Saturday, March 29, 2014

Tersesat dalam Pesta Demokrasi


Demokrasi Indonesia benar-benar menampilkan diri sebagai pesta yang gaduh dan seronok. Setiap sudut kota dan desa, jalanan, serta ruang publik menjelma menjadi ruang penampakan wajah para politikus; ruang media jumbuh dengan kampanye politik. Triliunan rupiah uang rakyat terkuras untuk memenuhi ekstravaganza pesta demokrasi ini.

Di tengah kegaduhan pesta, banyak orang mabuk kepayang yang melupakan pokok persoalan, bahwa demokrasi lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau rebutan kekuasaan. Modus kekuasaan dalam demokrasi yang seharusnya adalah menjunjung tinggi daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Perkembangan demokrasi Indonesia membuat rakyat harus terbiasa memahami istilah dengan pengertian terbalik. Di negara ini, pemaknaan “demokrasi” tidak mengikuti definisi Abraham Lincoln, “government of the people, by the people, and for the people” (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), tetapi terjungkir menjadi government off the people (pemerintahan terputus dari rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan rakyat).

Wakil rakyat tidak sungguh-sungguh mewakili dan melayani rakyat, tetapi berdiri di atas dan terputus dari rakyat. Hal kontras kehidupan wakil rakyat dengan rakyatnya tecermin dari pemberitaan yang serba-kontradiktif. Di satu sisi, wakil rakyat memboroskan anggaran untuk renovasi ruang banggar yang supermahal; dengan tanpa rasa malu, sebagian di antara mereka bahkan mengusulkan untuk menjadikan hal itu sebagai standar pembangunan ruangan di lingkungan DPR. Saat yang sama, media memperlihatkan potret jembatan gantung di daerah Banten, yang saban hari dilintasi warga dan siswa, yang kondisinya seperti jembatan prasejarah yang mengenaskan.


Defisit keadilan
Kenyataan itu menunjukkan bahwa surplus kebebasan yang menyertai orde reformasi tak serta-merta mampu membebaskan rakyat dari belenggu penderitaan. Terbukti pula bahwa kebebasan saja tidak bisa mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman kekuasaan). Sudah saatnya kita mempertimbangkan penghayatan klasik, seperti dalam tradisi Islam, yang memperhadapkan tirani bukan dengan kebebasan, melainkan dengan keadilan. Dengan perspektif ini, maka masalah Indonesia bukanlah defisit kebebasan, melainkan defisit keadilan.

Sumber ketidakadilan politik hari ini bermula dari melambungnya ongkos kekuasaan. Banjir uang yang mengalir ke dunia politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan dalam nilai uang. Kepentingan investor nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.

Hubungan politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan “aku” di atas “kita” yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan dan dicengkeram oleh keserakahan orang kaya baru, maka keampuhan demokrasi elektoral niscaya lekas ambruk. Suara bisa dibeli dan dimanipulasi. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pemilihan Umum dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran yang efektif, maka jadilah nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik.

Di bawah kendali “tirani modal”, demokrasi cuma mempersoalkan bagaimana caranya menang dan mendapatkan keuntungan. Demokrasi telah melupakan bahasa “hikmat-kebijaksanaan” yang mempertanyakan apa yang benar dan yang baik, seperti yang dipersyaratkan dalam sila keempat dari Pancasila.


Dengan hilangnya bahasa hikmat-kebijaksanaan, gerak demokrasi menjauh dari cita-cita keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan secara tidak hati-hati serta tidak disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan falsafah bangsa, bisa menyebabkan ketidakadilan dan penderitaan rakyat serta akan gagal memberikan martabat dan tentu saja akan gagal pula mewujudkan pemerintahan yang baik.

Meski pesta demokrasi dirayakan dengan berbagai pemilihan langsung, namun keluaran yang dihasilkan justru memenuhi sisi negatif dari poliarki seperti yang dibayangkan Aristoteles sebagai pemerintahan mediokritas yang didarahi oleh praktik politik kotor di bawah kendali penguasaan uang. Bawaan negatif itu tak terhindarkan karena demokrasi Indonesia dirayakan oleh kedangkalan, tanpa memberi ruang bagi kedalaman etika dan penalaran.

Dalam demokrasi tanpa kedalaman etika, seperti halnya dalam aliran sungai, maka hal-hal yang sepele akan mengambang di permukaan, dan membiarkan hal-hal berbobot yang substantif tenggelam. Dan politik sebagai ruang penampakan, sekadar dihiasi oleh basa-basi etiket dan pola gerak tutur sebagai teknis pengelolaan kesan. Adapun substansi etika politik, sebagai pengkhidmatan kepada kebajikan hidup bersama, dikaramkan.

Krisis kedalaman etika ini diperburuk oleh krisis kedalaman penalaran. Berbagai cacat yang tampak pada hasil amendemen konstitusi, produk perundang-undangan, dan desain institusi demokrasi telah mencerminkan betapa merosotnya kualitas nalar publik. Kemana saja kita berpaling, sulit menemukan para politikus dan pekerja intelektual yang secara tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.

Upaya menyemai politik harapan seharusnya demi memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, lewat aktualisasi politik harapan.


Ruang kebebasan
Untuk merealisasikan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, dan apati menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Tahapannya adalah, pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tapi justru malah membuatnya semakin apatis.

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesaling-tergantungan antara realitas dengan kesediaan bekerja sama untuk menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan yang ada digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan impian dan harapannya. Dengan demikian diharapkan seluruh warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.

Semua pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan Hannah Arendt, adalah suatu ruang penjelmaan (space of appearance) yang memungkinkan –namun juga bisa– merintangi pencapaian manusia di segala bidang. Oleh karena itu, terang-gelapnya langit harapan di negeri ini sangat ditentukan oleh warna politik kita.

Para aktor politik harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung jawab dan penghormatan pada sesama warga bangsanya yang lain.

Dengan demikian, bermula dari keinsafan para pemimpin di pusat kekuasaan sebagai suri teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa ini keluar dari kemelut dan kelamnya krisis, menuju terangnya harapan di masa depan.

Yudi Latif,
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
MEDIA INDONESIA, 17 Maret 2014

Tuesday, March 25, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (12)

Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika beserta isteri masing-masing.

Kamis, 16 Januari 2014. Sambil menunggu mereka kembali, saya berolahraga di lantai sembilan. Ini adalah hari pertama saya diperbolehkan berolahraga. Informasinya, saya tidak boleh bertemu Andi Mallarangeng ketika berolahraga. Demikian sebaliknya.

Ketika olahraga, para tahanan tetap harus memakai identitas Tahanan KPK. Jika untuk aktivitas non-olahraga harus pakai rompi, maka untuk olahraga diwajibkan memakai kaos warna biru berkerah kuning dan di bagian belakang ada tulisan “Tahanan KPK”. Untuk olahraga cukup naik lift ke lantai 8, lalu naik tangga ke lantai 9. Di lantai 9 ini ada kamar tahanan dan sebagian adalah “lapangan terbuka” di puncak Gedung KPK.

Olahraga adalah tuntutan kesehatan. Kalau hanya makan, tidur dan berpikir di kamar tahanan, pastilah akan mengganggu kesehatan. Apalagi jika mental tidak kokoh dan jiwa tidak tenang, dijamin sebentar saja akan kolaps. Karena itu, memaksa diri untuk olahraga adalah pilihan yang paling bertanggung jawab. Bagi tahanan yang tidak ada larangan bertemu dengan tahanan lain, bisa berolahraga dua kali sehari, pagi dan sore. Budi Santoso, misalnya, bebas olahraga pagi dan sore. Sama halnya dengan Budi Mulya dan Ahmad Fathanah. Ada beberapa yang lain juga dapat kesempatan serupa.


Selesai buka puasa dan shalat Maghrib, Rudi dan Budi tiba. Rupanya sidang Rudi ditunda Selasa pekan depan. Ada apa? Karena jadwal persidangan sangat banyak sehingga waktunya tidak memungkinkan. Hal yang sama dialami oleh Deviardi, pada kasus yang terkait dengan Rudi. Ketika olahraga di lantai 9, Deviardi mengenalkan diri dan ketika ditanya oleh Akil Mochtar, dia menjawab sidang untuk dia ditunda. Alasannya sama, persidangan penuh.

Budi hari ini diputus hakim berupa pidana penjara selama delapan tahun dan membayar uang pengganti sebanyak Rp. 17 milyar. Tentu saja Budi tidak puas dengan putusan hakim itu. Sebagai pihak yang ditipu oleh Sukotjo S Bambang, dia merasa diperlakukan tidak adil. Tetapi ada putusan yang membuat dia lega, yakni seluruh asset yang telah disita dikembalikan dan ditempatkan sebagaimana semula. Ini yang dianggapnya sebagai bagian dari putusan yang seharusnya.

Apakah akan banding? Budi masih pikir-pikir. Kesan saya dia akan menerima putusan yang pahit, karena musimnya sedang tidak bagus terhadap perkara-perkara yang banding dan kasasi. Mungkin dia akan cari waktu yang tepat untuk upaya hukum lanjutan.


Budi menjelaskan bahwa proses persidangan di Pengadilan Tipikor hanyalah sandiwara. Tak ada gunanya melakukan perlawanan hukum di dalam persidangan. Mau dihadirkan kesaksian-kesaksian dan fakta-fakta yang mematahkan dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) sebaik apa pun, tetap saja tuntutan yang diajukan sama dengan dakwaan. Hakimnya sudah dikepung opini untuk hanya menjatuhkan bahwa terdakwa bersalah. Hakim bukan memutuskan soal salah dan benar, tetapi hanya memutuskan berapa besar hukuman. Mengapa? Karena (dianggap) sudah pasti bersalah dan (karenanya) harus diputuskan bersalah.

