Thursday, June 25, 2020

Membangun Imun Lewat Jalan Iman


Bencana besar yang dapat merenggut korban jiwa yang masif dalam perjalanan sejarah umat manusia, bukan hanya karena gempa bumi, gunung meletus, tsunami, cuaca ekstrem, meteor jatuh atau perang dunia, tapi juga wabah virus atau bakteri.

Setidaknya dalam periode per satu abad, pandemi besar menimpa umat manusia. Pertanyaan berkait pandemi bukanlah “apakah wabah itu akan terjadi?”, tapi, “kapan terjadi?”, dan tentu pertanyaan yang lebih penting lagi, “seberapa besar kesiapan umat manusia mengantisipasinya?

Umumnya sebagian besar penduduk bumi tidak pernah benar-benar siap ketika menghadapi pandemi. Semua terkaget pada sesuatu yang begitu halus seperti siluman, tiba-tiba saja menyerang secara masif, dan menyebar dengan amat cepatnya. Serangan yang menimbulkan malapetaka penyakit dan teror ketakutan.


Kehadiran Novel Corona Virus atau SARS Cov-2 yang menimbulkan penyakit Covid-19 menjadi perbincangan paling populer di tahun 2020 ini. Tidak ada berita di media cetak, elektronik hingga akun-akun media sosial setiap orang yang tidak mempergunjingkannya. Laporan-laporan sensus angka positif kesakitan baru, angka kesembuhan, hingga angka kematian, setiap hari di-update oleh pemerintah pusat dan daerah.

Terkhusus bagi “Jamaah Maiyah”, Mbah Nun sendiri setiap hari menuliskan refleksinya dengan sudut pandang yang komprehensif berkaitan dengan wabah Corona ini. Mbah Nun sempat menegaskan “semua tulisan tentang segala sesuatu yang terkait Coronavirus, memakai pola pandangan dan pemetaan yang mengungkapkan keterkaitan antara virus dengan kesehatan jasad, struktur kejiwaan, kekuasaan Tuhan, metode taqwa dan tawakkal, iman, doa, wirid, dzikir, hizib dan seluruh famili konteksnya menurut pola pandang yang saya pakai”.

Tulisan-tulisan tersebut oleh penerbit Bentang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul “Lockdown 309 tahun”. Pendek kata, SARS Cov-2 adalah sosok paling selebritis di tahun 2020 melebihi apapun dan siapapun. Bahkan secara revolusioner, SARS Cov-2 berhasil mengubah tatanan-tatanan pola kehidupan masyarakat modern, betapa terdengar ironis bahwa mahkluk paling kecil ini mampu “menghentikan” putaran mesin dunia.


Perang asimetrik atau “berdamai” dengan Corona?
Berbeda dengan “perang menghadapi bakteri”, ilmu kedokteran sejak lama menginformasikan bahwa tidak ada obat definitif untuk “membunuh” virus. Tata laksana pengobatan medis untuk penyakit infeksi segala jenis virus, sebatas terapi yang sifatnya suportif (bantuan: pernapasan, kebutuhan cairan, pemenuhan gizi dan kalori, penanganan infeksi sekunder bila ada).

Virus adalah penghuni paling senior di planet bumi yang berada di luar taksonomi kemakhlukan yang lazim. Walau memiliki DNA atau RNA, oleh sebagian ahli, status “kemakhlukannya” masih diperdebatkan, apakah ia entitas hidup atau mati? Sebut saja, ia adalah makhluk transisi antara organisme dan an-organisma, berada di luar klasifikasi dari kelompok flora atau fauna, dan terbebas dalam rumusan gender. Ukurannya yang teramat kecil (diilustrasikan 1 mm dibagi sejuta), membuatnya hingga kini mustahil “dibidik oleh peluru farmakologis” buatan manusia.

Virus adalah zombie kimia yang misi utama satu-satunya hanyalah membajak material genetik di dalam sel pada suatu makhluk, agar ia dapat memperbanyak dirinya. Virus hanya bertahan hidup dalam diri makhluk hidup sebagai tuan rumahnya (host). Maka sebenarnya virus “berkepentingan agar host-nya tetap hidup”.

