Saturday, December 22, 2012

Buang Handuk dan Kemunculan Kesatria Bergitar


Kongkalikong dan akrobat politik diperkirakan bakal memuncak pada tahun 2013 karena merupakan tahun yang menentukan bagi para elite politik untuk bermain dalam menyongsong Pemilu 2014. Akibatnya, kehidupan ekonomi akan tergencet.

Demikian benang merah dari diskusi Panel Ahli Media Group yang bertajuk Ekonomi Politik 2013 Menyongsong Pemilu 2014 di Kantor Media Indonesia, Kedoya, Jakarta Barat (4/12/2012). Hadir sebagai pembicara, pakar politik Yudi Latief, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, dan pengamat ekonomi Achmad Erani Yustika.

Tahun 2012 akan segera berakhir. Tahun baru otomatis bakal datang, dan sesudah nya, yakni tahun 2014, bangsa ini bakal direpotkan dengan hajatan pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden. Sudahkah bangsa ini sukses mengukir prestasi di bidang ekonomi dan politik?

Beberapa kali bangsa ini menggelar pemilu yang disebut-sebut paling demokratis setelah pemerintahan otoriter di bawah kepemimpinan rezim Orde Baru tumbang. Pemilu demokratis di era reformasi itu digadang-gadang mampu membawa perubahan, paling tidak di sektor ekonomi dan politik.

Pertanyaannya ialah dalam kurun waktu 14 tahun sejak reformasi bergulir, sudah mantapkah posisi ekonomi dan politik bangsa ini? Jawabnya, masih jauh dari apa yang diharapkan.

Padahal kalau mau ditelaah, 2013 sesungguhnya merupakan momentum ‘indah’ bagi kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menetapkan sebagai ‘kisah kesuksesan’ pemerintahannya sejak ia memegang tongkat komando negeri ini sebagai presiden selama dua periode lewat pemilihan langsung.

Yudi Latief, Achmad Erani Yustika, Andi Irmanputra Sidin

Buang Handuk
Namun, momentum untuk menjadikan bangsa ini bangkit, baik di sektor ekonomi maupun politik, tidak dimanfaatkan dengan baik. Negara lagi-lagi dinilai belum mampu mengelola dan menggarap berbagai sumber daya alam yang dimiliki negeri ini. Indonesia kaya dengan sumber daya alam (pertambangan untuk energi). Tapi, bangsa ini selalu kedodoran mengelola produksi dan distribusi bahan bakar minyak (BBM).

Pemerintah belum lama ini memperkirakan cadangan minyak nasional akan habis dalam 20 tahun mendatang, yakni pada tahun 2032, bila kebijakan pengetatan BBM bersubsidi tidak diterapkan. Alasan pemerintah, hal itu dimungkinkan sebab konsumsi BBM bersubsidi rata-rata meningkat 10% per tahun bila tidak ada penerapan pengetatan penggunaan BBM bersubsidi. Peningkatan volume BBM bersubsidi, masih menurut versi pemerintah, berisiko pada cadangan minyak yang akan cepat habis.

Jika memang faktanya demikian, bukankah itu merupakan sinyal bahwa sesungguhnya pemerintahan sekarang sudah berancang-ancang membuang handuk (tanda menyerah) karena tidak mampu mengelola negara?

BBM adalah kekayaan rakyat Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33, menikmati BBM (termasuk yang disubsidi) adalah sebagai wujud dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Ayat (1) pasal itu menyebutkan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,” sedangkan ayat (2) berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”


Jelas bahwa BBM dan pengelolaannya, pertama-tama, harus diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, ketersediaannya juga harus jelas. BBM itu kebutuhan rakyat, harganya juga harus terjangkau oleh siapa pun. Distribusi dan harganya tidak boleh dibeda-bedakan, seperti premium hanya untuk rakyat tidak mampu, sedangkan orang kaya harus membeli jenis BBM yang harganya mahal. Dalam sebuah negara, tidak boleh ada diskriminasi.