Pengalaman dan pandangan Budi tentu menarik bagi Rudi yang tengah memasuki persidangan, dan untuk Wawan yang salah satu kasusnya sudah selesai pemberkasan. Dan tentu saja buat saya yang baru tahap awal pemeriksaan.

Kata Budi, penjelasan dan bantahan terdakwa, keterangan saksi yang mematahkan dakwaan dan keterangan ahli yang menguntungkan terdakwa tidak terserap dengan baik, bahkan cenderung diabaikan saja. Makanya konsep dakwaan dan tuntutan JPU seperti copy paste saja.


Dinamika persidangan dengan segala macam kesaksian, keterangan, penjelasan dan bantahan yang bermutu dan berbasis fakta sekalipun tidak akan bermakna di mata JPU. Siapa JPU? Ya KPK itu sendiri. Penyidik dan penuntut ada di lembaga yang sama. Satu atap dan menyatu di KPK. Siapa yang mengarahkan penyidik dan penuntut? Ya sudah jelas Pimpinan KPK. Berapa tahun seorang terdakwa dituntut misalnya, itu arahan Pimpinan KPK.

Meskipun begitu konteksnya, Prof. Rudi tidak berkecil hati. Semangat untuk membela harkat dan martabat diri dan mencari keadilan tidaklah surut. Dia merencanakan di setiap sidang akan membuat semacam “summary” poin-poin apa dari dakwaan JPU yang berhasil dipatahkannya. Harapannya adalah publik jadi tahu dan hakim akan mempertimbangkan hal tersebut ketika kelak putusan dijatuhkan. Sedangkan Wawan tidak banyak bicara. Tetapi tampak pula semangatnya untuk berjuang demi yang terbaik. Tidak tampak kegelisahan yang mengganggu.

Siapa pun tahu bahwa perjuangan saya akan berat, karena ada tambahan faktor-faktor non hukum yang terus bekerja. Termasuk mesin opini yang terus digalang dengan kekuatan yang sangat hebat.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Friday, March 21, 2014

Buyung Nasution Kritik Keras KPK


Acara Indonesia Lawyer Club (ILC) pada Rabu, 29 Januari 2014, agak berbeda dengan biasanya. Jam tayang biasanya adalah hari Selasa malam dengan menghadirkan banyak narasumber dan dihadiri juga oleh banyak peserta undangan. Kebanyakan peserta yang hadir memang para lawyer, sesuai dengan judul program acaranya.

Pada Rabu, 29 Januari 2014 itu, acara ILC memang istimewa karena hanya berisi wawancara tunggal antara Karni Ilyas sebagai pemilik acara (Host) dengan hanya seorang tamu yang diwawancarai, yakni Adnan Buyung Nasution.

Bang Buyung, panggilan akrabnya Adnan Buyung Nasution, adalah pengacara kawakan, pakar hukum, dan sekaligus aktifis senior pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Indonesia yang pertama kali.

Berikut ini adalah hasil transkrip dari wawancara tersebut yang saya ambil dengan editing seperlunya dari www.erikfaqihudin.blogspot.com.

Huruf “K” adalah singkatan untuk Karni Ilyas, sedangkan huruf “B” adalah singkatan untuk Adnan Buyung Nasution.


K: Selamat sore Bang Buyung.
B: Selamat sore Pak Karni.
K: Sehat?
B: Sudah lama nggak jumpa, gimana baik-baik?
K: Iya, sampai kangen, nih.
B: Persahabatan yang lama ya, puluhan tahun. Dari mulai Pak Karni ini wartawan yunior sampai menjadi seorang tokoh pers sekarang ini, ya. Yang mendapat gelar doctor honoris causa lagi. Saya ikut bahagia, saya menghadiri dan memberikan sambutan (saat pemberian gelar doctor honoris causa untuk Karni Ilyas).
K: Alhamdulillah Bang. Bang, saya melihat Abang itu dulu salah satu, katakan leader dari aktifis anti korupsi, dan mendorong terbentuknya KPK juga dan sangatlah support. Tapi belakangan Abang kayak frustrasi atau kayak marah gitu sehingga Abang kritiknya mulai keluar dan tajam. Apa yang terjadi Bang?
B: Saya kira ini suatu sikap Abang yang, orang boleh bilang kontroversial, tapi Abang selalu merasa terpanggil bahwa untuk tujuan yang luhur pun caranya harus benar. Tidak boleh terjadi, tujuan menghalalkan cara, the end justifies the means. Itu prinsip dalam hidup. Maka dalam hal misalnya itu tadi ya, seperti sebelum sekarang, korupsi, soal pelanggaran HAM. Wiranto, semua TNI dituduh ramai-ramai oleh seluruh LSM melanggar HAM. Abang bela mereka. Karena mereka juga manusia, punya hak asasi untuk dibela. Dan belum tentu tuduhan semua LSM di dalam dan diluar negeri benar. Dan itu terbukti kan? Abang keluar negeri Abang dikritik, dimusuhi oleh LSM-LSM di Jeneva, di Belanda, di Inggris tapi saya tidak mundur. Saya bilang, belum tentu salah klien saya. Nah sekarang pun begitu.
K: Apa yang salah dari tindakan KPK menurut Abang selama ini?
B: Sekarang kalau mengenai KPK, menurut saya suatu hal yang saya sayangkan ya, kita berantas secara wajar sajalah, jangan (dengan) cara-cara kekuasaan. Untuk bisa memahami kenapa Abang begitu concern untuk peduli. Abang ini hidup tiga zaman. Bagaimana zaman Soekarno memberantas korupsi, itu main tangkap saja. Lie Hok Thay, Pieter de Queljoe, Roeslan Abdul Gani, tangkap saja. Soal pembuktian nanti belakangan. Roeslan mau berangkat ke airport, tangkap di airport. Kan tidak bisa begitu. Yang bisa, ada dasar hukum kalau kita curiga sama orang. Panggil baik-baik. Dalam surat panggilan jelas untuk apa orang dipanggil. Dituduh membunuhkah, mencurikah, pasal berapa yang dituduhkan itu. Kenapa perlu? Pertama itu untuk menunjukkan bahwa negara tidak sewenang-wenang. Dia memanggil ada dasar hukumnya. Kedua, bagi si orang yang dipanggil, punya hak untuk membela diri, mempersiapkan pembelaan dirinya. Kalau misalnya diperiksa dia karena korupsi, dia kan harus cari korupsi yang gimana. Hambalang, misalnya, dia harus cari bahan-bahannya (tentang) Hambalang. Tapi kalau tuduhannya korupsi Hambalang dan lain-lain proyek, ya Allah ya Rabbi, itu sama dengan karet yang bisa diulur. Dan saya dulu jaksa, jangan lupa, itulah kelakuan para penyidik. Rusak negara ini, karena negara tidak mempunyai kepastian hukum.


K: Bagaimana menurut Abang dengan prosedur penyadapan misalnya?
B: Apalagi itu, saya tidak setuju penyadapan-penyadapan, kecuali lembaga-lembaga yang telah disetujui oleh, katakanlah dalam rangka intelijens itu memang bisa digunakan. Itu pun harus dengan ada undang-undangnya kan? Tidak bisa sembarangan orang saja bisa menyadap.
K: Lha KPK kan memang dapat dasar hukum untuk melakukan tindakan penyadapan.
B: Kalau KPK dapat dasar hukum, tentu kita harus terima, ya bahwa itu sah-sah saja. Tapi juga penggunaannya itu kan harus juga ada … ada (aturannya). Nggak semua orang-orang disadap. Musti harus ada dulu kecurigaan awal, bahwa ini akan ada transaksi, barangkali ini akan ada suatu perbuatan kejahatan. Ada aanwijzing namanya, petunjuk-petunjuk, bukti-bukti permulaan. Tidak semua orang disadap. Kalau begitu kan tidak ada kebebasan, hak kemerdekaan manusia di Indonesia ini. Negara menguasai seluruh hajat hidup kita, kemanapun kita bergerak, kita berbicara semua diawasi oleh apa, oleh sadap. Kan nggak betul juga.
K: Lha Abang baru kelihatan meledak itu dalam kasus Anas. Dalam kasus Anas ini apa yang salah?
B: Sebenarnya sudah lama ya, Abang mendapat laporan dari masyarakat tentang sikap dan tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan KPK yang berlebih-lebihan. Ya dari banyak orang, bukan dari pihak biasa. Ada mantan Mahkamah Agung, Hakim-hakim Agung, ya kan, orang-orang tua kita juga yang kita hormati, ndak usahlah saya sebut namanya. Bang kamu mesti bicara ini, nggak bisa ini KPK caranya begini. Ya, sewenang-wenang mau menunjukkan kekuasaan, arrogance of power namanya. Ya, timpa saja, urusan belakangan. Apa itu kesombongan yang saya baca itu. KPK itu tidak pernah merusak alasan-alasan …. Sejak kapan, selalu benar? Kalau menangkap orang, semuanya harus salah, pasti salah. Bagaimana memastikan salah orang, nanti pengadilan yang memastikan. Keangkuhan, kesombongan, kekuasaan ini Abang lawan. Itu sikap Abang dari muda.
K: Dari lembaga manapun ….
B: Melawan zaman Soeharto sampai sekarang pun Abang lawan kalau begitu caranya. Buat siapa, bukan buat diri Abang. Abang merasa dipanggil nurani buat rakyat. Tidak boleh sembarangan.
K: Apa dalam kasus Anas hanya surat panggilan itu menurut Abang?
B: Itu dulu permulaannya, surat panggilan. Orang dipanggil musti jelas untuk apa. Dan itu Abang ajarkan, menjadi tekad Abang sejak tahun 70 berdirinya LBH. Berapa banyak panggilan-panggilan Abang, jangan datang. Tanya Pak Abdurrahman Saleh, (saat) dipanggil Kopkamtib. Jangan datang Man (panggilan untuk Abdurrahman Saleh), kita lawan Kopkamtib. Enak aja memanggil orang, nah sekarang kembali lagi ke zaman itu. Memanggil orang tanpa jelas apa tuduhannya atau tergantung keperluannya. Ya, zaman dulu begitu, dipanggil untuk didengar keterangannya titik. Bagaimana rakyat dipanggil untuk didengar keterangannya atau apa. Ini membuka peluang kesewenang-wenangan negara. Kesewenang-wenangan orang-orang yang memang berambisi untuk menunjukkan show of power-nya. Dan inilah permulaan dari pada nanti, ya penindasan negara lagi. Tirani kekuasaan dan itu harus ditinggalkan. Kita sudah menjatuhkan tirani orde lama, orde baru, sekarang reformasi. Jangan diulang lagilah, ya enggak?!