Jenis virus seperti Ebola atau SARS yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, tidak akan pernah dapat berkembang menjadi pandemik, karena korban yang terinfeksi otomatis berdiam di rumah (ter-lockdown) karena sakitnya yang parah, atau sebagian mungkin tidak selamat. Agar suatu virus dapat menyebar menjadi pandemik ke seluruh dunia dalam hitungan yang singkat, ia harus memiliki “keseimbangan antara tingkat penularan dan efek mematikan”.

Menteri Kesehatan, Terawan bersama 3 pasien Covid-19 pertama yang sudah sembuh.

Novel Corona yang digolongkan sebagai virus dengan penyebab prosentase kematian rendah pada korbannya, memenuhi keseimbangan syarat itu. Namun justru karena prosentase mortalitasnya yang rendah, menjadi amat dikhawatirkan oleh para ahli. Mengapa? Karena dalam rentang masa yang panjang Novel Corona virus pada akhirnya akan menghasilkan akumulasi jumlah korban yang bisa jadi jauh lebih banyak daripada jenis-jenis virus ganas mematikan lainnya.

Di Indonesia kasus resmi pertama mulai dilaporkan pada 2 Maret 2020. Kini (Juni 2020), sudah lebih dari 3 bulan kita “berjuang” dengan berbagai strategi pendekatan. Suatu perjuangan yang tidak mudah, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa bagi komunitas yang rentan bahkan hingga kalangan medis. Dan juga berdampak sangat besar terhadap kondisi sosial perekonomian. Hingga hari ini, grafik kasus harian belum memperlihatkan tanda-tanda menuju ke arah landai. Malah belakangan terdengar seruan dari pemerintah untuk “berdamai” dengan Corona? Bagaimana kita memahami seruan tersebut?

Bila istilah “damai” kita posisikan pada term peperangan, maka berdamai tentu memerlukan keterlibatan aktif dari kedua pihak yang berseteru. Mustahil berdamai dengan cara “bertepuk sebelah tangan”. Corona virus sudah tentu adalah entitas yang “tidak punya kehendak” alias bukan wujud yang (berkesadaran) sengaja hadir untuk memerangi manusia, tapi kehadirannya menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia.


Kita tentu tidak bisa membayangkan perlawanan model apa yang akan kita lakukan, jika benar seperti yang dikatakan WHO bahwa Novel Corona virus ini akan tetap menyertai hidup manusia hingga akhir zaman! Apakah damai yang dimaksud adalah ungkapan sopan untuk menyebut makna aslinya sebagai “menyerah kalah?” Apakah memang saatnya kini kita berdamai (baca: mengibarkan bendera putih) pada Corona? Suatu saat mungkin kita memang akan hidup berdampingan dengan Novel Corona virus, sebagaimana kini kita hidup berdampingan dengan HIV, Dengue, Hepatitis, dan virus-virus Influenza lainnya yang masih menjadi kerabatnya Corona. Kita bisa berdamai pada Corona sebagai entitas virus, tapi bagaimana cara kita berdamai dengan Corona sebagai pandemi?

Pada dasarnya mayoritas mikro-organisma ditakdirkan hidup secara komensal atau berdampingan dengan manusia. Seorang mikrobiologis lazimnya mengatakan “we never win the battle with microorganism”. Mikroorganisma seperti virus atau bakteri, meskipun wujudnya tidak kasat mata, tapi mereka ada di mana-mana, eksistensinya pada hakikatnya mendunia, “mencengkeram” planet bumi ini. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, umat manusia kini menghadapi “musuh” yang tidak terlihat, tersamar, dan bisa ada di mana-mana, sementara manusia tanpa memiliki persenjataan buatan apapun untuk melawannya. Tidak ada pemetaan musuh yang bisa dipastikan dalam berperang melawannya. Oleh karena itu strategi yang kemudian dilancarkan selama ini adalah “menghindar dan sembunyi” (lewat seruan-seruan seperti: social distancing, physical distancing, stay at home, lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB, dsb).