Karena itu, tidak ada alasan bagi negara untuk menyatakan jika distribusi BBM bersubsidi tidak dikendalikan, cadangan BBM akan habis. Soal beginian memang tidak masuk ranah pelanggaran hukum, tetapi merupakan wujud ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan amanah konstitusi. Sekali lagi, jika memang faktanya seperti itu (cadangan BBM bersubsidi habis), itu pertanda pemerintah tengah bersiap-siap buang handuk pada 2013 mendatang.

Mengelola BBM, sehingga bisa dinikmati oleh siapa pun, merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, sungguh aneh jika negara kemudian ‘menuduh’ orang kaya yang membeli BBM bersubsidi sebagai ‘penjahat’. Membeli BBM bersubsidi adalah hak yang dijamin konstitusi. Bukankah kalangan the haves itu juga rakyat, dan memiliki hak yang sama untuk memilih dan membeli BBM yang diminati. Ini juga menjadi sinyal bahwa negara tidak mampu menjalankan amanat konstitusi.

Apa pun situasinya, 2013 yang sebentar lagi kita masuki ialah momentum lanjutan dari apa yang telah kita putuskan 14 tahun yang lalu (era reformasi). Sebelum 1998, negara dikritik karena menganut sistem otoriter. Pemerintahan Orde Baru ketika itu membunuh bibit-bibit ekonomi, sosial, budaya, dan juga politik. Semuanya tersumbat.


Moral Hazard
Kita saksikan ada moral hazard di sana. Kesuksesan ekonomi hanya mampir pada individu atau kelompok -kelompok tertentu. Rezim otoriter menutup akses siapa pun. Maka, ketika rezim tersebut tumbang, demokrasi menjadi pilihan, karena semuanya muak terhadap sistem yang diberlakukan.

Kekuatan ekonomi pada masa itu hanya berpusat di Jakarta. Ketimpangan ekonomi begitu sangat mencolok di daerah. Pembangunan ekonomi sangat proteksionis kepada kelompok-kelompok tertentu dan sangat masif. Mereka atau kekuatan-kekuatan ekonomi yang sudah telanjur eksis tak boleh diganggu.

Semua itu menjadikan ekonomi Indonesia tidak efisien. Para pelaku ekonomi dimanja oleh penguasa. Maka itu, jangan heran jika waktu itu pernah muncul istilah ekonomi pornografi sebab rezim ekonomi Orde Baru sudah berusia 30 tahun, tapi masih tetap disusui.

Setelah rezim Orde Baru selesai, kita merindukan semuanya berubah melalui jalan demokrasi. Dan agar perekonomian di daerah bergairah, otonomi daerah dijadikan opsi. Reformasi diharapkan bisa mengubah semuanya.

Hasilnya? Terjadi liberalisasi ekonomi. Celakanya lagi, pemerintah tidak menyusun regulasi yang mampu menggerakkan roda perekonomian yang ujung-ujungnya menyejahterakan rakyat. Di sektor ketenagakerjaan, misalnya, sebagian besar masih diisi oleh SDM yang cuma lulusan SMP/SMA.


Perusahaan asing masih mendominasi atau menguasai (75%) dunia usaha di Indonesia. Ketidakadilan pendapatan tetap ada di mana-mana. Ada 40 orang kaya di Indonesia yang kekayaannya senilai dengan 60% APBN. Roda perekonomian masih terkonsentrasi (45%) dan berputar di Pulau Jawa dan Sumatra.

Bandingkan pada masa sebelum orde reformasi bergulir, ketika 350 orang kaya di Indonesia menguasai perekonomian yang setara dengan 70% APBN. Artinya, terjadi jurang pemisah yang luar biasa dalam. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Di sisi lain, ikut dalam arus globalisasi ekonomi adalah sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari. Dan negeri ini untuk sementara hanya bisa dimanfaatkan sebagai pasar bagi produk-produk negara lain. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 4%-6% memang baik, tapi ketahanan pangan masih jeblok dan rentan. Cadangan beras di Bulog hanya 4% dari kebutuhan nasional, sehingga sebagian besar beras yang kita konsumsi setiap hari adalah impor. Bandingkan dengan Thailand yang ‘Bulog’-nya di sana mampu menyiapkan stok pangan 20%, Brunei Darussalam (40%), dan Malaysia (30%).