Adnan Buyung Nasution sedang memeriksa gigi Anas Urbaningrum yang sakit.

K: Lha kalau kasus Wawan (klien Buyung dalam kasus lain yang menjerat Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan), Abang keberatan apa?
B: Wawan yang Abang paling keberatan adalah, –bahwa dia jadi tersangka dan juga dia ditahan bagi Abang tidak jadi masalah. Tapi bahwa dia begitu digeledah, dipinjam dari tahanan, mereka tahu ada pembelanya, kantor Abang. Dan ada pembela Abang dua di kantor KPK, tidak diajak, diam-diam dibawa muter ke rumahnya, digeledah semua barang-barangnya. Semua dokumen diambil. Kenapa tidak bawa penasehat hukumnya. Gayus saja, ini buat contoh, polisi, Mabes Polri atau Polda Metro Jaya, Mabes Polri, masih menghormati hukum, masih menghormati pembela. Waktu dia digeledah, pembela kantor saya diajak, Itu Via (staf Buyung) masih ada di sini, siapa lagi waktu itu, Indra (staf Buyung) diajak sama-sama geledah. Ketemu uang bermilyar, dihitung bersama. Bahkan Via saya minta uang itu jangan diambil begitu saja, hitung nomor serinya. Berapa nomor seri ini semua, supaya tidak bisa ditukar-tukar. Kan begitu kalau mau bekerja netjes. Netjes secara hukum itu memang betul fair dan adil. Nah ini Wawan tidak begitu, angkut saja semua dokumen, ya kan tanpa ada pembelanya dan, nah ini perlu dikasih tahu. Dari dokumen-dokumen itulah dicari kesalahan lain. Bukan soal suap di Akil lagi (Akil Mochtar, saat sebagai Ketua MK). Ditemukanlah katanya, ditemukan tanda kutip. Ya, menurut Abang itu mencari-cari kesalahan yaitu alat kesehatan. Apa begini cara kita menegakkan negara hukum. Coba Karni pikirlah apa begini caranya?
K: Jadi kasarnya lebih ke hukum acara pidana yang ditabrak, kira-kira nggak begitu?
B: Betul intinya, itu utama. Ya kalau soal materi pokok, bersalah (atau) tidak kan nanti kita harus tunggu di pengadilan. Tapi lagi-lagi Abang mengatakan tujuan untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu atau menyatakan bersalahnya seseorang di pengadilan nanti, caranya juga harus benar. Jangan tujuan menghalalkan cara. Segala cara dipakai, pokoknya buat tujuan yang benar, yang luhur. Ini kesalahan manusia yang berbahaya. Asal tujuan benar, cara apa pun boleh. The end justifies the means, menurut orang Inggris dan ini suatu sifat yang Abang selalu anggap tidak boleh kita tolerir.
K: Lha, saya dengar Abang juga keberatan kasus Sutan Bhatoegana, yang rumahnya digeledah.
B: Ya Abang belum bisa banyak bicara. Abang dapat informasi dari dia, bagaimana dia digeledah rumahnya. Dia minta supaya tunggulah dia datang dulu, dia sedang di jalan. Mereka tidak mau menunggu, mereka langsung menggeledah semua. Lalu mengambil dokumen-dokumen tanpa dirinci lagi. Dia bilang ini dokumen ini sama dengan dokumen yang di DPR, diangkat juga semua dokumen. Coba, anggota DPR pun diperlakukan begitu, bagaimana? Ya Abang pikir ini cara-cara kekuasaan, show of power. Ya, untuk tidak mengatakan kembali kita ke zaman Kenpeitai (Kempetai), tentara rahasia Jepang dulu. Dan Abang menderita, (karena) ayah Abang ditangkap dengan cara begitu. Tengah malam. Jangankan pakai baju, hanya pakai celana pendek. Mau pakai baju pun nggak boleh. Diangkut langsung. Itu tentara Jepang dulu, waktu kita dijajah Jepang. Janganlah lagi berulang semua kekuasaan-kekuasaan yang berlebih-lebihan yang pada akhirnya akan menginjak-injak harkat martabat kemanusiaan bangsa kita oleh bangsa kita. Nah ini, kita sekarang akan diinjak-injak, dihina kemanusiaannya oleh bangsa Indonesia sendiri. Saya akan lawan! Siapa pun itu di KPK, nggak masalah.

Anas Urbaningrum dan Gayus Tambunan, 2 orang klien Adnan Buyung Nasution.

K: Ya, tapi kan publik, rakyat selama ini merasa menderita itu gara-gara korupsi, maka ini dianggap extra ordinary crime. Lha, untuk yang begini apakah semua prosedur harus setertib yang Abang bilang?
B: Tetap saja harus, ya sekarang kalau dianggap extra ordinary crime, ya andai kata itu benar saya masih berpendapat berbeda, tidak extra ordinary crime, sama seperti misalnya pelanggaran hak asasi manusia. Ya, genocide itu memang extra ordinary crime, kalau korupsi bukan. Tapi taruhlah sekarang dianggap begitu, Abang taken for granted. Tetap caranya itu harus dia menurut aturan hukum. Kalau tidak mau cara aturan hukum, marilah kita kembali saja ke zaman yang misalnya tahun 50-an. Abang sudah besar waktu itu, jaksa. Bagaimana zamannya Kolonel Zoelkifli Loebis main culik aja orang. Lie Hok Thay, Pieter de Queljoe, diculik. Diculik dibawa ke Bandung, diperiksa di Kodam Siliwangi di Bandung. Kenapa ndak cara begitu? Nah kan kita ingin cara yang lebih sopanlah. Dulu ada berbagai macam cara, Gerakan Anti Korupsi, TPK, zaman Ali Said segala macam. Abang kan termasuk orang yang menganggap itu semua kurang tepat caranya. Kita buatlah yang bagus. Abang termasuk konseptor yang mendirikan KPK ini. Membuat Undang-undangnya, memilih orangnya pun di angkatan pertama, saya bisa bandingkan. Angkatan pertama kok bagus-bagus. Yang namanya Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, nggak ada cara-cara seperti ini. Lembaganya sama. Jadi lembaga yang sama pun, aturannya sama pun, manusianya itu menentukan juga, bisa berbeda. Ya percuma ada pepatah the man behind the gun.
K: Tapi Abang sadar nggak, kritik Abang atau reaksi Abang di KPK ketika mendampingi Anas sampai Anas nggak boleh tandatangan, ini artinya tidak populer di mata masyarakat. Abang akan dapat kritik banyak daripada itu.
B: Itu satu sikap Abang yang Abang tidak pernah mundur ataupun takut. Kalau sudah panggilan nurani, Abang menghadapi publik pun, menghadapi arus pun Abang lakukan. Karena ada prinsip yang lebih tinggi yang Abang perjuangkan, keadilan! Orang sesalah apa pun berhak dihukum sesuai kesalahan-kesalahannya. Tidak orang karena dianggap bersalah korupsi lalu dihina, diperlakukan sewenang-wenang. Dia tetap harus diproses secara hukum dan dihukum setimpal kesalahannya. Ini ada pikiran di KPK, sudah gila itu pikiran saya bilang, mau memiskinkan orang. Coba debat ke saya, di mana ada hukum di dunia, memiskinkan orang? Dan itu terjadi sekarang. Saya tidak tahu siapa-siapa, beberapa orang yang dihabisi hartanya semua, termasuk Djoko Susilo kemarin. Kan nggak benar negara kita ini, coba saya tanya Pak Karni. Pak Karni juga sarjana hukum, wartawan ulung. Ada nggak negara di dunia ini yang hukumannya mencantumkan memiskinkan orang? Ndak ada! Negara saja harus menjamin orang miskin kok, masak sekarang ada negara yang kekuasaannya memiskinkan orang. Logikanya dimana? Kan bertolak belakang itu.

Adnan Buyung Nasution bersama Tim Pengacara di kantornya.

