Friday, November 16, 2012

Ketika Bahasa Agama Rontok


Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 tanpa dukungan partai agama mungkin dapat juga diartikan sebagai semakin rontoknya bahasa agama untuk merebut simpati pemilih, baik pada putaran pertama maupun putaran kedua.

Apa yang disebut Pawai Ikada sehari sebelum pemilihan yang diikuti oleh tokoh-tokoh partai pendukung Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli tidak ada pengaruhnya dalam raihan suara. Namun, itulah demokrasi dalam masa peralihan yang sedang berada dalam tahap kritikal. Rakyat Ibu Kota khususnya ingin bukti ketimbang janji sekalipun pembuktian itu masih harus ditunggu pada waktu-waktu yang akan datang.

Fenomenal dan Mengejutkan
Kemenangan di atas cukup fenomenal dan mengejutkan banyak pihak. Saya sendiri tidak terkejut karena Jakarta telah lama terpasung dalam suasana sumpek —sesak napas dan sunyi dari kegairahan— yang memang merindukan suasana baru yang lebih segar.

Ada empat masalah utama penyebab mengapa warga Jakarta sesak napas: macet, banjir, tajamnya kesenjangan sosial, dan kumuh. Itu sebabnya orang selalu mengenang Ali Sadikin karena banyak sekali terobosan dan perubahan positif yang telah dilakukan dengan penuh keberanian sebagai Gubernur DKI selama dua periode pada tahun 1970-an. Apakah Jokowi akan menjelma menjadi Ali Sadikin kedua, mari sama-sama kita tunggu kiprah selanjutnya. Jika pasangan tersebut berhasil, kepercayaan kepada kepemimpinan sipil bisa meningkat.


Karena sudah diatur sebelumnya, pada hari pemilihan gubernur DKI tersebut saya berkunjung ke Jakarta untuk menemui Jusuf Kalla (JK) di kediamannya. Kami berbincang-bincang tentang masalah-masalah bangsa dan negara, sesuatu yang biasa saya lakukan pada saat-saat tertentu. Tentang Jokowi, sekalipun hanya disinggung sambil lalu, ternyata JK-lah yang meyakinkan Megawati Soekarnoputri agar mengusung kader PDI-P itu untuk maju dalam pemilihan gubernur DKI.

Pertanyaan Mega kepada JK adalah: “Apakah Pak JK bisa menjamin Jokowi akan menang?” Dijawab: “Tidak bisa menjamin, tetapi saya yakin dia akan menang.” Dengan jawaban ini, maka muluslah jalan bagi Jokowi-Basuki untuk bertanding dalam pilkada yang mendapat sorotan publik dari dalam dan dari luar negeri itu.

Pada saat parpol-parpol Islam sedang banyak disoroti publik karena nyaris kehilangan pamor, beberapa parpol besar nasional lainnya yang sebenarnya tidak bebas dari aroma korupsi, toh menurut berbagai survei masih punya pendukung yang signifikan. Inilah di antara dilema sistem demokrasi Indonesia, yang tingkat peradabannya masih di bawah standar, karena sebagian besar politisi kita mengidap virus tuna-idealisme. Namun, kita percaya kondisi pengap semacam itu pasti pada saatnya akan menemukan jalan keluar untuk perbaikan.

Sulit kita temukan sekarang politisi yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati tentang keindonesiaan yang masih labil, dan sangat merindukan munculnya para negarawan visioner yang mencintai bangsa ini secara tulus dan mendalam. Transaksi politik untuk menggarong APBN/APBD dan BUMN/BUMD sudah menjadi perilaku harian sebagian politisi kita. Tak terkecuali mereka yang berasal dari parpol Islam. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan tak perlu kaget mengapa parpol Islam itu semakin tak diminati. Di atas itu semua, belum ada bayangan dari rahim parpol Islam akan muncul calon negarawan yang memberi harapan bagi masa depan bangsa ini.


Namun, orang jangan salah raba bahwa rakyat Indonesia benci agama. Sama sekali tidak. Secara diam-diam, di kalangan terbatas tengah berjalan proses Islamisasi kualitatif yang membesarkan hati.

Pengalaman saya baru-baru ini pada sebuah kampus yang biasa dicap sekuler, justru di sana telah muncul para doktor dan sarjana yang berhasil menangkap api Islam; ungkapan yang dulu dipopulerkan Bung Karno. Mereka sangat risau dan geram menyaksikan kultur kumuh yang terpampang jelas di panggung politik dan ekonomi. Mereka umumnya tak berasal dari kultur santri, tetapi telah menangkap dengan cerdas substansi ajaran Islam yang pro-keadilan dan kebersamaan, sesuatu yang langka terlihat dalam perilaku parpol Islam. Fenomena positif itu dapat ditemukan di berbagai institusi, kampus, dan pusat-pusat industri.