Negara-negara tetangga itu tentu jauh lebih siap dibanding kita jika sewaktu-waktu ada turbulensi ekonomi yang melanda. Demokrasi yang dicanangkan saat reformasi diharapkan mampu mengubah perekonomian yang stagnan menjadi lebih dinamis. Akan tetapi, demokrasi yang disebut-sebut memberi kebebasan dan diharapkan mampu melahirkan kondisi yang lebih baik itu tetap tidak bisa menolong. Yang terjadi sekarang adalah demokrasi minus kesejahteraan. PDB memang naik, tapi sumbangan kenaikan PDB itu berasal dari orang asing.


Istana Pasir
Karena kehidupan ekonomi belum mampu mengubah kondisi bangsa, kerusakan moral ada di mana-mana. Korupsi adalah salah satunya. Sesungguhnya, kita sekarang ini berada di dalam istana pasir, karena kekayaan sumber daya alam yang kita miliki dikuasai segelintir orang.

Ketidakadilan politik dan ekonomi masih terjadi di mana-mana. Ada yang mengatakan, jika rakyat makmur, keadilan akan datang dengan sendirinya. Pemikiran seperti ini jelas keliru. Sebab, orang miskin di negeri ini tidak mungkin harus menunggu makmur dulu baru bisa merasakan keadilan.

Demokrasi kelihatannya memang cantik, tapi kenyataannya malah mendatangkan hal-hal buruk. Kenyataan itulah yang sekarang sedang menimpa Indonesia dan akan berlanjut pada 2013. Penegakan demokrasi diharapkan mampu diikuti dengan penegakan hukum. Namun, faktanya, para penegak hukum yang diharapkan mampu menegakkan hukum itu justru malah menjadi public enemy yang demikian sempurna.

Untuk mencapai suatu demokrasi, ada syarat-syarat yang harus terpenuhi, yaitu harus sejalan dengan meritokrasi (berdasarkan keahlian) dan nomokrasi (penegakan hukum). Singkatnya, demokrasi butuh pemerintahan dengan otoritas yang kuat namun menjalankannya tidak dengan cara-cara yang otoriter.


Politik 2013
Suasana dan iklim politik yang bakal terjadi pada tahun 2013 juga setali tiga uang dengan sektor ekonomi. Dunia politik masih dikuasai oleh kelompok elite yang bersinggasana di partai politik. Sistem politik yang ada saat ini tidak memungkinkan orang-orang cerdas di negeri ini menjadi presiden karena pencalonannya harus melalui partai politik yang sangat tertutup. Bahkan saking tertutupnya, orang-orang partai sendiri sulit mencalonkan diri menjadi presiden.

Pada 2013, dalam soal pencalonan presiden itu, diperkirakan kebiasaan atau tradisi ‘diam-diam mengumumkan nama calon presiden’ setelah orang-orang (elite) partai mengadakan rapat tertutup masih akan terjadi. Idealnya, pencalonan tokoh partai menjadi calon presiden adalah lewat konvensi seperti yang pernah dilakukan Partai Golkar.

Dengan konvensi, setiap kader partai punya peluang mencalonkan diri sebagai presiden, sehingga sangat mungkin, jika konvensi ini digelar PDIP misalnya, nantinya nama yang muncul bukan Megawati Soekarnoputri. Begitu pula halnya dengan Partai Golkar, nama calon presiden yang muncul bisa saja bukan Aburizal Bakrie.

Terlepas dari cibiran banyak orang, kehadiran Rhoma Irama yang nekat mengklaim bahwa dirinya layak menjadi presiden untuk hajatan Pemilu 2014 patut kita apresiasi. Sebab, cara-cara seperti itulah yang sebenarnya kita harapkan jika kita memang berniat menghidupkan demokrasi.