K: Jadi menurut Abang, apa yang dilakukan KPK sekarang sudah tidak lagi bertujuan menegakkan keadilan?
B: Abang khawatir, walaupun baru sekarang, kalau terus begini Abang akan katakan bubarkan KPK. Atau tetap KPK dengan orang-orang baru. Kita kocok lagi dan diadakan Badan Pengawas. Tidak hanya penasehat. Badan Pengawas. Setiap memanggil orang, dilihat panggilannya sah atau tidak. Ada Dewan Penasehat dong, senior. Abang saja di LBH pakai orang senior. Pak Darsono, Profesor Subekti. Penasehat-penasehat kita dan cara itu jangan sembrono. Di Kejaksaan juga begitu, ada senior. Zamannya Pak Prapto, tidak sembarangan Jaksa bisa berbuat. Dan jangan lupa, satu yang Abang ingin KPK mengerti, hukum itu tidak boleh mencari-cari kesalahan orang. Hukum itu menemukan kesalahan orang. Itu Jaksa Agung Soeprapto kasih nasehat sama Abang waktu Abang masih muda, menggebu-gebu memeriksa orang, panggilin semua orang. Abang dipanggil ke Kejaksaan Agung. (Kata Jaksa Agung): “Buyung, kamu tidak boleh cari-cari kesalahan orang, kalau kamu cari kesalahan orang, siapa pun ada salahnya, coba katanya, tuh orang jalan tuh, Lapangan Banteng, ambil 10 orang secara acak. Periksa, interogasi di kamar sana, pasti tiap orang ada salahnya. Yang baru bertengkar sama bininya, dia tabok bininya tadi itu kali, nggak bawa SIM, ada saja kesalahan orang.” Dan ini gejala di KPK juga, cari-cari kesalahan orang. Saya tidak setuju itu.
K: Jadi apa solusinya menurut Abang?
B: Solusinya yang terbaik menurut saya sekarang, KPK ini ya, didirikan Badan Pengawas paling baik. Badan Pengawas dia mengontrol, check and balances, sebab dalam Hukum Tata Negara power must be team. Tidak boleh ada power uncheck, power yang tidak bisa dikontrol. Sekarang siapa control KPK? Coba tanya?
K: Harusnya DPR.
B: Nah, atau sehari-hari kerja mereka panggil orang, meriksa orang, ada tuduhan. Ada nggak penasehat yang ditanya dulu pendapatnya, pendapat badan pengontrol, yang memanggil orang sembarangan? Nggak ada!
K: Yah KPK suruh, ya ajukan ke pra peradilan.
B: Pra peradilan sekarang hakim-hakim banyak yang takut! Karena dikondisikan sekarang oleh masyarakat, termasuk media ikut mengkondisikan. Siapa hakim yang membebaskan koruptor dia pro koruptor. Jadi tidak ada hakim yang berani urusan perkara menghadapi KPK. Orang disangka koruptor, walaupun tidak terbukti, tidak akan berani membebaskannya. Kan begitu. Jadi ini negara ini negara otoriter akhirnya. KPK berwenang dengan penuh kekuasannya mencatat siapa hakim yang pernah membebaskan orang atau hukumannya ringan nanti habis kariernya. Ini para hakim yang mengadu sama Abang. Gimana mau berdiri kita?


K: Jadi orang yang tidak bersalah pun harus masuk penjara.
B: Ya, tidak bisa mengelak, takut mereka.
K: Nggak perlu pengadilan lagi dong harusnya.
B: Kalau begini kan dia penuduh, dia penuntut, dia yang menghukum, ini kita harus cegahlah ya. Ini gejala-gejala menuju pada negara kekuasaan.
K: Abang nggak mencoba memberikan –apalah– mendekati secara senior gitu lho.
B: Sudah, waktu mendapat panggilan Anas, Abang sudah kirimin surat mau bertemu tukar pikiran dulu. Ini bukan begini caranya, nggak bergeming mereka. Abang datang, nggak membuka pintu untuk bertemu. Padahal sebelum berbuat begini dulu, bergantian itu. Busyro datang ke rumah Abang, kan murid Abang juga Busyro itu. Bambang pun dulu sebelum anggota KPK datangi Abang juga, minta support moril.
K: Ya Bambang juga yunior Abang.
B: Sekarang sudah berkuasa, mereka sudah lupa. Lupa daratan, itu suatu bahaya. The cronical problem of power dalam ilmu pengetahuan. Masalah kronis dalam kekuasaan. Kekuasaan itu ibarat orang naik kuda. Kalau sudah naik kuda itu enak sekali, nggak akan mau berhenti. Makin lama makin kencang, makin syur orang Medan bilang. Makin enak itu ya, makin bahagia, nah ini mesti kita waspadai. Ini pelajaran dalam ilmu Tata Negara dan ilmu Politik. Ya, the man on horseback, ada bukunya itu. The man on horseback, orang diatas pelana. Ini yang orang KPK harus diteriakkan, janganlah jadi begitu ya. Nanti suatu masa mereka dilaknat orang kalau terlalu kejam. Abang nggak main-main ngomong itu, dilaknat orang. Abang lihat 80 tahun nih, tahun ini. Abang pernah Jaksa, pernah penyidik ya, pernah apa ini, di Wantimpres, pernah memeriksa Tim 8, Tim 11, segala macam Abang periksa. Tapi kalau kita berjalan baik, insya Allah kita mendapat perlindungan. Tapi kalau begini caranya, Abang khawatir bukan saja lembaga KPK itu rusak, turun martabatnya. Akhirnya cita-cita kita memberantas korupsi pun gagal. Abang tidak mau gagal. Ini tekad kita bersama, hanya caranya yang Abang ingin perbaikilah. Kita sudah gagal dengan gerakan anti korupsi Zoelkifli Loebis dulu, gagal dengan TPK-TPK-nya Ali Said. Karni tahulah. Gagal dengan cara anti selundupan, orang ditangkap tanpa diperiksa, dibuang ke Nusakambangan, Karni tahulah itu semua. Itulah soknya kekuasaan itu. Ini kita sama-sama ngalami, he… he... he…. Jangan diulangi lagi sekarang ini, itu saja. Jangan diulangi lagilah.
K: Baik Bang, mudah-mudahan apa yang Abang katakan sore ini menjadi pendidikan bagi kita dalam menegakkan hukum dan keadilan yang tidak bisa kita pisahkan antara dua itu. Hukum saja tidak bisa tegak, keadilan tidak bisa. Dan tidak hanya untuk KPK, menurut saya, tapi pelajaran untuk generasi selanjutnya. Terima kasih Bang Buyung.
B: Terima kasih kembali. Mudah-mudahan bermanfaat buat kita semua. Terima kasih semua para pendengar, khususnya TV One.

Sumber:
Audio Visual dari: www.youtube.com
Transkrip dari: www.erikfahrudin.blogspot.com

Tuesday, March 18, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (11)


Kamis, 16 Januari 2014. Hari ini adalah jadwal dijenguk keluarga. Kamis jam 10-12 adalah kesempatan bertemu wajah-wajah lain diluar kami berempat dan penjaga. Khususnya keluarga, kerabat, handai taulan dan sahabat.

Waktunya diatur ketat dan pendek. Pasti ada alasannya. Kalau mau panjang ya jangan jadi tahanan begitu logikanya. Sama dengan ucapan Johan Budi, “Kalau Anas mau nyaman, ya tidur saja di hotel”.

Bagi para petugas yang berkuasa di rutan, makin ketat, makin tegas, makin bikin sulit tahanan dan keluarganya, mungkin dianggap sebagai prestasi. Itu kata beberapa tahanan lama yang saya dengar. Saya tidak peduli dengan kesulitan-kesulitan dan pembatasan-pembatasan yang saya rasakan sebagai tahanan. Silahkan saja dilaksanakan, meski acap kali tidak rasional.

Selesai saya tulis surat balasan untuk Akmal, Nawal, Najih dan Najma, serta surat khusus untuk sahabat-sahabat aktivis PPI, saya bersiap menuju ruang jengukan. Dalam pikiran saya pastilah banyak keluarga dan sahabat yang akan bertemu.Ternyata yang bisa masuk hanya istri saya Tia, Mbak Dina dan Aci.

Teman-teman adalah orang-orang yang merdeka dalam berpikir dan merdeka dalam bersikap.

Tiga perempuan yang lain terhalang di lobi KPK, menunggu izin dari penyidik. Namun sampai selesai jam 12 siang, sahabat-sahabat yang lain tetap tidak bisa masuk. Alasan petugas karena penyidik tidak ada di tempat, karena sedang ada penggeledahan. Apakah semua? Semua tidak ada di tempat, begitu kata petugas penjaga rutan. Padahal tim penyidik saya ada 10 orang. Apakah info dari petugas itu benar? Saya tidak bisa mengkonfirmasi.

Tapi, ya sudahlah. Sebagai tahanan kategori “tapol” saya tak dalam posisi banyak menuntut, bahkan untuk hal-hal yang biasanya diperbolehkan bagi tahanan yang lain. Itu konsekuensi biasa saja. Apalagi teman-teman diluar terus melakukan usaha-usaha untuk menjelaskan kepada publik tentang apa yang terjadi. Meskipun itu inisiatif mandiri mereka, tetap saja akan dikaitkan dengan saya.

Wajar kalau ada persepsi bahwa itu atas perintah saya atau hasil koordinasi dengan saya, walau kenyataannya tidak. Teman-teman adalah orang-orang yang merdeka dalam berpikir dan merdeka dalam menyikapi perkembangan keadaan sesuai dengan informasi, pengetahuan dan pemahaman mereka. Mereka punya indera sosial, politik, dan hukum untuk dapat mencerna apa yang terjadi dan bagaimana memberikan respons.

Minimal ada komunikasi, meskipun hanya berupa tulisan pendek.

Agar ada komunikasi, saya menulis surat pendek untuk teman-teman yang dilarang masuk, seperti Saan Mustopa, Sudewo, Andy Soebjakto, Nur Iswan, Tridianto, Aidul Fitri dan yang lain-lain. Beberapa di antara mereka sudah datang dua atau tiga kali untuk menjenguk, tetapi nasibnya belum cocok. Surat saya isinya sederhana: permohonan maaf, saran untuk bersabar dan informasi bahwa nama mereka sudah ada dalam daftar yang saya serahkan kepada penyidik, baik langsung maupun melalui penasihat hukum. Surat itu saya titipkan kepada Tia. Minimal ada komunikasi, meskipun hanya berupa tulisan pendek.