Bila berkaca pada sejarah wabah di masa-masa yang lalu, strategi-strategi tersebut, bila dilakukan tepat pada momentumnya dan bersabar dalam menjalani prosesnya, maka strategi isolasi dan karantina sesungguhnya dapat efektif menekan pandemik secara signifikan. Namun, efek kolateral bencana akibat Corona berdampak nyaris ke seluruh dimensi kehidupan; resesi ekonomi, pasar lesu, saham anjlok, harga minyak jatuh, PHK massal dan kebangkrutan menghantui banyak sektor industri. Dan mungkin inilah di antara hal yang dijadikannya sebagai alasan pelonggaran atas strategi “menghindar dan sembunyi” (PSBB) ini.


Apabila pada suatu saat atas alasan-alasan itu semua PSBB sudah tidak mungkin lagi dijalankan, maka benteng pertahanan dan perlawanan utama yang dimiliki manusia hanyalah tinggal sistem imunitas yang dimiliki setiap individu. Penyembuhan yang terjadi pada penyakit virus selama ini dikenal dengan istilah “self limiting disease”, yang lagi-lagi diperankan oleh Antibodi tubuh. Istilah itu secara verbatim, mungkin bermasalah jika dilihat dari perspektif tauhid. Pada hakikatnya, umat manusia selama ini dapat selamat dan bertahan dari kepunahan menghadapi pandemi, karena “karunia Ilahi” berupa sistem imunitas yang begitu canggih yang ada di dalam tubuhnya.

Tuhanlah wujud yang bertanggung jawab menghadirkan pasukan-pasukan perlawanan untuk menghadapi segala ancaman dan bahaya dari invasi mikroorganisma. Kalimat “penyakit dapat sembuh sendiri secara spontan!” terdengar aneh di telinga kaum beriman. Tapi di zaman dimana paradigma ilmu harus serba terukur, terindera dan dapat dibuktikan, maka ungkapan kehadiran dan campur tangan Tuhan dipandang sebagai bukan sesuatu yang saintifik ilmiah.

Bila disepakati bahwa imunitas tubuh adalah “KATA KUNCI” satu-satunya dalam menghadapi serangan infeksi virus, maka tidakkah segala wacana tentang apa atau bagaimana upaya-upaya untuk menghadirkan atau memperkuat sistem imunitas dalam diri kita seharusya lebih banyak dieksplorasi? Menghadapi persoalan global yang menyangkut seluruh umat manusia ini, tidakkah seyogyanya segala jenis diskursus yang berniat baik hingga penelitian yang sahih, diizinkan dan dibuka selebar-lebarnya? Apalagi toh hingga kini juga belum ada solusi yang sifatnya final dan tuntas.


Jalan-jalan atau metode-metode apa saja yang dapat kita lakukan?
Secara umum, ada dua metode untuk menghadirkan dan memperkuat sistem imunitas kita; secara eksternal dengan vaksinasi dan secara internal dengan memperbarui pola-pola kehidupan. Vaksinasi adalah upaya secara sengaja memasukkan kuman yang telah dilemahkan ke dalam tubuh kita, agar tubuh teraktivasi untuk membentuk imunitas baru dan spesifik untuk menghadapi kuman yang sesungguhnya. Namun, berkait dengan novel Corona virus, WHO memprediksi keberadaan vaksin paling cepat baru tersedia pada 2021. Maka perhatian utama kita, mestinya dicurahkan pada upaya-upaya memperkuat sistem imunitas tubuh secara internal.

Dalam tulisan kali ini, izinkan saya mentadabburi pola-pola kehidupan yang dimungkinkan memperkuat imunitas yang digali dari jalan-jalan keimanan.

Lima jalan Iman memperkuat Imun
1. Kebersihan diri dan memutus rantai infeksi
Bila di dunia kesehatan ada semboyan “kebersihan adalah pangkal kesehatan”, maka dalam term agama ada pesan yang nilai dan maknanya lebih tinggi lagi bahwa “kebersihan adalah bagian dari keimanan”. Dalam semboyan itu, seolah-olah dikatakan bahwa, orang yang hidupnya tidak bersih lahir dan batin, maka imannya tidak sempurna. Iman mempersyaratkan bagi pelakunya untuk hidup bersih lahir dan batin.

Kebersihan yang komprehensif mencakup seluruh spektrum dimensi kehidupan. Jauh sebelum WHO menjadikan cuci tangan 6 langkah sebagai protokol kesehatan yang penting, Rasulullah Saw, misalnya, menganjurkan umatnya untuk mencuci kedua telapak tangannya saat pertama kali bangun dari tidur (HR. Bukhari).


