Friday, February 22, 2019

Mendengar Denny dan Rizal, Mengerti Rocky Gerung

Rizal Mallarangeng dan Denny JA.

Mari kita lihat apa yang terjadi dengan tiga sosok ini. Siapa yang berubah?

Jagat intelektual politik beberapa hari ini diisi oleh kritikan dua orang doktor (Ph D) ilmu politik dari Ohio States University USA, yaitu Denny JA dan Rizal Mallarangeng. Mereka berdua pada dasarnya menyerang sikap dan tingkah laku politik Rocky Gerung yang sangat agresif menyerang Presiden dan juga Calon Presiden Joko Widodo.

Rocky menggunakan idiom “Akal Sehat” untuk seluruh narasi dan pernyataan negatifnya terhadap Jokowi. Sedangkan terhadap para pendukung Jokowi, Rocky menggunakan ungkapan yang tidak kalah galaknya: “Para Kecebong dengan IQ 200 sekolam”. IQ 200 itu tinggi dan super tetapi jadi bermasalah dan berpotensi menghina jika dia dibagi kepada kecebong sekolam !!!

Rizal Mallarangeng, Denny JA dan Rocky Gerung.

Kedua mantan aktifis mahasiswa tahun 1980-an ini kemudian mengulas panjang lebar arti dan makna dari “Akal Sehat”. Kamus dan Dictionary dibuka, ditelaah dan dikupas. Denny JA sampai pada sebuah kesimpulan: Rocky Gerung sudah tidak imbang dalam narasinya. Dia menggunakan idiom “Akal Sehat” hanya untuk menyerang Jokowi tetapi tidak pernah sekali pun dia menyerang Prabowo.

Di tangan Rocky Gerung, akal sehat sudah dimiskinkan, didangkalkan bahkan disalahgunakan untuk mengkritik Jokowi saja, dan tidak untuk Prabowo,” demikian ‘grendengan’ Pemimpin Tertinggi Lembaga Survey LSI Denny JA itu.

Segendang dan sepenarian, hal itu diungkapkan juga oleh Rizal Mallarangeng. Dia meminta Rocky bertindak lebih ‘fair’ dan berimbang untuk juga mengkritik Prabowo. Mereka tidak habis mengerti kenapa Rocky menolak mengkritik Prabowo. Padahal Prabowo adalah Capres yang menawarkan visi dan misi, yang tentu saja bisa dikritik dan dibedah dengan pisau intelektual dan tentu saja dengan “Akal Sehat”.

Denny Januar Ali, alias Denny JA.

Pertemanan
Saya mengenal Denny JA sejak lama, sekitar pertengahan tahun 1980-an. Dia seorang intelektual mahasiswa yang cukup punya nama. Dia adalah mahasiswa Fakultas Hukum UI, yang aktif di Kelompok Studi Mahasiswa, yang merupakan wadah cair dan tidak mengikat bagi mahasiswa kritis yang mencoba melawan rezim Orde Baru dari ‘bawah tanah’ setelah lembaga resmi Dewan Mahasiwa diberangus oleh Soeharto dan antek-anteknya.

Dengan beberapa mahasiwa yang kritis, dia aktif di Kelompok Studi Proklamasi (KSP) di bawah bimbingan Djohan Effendi, sebelum jadi Menteri Sekneg pada masa Presiden Gus Dur. Dari sanalah Denny memulai kiprahnya dalam kancah intelektual nasional.

Sedangkan dengan Rizal Mallarangeng saya tidak kenal. Tetapi, namanya cukup tenar sebagai aktivis mahasiswa dari Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Saya cukup sering membaca tulisannya di media massa. Hanya sebatas itu persinggungan saya dengan dia.

Andi Rizal Mallarangeng, alias Rizal Mallarangeng.

Dengan Rocky saya kenal lebih awal. Kami sama-sama tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UI. Dia masuk tahun 1979 sedangkan saya tahun 1981. Pernah tiga atau empat kali mengambil mata kuliah yang sama. Kami pernah saling uji pikiran dalam mengajukan dan membandingkan makalah di depan kelas. Dalam hal diskusi dan menyampaikan pikiran itu, harus saya akui, dia jagonya. Dia sangat pandai mencari gaya bahasa dan diksi yang tepat, efektif dan memukau serta menguasai ruang pikir kita. Untuk hal satu ini, Rocky sukar dicari tandingannya.