Demokrasi yang semestinya bertujuan menyejahterakan rakyat banyak, pada kenyataannya yang berlaku justru kebalikannya. Para elite yang menguasai panggung demokrasi sekarang ini terlihat lebih terpasung oleh tarikan pragmatisme sesaat. Politik dijadikan lahan pengais rezeki. Alangkah hinanya! Namun, itulah fakta keras yang sedang berlaku.

Bahasa agama yang sering digunakan parpol Islam seperti telah kehabisan tenaga untuk meyakinkan rakyat agar tetap mendukung partai itu. Akan halnya sekitar 49 persen rakyat Indonesia, jika parameter penghasilan 2 dollar AS per hari per kepala digunakan yang masih berada dalam kategori miskin, tidak dapat perhatian para politisi. Dengan demikian, tak kurang 120 juta dari hampir 250 juta total rakyat Indonesia masih miskin. Angka 49 persen ini saya dapatkan dari HS Dillon, Staf Khusus Presiden untuk Pengentasan Kemiskinan, pada 16 Oktober 2012.


Keberagamaan yang Otentik
Dalam bacaan saya, hampir tidak ada parpol mana pun yang secara sungguh-sungguh mencari solusi untuk menghalau kemiskinan. Semestinya parpol Islam memahami Islam adalah agama pro-orang miskin, tetapi pada waktu yang sama anti-kemiskinan. Sekiranya mereka memahami doktrin ini dan berupaya untuk mewujudkannya dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, maka ada harapan bahasa agama akan berwibawa kembali dan parpol Islam itu tidak perlu bernasib seperti sekarang ini.

Pendekatan spiritual inilah yang sepi dari kiprah mereka. Godaan kekuasaan dan kesenangan duniawi telah menutup mata batin mereka untuk beragama secara otentik. Akhirnya, siapa tahu Jokowi-Basuki yang tak mahir memakai bahasa agama —tetapi langsung melaksanakan pesan inti agama untuk membela mereka yang telantar dan tergusur— akan jadi fenomena baru perpolitikan Indonesia. Selamat bertugas Bung Jokowi-Bung Basuki. Harapan rakyat kepada Anda berdua sangatlah besar. Jangan kecewakan mereka!

Ahmad Syafii Maarif
Pendiri Maarif Institute
KOMPAS, 14 November 2012

Tuesday, November 6, 2012

Menguasai Sumber Daya dan Subsidi Energi


Pekan lalu Rapat Paripurna DPR menyetujui RAPBN 2013 menjadi UU. Rapat yang tidak dihadiri 260 anggota dewan itu seperti biasa menyisakan persoalan defisit dan subsidi.

Defisit —yang lagi-lagi mendorong kebiasaan berutang yang menjerat— kali ini mencapai Rp 153,3 triliun. Karena itu, pemerintah berniat menerbitkan surat berharga negara neto Rp 180,4 triliun, utang luar negeri Rp 19,5 triliun, dan utang dalam negeri Rp 500 miliar. Sementara total utang Pemerintah per Agustus 2012 mencapai Rp 1.957,2 triliun. Subsidi energi sendiri mencapai Rp 274,7 triliun dan nonenergi Rp 42,5 triliun. Sementara belanja pegawai Rp 241,1 triliun, belanja barang Rp 164,0 triliun, dan belanja modal Rp 216,1 triliun.

Sebelum persetujuan APBN itu diberikan DPR, banyak kalangan menyetujui subsidi dikurangi sebagaimana pengalaman pada tahun 2005 dan 2008. OECD sendiri setelah 1 November 2010 meminta Pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya mencabut subsidi, lagi-lagi pada 27 September 2012 mengkritik belanja subsidi energi. Sekjen OECD Angel Gurria mengatakan, “Indonesia perlu mengurangi subsidi energi untuk bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.” Sisi lain, gugatan PP Muhammadiyah dan LSM atas UU 22/2001 tentang Migas, hingga kini belum diputuskan MK di tengah UU itu sendiri memang cacat.

Sejurus persetujuan DPR itu diberikan, Persatuan Insinyur Indonesia BKT Perminyakan mengadakan diskusi. BP Migas, Rahmat Sudibyo, dan Iin Arifin Takhyan setuju dengan cara pandang Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU 22/2001. Sementara Hikmahanto Juwana lebih pada memasalahkan pengertian negara menguasai seperti diamanatkan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD1945 serta kontrak Migas yang berpihak kepada kepentingan nasional. Saya sendiri berposisi sebagai sosok yang berbeda dengan para pembicara lain.