Aktivitas rutin harian lainnya menjaga kebersihan lahir dan batin ini juga lewat berwudhu. Wudhu selain mensucikan hadats juga membersihkan 7 anggota tubuh yang terpapar dunia luar dan membasuh 5 panca indera (penglihatan, pendengaran, penghidu, lidah perasa dan kulit sentuhan). Pada kulit manusia, ada sekitar 180 miliar mikrobioma. Di karang gigi kita ada sekitar 1 trilyun mikrobioma dan sekitar 100 milyar hidup di air liur kita.

Wudhu dalam konteks ini merupakan tindakan “pengenceran populasi mikroorganisme” tersebut, sehinga menurunkan risiko penyimpangan oportunistik bagi diri kita. Dalam tata laksana wudhu ada aktivitas yang cukup langka dijalani orang yakni istinsyaq, membasuh hidung dengan cara menghisap air bersih dari lubang hidung lalu mengeluarkannya kembali. Aktivitas demikian di luar wudhu, hanya dilakukan oleh dokter THT ketika mereka tengah melakukan irigasi nasal untuk membersihkan area lubang hidung hingga wilayah nasopharyng yang tersembunyi. Mbah Nun dalam suatu kesempatan acara Maiyah juga pernah mengatakan, perbanyak berwudhu untuk menghadapi pandemi Corona ini.

Segala aktivitas thaharah (bersuci) memiliki kontribusi dalam memutus mata rantai penularan penyakit infeksi, dus mengurangi beban berat bagi sistem imunitas kita.


2. Makan yang halal serta thoyib dan Imunitas
Di antara teori asal-usul keberadaan virus Novel Corona adalah kebiasaan masyarakat di pasar Wuhan, yang memperdagangkan hewan-hewan liar eksotik untuk dikonsumsi. Presiden ahli penyakit infeksi Dr. Asok Kurup mengatakan “manusia dan satwa-satwa liar tidak ditakdirkan hidup berdampingan”, jika dipersatukan dalam rentang waktu yang lama seperti di pasar Wuhan maka akan terjadi wabah seperti ini!

Di antara hewan yang sempat menjadi sorotan adalah kelelawar. Kelelawar menjadi menarik dibahas karena ia merupakan hewan yang “unik”; ia satu-satunya mamalia yang dapat terbang, hidup secara nokturnal (daur hidup malam hari) dan sekujur tubuhnya menjadi inang komensal bagi Corona virus.

Dr Leong Hoe Nam, ahli infeksi dari Mount Elizabeth Centre Singapore setelah mengetahui apa yang berlangsung di pasar Wuhan, dalam sebuah film dokumenter berjudul “Corona Virus The Silent Killer” mengatakan: “Kita harus mempertimbangkan kembali, apa-apa yang layak kita konsumsi”. Bila dikaitkan dengan sebuah hadits (riwayat Al-Baihaqi), kelelawar adalah di antara hewan yang jangankan diperkenankan untuk dikonsumsi, untuk dibunuh pun dilarang.


Tuhan secara tersurat memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya (QS 80: 24). Bahan-bahan untuk mengganti struktur bagian tubuh yang aus dan rusak tentu diambil dari makro dan mikronutrient dari zat-zat yang terkandung dalam makanan. Bila dianalogikan produk furniture, maka suatu produk akan lebih bermutu jika dirakit dari bahan mentah yang kualitasnya tinggi pula, begitu pula tubuh kita. Rumus mendasar Al-Quran, manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib. Halal berarti sah secara hukum Fiqh, sementara thoyib adalah makanan yang kondisinya baik secara kualitas, proporsional sesuai kondisi, dan memenuhi kaidah higienis serta standar gizi. Kualitas dan kelengkapan makanan penting untuk membangun sistem imunitas.

Dalam buku “Lockdown 309 tahun”, mbah Nun sekilas menyinggung bahan bumbu dapur dari rempah-rempah sbb: ada semacam “atmosfer atau tradisi rempah-rempah” yang sudah melingkupi keseharian badan rakyat dan udara Indonesia sejak dahulu kala, sehingga ada semacam imunitas khas Indonesia yang dunia ilmu pengetahuan belum memahaminya. Secara logis, apa yang dimakan oleh seseorang tentu akan mempengaruhi konstitusi tubuhnya. “You are what you eat”, begitu kata kalangan Nutrisionist.