Karena itu, saya merasa tidak asing dengan perkembangan pemikiran Rocky Gerung sejak dia mulai bertumbuh di FIS UI, kemudian mekar di Jurusan Filsafat UI dan mencapai puncaknya ketika dia aktif di Forum Kelompok Sosialis yang berkawan akrab dengan Marsillam Simanjuntak, Rahman Tolleng, dan Sjahrir.

Note: Forum Kelompok Sosialis itu hanya penamaan dari saya saja. Saya tidak tahu persis mereka berwujud di mana dan apa saja, bisa di SOMAL (Sekretariat Bersama Organisasi Mahasiswa Lokal), IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta), Forum Mahasiwa Independen (Formasi) atau di Forum Demokrasi (Fordem), sebuah forum yang dibentuk untuk mendukung Gus Dur pada masa Orde Baru ketika dia mengambil posisi melawan Orde Baru secara lebih lembut dan tidak frontal.

Rocky Gerung.

Kecenderungan Ideologis
Apakah yang membedakan Denny-Rizal di satu sisi dengan Rocky di sisi yang lain dalam narasi dan tingkah laku politik mereka? Dalam pandangan saya, Rocky relatif lebih patuh dan konsisten dengan ideologi yang dia anut. Mungkin berlebihan kalau saya katakan, dia merupakan seorang ideolog kaum kiri yang tumbuh dan berkembang di Jakarta dan sekitarnya. Dia fasih menjelaskan di dalam ceramahnya tentang hubungan antara sosialisme dan demokrasi. Sebuah Jargon Besar orang-orang kiri adalah: Kekuasaan itu harus diawasi dan dikritisi. Sebab, kalau tidak, dia akan jadi banal dan menindas.

Di sinilah kita bisa mengerti, mengapa dia menolak untuk mengritisi Prabowo. Sebagai Capres, Prabowo belum menjadi Rezim. Tidak appeal to appeal mengkritik Jokowi pada saat yang sama mengkritik Prabowo. Saya hadir ketika dia memberikan pendapat di depan Prabowo di Taman Mini itu.

Prabowo baru mengajukan cita-cita, visi dan misi. Sedangkan Jokowi sudah memerintah selama empat tahun. Karena itu tidak adil kalau saya mengkritik Prabowo sekarang. Saya baru akan kritik Prabowo 12 menit setelah dilantik jadi Presiden,” demikian kata Rocky.


Lalu apakah ideologi Denny dan Rizal? (Noted: saya tidak perlu menjelaskan lagi apa itu ideologi, sebab Denny dan Rizal sudah pasti lebih tahu dari saya) Maaf, saya tidak tahu secara persis tetapi saya bisa mendeskripsikan dari tingkah laku politik mereka. Mungkin ketika mahasiwa, mereka lebih condong kepada sosialisme karena tidak menyukai kemapanan dan establisme Orde Baru. Mereka lebih ke kiri sedikit. Tetapi, setelah mereka menjadi mapan, ideologi mereka berubah ke kanan.

Saya bisa menyebutkan betapa Rocky Gerung hampir tidak pernah berubah dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Sewaktu kuliah, hampir tidak pernah saya lihat dia pakai kemeja. Dia selalu memakai kaos bekerah. Sebagian besar kaosnya itu berwarna putih. Sejak muda dia memang berkacamata. Hampir setiap saat jika kacamatanya kotor, dia mengelapnya dengan ujung kaosnya. Tidak pernah dia memakai lap khusus kacamata. Begitu humble-nya dia.

Sekarang, saya lihat, dia tetap relatif hampir tidak berubah. Dia tetap memakai jeans seperti waktu mahasiswa. Walau kini sering terlihat memakai kemeja, tetapi kaos berkerah belum bisa lepas sepenuhnya dari dirinya. Ketika hadir dalam acara Prabowo di Taman Mini bulan lalu itu, dia tetap memakai kaos berkerah, celana jeans dan sepatu kets. Pikiran sosialisnya diterapkannya tanpa sadar dalam cara dia berpakaian.