Dalam mengurai hak negara menguasai sumber daya, Hikmahanto merujuk UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Menurutnya, tidak ada interpretasi tunggal dari istilah dikuasai oleh negara. Interpretasi itu mencakup keterlibatan negara, negara sebagai regulator, negara memberi kewenangan kepada pemerintah dan BUMN, dan memberi peran badan usaha nonpemerintah. Sementara itu, UU 22/2001 tentang Migas memberi pemahaman bahwa Migas memang dikuasai negara dan pemerintah sebagai kuasa pertambangan.

Sebagai kuasa pertambangan, pemerintah membentuk badan pelaksana. Namun, MK berpendapat wewenang penguasaan oleh negara hanya ada pada pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan usaha. Berdasarkan hukum administrasi negara, kewenangan itu bisa dilimpahkan (delegation of authority). Maka ketika badan usaha diberi wewenang, akibatnya penguasaan negara atas sumber daya menjadi hilang. Adapun menurut UU 44/1960 tentang Migas dan UU 22/2001 sendiri, penguasaan negara pada tataran nyatanya dilakukan oleh entitas. UU 44/1960 menunjuk entitas itu pada Pertamina sementara UU 22/2001 menunjuk entitas itu BP Migas.

Kajian Hikmahanto perlu dilengkapi dengan merujuk pada UU 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan KUH Perdata. Menurut penjelasannya, karena negara merupakan organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, perkataan dikuasai dalam UU 5/1960 pasal 2 ayat (1) bukanlah berarti dimiliki, tetapi memberi wewenang kepada negara untuk melaksanakan pasal 2 ayat (2) tadi. Lalu, kita bisa menganalogikan masalah itu pada konsep KUH Perdata dalam lingkup hukum benda (bergerak atau tidak). Untuk hal ini konsep bezit dapat diaplikasikan.


Menurut KUH Perdata, bezit adalah suatu keadaan di mana seseorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi dengan tidak memasalahkan hak milik itu sebenarnya pada siapa. Konsep ini seharusnya diaplikasikan melalui prinsip dan proses bahwa sebagai pemegang kedaulatan, rakyat adalah pemilik sumber daya. Melalui pemilu, rakyat memberikan kekuasaan dan kewenangan kepada sosok atau partai yang dipilihnya untuk menjalankan apa yang dikampanyekan dan dipercayakan dengan tetap berpijak pada konstitusi.

Catatan terpentingnya adalah, hasil pemilu harus dalam rujukan menjalankan amanat konstitusi. Amanat, proses dan kesesuaian ini yang melahirkan pemenang pemilu adalah bezitter, yakni partai atau orang yang menguasai suatu benda bergerak (sumber daya) atau tidak bergerak (jabatan pada negara Republik Indonesia) menjalankan kekuasaan dan kewenangannya sesuai dengan kontrak politik dan tidak bertentangan dengan amanat konstitusi.

Para teknokrat, birokrat, dan politisi seakan tidak peduli bahwa konsep negara menguasai sumber daya berhubungan secara sistematik dengan pengertian hajat hidup orang banyak, juga tidak menyentuh apakah energi itu barang komersial atau bukan. Padahal, hal tersebut berdampak pada harga jual atas barang yang dibutuhkan setiap orang. Di sana, persoalan tersebut berhubungan dengan subsidi. Lalu, apa pengertian subsidi?

Saya pun belum bisa menjumpai peraturan perundang-undangan yang mendefinisikan pengertian subsidi. Nota Keuangan dan APBN 2012 Bab IV halaman 85 menjelaskan, subsidi merupakan alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat.


Kemudian ditegaskan lagi, subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/ lembaga yang menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak jenis tertentu (BBM dan BBN), liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram, dan tenaga listrik, sehingga harga jualnya terjangkau masyarakat. Penerjemahan pada APBN seperti inilah yang membuat perdebatan keras antara saya dengan almarhum Widjajono Partowidagdo dan Harry Azhar Azis.

Semestinya pengertian subsidi diposisikan dulu sesuai dengan konstitusi, yakni alokasi belanja pemerintah dalam rangka memenuhi tugas konstitusi: APBN dalam rangka untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kalau ini pengertiannya, tidak mungkin kita langsung menerapkan hitungan seperti di atas, sebab kita harus mengoptimalkan dulu sumber daya dalam negeri. Optimalisasi ini berujung pada biaya penyediaan sendiri atas energi. Kekurangannya kita impor, yang juga mempunyai perhitungan sendiri.