Dari keluarga, selain dapat kiriman logistik, baju-baju ganti dan beberapa peralatan lain, saya dapat banyak titipan bacaan, doa, amalan untuk memperkuat jalur spiritual. Spiritualitas adalah kekuatan dan jalur yang tak terbantahkan. Hal ini memang transenden, tetapi saya yakini nyata.

Kembali ke kamar, Prof. Rudi, Budi dan Wawan sudah siap. Rudi dan Budi berbatik panjang. Wawan berbaju putih panjang. Tentu saja semua dengan baju kebesaran Tahanan KPK. Semuanya cakep dan rapi. Bahkan saya menggoda Wawan, apakah kalau diperiksa penyidik harus rapi seperti dia? Semua tertawa. Lalu keluar alasan karena harus lewat lobi dan disorot kamera. Mirip pertunjukan sirkus.

Semua tahanan harus bermain sirkus dulu di depan wartawan dan disorot kamera.

Bagi setiap tahanan yang dieksekusi, harus lewat lobi KPK dan diantar oleh mobil KPK. Meskipun ruang tahanannya di KPK. Apakah di bawah atau di atas yang bisa pakai lift dalam gedung. Semua tahanan harus bermain sirkus dulu di depan wartawan dan disorot kamera. Motivasinya pastilah untuk mempermalukan, atau dalam bahasa resminya memberikan efek jera.

Bagi tahanan yang di bawah, kalau berangkat dan pulang pemeriksaan juga harus lewat lobi untuk dipertemukan dengan kamera. Berbeda dengan tahanan di lantai atas. Cukup turun dengan memakai lift saja, tanpa harus bersentuhan dengan wartawan di depan pintu masuk. Rapi anti kusut jadi penting untuk kesan yang tidak negatif tentang kesehatan jasmani dan rohani.

Persis jam 13.00 mereka bertiga berangkat. Wawan diperiksa penyidik di Gedung KPK, Prof. Rudi dan Budi ke pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang letaknya masih berada di Jl. HR Rasuna Said juga. Untuk Prof. Rudi akan menjalani sidang pemeriksaan sedangkan Budi akan mendengarkan putusan hakim. Keduanya berangkat dengan tujuan yang berbeda: yang satu mendengarkan putusan, yang satu berkesempatan bertanya kepada para saksi.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Friday, March 14, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (10)


Rabu, 15 Januari 2014. Beda halnya dengan Budi Santoso. Pengusaha asal Pontianak ini pada hari Kamis akan menghadapi vonis. Kasusnya terkait dengan Djoko Susilo. Dia tampak sudah pasrah dan siap apa pun putusan hakim. Yang dia protes adalah awalnya kasus ini sudah ditangani oleh polisi dan dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Atas kebijakan dan perintah Presiden kepada Kapolri, seluruh kasus yang terkait simulator SIM harus diserahkan dan ditangani KPK.

Selain itu, dia merasa sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah ditipu Rp 94 miliar kok malah jadi korban hukum di KPK? Sementara, yang menipu malah berada dalam perlindungan LPSK. Persisnya saya belum pernah mendalami kasusnya seperti apa. Yang jelas, sebagai kenalan baru, Budi sangat ramah dan mudah bergaul.

Dia juga tampak sebagai tipe yang loyal kepada kawan-kawannya. Sebagai pengusaha, dia mengeluh atas iklim bisnis dan praktik penegakan hukum di Indonesia yang tidak pasti dan tidak adil. Dia banyak cerita tentang kondisi dan praktik-praktik di lapangan yang mengerikan. Budi Santoso dituntut 12 tahun dan besok menanti putusan hakim. Yang jelas, ia tampak sudah siap.

Tubagus Chaeri Wardana dengan pengacara Adnan Buyung Nasution dan timnya.

Beda, Prof Rudi, beda Budi Santoso, dan beda lagi dengan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dia baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus alkes di Banten bersama Atut, kakaknya. Wawan yang tipenya lebih pendiam tidak mudah ditangkap reaksi dan sikapnya. Yang saya lihat dia juga tetap tenang. Tidak kelihatan gusar atau marah-marah.

Sama dengan saya, Wawan juga didampingi Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution) dan timnya sebagai penasihat hukum. Ada juga Firman Wijaya di dalamnya. Tadi sore setelah Bang Buyung dkk bertemu saya di Posko Rutan, Wawan berkesempatan bertemu dan konsultasi. Pasalnya, besok Wawan akan diperiksa sebagai tersangka terkait Akil Mochtar. Tentu Wawan membutuhkan konsultasi dan juga pengacara yang besok akan mendampinginya. Saya sendiri tadi belum banyak bicara tentang langkah-langkah hukum dan strategi dalam menghadapi sangkaan dan nanti dakwaan dengan para penasihat hukum. Bang Buyung baru tanya-tanya informasi seputar penahanan dan bagaimana kondisi saya di tahanan.

Gang "Empat Sekawan" main gaple: Prof Rudi, Mas Budi, Anas, dan Kang Wawan.

Setelah saya terlepas dari isolasi, kami berempat banyak waktu untuk ngobrol dan diskusi, baik di meja makan maupun di kamar Rudi dan Wawan. Sebagai sesama tahanan, kompak dan perasaan senasib adalah pilihan satu-satunya. Saling menyuguhkan dan bahkan saling bersih-bersih piring dan alat-alat makan setelah selesai. Pokoknya, mirip kerjaaan anak kos.

Bahkan, saya mendapat pelajaran main gaple. Profesor memberi briefing bagaimana prinsip-prinsip permainan gaple.Ternyata, model permainannya sederhana saja sehinggga dengan cepat saya bisa mengerti. Untuk kali pertama, saya ikut main gaple dalam gang “Empat Sekawan”. Siapa yang kalah? Ternyata semua berkesempatan kalah. Secanggih apa pun kemampuan mereka bertiga bermain kartu, selalu ada ruang misteri, karena kartunya tertutup. Sehebat apa pun orang merencanakan hidupnya, selalu ada misteri yang mengiringinya. Hidup mengandung elemen misteri sebagaimana alam yang terkembang di depan mata kita.

Panta Rei, semua bergerak, semua berubah. Tak ada yang kekal, tiada yang abadi.

Profesor Rudi, Wawan, Budi Santoso, dan saya adalah bagian dari kekayaan Tuhan tentang misteri hidup itu. Begitu pula yang lain. Semua perjalanan hidup dipandu oleh dinamika antara rencana manusia dan misteri yang dikirim Tuhan. Hidup yang sesungguhnya adalah hari ini. Yang kemarin sudah menjadi sejarah, tak bisa diubah. Besok belum terjadi. Apa yang akan terjadi besok, kita tak pernah tahu. Definisi terkini tentang hidup adalah apa yang kita jalani hari ini. Hanya itu. Selebihnya adalah rencana-rencana dan ikhtiar-ikhtiar yang akan bertemu dengan garis batas ketentuan dan takdir Tuhan.

Panta Rei. Semua bergerak, semua berubah. Tak ada yang kekal, tiada yang abadi. Keabadian adalah wilayah prerogratif Tuhan. Perubahan terus-menerus adalah ruang ikhtiar yang disediakan Tuhan untuk manusia yang berada di dalamnya. Di situlah kita akan bertemu dengan kadang kala rasa manis, kadang kala rasa getir.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Monday, March 10, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (9)


Rabu, 15 Januari 2014. Kembali pagi ini saya bangun jam 03.30 pagi. Setelah wudlu, dilanjutkan shalat Tahajud dan shalat Hajat, sambil menunggu panggilan azan Subuh. Di sela-sela itu, saya makan tempe goreng dan minum air putih cukup banyak. Ada niat untuk berpuasa saja hari ini.

Selesai shalat Subuh dan mengaji, saya baca-baca buku dan tanpa terasa kemudian tertidur lagi. Baru bangun sekitar jam tujuh, ketika ada pergantian petugas jaga.

Setelah mata melek sempurna, terdengar suara panggilan dari Prof Rudi Rubiandini, mengajak saya sarapan pagi. “Sudah disiapkan, Mas,” begitu katanya. Saya sempat mikir-mikir apakah ikut sarapan pagi atau jadi berpuasa saja hari ini. Akhirnya, saya memutuskan tidak jadi berpuasa dan kemudian sarapan berempat dengan Prof Rudi, Mas Budi, dan Kang Wawan.

Acara ILC di TV One membahas tema "Ucapan Terima Kasih" Anas Urbaningrum.

Sambil sarapan, kami berdiskusi dan ngobrol ngalor-ngidul, termasuk membahas isu-isu yang dimuat media. Tadi malam, Prof Rudi membisikkan bahwa acara ILC di TV One sedang membahas tema tentang saya. Entah dari mana Prof Rudi mendapat informasi itu. Yang jelas, memang benar adanya, acara bincang-bincang dari klub para pengacara di TV One itu membahas ucapan terima kasih saya ketika keluar dari gedung KPK menuju ruang tahanan.

Beberapa hari ini, Prof Rudi tengah mempersiapkan diri untuk sidang pada hari Kamis. Saya lihat bahan-bahannya dia pelajari dengan sungguh-sungguh. Mulai dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para saksi hingga dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Semua BAP itu dibaca dengan teliti oleh Prof Rudi. Di bagian tertentu diberi tanda, mana keterangan di BAP saksi yang merugikan dan mana yang menguntungkan. Sebagai Guru Besar ITB, persiapan yang baik agaknya telah menjadi kebiasaannya. Kesiapan akademis.