Kondisi ini berlainan dengan Denny dan Rizal. Denny pernah menyatakan sewaktu mahasiswa dia adalah orang miskin dari Palembang yang harus bertahan hidup di tengah egoisme dan sikap cuek Jakarta. Karena itu, ketika dia punya kesempatan untuk berubah maka dia mengubah segalanya dalam hidupnya, baik orientasi maupun sikap politik. Sekarang dia adalah seorang surveyor dan konsultan politik yang terkenal. Ratusan bahkan ribuan [sic!] calon kepala daerah sudah dia bantu menjadi kepala daerah dengan survey yang dibuatnya dan konsultansi yang diberikannya. Ini tentunya memberikan finansial yang sangat besar baginya, serta dengan sendirinya mempengaruhi mobilitas sosial dan ekonominya.

Saya tidak tahu apakah Rizal juga mengalami masa melarat seperti Denny saat dia berangkat dari Makassar ke Yogya. Tetapi, dengan aktif di Kelompok Studi Mahasiswa di kampusnya (UGM), memberikan petunjuk bahwa semasa mahasiswa dia kurang suka kepada kemapanan. Sikapnya itu berubah setelah kembali dari Ohio dan menjadi orang yang sangat dekat dengan Aburizal Bakrie, pengusaha besar dan ketua umum DPP Golkar 2010-2015. Dia juga sangat dekat dengan SBY, Presiden 2004-2014, walaupun kemudian kasus Andi Mallarangeng, kakaknya, membuat hubungannya dengan SBY merenggang.

Dari Ramadhan Pohan, teman Denny juga, saya pernah dapat info bahwa sampai sekarang Rocky tetap naik busway kalau mau pergi ke suatu tempat. Kegiatan itu baru dikuranginya setelah dia menjadi terkenal di mana begitu banyak orang meminta dan menyiksa dia dengan selfie.

Sementara itu, saya tidak tahu apakah Denny dan Rizal masih suka naik busway, seperti ketika mahasiswa, setelah mereka sukses mengoleksi banyak mobil Mercy dan BMW?


Tulisan pendek saya ini hanya untuk mencoba mengerti mengapa Denny dan Rizal ‘kesal’ terhadap Rocky dan meminta agar, sebagai pengamat, Rocky netral dalam bersikap. Tidak hanya mengecam Jokowi tetapi tidak bersuara bila terhadap Prabowo.

Wajar mereka bersikap seperti itu. Sekarang Rizal adalah Ketua DPD I Partai Golkar Jakarta yang jelas-jelas mendukung Jokowi. Sedangkan Denny JA bersikap sangat Jokowers dengan sejumlah meme dan tulisannya. Apakah dia dan LSI-nya mendapat order dari Jokowi? Saya tidak tahu. Tetapi, hampir tidak terlihat Denny memberikan kritik kepada Jokowi. Apakah orang tidak menilai Denny JA sama saja dengan Rocky tetapi dengan objek yang berbeda?

Tentu saja, tulisan ini tidak berpretensi memvonis siapa yang benar dan siapa yang salah dalam mengambil sikap dan tingkah laku politik mereka. Apakah Denny dan Rizal benar dan Rocky salah? Semua ada latar belakang dan semua ada sebab musababnya. Terpulang kepada pembaca untuk memberikan penilaian.

Ramadhani Aksyah,
Jurnalis Senior
REPUBLIKA, 17 Februari 2019

Wednesday, February 13, 2019

Simalakama Digitalisasi untuk Media Jurnalistik


Bagaimana menghadapi kawan sekaligus lawan? Bagaimana memperlakukan kompetitor yang juga kolaborator? Inilah yang sedang dihadapi industri media terkait mesin pencari, agregator berita, dan media sosial.

Frenemy! Kata ini sering digunakan untuk menjelaskan ambivalensi posisi media baru di hadapan media lama. Kawan (friend) sekaligus lawan (enemy). Nikos Smyrnaios (2015) memiliki padanan lain: coopetition: kerja sama (cooperation) sekaligus persaingan (competition).

Disebut “kawan” karena mesin pencari, agregator berita dan media sosial memudahkan produksi dan distribusi berita. Hari ini menjadi wartawan menjadi lebih mudah. Informasi, data, dan perspektif begitu melimpah.

