan yang dahsyat. Akan tetapi setelah kedatangan Tim Polisi Federal (Austalia Federal Police) Australia dan ASIO (Australia Secret Intelligent Organization) , pernyataannya jadi berubah-ubah. Katanya, bom yang meledak dari jenis RDX. Lalu berubah lagi, kata polisi dari jenis TNT. Bahkan Polda Jatim sempat keceplosan bicara, bahwa bom yang meledak di Bali itu mungkin bom karbit, hanya karena di sekitar TKP ditemukan bubuk potasium khlorat. Sungguh menggelikan.

Kalau saja Polri mampu mandiri dan tidak takut dengan tekanan dari pihak manapun, bekerja profesional, tidak terpengaruh (yang negatif) walau ada pihak luar ikut membantu menyelidiki, maka haqqul yakin kepolisian Indonesia akan mempunyai wibawa tinggi di mata dunia, dihormati dan dicintai rakyat karena mereka merasa terlindungi.

Mengapa TNI Dicurigai Terlibat?
Koran Singapura The Straits Times dan koran Australia The Sydney Morning Herald melansir berita, bahwa TNI mungkin terlibat dalam pengeboman di Bali. Berdalih pengakuan paling mutakhir dari Umar al-Faruq (mudah-mudahan syahid) di penjara Baghram Afganistan. Mereka menuduh Abubakar Ba’asyir telah membeli C-4 dari TNI dengan dana kiriman uang dari tokoh Al-Qaidah Usama bin Ladin.

Berita fitnahan tersebut cepat direspon oleh KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, dengan mengatakan bahwa TNI sampai saat ini belum mampu membuat bom Atom, bom Napalm, Mikronuklir dan atau yang sejenisnya. Lalu diadakanlah demo bom TNT (kemampuan yang dimiliki PT. Pindad) di Cibodas pada akhir Oktober 2002. 2 kg bom TNT disiapkan, 2 meter darinya diletakkan 2 botol aqua berisi bensin, di sampingnya lagi ada gubuk kecil dari bahan kayu. Setelah bom TNT tadi diledakkan, maka menimbulkan suara cukup keras dan tanahnya pun bergetar, pohon dan tanaman di sekitarnya rusak. Tapi anehnya 2 botol aqua yang berisi bensin tidak tumbang apalagi terbakar, begitu juga gubuk kayunya juga masih tegak berdiri. Uji coba tersebut dilakukan oleh Pusdik Zenit TNI AD yang dipimpin oleh Kol. CZi Puguh Santoso. Keterusterangan dari pihak TNI akan batas kemampuan PT. Pindad sebenarnya sangat disayangkan, karena rahasia batas kemampuannya akan diketahui pihak lawan. Tapi keterusterangan tadi bisa dimaklumi, apa sebabnya?

Nah kalau berita dari dua koran Singapura dan Australia itu di-blow up dan dilansir oleh mass media dunia, maka TNI dan juga negara Indonesia bisa terancam diserang oleh pihak luar, mungkin akan mengalami nasib seperti Iraq.

Coba perhatikan beberapa kejadian sebelumnya:
1. Paska runtuhnya gedung WTC tanggal 11 September 2001, Presiden AS George Walker Bush menabuh genderang perang dunia melawan para pejuang dan aktivis muslim dengan julukan “teroris” (the global war on terrorism atau G-WOT). Dia mengajak kepada masyarakat internasional untuk mendukung langkahnya, dengan dua opsi: “Carrot or Stick”; bersama kami (AS) memerangi para teroris akan mendapat hadiah carrot/wortel/ dollar, tapi kalau tidak mau mendukung AS akan menerima pukulan stick/tongkat/ rudal.

2. Presiden Megawati pernah mengatakan bahwa, jika AS menyerang Indonesia, maka tak akan mampu melawan tentara George Walker Bush dan tidak akan bertahan walau hanya sepekan. Mengapa Presiden Megawati sampai mengatakan demikian? Bisa jadi karena kemampuan militer Indonesia memang sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan tentara AS.

Apakah George Walker Bush serius dengan ancamannya, bila Indonesia tidak mau mendukungnya akan diserang?

Jawabnya: Sangat mungkin!

Tapi, dari dua pilihan tersebut, carrot-lah yang dipilih Megawati. Ia menyeret bangsa Indonesia menjadi sekutu Bush, menjadi “Proxy Forces” atau agen perantara untuk menangkapi rakyatnya sendiri . Masya Allah tega nian bunda.

Karenanya, ia langsung mendapatkan upah di depan (down payment) sebesar US $ 500 juta. Katanya, untuk menstimulir perekonomian nasional. Terbuktilah sekarang. Ujian harta ini lebih berbahaya daripada kenaikan BBM.