Di antara bahan rempah-rempah yang tersaji di bumi Nusantara, telah dikenal dan diteliti dapat menjadi bahan imunomodulator (penguat sistem imunitas) seperti: kunyit, jahe, kunir, kayu manis, cengkeh, bawang putih, bawang merah dll. Dengan mengkonsumsi bahan-bahan alami, segar, asli dari sumber sendiri di bumi khatulistiwa yang kaya kandungan mineral dan disirami matahari tropis, In syaAllah status imunitas kita akan lebih terjaga dengan baik.


3. Puasa dan Imunitas
Penelitian di University of Southern California menginformasikan bahwa puasa memicu “saklar regenerasi”, yang mendorong meregenerasi seluruh sistem kekebalan tubuh. Selama rentang panjang kita mengkonsumsi sesuatu, selain menghasilkan kalori, makanan yang dikonsumsi itu juga menyisakan “sampah-sampah” metabolik berupa protein yang rusak. Periode lapar selama berpuasa membuat tubuh akan membersihkan “sel-sel zombie”, menyapu bersih elemen-elemen dalam diri yang menua, yang tidak efisien dan yang rusak.

Ada mekanisme yang diistilahkan sebagai proses Autofagi selama berpuasa. Adalah Prof. Dr Yoshinori Ohsumi, pada tahun 2016, mendapat hadiah Nobel Fisiologi setelah meneliti dengan baik peristiwa Autofagi tersebut. Autofagi merupakan suatu proses yang membantu menjaga keseimbangan antara pembentukan, pemecahan, dan daur ulang produk-produk sel. Proses Autofagi ini adalah mekanisme utama yang digunakan sel untuk mengalokasikan ulang nutrien dari proses yang tidak perlu kepada proses yang lebih penting. Ketika seseorang mengalami sensasi “lapar”, maka sistem dalam tubuhnya akan mencoba menghemat energi dan salah satu hal yang dilakukannya adalah mendaur ulang banyak sel kekebalan yang tidak diperlukan, terutama yang mungkin “rusak” untuk diresintesis kembali.


Para ilmuwan di University of Southern California juga menyebut puasa selama 3 hari dapat meregenerasi seluruh sistem kekebalan tubuh; termasuk memperbaiki kualitas imunitas pada kelompok yang rentan seperti orangtua dan mereka yang menjalani kemoterapi.

Puasa ibarat menjalani “tune up” rutin mesin metabolisme. Ada berbagai puasa yang ritmenya dapat dilakukan yang terkategori dalam ritme tahunan, bulanan, mingguan, atau harian.

Tune up tahunan: puasa Ramadhan dan puasa Syawal.
Tune up bulanan: puasa Ayyamul Bidh di setiap tanggal 13, 14 dan 15 H.
Tune up mingguan: puasa Senin-Kamis.
Tune up harian: puasa Daud.

Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS 2: 184). Berpuasa memperbaiki kualitas imunitas kita.


4. Shalat Tahajud dan Imunitas
Shalat merupakan simbol totalitas ketundukan seorang hamba kepada Khalik-Nya yang diekspresikan dengan ketundukan seluruh dimensi diri (hati, akal dan raga).

Dengan bahasa populer, mungkin dapat dikatakan bahwa dalam ibadah shalat terkandung aspek Olah Rasa, Olah Rasio sekaligus Olah Raga. Orang yang dengan disiplin, tertib dan teratur beraudiensi dengan Allah Tuhan pemilik semesta jagat ini, hatinya akan tenteram karena tidak ada yang lebih tenteram di dalam hidup ini kecuali hati yang selalu tersambung kepada-Nya. Hati yang sadar bahwa Dia Maha Memelihara dan Melindungi hamba-hamba-Nya. Hati yang mengerti bahwa Allah tidak pernah bosan untuk senantiasa membuka Rahmat dan Kasih Sayang-Nya setiap waktu. Hati yang paham bahwa Dia melarang rasa putus asa hinggap di hati para hamba-Nya dan hati yang mengerti pada-Nyalah tergenggam segala perbendaharaan yang ghaib.