Distribusi berita juga memiliki banyak opsi. Wartawan dapat mengunggah berita di akun Facebook pribadi. Kunjungan ke portal berita sebagian besar diperantarai mesin pencari atau agregator berita. Stasiun televisi dapat promosi siaran di kanal Youtube. Dalam konteks ini media baru adalah “kawan”.


Namun, media baru juga menjadi “lawan” karena mereka sesungguhnya juga perusahaan media yang hidup dari proses komodifikasi informasi. Media baru bertarung langsung dengan media lama, berebut perhatian khalayak dan kue iklan. Mereka bahkan memanfaatkan pasokan berita dari media jurnalistik dengan cuma-cuma.

Besaran dan kapitalisasi media baru bertumbuh dengan pesat, sementara media lama yang mereka manfaatkan pasokan beritanya justru menyusut.

Lalu, apa makna jurnalisme sebagai “isme” ketika orang dapat leluasa menyebarkan tulisan yang apriori, sepihak, dan menghakimi? Apa makna jurnalisme jika tulisan semacam itu juga diperlakukan sama dengan tulisan yang memenuhi kaidah jurnalistik baku?

Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2017) menjelaskan fenomena runtuhnya standar penilaian ilmiah. Euforia media sosial ditandai dengan ketidakmampuan kolektif untuk membedakan antara yang informatif dan spekulatif, yang proporsional dan yang berlebihan, bohong dan fakta.


Dilema jurnalistik
Runtuhnya standar penilaian ilmiah menimbulkan dilema bagi pengelola media jurnalistik. Apakah mesti mengikuti model penyajian informasi yang instan, patah-patah, sepihak, khas media sosial?

David Levy, Direktur The Reuters Institute for the Study of Journalism Universitas Oxford, mengingatkan, jika media jurnalistik mengikuti model penyajian informasi demikian, mereka  sebenarnya sedang terjerumus ke habitat kompetitor: Facebook, Twitter, Youtube.

Untuk bertahan hidup, media jurnalistik perlu menyajikan hal yang berbeda dan lebih baik.  Namun, yang berkembang justru sebaliknya. Banyak media jurnalistik mengikuti tren penyajian informasi yang instan, patah-patah, ekspresif ala media sosial. Dilema digitalisasi ini juga terlihat saat pengelola media jurnalistik mendapat tawaran kolaborasi dengan raksasa digital seperti Google dan Facebook.


Juni 2015, Google meluncurkan proyek News Lab untuk mengasah kemampuan jurnalis memanfaatkan aplikasi atau fitur Google untuk mencari, verifikasi, dan analisis data.

Untuk merespons Facebook Instant Articles, Google juga meluncurkan Accelerated Mobile Pages (AMP) Februari 2016. Sebuah proyek open source untuk penyajian berita menarik dan cepat dalam format mobile.

Ketika digitalisasi telah menjadi keniscayaan, inisiatif kolaborasi membuka peluang baru bagi media jurnalistik. Namun, sesungguhnya News Lab, AMP, juga Digital News Initiative, adalah “proyek rayuan” untuk pengelola media jurnalistik. Latar belakangnya adalah sejumlah gugatan hukum terhadap Google di Eropa karena memanfaatkan konten jurnalistik secara sepihak, tanpa imbal balik ke media produsen.

Raju Narisetti (atas) dan Sasha Koren (bawah).

Raju Narisetti, CEO of Gizmodo Media Group, menilai “proyek rayuan” itu sebagai kerja sama timpang. Google mendapat nama baik dan legitimasi memanfaatkan berita dari media jurnalistik. Media jurnalistik mendapat transfer teknologi. Namun, apakah teknologi itu dapat diolah untuk keuntungan ekonomi?

Kerja sama ditawarkan karena mereka membutuhkan pasokan informasi lebih banyak, pengguna lebih banyak, data pengguna internet (user behavior data) lebih banyak, untuk pengembangan produk kecerdasan buatan, machine-learning dan iklan digital tertarget.

Pada pengelola media jurnalistik yang ada adalah coba-coba. Setelah mengaplikasikan AMP untuk optimalisasi berita, mereka meraba-raba bagaimana monetisasinya.