Sabda Nabi saw:
“Sesungguhnya aku sudah memohon kepada Robbku untuk umatku, janganlah Dia membinasakan mereka dengan paceklik yang merajalela, jangan menundukkan mereka kepada musuh dari luar kelompok mereka yang menodai kedaulatan mereka. Sesungguhnya Robbku berfirman: Wahai Muhammad, sungguh jika Aku telah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak bisa lagi ditolak. Aku berikan kepadamu untuk umatmu agar mereka tidak dibinasakan oleh paceklik yang merajalela, dan agar mereka tidak dikuasai musuh dari luar mereka yang akan menodai kedaulatan mereka, sekalipun musuh itu berkumpul dari seluruh penjuru dunia, kecuali jika sebagian mereka membinasakan sebagian yang lain, dan mereka saling manahan satu sama lain”

3. Frederick Burks, mantan penerjemah Departemen Luar Negeri AS mengatakan: “Pada tanggal 16 September 2002 ada pertemuan rahasia di rumah Presiden Megawati, di jalan Teuku Umar Jakarta. Pertemuan itu diikuti lima orang: Megawati, Karen Brooks, (Direktur National Security Council wilayah Asia Pasific), Ralph Boyce (Dubes AS untuk Indonesia), Frederick Burks dan seorang wanita agen khusus CIA sebagai utusan spesial Presiden Bush”. Dalam pertemuan berdurasi 20-an menit itu, utusan khusus Bush meminta Mega agar me-render (menyerahkan secara rahasia) ustadz Abu Bakar Ba’asyir kepada pemerintahan AS, sebagaimana kasus Umar al-Faruq.

Mega menolak, dengan alasan, Umar al-Faruq bisa di-render karena tidak dikenal oleh publik Indonesia dan tak mempunyai pendukung, sedangkan ustadz Abu Bakar dikenal publik dan banyak pengikutnya. Sehingga jika di-render bisa menimbulkan instabilitas politik dan agama, yang tidak mungkin ditanggungnya.

Akhirnya agen CIA itu mengancam;
“Jika ustadz Abu tidak diserahkan sebelum pertemuan APEC, maka “Situasinya akan bertambah buruk....” Benar saja, ancamannya dibuktikan sebulan kemudian, yaitu dengan peledakan Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 pukul 00.00.

Jadi siapa yang berada di balik peristiwa Bom Bali I? Apakah Amrozi cs pelaku utamanya? Amrozi hanya membawa karbit 1 ton dengan mobil L300. Mengapa polisi takut melakukan rekonstruksi? Jika Anda ragu, jangan sekali-kali mengeksekusi mereka, karena jika Anda muslim, maka akan murtad!

Ingatlah hakim yang memvonis mati mereka tela mati duluan, jaksa yang menuntut hukuman mati (Urip Tri Gunawan) mereka kini dipermalukan dengan terbongkarnya suap Rp 6 M, apakah Anda mau menyusul terhina seperti mereka?

Fauzan Al-Anshari, Penulis adalah Direktur Lembaga Kajian Strategis Islam (LKSI)
Sumber: hidayatullah.com

Friday, November 28, 2008

Risalah Naik Haji



Suatu ketika seorang ahli sufi, Ibrahim bin Adham, bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. "Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?" tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab, "Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq."

Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, "Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka."

Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.

Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.

Wajar jika lalu mengemuka wacana "pengharaman" haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya "gugatan moral" ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah "buta" terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.

Haji semu
Jauh sebelumnya, para ulama mengkritik keras perilaku orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya ataupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan ulama terhadap ahlu al-hajj didasarkan pada kondisi riil atau perilaku orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji.

Alih-alih meneladani tapak tilas Nabi Ibrahim yang sarat pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji mengambil jarak dengan orang miskin dan anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan meningkatnya kesalehan ritual tanpa memedulikan kesalehan sosial.

Padahal, dalam beribadah, semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah, sementara memedulikan orang miskin dan anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah).

Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah "bagi yang mampu" (istitha’ah) yang menjadi alasan atau 'illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.

Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat atau amal kebaikan yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.

Fatwa haram
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum).

Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji saat melaksanakan haji sehingga harus mengulang; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan.

Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunah. Namun, dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan 'illat (alasan) hukum berupa kebutuhan yang bersifat mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh (lebih baik ditinggalkan), bahkan haram.

Kebijakan hukum seperti ini pernah berlaku pada masa pemerintahan Bani Umayah mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan itu, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang pada masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.

Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama Indonesia tentunya dapat pula mengeluarkan fatwa yang melarang, setidaknya membatasi umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial.

Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji.

Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah sosial sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa "haram" ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam Indonesia.

Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang makin menggunung, kita harus menahan diri untuk tak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji yang pernah berhaji, akan teruji.

Khaeron Sirin Dosen Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta
KOMPAS, 13 November 2008