Orang-orang yang senantiasa mentadabburi semua fenomena sunatullah (segala penciptaan-Nya di langit dan di bumi) dalam rangkaian bacaan shalat, akalnya akan terasah cerdas. Dan orang yang selalu bergerak menyesuaikan dengan gerakan-gerakan fitrah dalam ibadah shalat dengan kaifiyat yang benar penuh thuma’ninah fisiknya akan sehat. Orang yang melakukan shalat, hatinya akan tenang, pikirannya cerdas dan fisiknya sehat.

Adalah Prof Moh. Sholeh yang membuat disertasi penelitian berjudul “Pengaruh Shalat Tahajud Terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi”. Ringkasnya, hasil penelitian yang kabarnya mendapat sertifikasi WHO ini, memberi kesimpulan bahwa orang yang melakukan shalat Tahajud secara kontinu, tepat gerakannya (kaifiyat-nya), maka secara medis aktivitas itu dapat menumbuhkan respons ketahanan tubuh, khususnya peningkatan imunoglobin M, G, A dan limfosit.


5. Jalan-jalan Spiritual (Doa, Sholawat dan Istighfar)
Izinkan saya mengutip doa dan dzikir yang mudah dan sederhana untuk diamalkan “Ucapkan: Qul huwallahu ahad (Surat Al-Ikhlash) dan dua surat pelindung (Al-Falaq dan An-Naas) ketika sore dan pagi hari sebanyak tiga kali, maka surat tersebut akan melindungimu dari segala mara bahaya”. (H.R Tirmidzi).

Rasulullah Saw bersabda, “Seorang hamba yang berkata (berdoa) pada pagi setiap hari, dan pada sore setiap malam, sebanyak tiga kali: bismillahilladzi laa yadhurru ma’as-mihi syai-un fil ardhi wa laa fissamaa-i, wa huwas samii’ul ‘aliim. (Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), maka tidaklah berbahaya baginya apapun juga” (Akan terhindarlah dia dari bahaya apa saja). (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Di dalam Quran ada ayat yang menyatakan “Dan Allah sekali-sekali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidak pula Allah mengadzabmu, sedang engkau minta ampun kepada-Nya” (QS 8:33). Mentadabburi kutipan ayat tersebut, maka ada dua perkara yang dapat menyelamatkan kita dari azab, yakni “Ber-shalawat dan ber-istighfar”.

Bagi orang beriman, Corona virus bukanlah urusan medis murni semata yang terlepas dari kekuasaan Ilahi. Orang beriman tidak memutus segala peristiwa terestrial di bumi ini dengan tautan transendental di langit. Doa-doa dapat menjadi senjata untuk menghadapi ancaman dan marabahaya bagi kehidupan kita. Rasulullah bersabda, “Doa adalah senjata seorang Mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi.” (HR Abu Ya’la). Pada-Nya sepenuhnya kita sandarkan keselamatan hidup kita dan kita bermohon untuk ketepatan memahami dan memaknai peristiwa yang ada.


Epilog
Kapankah Pandemi ini berakhir? Jawabannya wallahu a’lam. Tentu semua kita berharap agar kita dapat segera kembali menjalani kehidupan seperti sediakala, normal yang memang normal. Bila berkaca pada rekam jejak kerabat Corona, sesama keluarga virus-virus Influenza yang pernah hadir sebagai pandemik di dunia ini, maka masa kehadiran mereka adalah sbb:

Flu Spanyol H1N1: 1918- 1919 (durasi 1,5 tahun).
Flu Asia H2N2: 1957-1958 (1 tahun).
Flu Hongkong H3N2: 1968-1969 (1 tahun).
Flu Burung H5N1 1997-2019: (22 tahun).
Flu Babi, mutasi Influenza A subtipe H1N1: 2009-sekarang.
SARS: 2002-2004 (2 tahun).
MERS: 2012-2015 (3 tahun).

Bercermin pada sejarah tersebut, belum ada pandemi yang berlangsung di bawah durasi satu tahun, maka terbayangkah di hadapan kita dan sudah siapkah kita bila memang perjuangan “melawan” pandemi Corona ini akan berlangsung lama?