Menurut Sasha Koren, editor The Guardian US Mobile Innovation Lab, pengelola media jurnalistik umumnya tidak tahu persis cara AMP bekerja. Bagi mereka, mesin pencari dan algoritma adalah kotak hitam, bahkan saat dalam genggaman.

Google dan Facebook, dua raksasa digital yang mendominasi jagat maya saat ini.

Beban berat
Inisiatif kolaborasi seperti News Lab, AMP, Digital News Initiative juga Facebook Instant Articles tetap menjadi beban berat media jurnalistik karena tidak tahu caranya menopang hidup media jurnalistik.

Seperti ditegaskan Koren, mereka semakin jauh terikat pada model kemitraan dengan Google, Facebook, dan lain-lain, karena masyarakat terkondisikan mengonsumsi dan mencerna informasi dengan aplikasi dan fitur mereka.

Akhirnya media jurnalistik  sangat terdikte oleh Google dan Facebook. Sementara urusan bertahan hidup, mereka mesti mencari jalan sendiri-sendiri.

Grant Whitmore (tengah) dkk. dalam suatu acara Daily News Innovation Lab.

Mengutip Grant Whitmore dari The New York Daily News, kebaikan-kebaikan Google, Facebook, dan lain-lain tidak sepenuhnya altruistik. Semakin banyak mereka membantu, semakin dalam kita tergantung pada mereka ....

Kita membutuhkan jurnalisme bermartabat untuk melawan hoaks. Namun, untuk bertahan hidup saja media jurnalistik sudah susah dan sangat kerepotan.

Jadi perlu langkah-langkah afirmatif untuk menopang daya hidup media jurnalistik di tengah lanskap media yang demikian pesat berubah.

Agus Sudibyo
Head of New Media Research Center ATVI Jakarta
KOMPAS, 12 Februari 2019

Monday, February 4, 2019

Prabowo Istimewa Di Mata K.H. Maimoen Zubair


Prabowo sowan ke KH Maimoen Zubair. Tokoh dan ulama kharismatik Jawa Tengah. Kehadiran Prabowo disambut istimewa oleh KH Maimoen Zubair. Bahkan teramat istimewa.

Sebelumnya, Ma’ruf Amin juga diantar Romahurmuziy, ketum PPP, silaturahmi ke pengasuh salah satu pesantren di Sarang, Rembang ini. Tapi tak sesyahdu dan sesakral sambutannya kepada Prabowo. Lima hari sebelumnya, (24/9/2018) menristek Muhammad Nasir juga sowan ke pesantren Al-Anwar Sarang ini. Tapi tampak biasa.

Apa yang membedakan sambutan KH Maimoen Zubair ke Prabowo dari yang lainnya? Pertama, KH Maimoen Zubair meminta khusus kepada putra keduanya, KH Najih Maimoen Zubair untuk menyambut kedatangan Prabowo di jalan raya.

Biasanya, KH Maimoen Zubair menunggu tamu di dalam rumah. Jika tamunya khusus, kyai sepuh ini mengajak sejumlah putranya menjamu tamu di dalam rumah. Hanya kadang-kadang beliau minta kepada salah satu putranya yang lebih muda untuk menyambut tamu di depan rumah.


Kali ini, ada perintah khusus kepada KH Najih Maimoen Zubair, untuk menyambut Prabowo di jalan raya. Sementara KH Kamil Maimoen Zubair, putra ketiganya, menyambutnya di depan panggung yang telah disiapkan untuk Prabowo. Ini tentu istimewa. Jarang-jarang tamu mendapat sambutan seistimewa ini.

Kedua, KH Maimoen Zubair mendoakan Prabowo jadi presiden. Doa ini dibacakan dengan bahasa Arab oleh Sang Kyai di hadapan Prabowo dan ribuan santri serta tamu undangan. “yakuuna imaaman Indonesia”. Semua yang hadir mengaminkan. Doa itu eksplisit, “sharih” dan semua yang mendengarkan mengaminkan.

