Saturday, March 1, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (7)

Moment yang tak terlupakan, saat dilempar telur di depan gedung KPK.

Selasa, 14 Januari 2014. Alhamdulillah, pagi ini, setelah gerak-gerak sedikit lalu mandi, badan segar dan penuh semangat. Pasalnya, dalam status sebagai hari libur nasional, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah salah satu hari untuk bisa dijenguk keluarga. Dijenguk itu maknanya bisa bertemu, kangen-kangenan, komunikasi langsung, kiriman logistik jasmani dan rohani, termasuk intelektual, penggantian baju kotor ke baju bersih dan tentu saja bisa keluar dari kamar tahanan. Bayangkan, betapa pentingnya waktu atau jadwal jenguk bagi tahanan.

Pagi ini, kondisi lebih segar karena isolasi sudah bisa ditembus. Mestinya belum bisa dan masih dilarang untuk ke luar kamar. Tetapi selalu saja ada jalan yang bisa dikreasi dan itu pasti bagian dari petunjuk Tuhan. Ternyata, Tuhan mengirim bau pesing sebagai jalan untuk membuka isolasi. Pasti aneh dianggapnya. Bagaimana bisa?

Mungkin karena tekanan dari bawah makin kuat, dari lubang air buangan untuk mandi, bau itu makin keras serangannya ke hidung. Pintu dibuka pun tidak sanggup mengatasinya. Saya tanyakan ke Damuri. Bagaimana baunya? Dia jujur mengakui bahwa sengatannya makin hebat. Saya minta tolong dia untuk lapor kepada Kepala Rutan Bapak Arifuddin. Isinya adalah laporan kondisi kamar dan keluhan bahwa serangan bau itu mulai bikin saya “mabuk”.

Definisi “mabuk” di sini adalah mulai pusing-pusing dan mual. Karena itu, alternatifnya, saya meminta izin sementara pindah istirahat, bergabung dengan Prof Rudi, Budi, dan Wawan, atau saya tetap di kamar yang sekarang tetapi lubang pembuangan kamar mandinya ditutup untuk mengurangi hebatnya bau pesing. Jika ditutup, saya harus mandi di kamar mandi mereka bertiga.

Ternyata, Tuhan mengirim bau pesing di ruang tahanan sebagai jalan untuk membuka isolasi.

Kepala rutan segera merespons dengan cara yang minimalis. Dikirimlah seorang petugas cleaning service dengan membawa semprotan pengharum! Jelas bukan solusi sama sekali. Saya perintahkan sang petugas untuk masuk ke kamar mandi dan merasakan baunya. Saya bilang, “Mau disemprot pakai parfum atau pengharum sepuluh biji pun tak akan bisa melawan bau.” Jalan satu-satunya adalah menutup lubang air. Sebentar kemudian dia bilang memang bau dan dia akan kembali lapor kepada Kepala Rutan. Tak lama setelah itu datanglah petugas untuk urusan itu, semacam office boy khusus untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil dan mengecek jika ada permintaan atau complaint dari penghuni rutan. Namanya Edi, orangnya pendek, kekar, dan cekatan.

Edi tahu persis sejarah kamar itu. Dulunya dapur dan di bawahnya ada tempat pembuangan kotoran. Dulu ketika kamar itu dipakai memang semua lubang ditutup dan kamar mandi tidak dipakai. Kamar mandi kembali dipakai untuk menyambut kehadiran saya. Dia diperintahkan untuk memfungsikan kembali kamar mandi, salah satunya dengan membuka lubang air. Makanya dia segera tahu apa yang harus segera ditutup. Karena dialah yang sebelumnya membuka dan sekarang dia yang harus menutup kembali. Mirip lagu dangdut.

Saya kan hanya menjalankan perintah, Pak,” katanya sambil tersenyum.

Dalam waktu 30 menit, semuanya sudah beres. Bau berkurang drastis, meskipun tidak hilang. Sebagai konsekuensinya, kamar mandi tidak bisa dipakai. Inilah jalan menuju berakhirnya isolasi. Tetapi Kepala Rutan berpesan kepada Damuri agar Anas hanya boleh ke luar kamar untuk mandi saja. Saya bilang, “iya, tidak masalah.” Dalam hati saya, sehari saya bisa mandi berkali-kali. Masih juga ada kesempatan wudlu dan buang air. Intinya, isolasi sudah bisa diakhiri. Berkat bau, isolasi selesai.