RSUD Kudungga, Sangatta, Kalimantan Timur, dan insert dr, Ade Hashman, Sp. An.

Ketika seruan untuk “social distancing” mulai dikendorkan, ketika dengan “terus terang” pemerintah mengatakan “berdamai” (baca: menyerah?) pada pandemi, maka bagaimana bila saatnya kita lebih mengkampanyekan seruan untuk memperkokoh “spiritual connecting”?

Dalam buku Lockdown 309 Tahun, Mbah Nun mengatakan, “Kalian tidak punya pertahanan badan, tidak punya vaksin jasad, tetapi tidak pula berikhtiar untuk membangun pertahanan qudrah, pertahanan ruhaniyah, memohon kasih sayang Allah. Apakah kalian memang diam-diam punya mindset bahwa Allah itu tidak berkuasa? Sehingga dalam keadaan darurat pun tidak ada upaya vertikal untuk memohon perlindungan Tuhan?

Malah seharusnya, sebagaimana atmosfer yang ada di Maiyah, kerinduan untuk “gondhelan ning klambine Kanjeng Nabi” memperkokoh pertalian “segitiga cinta dan dialektika syafaat” sejak dari awal kita gaungkan sebagai pilar-pilar utama dalam menghadapi wabah ini.

Tapi…, adakah “orang modern” yang mau percaya ?????

Sangatta, 7 Juni 2020

dr. Ade Hashman, Sp. An.
Jamaah Maiyah,
Sehari-hari adalah dokter spesialis anestesi di RSUD Kudungga Sangatta.
CAKNUN.COM

Saturday, June 13, 2020

Catatan IPTEK KOMPAS: Ketimpangan Risiko


Virus Corona pemicu Covid-19 memang bisa menginfeksi siapa saja. Sekalipun demikian, kerentanan dan karenanya risiko tiap orang dalam menghadapi wabah ini berbeda-beda, tergantung pada daya tahan tubuh dan juga ditentukan oleh struktur ekonomi politik.

Secara sederhana, risiko bencana merupakan perkalian antara ancaman bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) dibagi kapasitas (capacity). Dengan rumusan ini, mereka yang lebih rentan secara biologis memiliki risiko lebih tinggi.

Mengacu laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), orang-orang yang berusia di atas 60 tahun dan atau yang memiliki beragam penyakit penyerta, seperti diabetes, jantung, pernapasan, dan hipertensi, merupakan kelompok paling rentan sakit parah atau meninggal jika terinfeksi Covid-19.

Namun, prevalensi ini ternyata tidak berlaku begitu saja di Indonesia. Kajian Gindo Tampubolon, ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Manchester, di jurnal PLOS One 2014 dan Journal of American Medical Association Cardiology 2019 menunjukkan, dua pertiga orang Indonesia dalam rentang usia produktif, yaitu 40-an tahun, memiliki risiko penyakit jantung sangat tinggi.


Data survei kesehatan Riset Kesehatan Dasar 2018 juga menunjukkan, penyakit jantung dan diabetes menjadi beban penyakit tertinggi di negara ini. Hampir 11 persen orang dewasa Indonesia memiliki kadar gula darah tinggi dan 1,5 persen menderita penyakit jantung.

Hal ini pula yang menyebabkan banyak korban Covid-19 di Indonesia justru berusia produktif. Karena itu, kebijakan untuk mendorong yang berumur 45 tahun ke bawah kembali bekerja di tengah wabah yang belum mereda, menurut Gindo, menjadi pertaruhan besar.

Bahkan, temuan Ikatan Dokter Anak Indonesia, anak-anak di Indonesia juga sangat rentan. Jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) usia anak mencapai 3.324 orang, sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif virus Corona, dan 14 orang di antaranya meninggal.

Angka ini tergolong tinggi dibandingkan data global, yang menunjukkan pentingnya analisis klinis berbasis data dalam negeri untuk memetakan kerentanan fisik di Indonesia agar kita bisa meminimalkan risiko jika aktivitas kembali dilonggarkan.