Bagi santri Sarang, ketika dalam konstelasi politik, Mbah Yai, panggilan akrab KH Maimoen Zubair, berkenan mendoakan calon itu jadi, itu istimewa. Dalam urusan politik, KH Maimoen Zubair sangat jarang berkenan mendoakan seseorang secara terang-terangan di depan publik. Ini semata-mata dalam rangka menjaga agar tak ada ketersinggungan dari pihak yang berbeda pandangan politiknya.


Ketiga, saat Prabowo dalam sambutannya mengatakan bahwa ia sowan ke Sarang tidak dalam rangka minta dukungan, karena ulama dan kyai itu posisinya di atas. Saya diterima saja oleh Romo Kyai Haji Maimoen Zubair di sini sudah sangat senang. KH Maimoen Zubair spontan tepuk tangan, lalu diikuti oleh para santri dan semua yang hadir.

Seorang santri pun, meski sudah tahunan nyantri, belum tentu pernah menyaksikan KH Maimoen Zubair tepuk tangan. Kali ini Sang Kyai mengawali tepuk tangan yang sontak diikuti tepuk tangan para santri dan semua tamu yang hadir. Pemandangan istimewa yang hampir tak pernah disaksikan oleh santri sebelumnya. Kalau KH Maimoen Zubair sudah mau tepuk tangan, itu pastilah sesuatu yang di luar kebiasaan. “khariqul-‘ādah”.

Keempat, usai acara, KH Maimoen Zubair menggandeng erat tangan Prabowo masuk ke dalam rumah. Lalu menggandengnya lagi ke ruang makan. Yang istimewa, setelah makan, Prabowo digandeng KH Maimoen masuk ke kamar khusus. Kamar yang tidak ada seorang pun boleh masuk kecuali diminta khusus oleh Sang Kyai.

Di dalam kamar, hanya ada KH Maimoen Zubair dan Prabowo. Entah pesan dan wasiat apa yang disampaikan Sang Kyai kepada Prabowo, tak ada yang tahu. Keluarga, para tokoh dan sejumlah kyai hanya menunggu di depan pintu kamar.


Hal yang sama pernah KH Maimoen Zubair lakukan untuk Jokowi lima tahun lalu, saat jelang Pilpres 2014. Sebuah perlakuan istimewa. Kali ini giliran yang diistimewakan oleh KH Maimoen Zubair adalah Prabowo. Ada apa? Allahu a’lam, kata para santri.

Tidak hanya bagi para santri, putra-putri KH Maimoen Zubair pun menganggap bahwa sikap Mbah Yai Maimoen mengajak tamunya masuk ke kamar khusus itu teramat istimewa. Apa keistimewaan Prabowo di mata Mbah Moen? Hanya Mbah Moen yang tahu. Sang Kyai punya standar sendiri. Bukan hanya standar rasional (intelektual) tentu saja, tapi terutama standar moral dan spiritual. Terkait dengan pilpres, setidaknya standar moral dan spiritualnya itu erat kaitannya dengan nasib bangsa ke depan.


Kelima, usai sowan ke KH Maimoen Zubair, Prabowo pamit. Cium tangan Sang Kyai, mohon doa restu dan minta izin mau sowan ke kediaman KH Najih Maimoen Zubair. Jarak rumahnya kira-kira 200 meter. KH Maimoen Zubair meminta santri untuk menyiapkan mobil putih buat antar Prabowo. Prabowo bilang: biar kami jalan kaki saja. Tidak, itu jauh, kata KH Maimoen Zubair. Biar kami jalan kaki saja Mbah, jawab Prabowo.

Bukan menolak, tapi kesantunan, adab dan tata Krama. Prabowo tidak ingin merepotkan Sang Kyai. Tapi, KH Maimoen Zubair kekeuh. Minta ajudannya menyiapkan mobil putih untuk Prabowo. Sang Kyai bilang, ini mobil saya seperti mobil presiden.

Prabowo “sami’na wa atha’na”. Mobil pun disiapkan di depan pintu rumah kediaman Kyai kharismatik ini. Prabowo diantar KH Maimoen Zubair sampai di depan pintu. Sebelum naik mobil, Prabowo menyalami kembali KH Maimoen Zubair dan mencium tangan Kyai sepuh ini. Lalu naik mobil putih mirip mobil istana menuju kediaman KH Najih Maimoen Zubair. Semua tamu undangan dan ribuan santri mengiringi dari belakang. Mereka menggemakan shalawat badar. Pesantren mendadak bergemuruh dengan shalawat badar. Sesekali terdengar teriakan para santri: Prabowo presiden. Wis wayahe (sudah saatnya Prabowo Presiden).