Megawati, Aburizal Bakrie

Sebagai anak bangsa, tidak ada yang salah dalam niat ‘Raja Dangdut’ itu untuk menggantikan SBY. Persyaratan untuk menjadi presiden juga terpenuhi. Simak saja Pasal 6 UUD 1945/ Perubahan III ayat 1 yang menyebutkan, “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden”.

Barangkali ganjalan bagi Bang Haji akan datang dari Pasal 6A (2), “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Namun, perkembangan terakhir, Partai Kebangkitan Bangsa memasukkan nama Rhoma sebagai kandidat capres. Bila memang akhirnya dua niat bertemu, langkah Rhoma menggantikan SBY bisa saja menjadi kenyataan.

Faktanya, kita memang mengalami kesulitan mencari ‘kesatria piningit’ lewat jalur formal. Maka itu jangan salahkan siapa-siapa jika yang muncul akhirnya adalah ‘kesatria bergitar’.

Sumber:
Diskusi Media Group “Ekonomi Politik 2013 Menyongsong Pemilu 2014”
MEDIA INDONESIA, 10 Desember 2012

Sunday, December 9, 2012

Susno Duadji Siap Mati Demi Kebenaran


Perkara tindak pidana korupsi yang menjerat kasus mantan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji akhirnya berkekuatan hukum tetap. Majelis hakim di Mahkamah Agung menolak kasasi Susno.

Susno tetap divonis bersalah dalam dua perkara, yakni menerima suap terkait perkara PT Salma Arowana Lestari (SAL) ketika menjabat Kabareskrim Polri dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008 ketika menjabat Kepala Polda Jabar.

Susno harus menghadapi hukuman 3 tahun enam bulan penjara dipotong masa tahanan ketika perkaranya berproses di Kepolisian hingga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pascaputusan PN Jaksel pada 24 Maret 2011, Susno tak tampil ke publik. Kompas TV dan Kompas.com mendapat kesempatan berbincang-bincang berbagai hal dengan Susno. Berikut perbincangan dengan Susno:

T: Ke Mana saja Anda hampir dua tahun terakhir?
J: Saya di rumah sama anak-anak, sama istri. Hampir setiap hari ke tempat cucu. Saya juga ke kantor anak-anak.

T: Kenapa Anda tidak mau muncul ke publik?
J: Karena sudah banyak sekali hiruk-pikuk. Apa yang pernah saya suarakan kasus-kasus besar kok belum pada jalan.


T: Bapak dulu katakan siap mati demi bela kebenaran. Masih siap mati?
J: Itu harga mati. Saya kira amanah dari agama, bahwa saya sampai kapan pun, sesuatu yang benar harus saya katakan benar. Suatu yang salah adalah salah. Itu harga mati.

T: Kenapa Anda diam dua tahun terakhir?
J: Kalau siap mati bukan harus bersuara, kan? Ada cara lain. Kalau terus bersuara di depan TV kan bosan. Saya kan bisa ngobrol dengan teman-teman, orang yang ngerti hukum, dengan rekan-rekan (polisi) yang masih aktif.

T: Apa yang diobrolkan?
J: Yah keadaan saat ini. Misalnya, sisa-sisa perkara saya zaman dulu. Perkara mafia, korupsi, tindak perbankan. Kasus-kasus giant, raksasa.

T: Bagaimana tanggapan Anda atas putusan kasasi?
J: Pertama, saya baru dengar putusan itu dari media. Kami belum tahu dan belum terima putusan secara resmi. Bagaimana tanggapan saya, saya sudah sampaikan ke kesatuan saya bahwa saya sangat hormati putusan kasasi ini. Saya akan taati. Saya wajib hormati hukum apalagi putusan pengadilan. Kalau saya tidak mengaku salah dan tidak menerima putusan itu, tentu ada perlawanan di Peninjauan Kembali (PK).