Tak hanya dari segi biologis, kerentanan juga bisa ditentukan oleh struktur ekonomi politik. Antropolog Anthony Oliver-Smith (1996) menyebutkan, dampak bencana lebih ditentukan oleh proses historis dan struktural, seperti kolonialisme dan ketimpangan ekonomi, dibandingkan faktor ancaman dari alam itu sendiri.

Sosiolog Piers Blaikie (2003) selanjutnya merinci bahwa proses struktural yang mendistribusikan dan mengatur sumber material, kekayaan, dan kekuasaan dalam suatu masyarakat pada akhirnya akan menentukan respons seseorang dalam menghadapi ancaman, termasuk wabah. Aspek struktural ini bahkan bisa membelokkan persepsi seseorang terhadap risiko.

Sebagai contoh, seorang kawan terpaksa harus berdesakan di Stasiun Tanah Abang pada Senin (25/5/2020) siang, sekalipun dia menyadari hal itu sangat berisiko. Namun, ketakutan tertular Covid-19 ditepis karena dia tak berdaya menolak perintah atasan agar kembali bekerja. "Padahal, bos besar tidak ke kantor. Kalaupun datang, dia lebih aman karena naik mobil," katanya.

Ketimpangan juga banyak ditemukan di jalanan. Para pengojek daring, misalnya, harus berjuang antar jemput barang hingga belanja ke pasar swalayan. Sementara itu, pemesan bisa berlindung di rumah dengan relatif aman. Atau yang lebih ekstrem, pemilik usaha rintisan tetap mendapat persentase keuntungan dari setiap perjalanan pengojek menembus risiko.

Epidemiolog Grace A Noppert.

Tak hanya dalam memitigasi risiko, perbedaan sumber daya sosial ekonomi juga akan membedakan kerentanan seseorang saat krisis. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gus Irawan Pasaribu, menyebutkan, pasien positif Covid-19 di Medan diminta membeli ventilator oleh pihak rumah sakit seharga ratusan juta rupiah (Kompas, 6 Mei 2020). Syarat ini tentu tidak masuk akal dipenuhi oleh mereka yang miskin.

Kegagalan negara untuk memberikan jaminan sosial ekonomi kepada kelompok rentan jelas bisa memicu persaingan untuk hidup (survival of the fittest) yang tidak adil karena struktur ekonomi politik yang timpang sejak sebelum terjadi wabah. Sebagaimana diperingatkan epidemiolog Grace A Noppert, mereka yang bakal paling terdampak dari pandemi kali ini adalah kelompok miskin (The Conversation, 9 April 2020) sehingga struktur korban bisa membentuk piramida dengan yang paling rentan secara fisik ataupun sosial ekonomi berada di dasarnya.

Kita memang saat ini dihadapkan pada pilihan sulit antara kesehatan dan ekonomi karena buruknya keputusan politik. Kita telah kehilangan waktu emas karena kegagalan penapisan selama Januari-Februari 2020 dan gagal mengarantina episenter wabah selama Maret-April lalu. Berikutnya, saat sejumlah negara menerapkan Karantina Wilayah dengan ketat (Lockdown), kita memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan anjuran.


Kini, di tengah PSBB yang sejatinya telah longgar, pemerintah buru-buru berkampanye agar kita berdamai dengan Covid-19 dan menyambut kenormalan baru (new normal). Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya telah menetapkan enam syarat sebelum negara mengajukan proposal kenormalan baru, di antaranya memastikan penularan penyakit terkendali. Selanjutnya, sistem kesehatan dapat mendeteksi, menguji, mengisolasi, serta menangani setiap kasus dan melacak setiap kontak.

Selain itu, harus ada jaminan langkah pencegahan di lingkungan kerja, seperti menjaga jarak, cuci tangan, dan etika saat batuk, bersin; mencegah kasus impor Covid-19;  serta memastikan masyarakat memiliki kesadaran dan berpartisipasi aktif dalam transisi ini.

Apakah kita tetap akan memasuki kenormalan baru ini tanpa memenuhi syarat-syarat ini? Jika itu dilakukan, kita barangkali tidak akan menuju kenormalan baru, tetapi justru ke situasi krisis lebih besar. Belajar dari pandemi Flu Spanyol 1918, gelombang kedua serangan wabah bisa sangat dahsyat.

Ahmad Arif,
Wartawan Kompas
KOMPAS, 27‎ Mei 2020