Apakah sikap istimewa KH Maimoen Zubair ada pengaruhnya buat Prabowo di 2019? Tentu! Sangat berpengaruh! KH Maimoen Zubair bukan sekedar pengasuh pesantren dan ketua MPP PPP. Kyai kharismatik ini selain tajam pengamatan dan analisis politik kebangsaannya, juga punya pengaruh massa luar biasa besar. Terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apapun yang Sang Kyai putuskan, kendati hanya berupa isyarat, akan diikuti secara militan oleh para santri dan seluruh keluarga santri. Mesin politik santri akan bergerak massif dan sistematis.

Di Jawa Tengah, alumni pesantren Sarang ada di 31 kabupaten dari 35 kabupaten yang ada. Dan umumnya mereka menjadi ulama dan tokoh yang sangat berpengaruh di daerah masing-masing. Belum lagi di Jawa Timur, Jawa Barat dan luar Jawa.

Komunikasi kyai-santri seringkali dengan bahasa isyarat. Inilah yang dalam teorinya George Mead disebut dengan istilah “percakapan isyarat”. Terkadang, percakapan isyarat diperlukan untuk menjaga kesantunan, etika dan hubungan baik dengan pihak lain agar tak tersinggung.

Sungguh sangat beruntung Let.Jen (purn) Prabowo ini. Sangat istimewa di mata KH Maimoen Zubair, ulama kharismatik dari pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Swamedium, 30 September 2018
http://www.swamedium.com/2019/02/03/prabowo-istimewa-di-mata-k-h-maemun-zubair/


Saat Kiai Maimoen Zubair Doakan Jokowi, tapi Sebut Nama Prabowo

Video ulama karismatik KH Maimoen Zubair saat membaca doa di akhir acara “Sarang Berdzikir untuk Indonesia Maju” pada Jumat, 1 Februari 2019 viral di media sosial. Pemantiknya, Mbah Maimoen saat berdoa salah sebut nama Joko Widodo menjadi Prabowo Subianto.

Peristiwa ini terjadi ketika Presiden Jokowi menghadiri acara “Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju”, di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, Jumat kemarin. Dalam video itu, Jokowi yang duduk di samping Mbah Maimoen tetap menundukkan kepala sambil mengangkat kedua tanganya.

Ya Allah, hadza ar rois, hadza rois, Pak Prabowo ij'al ya ilahana,” demikian potongan doa pengasuh pesantren Al-Anwar Sarang itu yang viral di media sosial.

Potongan video doa Mbah Maimoen yang viral itu bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih memiliki arti “ya Allah, inilah pemimpin, inilah pemimpin, Pak Prabowo, jadikan ya Tuhan kami.

Romy, Jokowi dan Mbah Moen.

Sontak, video tersebut ramai di media sosial. Anggota Dewan Pembina Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Amien Rais bahkan mengaitkan peristiwa ini sebagai tanda keberpihakan Tuhan kepada pasangan calon nomor urut 02 itu.

Saat menyapa relawan yang mengikuti jalan sehat, di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019), Amien cerita; ada seorang presiden petahana yang datang ke sebuah pesantren, lalu meminta seorang kiai alim untuk mendoakannya agar terpilih lagi menjadi presiden untuk periode kedua.

Oleh malaikat dimasukkan ke lisan kiai yang sangat alim tadi, sehingga menyebut nama lain. Ini pertanda dari langit, insyallah," kata Amien Rais.

Politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) ini memang tidak menyebut secara spesifik nama presiden, negara, kiai, dan pesantren yang ia maksud. Namun, pernyataan Amien diucapkan hanya berselang sehari dari pertemuan Jokowi dengan Mbah Maimoen.

Bayu Septianto
Tirto.id, 2 Februari 2019
https://tirto.id/saat-kiai-Maimoen-zubair-doakan-jokowi-tapi-sebut-nama-prabowo-dfLX