T: Apakah Anda akan ajukan Peninjauan Kembali?
J: Untuk ajukan itu kan tidak bisa seketika. Tentu akan dibahas dengan pengacara saya. Kami akan kumpulkan bukti baru (novum). Tapi tentu sekarang sudah siap-siap menyikapi kalau memang putusannya benar seperti yang di media. Langkah yang diambil untuk segera hubungi PN Jaksel untuk tanyakan putusan. Kedua, hubungi juga eksekutor, sampaikan Susno siap dan sangat kooperatif dan akan patuhi itu. Kapan pun siap dieksekusi.


T: Bagaimana mengomunikasikan ke publik bahwa Anda tidak bersalah?
J: Yang paling tahu persis kan saya apa yang terjadi. Masyarakat juga tidak bisa dibohongi.

T: Tapi tiga pengadilan menyatakan terbukti bersalah?
J: Ya, secara hukum, ya. Tapi apakah itu real, sebenarnya? Kebenaran itu masih bisa kita uji lagi pada tingkat perlawanan yang tertinggi (PK). Kalau ditanya ke saya, saya benar. Silakan masyarakat nilai. Kasus dakwaan pertama, kapan dan apa latar belakangnya? Dakwaan pertama tentang suap kasus Arwana (PT Salma Arowana Lestari). Itu yang bongkar kasus Arwana siapa? Kan Susno. Bodoh benar kalau saya terima suap dalam kasus itu kemudian saya bongkar. Sama saja saya berteriak minta dihukum.

(Susno mengulangi berbagai kejanggalan kasusnya berdasarkan fakta persidangan di PN Jaksel)

T: Hakim yang pegang kasus Anda adalah hakim yang terkait dengan bebasnya M Misbakhun? Apakah Anda lihat ada kaitannya? Kita tahu Anda tangani Century.
J: Kalau itu, saya tangani kasus Century. Yang tangkap pemilik Century (Robert Tantular), ya saya. Kemudian apakah soal hakim ketua, faktanya beliau kan. Katanya dia juga hakim ketua Misbakhun. Kalau sampai pertanyaan, apakah ada kaitan Century dengan ditolaknya PK saya, terus terang saya tidak tahu.

T: Apakah sekarang masih ada kasus penyimpangan di Mabes Polri?
J: Kalau sekarang tidak tahu. Kapolri sekarang (Jenderal Timur Pradopo) sangat konsekuen memberantas itu dengan berbagai cara. Di era saya dulu, saya kira sudah dirilis media, sudah tahu siapa orangnya, bahkan sudah masuk penjara.

T: Jadi Polri sekarang lebih baik dari dulu?
J: Saya kira pastilah. Polri selalu mengadakan perbaikan-perbaikan. Saya lihat banyak keseriusan. Artinya jarum jam bergeser ke kanan. Apakah perbaikan itu sudah sempurna atau belum, tentu belum. Tapi menuju ke sana, saya lihat besar sekali.


T: Istilah cicak versus buaya, Anda yang sebut pertama kali. Belakangan istilah itu dipakai. Anda lihat hal yang sama?
J: Saya kira berbeda. Pengertian cicak buaya dulu dengan sekarang berbeda dan saya kira tidak boleh lagi kita sebut cicak buaya versi I, cicak buaya versi II. Kedua instansi itu sama, harus bersinergi dalam memberantas korupsi.

T: Polisi memandang KPK seperti apa?
J: Saya salah seorang tim perumus UU tentang KPK. Polri sangat setuju dengan kelahiran KPK, sangat mendukung. Saat KPK lahir, ketuanya polisi. Saat itu (KPK) tidak punya apa-apa. Personel ambil dari Polri, masih digaji Polri, mobil dipinjamin polisi, semua didukung polisi, jaksa, dan lain-lain. Tidak ada niat untuk menghambat KPK. Termasuk di era saya Kabareskrim pun kami mendukung.