Sebagai Guru Besar ITB, Prof Rudi Rubiandini mempersiapkan diri untuk sidang di pengadilan Tipikor dengan kesiapan akademis.

Prof Rudi bersemangat ingin mematahkan dakwaan jaksa yang berdasarkan BAP para saksi yang sudah dipahaminya secara baik. Bagian-bagian yang dianggap penting di-stabilo dan diberi tanda merah atau hijau. Merah sebagai tanda merugikan dan hijau sebagai tanda menguntungkan.

Pikir saya, boleh juga cara Profesor Rudi dalam mempersiapkan diri. Kami menggoda, jangan sampai lulus terlalu baik. Cukup Cum Laude saja. Beliau menjawab dengan tertawa, “Namanya juga ikhtiar.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Sunday, March 9, 2014

Terkikisnya Kesadaran


Hujan kini menjadi monster. Setiap hujan turun, perasaan pun menjadi was-was akan munculnya banjir. Padahal banjir tidak datang tiba-tiba. Banjir datang melalui proses panjang. Para pegiat lingkungan menyebut: banjir itu akibat ulah manusia. Tapi, tetap saja kita hanya memikirkan banjir ketika banjir tiba. Kesadaran kita terhadap “sesuatu” yang menghadang di depan menjadi sangat tipis. Kita baru benar-benar sadar ketika sudah terbentur “sesuatu” itu.

Kalahnya kesadaran, tentu saja, tidak hanya dalam konteks banjir atau bencana. Dalam segala hal, kesadaran kita makin terkikis. Justru yang makin menguat adalah kesadaran terhadap “ke-aku-an” (ego). “Aku” sadar harus berbuat sesuatu demi keuntungan atau kepentingan “aku” sendiri. Kita makin jarang berpikir “aku” sadar harus berbuat sesuatu untuk “mereka” atau “kita” bersama.


Tak sulit untuk mendapat contoh bagaimana orang makin tenggelam dalam dirinya sendiri. Datanglah ke mall (tempat belanja), perhatikanlah orang-orang yang berada di mall itu, baik yang sedang menunggu maupun yang duduk di kafe. Perhatikanlah berapa banyak orang yang sedang berinteraksi dengan orang lain, dan berapa banyak pula yang sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri, entah tenggelam dalam telepon pintar (smartphone), tablet, atau laptop.

Terlepas dari itu, memang ada kenyataan lain yang tak dapat dibantah. Hidup yang padat agenda dan kota yang makin macet mungkin menjadi salah satu penyebab interaksi langsung itu makin menipis. Namun, masalahnya, saat bertatap muka pun, orang lebih suka sibuk sendiri-sendiri. Akibatnya, interaksi yang ada menjadi begitu dingin dan tak mampu membangkitkan emosi tertentu.

Padahal, interaksi sosial semacam itu justru bisa membangunkan kesadaran yang tertidur. Misalnya, ketika seseorang sahabat menceritakan banjir, ada kemungkinan besar kesadaran kita akan terlonjak bahwa banjir itu benar-benar nyata, bukan sekadar peristiwa yang kita tonton di televisi. Sebab, sering kali, apa yang ditayangkan di televisi adalah hiperealitas, yakni sebuah dunia yang melampaui apa yang sesungguhnya terjadi.


Tapi, mengapa kesadaran komunal makin menipis? Barangkali pendapat Ken Wilber, seorang eksponen gerakan psikologi transpersonal di Amerika Serikat, bisa menjadi salah satu jawabannya. Ia mengatakan bahwa kesadaran adalah sesuatu yang tertanam dalam jaringan makna kultural tertentu. Kesadaran tidak hanya berada dalam kepala “aku” (personal) saja, melainkan juga dibentuk oleh kultur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Jadi ketika sebuah kelompok atau entitas makin menjauh dari kesadaran terhadap sesuatu, maka hal itu pun menjadi sikap (pikiran) “aku”.

Dalam konteks bencana, banjir misalnya, ketika secara kultural sedikit sekali atau tidak ada yang peduli secara serius terhadap hal tersebut, maka “aku” pun merasa tidak perlu memikirkannya. Pikiran bawah sadar dengan gampang berbicara: sistem yang seharusnya bekerja saja tidak berjalan dengan baik, buat apa “aku” sibuk memikirkannya?

Lalu, ketika sesuatu terjadi, kita pun ramai-ramai mencari kambing hitam. Bahkan, tak jarang, kita buru-buru melempar tanggung jawab kepada Tuhan. Seolah-olah Tuhan gemar menimpakan bencana kepada manusia.

Dianing Widya,
Novelis
TEMPO.CO, 4 Maret 2014

Tuesday, March 4, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (8)


Rabu, 15 Januari 2014. Hingga hari ini, Akmal, Nawal, Najih, dan Najma belum bisa ketemu menjenguk saya. Sebaiknya memang tidak usah dulu untuk sementara waktu. Alhamdulillah, mereka diwakili oleh surat masing-masing.

Surat tertutup khusus untuk ayahnya di tahanan. Saya dengar bahkan ibunya pun tidak boleh mengintip apa isi surat-surat itu. Menulis surat adalah perjuangan tersendiri buat anak-anak seusia mereka, terutama Najih dan Najma. Tapi kalau Akmal dan Nawal sudah lumayan kemampuan menulisnya.

Akmal menulis suratnya di selembar kertas merah. Judul depannya “SEPERTI WARNA SURAT INI, ABAH HARUS BERANI!” Isi suratnya meminta saya untuk tetap semangat, tetap tegar, menghadapi apa pun yang terjadi.

Bapaknya harus punya keyakinan yang teguh atas apa pun yang dilakukan orang. Kalau bapaknya tidak apa-apa, Akmal tidak apa-apa. Akmal juga menulis bahwa suratnya adalah pengganti kehadirannya, karena dia tidak bisa menemui dan menemani.

Nawal suka gaya saya ketika datang ke KPK.

Surat Nawal agak berbeda. Di sampul luarnya ditulis “Kalau amplopnya sudah dibuka, tidak boleh diterima. Karena kalau sudah terbuka berarti kurirnya yang salah.” Tersenyum saya membaca tulisan Nawal di amplop surat. Ternyata benar adanya. Surat Nawal ada di dalam amplop rangkap tiga!

Isi suratnya, pada bagian awal menanyakan kabar. Lalu menceritakan bahwa pada tanggal 10 Januari 2014 dia melihat abahnya datang ke KPK. Dia menulis bahwa dia suka gaya saya ketika datang dengan guyonan. Tetapi, protes karena lama menunggu di TV. Nawal menceritakan, ia menunggu berita di TV sambil bikin candaan singkatan: KPK = Komisi Paling Kepo.

Dalam suratnya, Nawal juga protes kenapa kasih hadiah tahun baru ke SBY, tetapi belum ada hadiah untuk Nawal. Sama dengan Akmal, Nawal minta abahnya tetap semangat dan pantang menyerah, sambil terus berdoa dari Yogya.

Tak tega rasanya kalau tidak memberi statement, karena para wartawan sudah menunggu sejak pagi.

Memang, ketika sampai di KPK, saya bikin kelakar ringan. Saya bilang, “Benar informasi yang menyebutkan Anas tidak mau dipanggil KPK. Nama saya Anas, kok dipanggil KPK? Ya, jelas tidak mau. Istri dan anak-anak saya memanggil Abah. Teman-teman ada yang memanggil Mas dan Cak. Jadi, jangan dipanggil KPK,” begitu canda saya.

Mengapa bercanda? Karena, hal-hal yang lebih serius sudah saya sampaikan kepada teman-teman wartawan di Durensawit, sebelum shalat Jumat. Ketika datang ke KPK setelah shalat Jumat, saya merasa tak perlu lagi bikin pernyataan serius. Tetapi, karena wartawan sudah menunggu dari pagi dan jumlahnya sangat banyak, tak tega rasanya kalau tidak memberi statement yang bisa mereka setor ke redaktur masing-masing.

Ya, sudah, bikin guyonan saja, biar ada berita untuk teman-teman wartawan di KPK. Mungkin Akmal dan Nawal menunggu saya lewat berita di TV sama dengan para wartawan yang menunggu sejak pagi.

Surat panggilan memang menyebut jam 10.00 pagi. Tapi karena harus menemui wartawan yang sudah beberapa hari menunggu di Durensawit terlebih dulu, maka saya baru berangkat ke KPK setelah shalat Jumat di Masjid Matraman dan makan siang di Restoran Sederhana, Pasar Rumput, langganan lama yang cukup lama tidak disambangi. Saya bergerak dari Pasar Rumput persis jam 13.30 dan tiba di Gedung KPK sekitar jam 13.45.

Saya bangga, walaupun Najih harus menerima beban tapi dia rela berkorban.

Lain halnya dengan Najih. Isinya singkat saja: “Abah, aku akan support Abah sampai Najih meninggal.” Ditutup dengan, “OK. Cuman ini yang bisa Najih tulis.” Di bawah tertulis: “Your Son, Najih.” Sedangkan Najma lebih singkat lagi: “Abah, semoga berhasil, ya, dan tetap sehat, dari Najma,” lalu ada tanda tangannya. Najih kelas 5 SD dan Najma kelas 3 SD. Suratnya singkat, padat, dan jelas.

Tetapi, Najih punya titipan spesial, yaitu sebuah bantal-guling. Sejak kecil, Najih tak bisa lepas dari bantal-gulingnya. Guling itulah yang dibawa ke mana pun dia pergi, baik ke luar kota atau ke luar negeri. Kalau tanpa guling itu, tidurnya gelisah. Guling itu sejak lama diberi nama “Bambang” untuk menggambarkan kedekatannya dan sudah dianggap semacam “teman”. Hari ini, guling itu diserahkan kepada saya untuk menjadi teman di tahanan.