Syaratnya, baik penyediaan sendiri karena menggunakan bahan baku dan mesin kilang sendiri maupun impor minyak olahan, tidak sesen pun dikorupsi. Gabungan atas dua harga itulah yang saya minta pada Banggar DPR, 12 Maret 2012 dan saya sampaikan di MK pada 06 Juni 2012. Lagi-lagi yang muncul adalah keinginan Kementerian ESDM yang menaikkan harga per triwulan sebesar Rp 500/liter.

Maka kesimpulannya adalah, kita senang menyelesaikan masalah pada ranting atau dahannya. Akar masalahnya sendiri tak pernah kita konstruksi dan rekonstruksikan. Ini sekadar bukti bahwa negara memang sudah kalah melawan pasar.

Ichsanuddin Noorsy
Ekonom
Koran SINDO, 2 November 2012

Thursday, November 1, 2012

Generasi Bingung Bahasa


Seorang presenter radio terkenal, juga guru komunikasi yang andal, datang ke Rumah Perubahan beberapa hari lalu. Di sekolah komunikasinya yang banyak diminati kaum muda, juga di program radionya, ia menemukan semakin banyak anak muda yang bingung berbahasa.

Ingin berbahasa Inggris tapi kurang pas. Membuka percakapan dengan guru dalam bahasa Inggris tapi patah-patah. Bingung memilih kata, apalagi pengucapannya. Bunyinya tak jelas. Namun, begitu dilayani dalam bahasa Inggris, dijawab pakai bahasa Indonesia yang juga tak jelas. Mungkin masih lebih jelas bicara dengan saudara kita di belahan timur Indonesia yang bahasanya makin singkat.

Seperti “sapi nonton bola” yang berarti “saya pergi nonton bola” atau di paling barat saat orang Aceh mengatakan air kelapa dengan “ie u”. Tapi di mana pun mereka bersekolah, masalah yang dihadapi tetap sama: anak-anak kita sungguh lemah mengungkapkan gagasan tulisan dalam bahasa Indonesia. Sehingga berapa pun tingginya IPK akademis mereka, tetap saja sulit siap pakai untuk bekerja karena tak bisa diminta membuat laporan, proposal, atau bahkan minute of meeting sekalipun.


Bahkan banyak calon doktor yang gugur pada tahap penulisan kesimpulan disertasinya. Selain bingung bahasa juga muncul generasi alay yang gemar menggabungkan huruf dengan angka dan simbol. Meski menyulitkan, orang tuanya ternyata ikut-ikutan alay. Beruntung masalah bahasa belum menimbulkan perpecahan bangsa.

Tapi di Filipina, keretakan hampir terjadi karena bahasa anak muda yang dikenal dengan istilah jejemon cukup membuat Menaker-nya khawatir keunggulan daya saing tenaga kerja Filipina di dunia internasional akan terganggu. Pasalnya mereka hanya saling mengerti di antara mereka, sedangkan bahasa Inggris tak lagi dipahami.

Menjelang Hari Sumpah Pemuda akhir pekan ini, ada baiknya kita merenungkan kembali sumpah para pemuda pada tahun 1928 yang menyadari pentingnya bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia tengah mengalami ujian yang berat, baik melalui gempuran budaya pop, bahasa asing maupun sikap mental orang kalah yang membentuk mentalitas pecundang. Namun lebih dari itu, masih adakah tokoh yang mau mengawal persatuan melalui bahasa yang indah ini?


Menghilangnya Ahli Bahasa
Siapakah ahli bahasa Indonesia yang sekarang dapat menjadi anutan kaum muda? Bila dulu ada mendiang Anton Moeliono dan Yus Badudu, mungkin sekarang kita sulit mencari anutannya. Padahal nama-nama mereka di era TVRI dulu tidak kalah populer dengan Rhoma Irama. Namun nama-nama ahli bahasa sekarang tenggelam, tak bisa mengimbangi ahli ekonomi dan politik, apalagi musisi dangdut atau stand up commedian.

Untuk mengambil hati kaum muda, bahasa Indonesia juga butuh role model, bahkan “selebritas” yang tak kalah persuasif. Namun apakah benar pemerintah menaruh perhatian dalam membina bahasa persatuan ini? Bila untuk sila pertama Pancasila saja negara rela mengucurkan dana besar mencetak sarjana-sarjana agama, berapa besar negara mengucurkan dana untuk mencetak sarjana bahasanya sendiri?