T: Anda kan sebut cicak vs buaya karena Anda disadap?
J: Itu kan sudah berkali-berkali saya jelaskan bukan cicak vs buaya dalam statement resmi saya. Ada semacam pembelokan. Waktu itu memperbandingkan alat sadap. KPK baru beli alat sadap, Polri sudah punya alat sadap. Ditanya, sehebat apa alat sadap Polri dan KPK? Saya bilang, saya itu enggak tahu kekuatannya berapa. Tapi kebetulan di akuarium (di ruang kerja Kabareskrim) itu ada cicak. Saya bilang kalau diumpamakan binatang kaya cicak dan buaya. Tapi akhirnya menjadilah polisi itu buaya, cicak itu KPK.

T: KPK usut kasus di polisi (simulator SIM). Perasaan polisi bagaimana?
J: Saya kira tidak apa-apa. Kita itu jangan arogan, menunjukkan keunggulan institusi. Siapa saja boleh sepanjang sesuai aturan UU. Tidak ada rasa risih. Toh di KPK disidik oleh siapa? Disidik oleh polisi juga.


T: Sekarang ada penarikan-penarikan penyidik oleh Polri, Anda nilai ada keanehan?
J: Saya kira itu karena sedang ada pemberitaan seolah-olah KPK-Polri sedang bermusuhan. Penarikan polri itu jadi berita yang hot. Sebenarnya sejak saya jadi Kabareskrim, itu sudah biasa, rutin kita menarik.

T: Tapi penarikan kali ini masif, setelah Inspektur Jenderal Djoko Susilo jadi tersangka?
J: Penarikan itu sesuai dengan berapa orang yang berakhir masa jabatannya. Kalau yang berakhir tiga, ya tiga. Sebenarnya tidak ditarik. Kita beritahu ke pimpinan KPK akan berakhir, ini penggantinya. Tapi kalau sekarang, saya tidak tahu persis. Tapi di era saya hal yang biasa.

T: Jadi Anda tidak melihat ada sesuatu dibalik penarikan itu?
J: Di era saya tidak ada. Kalau sekarang, apakah ada atau enggak, saya enggak tahu. Apakah sudah berakhir atau belum (masa jabatan), apakah yang ditarik ini para penyidik kasus simulator atau bukan, saya tidak tahu.

T: Komisaris Novel Baswedan salah satu penyidik kasus simulator. Dia ikut ditarik Polri. Apakah wajar?
J: Kemudian timbul pertanyaan, apakah sudah berakhir masa tugasnya atau belum. Kalau ditarik karena menyidik kasus itu, lalu masa tugasnya belum berakhir, berarti tidak wajar.

T: Perlukah KPK punya penyidik independen?
J: Kalau dari semangatnya, KPK dibentuk sifatnya sementara dalam rangka memperkuat polisi dan jaksa. Yang waktu itu dinilai letoy. Alhamdulillah dengan adanya KPK sudah meningkat pemberantasan korupsinya. Sekarang pertanyaannya, apakah penyidiknya ditarik, apakah KPK perlu penyidik independen atau tidak. Saya kira semua penyidik di KPK independen. Penyidik polisi pun independen. Tapi kalau diartikan penyidik independen itu bukan dari polisi, jaksa, atau instansi lain, maka tergantung dari politik kita dalam berantas korupsi. KPK ini apakah akan kita jadikan lembaga tetap atau akan dijadikan lembaga yang sifatnya sementara. Kalau sifatnya sementara, maka tidak perlu. Tapi kalau dijadikan permanen, yah perlu, harus punya sendiri.


T: Kalau menurut Anda, apakah perlu KPK permanen?
J: Kalau saya berpandangan sesuai dengan maksud pembentukan dulu, itu bersifat ad hoc. Makanya tidak perlu berada di seluruh Indonesia, tidak perlu tangani seluruh kasus. Dia hanya kasus-kasus tertentu, sifatnya lebih untuk memacu lembaga Kepolisian dan Kejaksaan.

T: Jadi menurut Anda, KPK perlu permanen atau hanya sementara?
J: Kalau menurut saya, melihat kondisi sekarang bahwa korupsi belum tuntas, tetap ad hoc tapi panjang.