Saya membayangkan betapa berat dia melepaskan “Bambang”. Tetapi, hari ini, “Bambang” dilepaskan dan diserahkan kepada abahnya. Sungguh saya merasa Najih telah mengorbankan apa yang dianggapnya berharga. Saya pun bertanya-tanya, apakah nanti malam Najih bisa tidur pulas?

Jangan-jangan dia gelisah karena ditinggal “Bambang”-nya. Malah, jadi saya yang gelisah, sambil merasa bangga bahwa Najih rela berkorban. Sudah harus menerima beban, ia masih mau merelakan berpisah dengan “teman tidur”-nya.

(Bersambung)

Sumber:
www.jurnal3.com

Saturday, March 1, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (7)

Moment yang tak terlupakan, saat dilempar telur di depan gedung KPK.

Selasa, 14 Januari 2014. Alhamdulillah, pagi ini, setelah gerak-gerak sedikit lalu mandi, badan segar dan penuh semangat. Pasalnya, dalam status sebagai hari libur nasional, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah salah satu hari untuk bisa dijenguk keluarga. Dijenguk itu maknanya bisa bertemu, kangen-kangenan, komunikasi langsung, kiriman logistik jasmani dan rohani, termasuk intelektual, penggantian baju kotor ke baju bersih dan tentu saja bisa keluar dari kamar tahanan. Bayangkan, betapa pentingnya waktu atau jadwal jenguk bagi tahanan.

Pagi ini, kondisi lebih segar karena isolasi sudah bisa ditembus. Mestinya belum bisa dan masih dilarang untuk ke luar kamar. Tetapi selalu saja ada jalan yang bisa dikreasi dan itu pasti bagian dari petunjuk Tuhan. Ternyata, Tuhan mengirim bau pesing sebagai jalan untuk membuka isolasi. Pasti aneh dianggapnya. Bagaimana bisa?

Mungkin karena tekanan dari bawah makin kuat, dari lubang air buangan untuk mandi, bau itu makin keras serangannya ke hidung. Pintu dibuka pun tidak sanggup mengatasinya. Saya tanyakan ke Damuri. Bagaimana baunya? Dia jujur mengakui bahwa sengatannya makin hebat. Saya minta tolong dia untuk lapor kepada Kepala Rutan Bapak Arifuddin. Isinya adalah laporan kondisi kamar dan keluhan bahwa serangan bau itu mulai bikin saya “mabuk”.

Definisi “mabuk” di sini adalah mulai pusing-pusing dan mual. Karena itu, alternatifnya, saya meminta izin sementara pindah istirahat, bergabung dengan Prof Rudi, Budi, dan Wawan, atau saya tetap di kamar yang sekarang tetapi lubang pembuangan kamar mandinya ditutup untuk mengurangi hebatnya bau pesing. Jika ditutup, saya harus mandi di kamar mandi mereka bertiga.

Ternyata, Tuhan mengirim bau pesing di ruang tahanan sebagai jalan untuk membuka isolasi.

Kepala rutan segera merespons dengan cara yang minimalis. Dikirimlah seorang petugas cleaning service dengan membawa semprotan pengharum! Jelas bukan solusi sama sekali. Saya perintahkan sang petugas untuk masuk ke kamar mandi dan merasakan baunya. Saya bilang, “Mau disemprot pakai parfum atau pengharum sepuluh biji pun tak akan bisa melawan bau.” Jalan satu-satunya adalah menutup lubang air. Sebentar kemudian dia bilang memang bau dan dia akan kembali lapor kepada Kepala Rutan. Tak lama setelah itu datanglah petugas untuk urusan itu, semacam office boy khusus untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil dan mengecek jika ada permintaan atau complaint dari penghuni rutan. Namanya Edi, orangnya pendek, kekar, dan cekatan.

Edi tahu persis sejarah kamar itu. Dulunya dapur dan di bawahnya ada tempat pembuangan kotoran. Dulu ketika kamar itu dipakai memang semua lubang ditutup dan kamar mandi tidak dipakai. Kamar mandi kembali dipakai untuk menyambut kehadiran saya. Dia diperintahkan untuk memfungsikan kembali kamar mandi, salah satunya dengan membuka lubang air. Makanya dia segera tahu apa yang harus segera ditutup. Karena dialah yang sebelumnya membuka dan sekarang dia yang harus menutup kembali. Mirip lagu dangdut.

Saya kan hanya menjalankan perintah, Pak,” katanya sambil tersenyum.

Dalam waktu 30 menit, semuanya sudah beres. Bau berkurang drastis, meskipun tidak hilang. Sebagai konsekuensinya, kamar mandi tidak bisa dipakai. Inilah jalan menuju berakhirnya isolasi. Tetapi Kepala Rutan berpesan kepada Damuri agar Anas hanya boleh ke luar kamar untuk mandi saja. Saya bilang, “iya, tidak masalah.” Dalam hati saya, sehari saya bisa mandi berkali-kali. Masih juga ada kesempatan wudlu dan buang air. Intinya, isolasi sudah bisa diakhiri. Berkat bau, isolasi selesai.

Akhirnya bisa duduk berempat dengan: Kang Wawan, Prof. Rudi, dan Mas Budi.

Praktis sejak tadi malam, saya bebas masuk-keluar kamar dengan dalih ke kamar mandi. Apalagi, para senior di kamar sebelah selalu mengajak untuk ke kamarnya. Alasannya ada kopi, ada kue, ada buah, intinya mengajak gabung untuk ngobrol-ngobrol, ketawa-ketawa, dan saling membunuh waktu yang panjang. Untuk kali pertama pula saya bisa duduk berempat di meja makan kecil di kamar sebelah.

Karena itu pula, pagi ini kami berempat merencanakan, merumuskan, dan mengusulkan sesuatu kepada Kepala Rutan atas hak kami mendapat kunjungan keluarga. Biasanya, ketika libur nasional, para tahanan menemui keluarga di hall lantai 1 yang biasa dipakai shalat Jumat. Semua dikumpulkan di situ. Kami punya usul baru, yakni tetap menggunakan ruang jengukan di lantai bawah (basement) Gedung KPK. Kami meminta tolong kepada petugas jaga, Timur Pakpahan, untuk menelepon atau SMS kepada Kepala Rutan. Tidak lama kemudian ada jawaban singkat, “Akan dipikirkan.” Meskipun jawabannya kurang menggembirakan, kami merasa masih ada peluang. Benar saja. Menjelang jam 10.00 ada jawaban yang intinya usulan diterima dan diizinkan.

Kami berangkat bersama ke depan, ke ruang jengukan keluarga, diantar oleh Timur Pakpahan. Ada empat ruangan, pas untuk masing-masing kami dan keluarga. Berkah hari ini makin bertambah dengan kesempatan berkenalan dengan keluarga Prof Rudi, Mas Budi, dan Kang Wawan. Di antara mereka, saya baru kenal Airin, istri Wawan. Dulu hadir pada Musda Partai Demokrat Banten setelah terpilih menjadi Walikota Tangerang Selatan. Kebetulan Partai Demokrat mendukung Airin dan saya ikut pidato saat kampanye di hari terakhir. Saling kenal di antara keluarga itu penting, agar kalau ada urusan apa-apa bisa koordinasi. Alhamdulillah, tadi keluarga saling berkenalan dan bertukar nomor kontak. Rencana berhasil, target tercapai.

Pertama kali bertemu dengan istri sejak 'mondok' di KPK. Cerita tetap beda dengan rupa.

Hari ini adalah kesempatan pertama bertemu Tia, istri saya. Kemarin, hari Senin baru adik dan beberapa penasihat hukum yang sempat jenguk di ruang posko rutan. Tia datang bersam Mbak Dina (kakak ipar saya), Yunianto Wahyudi alias Mustang, Dzamrusyamsi, Dandy Setiawan, dan Yogi Gunawan. Tiga nama terakhir hanya sebentar karena namanya tak tercantum dalam daftar nama keluarga. Ketat sekali. Ketat, tertib, dan hampir lemah logika. Tetapi petugas kan hanya menjalankan perintah saja.

Kami ngobrol sebagaimana layaknya keluarga. Kalau tidak bertemu istri untuk waktu yang lebih lama dari sekarang, itu hal biasa. Tapi itu karena ada tugas ke luar kota atau luar negeri. Bukan tidak bisa bertemu karena 'mondok' di tahanan KPK. Tentu pertemuan terasa spesial. Meskipun lewat Luthfie (adik Anas), kabar kondisi saya telah sampai ke Tia, namun bertemu langsung dan menyaksikan saya sehat adalah jalan terbaik untuk tenang. Cerita tetap beda dengan rupa. Kabar tidak bisa menggambarkan semuanya.

Selain kangen-kangenan, saya berkesempatan untuk tanda tangan urusan administrasi PPI. Ada SK untuk kepengurusan PPI Sumatera Barat yang besok, 15 Januari 2014, akan melaksanakan pelantikan. Lewat Gede Pasek Suardika, saya berpesan agar semua agenda PPI tetap dijalankan sesuai rencana, termasuk pelantikan di berbagai daerah. Penahanan saya bukan alasan PPI tak bergerak dan berhenti. Harus tetap berjalan dan bergerak seperti komitmen dan semangat awal.

PPI harus berani membangun tradisi baru, yakni tak tergantung pada figur. Seperti saya jelaskan dan tegaskan berkali-kali, PPI tidak boleh diidentikkan dengan Anas atau Anas identik dengan PPI. PPI bukan properti Anas dan keluarga Anas. PPI adalah kumpulan komitmen, semangat, idealisme, tanggung jawab, kecakapan, keberanian, dan tenaga pergerakan dari anak-anak bangsa yang terbuka dan majemuk untuk mencintai dan bekerja demi Indonesia yang lebih baik.