Saya bahkan khawatir, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak lagi diberikan oleh guru-guru hebat seperti yang pernah dialami generasi saya. Padahal kini Direktorat Kebudayaan sudah berada di bawah kendali Kementerian Pendidikan. Bahkan wakil menterinya sudah ada. Yang belum ada adalah insentif untuk menumbuhkan kecintaan orang muda dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Juga belum terlihat studi bahasa sebagai studi yang menarik.

Masa depan lulusan ilmu bahasa, apalagi bahasa Indonesia, belum dipikirkan dengan baik. Bidang studi ini praktis hanya bisa menerima mahasiswa yang paling sedikit, lalu fasilitasnya juga jauh dari memadai. Saya kira beasiswa yang tersedia juga tidak banyak. Kalaupun ada, ia kalah populer dengan ilmu komputer yang sedang seksi. Tidak bisakah dilakukan intervensi yang lebih menarik? Yang jelas, ilmu bahasa, terlebih bahasa persatuan, memerlukan revitalisasi yang amat serius.

Ilmuwan bahasa juga perlu menjelajahi bahkan mengawinkan ilmunya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mengembalikan kejayaan bahasa persatuan. Bagi saya bahasa adalah pemandu karakter bangsa, pemersatu sekaligus pembentuk masa depan. Hanya dengan bahasa yang baik, negeri ini mampu menghasilkan politikus-politikus yang bijak atau ilmuwan kelas dunia.


Bahasa Pecundang
Tentu saja kerancuan bahasa bukanlah semata-mata masalah bahasa dengan segala elemen yang dipelajari ilmuwan bahasa. Bahasa adalah cerminan watak dan merupakan ungkapan pikiran bangsa. Setiap kali memasuki era baru, tak dapat pula dimungkiri suatu bangsa pasti mengalami kegalauan. Di era demokrasi kita menyaksikan kegalauan-kegalauan itu dengan manusia-manusia yang beralih dari kepribadian yang terbelenggu dan pasif menjadi agresif dan bahkan lepas kendali.

Kita belum benar-benar memiliki pemimpin dengan kualitas bahasa yang mampu menghormati dirinya sendiri sekaligus respek terhadap orang lain. Manusia assertive yang harus kita bangun masih jauh panggang dari api. Maka setiap kali menyaksikan tayangan-tayangan demokrasi di televisi yang diramaikan politisi, pengamat, LSM, dan akademisi (apalagi kalau ada pengacara), masyarakat hanya bisa merasakan kegalauan dan bingung bahasa.

Bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa bangsa yang berbahagia, melainkan bahasa campuran antara kepentingan ekonomi, transaksional, kekuasaan, dan ketidakpuasan. Bahasa kemenangan yang menimbulkan rasa kebahagiaan tenggelam di antara prahara politik uang dan kekuasaan yang hanya melahirkan bahasa kaum pecundang. Ya itulah bahasa orang-orang kalah yang menurut psikolog Denis Waitley sebagai ungkapan cara berpikir orang-orang yang akan bermuara pada kekalahan.


Kaum pecundang akan selalu menyuarakan ketidakmampuan, ketiadaan sumber daya dan permodalan (constraint, not opportunity), rasa sakit yang ditonjolkan (“the pain”, notthe gain”), alasan-alasan yang dibuat (bukan solusi), ancaman dan konflik (bukan persaudaraan dan kepedulian), terkurung oleh masa lalu (bukan melihat ke depan), menyerang atau menyalahkan orang lain (bukan menunjuk dirinya sendiri sebagai sumber masalah), tahu sedikit tetapi bicaranya banyak (bukan banyak mendengar meski sudah banyak tahu), dan seterusnya.

Makanya kita lebih banyak memiliki provokator daripada pekerja sosial, lebih banyak koruptor yang tak tahu malu ketimbang pemberi kurban yang ikhlas. Kita lebih banyak melahirkan “motivator” ketimbang wirausaha sungguhan karena sudah merasa serba mengerti meski usahanya belum seberapa besar. Kita lebih banyak menemukan orang yang ingin jalan pintas dengan jurus sukses dua menit ketimbang kerja keras atau lebih memilih “cara kepepet” daripada melakukan “persiapan” yang panjang.

Bahasa adalah soal rasa, dia berinteraksi dengan aneka motivasi, kejadian, dan tuntutan zaman. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mungkin jauh lebih penting ketimbang armada nasional, infrastruktur fisik, atau alat-alat persatuan lainnya. Yang jelas, daya tariknya harus diangkat kembali setinggi bintang-bintang di langit.

Rhenald Kasali
Ketua Program MM Universitas Indonesia
Koran SINDO, 25 Oktober 2012