T: Kenapa KPK tidak perlu permanen?
J: Kan sudah ada lembaga Kepolisian yang berada sampai di seluruh penjuru. Sudah ada Kejaksaan. Itu yang ditugaskan. Kalau dua lembaga ini tidak beres, apakah kita akan buat lembaga baru? Ini bukan jalan keluar. Kalau jalan keluar seperti itu, maka Indonesia akan penuh lembaga. Akhirnya ini sebagai tanda negara dalam keadaan sakit.

T: Anda tangani kasus besar. Kasus Century termasuk besar. Kenapa?
J: Kan sampai sekarang cukup besar, Rp 6,7 triliun. Karena di kampung nenek saya, kantongi Rp 100 ribu sudah gede. Kalau triliun rupiah ditanya, saya jelaskan berbulan-bulan enggak ngerti.

T: Nilainya yang besar atau orang-orang yang terlibat juga besar?
J: Apakah orangnya punya jabatan besar, belum berani kita katakan. Di era saya dulu, orang yang dijadikan tersangka itu direksi bank dan owner bank. Baru sampai situ saya lengser (dari Kabareskrim). Semua terkait Century sudah saya sampaikan di hadapan Pansus DPR. Saya tangani tidak terkait politik, murni masalah kriminal.

T: Sejauh ini ada kejanggalan penanganan Century?
J: Saya pada posisi tidak menilai. Untuk menilai jalan di tempat atau tidak kan saya harus punya data.


T: Kalau dibandingkan dengan dulu?
J: Tidak elok menilai misalnya semasa saya bagus, setelah saya tidak bagus. Kalau perbedaan ada. Tapi kalau menyangkut kualitas, saya kira silakan publik yang nilai. Jangan saya yang nilai.

T: Bapak tidak berani menilai atau ada tekanan untuk tidak menilai?
J: Bukan tidak berani. Saya itu tidak pernah merasa tertekan, tidak pernah takut ditekan. Putusan kasasi sekarang kan terkait kasus-kasus yang pernah saya bongkar, mana pernah saya takut. Tapi kalau menilai diri sendiri, saya kira kurang elok.

T: Adakah hubungan kasus Anda dengan Century?
J: Saya tidak bisa ambil suatu kesimpulan. Kalau dikatakan kasus Century yang ungkap saya, iya. Yang tangkap Robert Tantular itu saya, iya. Kemudian ketua majelis kasasinya perkara saya sama dengan Ketua PK Misbakhun menurut pemberitaan itu. Disitu (Misbakhun) dibebaskan, kemudian saya disetel dihukum oleh orang yang sama. Itu hanya Allah yang tahu. Kalau publik mau nilai, silakan nilai sendiri.

T: Anda lihat ada kejanggalan proses perkara Anda di MA?
J: Ada. Kami sudah sampaikan ke MA di dalam memori kasasi, tapi tidak ditanggapi semua. Saat saya ditangkap lalu dijebloskan 10 bulan di sel, saya ini tidak pernah diperiksa. Tidak ada berita acara saya. Kedua, sebelum perkara saya di PN Jaksel diputus, dua hakimnya diganti. Masuk akal enggak? Mau diputus dua hakim diganti. Hakim yang tadi diganti nonton putusan saya.

T: Kenapa diganti?
J: Hanya hakimnya yang tahu. Dugaan saya ada something.

T: Anda mungkin siap dieksekusi. Tapi bagaimana keluarga, apakah siap?
J: Siap. Aku bangga sekali sama istri saya, sama anak saya. Beliau katakan, "Kita senang. Saya bangga punya suami, saya bangga punya ayah yang dihukum karena tidak bersalah." Kemudian, "Saya benci punya suami, benci punya ayah yang bersalah, tapi lepas, bebas berkeliaran. Saya tahu Bapak saya tidak bawa uang haram. Bapak saya berantas korupsi, bukan korupsi." Nangis saya dengar itu. Saya mati pun siap.

Penulis: Sandro Gatra
Editor : Laksono Hari W

http://nasional.kompas.com