Ada Anas atau tidak ada Anas, PPI harus tetap berjalan. PPI harus hadir dengan logika organisasi yang terlembaga, bukan logika personalisasi. Meskipun berat, karena modal utamanya adalah semangat dan keberanian, percobaan sejarah ini harus ditempuh sehingga bisa memberi warna baru sekecil apa pun. Apakah ini akan berhasil? Biarlah sejarah yang memutuskan. Yang penting adalah ikhtiar sungguh-sungguh dengan bermodalkan optimisme dan kerja keras.

Di antara para pengunjung yang menjenguk keluarganya masing-masing, saat itu saya baru kenal Airin, istri Wawan.

Saya juga menandatangani urusan keluarga, yaitu rapor anak-anak. Tugas orang tua yang paling simpel adalah tanda tangan rapor anak-anaknya sebelum dikembalikan ke pihak sekolah. Selama ini, urusan anak-anak --Akmal, Nawal, Najih, dan Najma-- detailnya diurus oleh Tia. Hal-hal yang prinsip saja yang kami putuskan bersama. Selain karena istri saya lebih telaten dan waktunya lebih memungkinkan, anak-anak sejak kecil memang sudah terbiasa dengan pola itu. Saya banyak di luar, Tia fokus di dalam. Anehnya, yang bertugas tanda tangan tetap saja saya, padahal Tia yang lebih berhak. Tradisinya begitu. Ya, sudah, saya laksanakan saja dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.

Soal anak memang selalu menjadi pikiran dan perhatian. Tak ada orang tua yang tidak terkena rumus itu, terkecuali yang mau dikategorikan tak bertanggung jawab.

Sejak awal serangan pemberitaan miring dan tuduhan-tuduhan yang menyangkut kasus hukum, anak-anak saya pelan-pelan melakukan adaptasi. Adaptasi yang dipaksa keadaan. Pasti anak-anak seusia Akmal, Nawal, Najih, dan Najma masih terbatas pengetahuan dan pemahamannya tentang apa yang terjadi. Pasti juga pemberitaan-pemberitaan yang bergelombang dahsyat punya pengaruh kepada anak-anak.

Yang saya syukuri adalah anak-anak paham bapaknya berada di dunia politik yang keras dan apa yang terjadi adalah terkait dengan apa yang menjadi peran bapaknya. Pada saatnya kelak mereka akan memiliki kapasitas yang cukup untuk melihat dan mencerna apa yang terjadi. Yang pasti, saya merasa telah membebani anak-anak dengan sesuatu yang tidak seharusnya dan tidak tepat waktunya. Mereka masih anak-anak untuk menerima beban yang terlalu berat.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Catatan Harian Anas Urbaningrum (6)


Senin, 13 Januari 2014. Jam 03.20, saya bangun. Sekitar sepuluh menit kemudian Amir memanggil dari tempat duduknya. Saya memang berpesan agar dibangunkan jam 03.30 pagi. Mengapa? Selain berusaha dapat jatah waktu shalat malam, hari ini adalah hari Senin. Kalau tidak ada halangan, biasanya Senin-Kamis adalah waktu jeda makan siang hari. Selain melestarikan ajaran puasa Senin-Kamis, ini juga sekaligus usaha mengendalikan berat badan yang terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir ini.

Tawaran sarapan pagi dari kolega (Rudi, Budi, Wawan) saya tolak halus. “Tadi saya mendahului sarapan roti jam empat pagi,” saya menjelaskan.

Tentu mereka paham. Selain memang puasa Senin-Kamis diajarkan, hati kecil saya ingin berat badan saya berangsur turun: untuk kesehatan, untuk efisiensi baju dan celana, dan untuk kepantasan juga. Tidak pantas rasanya kalau berat badan bertambah atau bertahan selama menjadi “santri” Abraham Samad. Jadi, terlalu kuat alasan saya untuk berpuasa Senin-Kamis.

Sesuai jadwal yang disampaikan Kepala Rutan Arifuddin bahwa Senin boleh dijenguk keluarga, maka selesai mandi dan shalat Dluha, saya meminta tolong Damuri, penjaga pengganti Amir, untuk tanya kepada Arifuddin. Saya khawatir keterputusan informasi dan kabar akan membuat keluarga gelisah.


Rudi, Budi, dan Wawan juga bersiap-siap menemui keluarga. Ternyata, yang dibawa Damuri bukan kabar bagus. Kata Kepala Rutan, keluarga belum bisa menjenguk karena belum ada surat dari penyidik. Tentu saja saya agak kecewa. Maka, sabar menjadi makin penting.

Meskipun dilarang bertemu keluarga, informasi harus sampai. Sekurang-kurangnya mengabarkan kondisi kesehatan. Caranya, saya tulis surat pendek buat Tia.

Bagaimana bisa sampai ke tangan Tia? Saya menitipkan surat itu ke Wawan. Pesan saya, kalau bisa nanti Airin Rachmi Diany (istri Wawan) kontak Saan Mustopa, kemudian Saan bisa antar surat itu ke rumah. Hanya jalur itu yang memungkinkan. Jalur keluarga Rudi dan Budi belum ada yang nyambung dengan keluarga atau teman-teman saya.

Ketika tidak punya pilihan karena belum diizinkan bertemu keluarga, yang bisa saya lakukan adalah berdiam di kamar. Pilihan terbaik adalah menambah rakaat shalat Dluha dan saya lanjutkan dengan shalat Tasbih. Tentu saja durasi shalat Tasbih agak panjang. Subhanallah, tak sampai lima menit setelah selesai shalat Tasbih, Damuri kembali masuk dan membawa kabar baik. Kabar apa? Ternyata saya sudah boleh bertemu keluarga dan penasihat hukum.

Anas dan kawan-kawan bercanda dengan Sutan Bhatoegana.

Segera saya ganti kostum. Sarung berganti celana, baju harus dibalut rompi kebesaran tahanan KPK warna oranye. Baju-baju kotor saya siapkan dan sejurus kemudian bergerak ke ruang posko rutan. Pertemuan tidak boleh dilakukan di tempat tahanan-tahanan lain menerima keluarga. Salah satu alasannya karena saya tidak boleh bertemu dengan Andi Mallarangeng. Alasan lain saya tak tahu. Pokoknya tidak boleh.

Alhamdulillah, walau waktu tinggal tersisa 45 menit dari jatah penjengukan, saya bertemu adik saya, Anna Luthfie, dan beberapa pengacara --Firman Wijaya, Handika Wongso, Indra Nathan, dan Marlon Tobing. Yang paling penting adalah mengabarkan secara langsung kondisi saya. Meskipun tidak bersentuhan dengan jatah makanan dari KPK, Alhamdulillah saya tetap sehat, karena ada tiga kawan yang selalu berbagai ketika waktunya makan. Adik saya dan lawyer tanya, dari mana dan makan apa selama tiga hari ini. Saya jawab sambil berkelakar, “Ada kiriman dari malaikat.” Tenang saja di mana-mana ada malaikat.

Saya ceritakan juga peristiwa pemeriksaan dan penahanan hari Jumat silam. Garis besarnya saja, tidak lengkap dengan teperinci. Saya sampaikan juga bahwa sejak Jumat malam saya diisolasi di kamar dan tidak boleh keluar sama sekali. Bahkan untuk ke kamar Rudi, Budi, dan Wawan yang berada dalam blok yang sama, tetap dilarang keras.

Semua penjaga menyampaikan bahwa mereka hanya menjalankan perintah. Bahkan, pintu harus dikunci. Kalau butuh apa-apa bisa memanggil penjaga, semisal minta air panas untuk minum atau urusan lain. Kepada Anas memang ada perlakuan khusus, mungkin dianggap harus diisolasi dan belum boleh bersosialisasi. Saya bilang ke lawyer, tidak perlu dipersoalkan, karena saya ingin menjalani kebijakan isolasi ini secara alamiah saja.


Keluhan saya satu-satunya terhadap kamar tahanan adalah baunya yang pesing dan menyengat. Memang ada bubuk kopi dan arang hitam yang ditaruh untuk melawan bau itu. Tetapi rupanya kekuatan sang bau terlalu perkasa untuk ditundukkan oleh kekuatan bubuk kopi dan arang. Mirip pertarungan antara kekuasaan vs kaum tertindas.

Hal-hal lain di kamar itu tidak ada keluhan, karena harus disadari bahwa yang saya tempati itu adalah kamar tahanan, bukan kamar pribadi, bukan kamar hotel.

Atas hebatnya kekuatan bau tersebut, saya meminta tolong agar Damuri mau membuka pintu kamar. Kalau pintu kamar dibuka, udara yang agak segar bisa masuk sehingga bau tidak terlalu kuat. Karena semua terpantau CCTV, Damuri ditanya kepala rutan. “Kenapa pintu kamar tidak terkunci? Jangan dibuka-buka pintu kamar Anas!” Begitulah pertanyaan dan arahannya. Damuri lantas menjelaskan bahwa kamar saya bau dan saya meminta agar pintu dibuka. Setelah diberi penjelasan itu, Kepala Rutan membolehkan pintu dibuka sedikit. Tetapi, Damuri diperintahkan untuk memastikan agar Anas tidak keluar-keluar dari kamar. Padahal, sama sekali tidak. Bagaimana bisa keluar kamar jika pintu dikunci dari luar? Isolasi adalah isolasi. Tidak masalah untuk saya jalani, meskipun itu hanya khusus untuk Anas.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com