Akhirnya bisa duduk berempat dengan: Kang Wawan, Prof. Rudi, dan Mas Budi.

Praktis sejak tadi malam, saya bebas masuk-keluar kamar dengan dalih ke kamar mandi. Apalagi, para senior di kamar sebelah selalu mengajak untuk ke kamarnya. Alasannya ada kopi, ada kue, ada buah, intinya mengajak gabung untuk ngobrol-ngobrol, ketawa-ketawa, dan saling membunuh waktu yang panjang. Untuk kali pertama pula saya bisa duduk berempat di meja makan kecil di kamar sebelah.

Karena itu pula, pagi ini kami berempat merencanakan, merumuskan, dan mengusulkan sesuatu kepada Kepala Rutan atas hak kami mendapat kunjungan keluarga. Biasanya, ketika libur nasional, para tahanan menemui keluarga di hall lantai 1 yang biasa dipakai shalat Jumat. Semua dikumpulkan di situ. Kami punya usul baru, yakni tetap menggunakan ruang jengukan di lantai bawah (basement) Gedung KPK. Kami meminta tolong kepada petugas jaga, Timur Pakpahan, untuk menelepon atau SMS kepada Kepala Rutan. Tidak lama kemudian ada jawaban singkat, “Akan dipikirkan.” Meskipun jawabannya kurang menggembirakan, kami merasa masih ada peluang. Benar saja. Menjelang jam 10.00 ada jawaban yang intinya usulan diterima dan diizinkan.

Kami berangkat bersama ke depan, ke ruang jengukan keluarga, diantar oleh Timur Pakpahan. Ada empat ruangan, pas untuk masing-masing kami dan keluarga. Berkah hari ini makin bertambah dengan kesempatan berkenalan dengan keluarga Prof Rudi, Mas Budi, dan Kang Wawan. Di antara mereka, saya baru kenal Airin, istri Wawan. Dulu hadir pada Musda Partai Demokrat Banten setelah terpilih menjadi Walikota Tangerang Selatan. Kebetulan Partai Demokrat mendukung Airin dan saya ikut pidato saat kampanye di hari terakhir. Saling kenal di antara keluarga itu penting, agar kalau ada urusan apa-apa bisa koordinasi. Alhamdulillah, tadi keluarga saling berkenalan dan bertukar nomor kontak. Rencana berhasil, target tercapai.

Pertama kali bertemu dengan istri sejak 'mondok' di KPK. Cerita tetap beda dengan rupa.

Hari ini adalah kesempatan pertama bertemu Tia, istri saya. Kemarin, hari Senin baru adik dan beberapa penasihat hukum yang sempat jenguk di ruang posko rutan. Tia datang bersam Mbak Dina (kakak ipar saya), Yunianto Wahyudi alias Mustang, Dzamrusyamsi, Dandy Setiawan, dan Yogi Gunawan. Tiga nama terakhir hanya sebentar karena namanya tak tercantum dalam daftar nama keluarga. Ketat sekali. Ketat, tertib, dan hampir lemah logika. Tetapi petugas kan hanya menjalankan perintah saja.

Kami ngobrol sebagaimana layaknya keluarga. Kalau tidak bertemu istri untuk waktu yang lebih lama dari sekarang, itu hal biasa. Tapi itu karena ada tugas ke luar kota atau luar negeri. Bukan tidak bisa bertemu karena 'mondok' di tahanan KPK. Tentu pertemuan terasa spesial. Meskipun lewat Luthfie (adik Anas), kabar kondisi saya telah sampai ke Tia, namun bertemu langsung dan menyaksikan saya sehat adalah jalan terbaik untuk tenang. Cerita tetap beda dengan rupa. Kabar tidak bisa menggambarkan semuanya.

Selain kangen-kangenan, saya berkesempatan untuk tanda tangan urusan administrasi PPI. Ada SK untuk kepengurusan PPI Sumatera Barat yang besok, 15 Januari 2014, akan melaksanakan pelantikan. Lewat Gede Pasek Suardika, saya berpesan agar semua agenda PPI tetap dijalankan sesuai rencana, termasuk pelantikan di berbagai daerah. Penahanan saya bukan alasan PPI tak bergerak dan berhenti. Harus tetap berjalan dan bergerak seperti komitmen dan semangat awal.

PPI harus berani membangun tradisi baru, yakni tak tergantung pada figur. Seperti saya jelaskan dan tegaskan berkali-kali, PPI tidak boleh diidentikkan dengan Anas atau Anas identik dengan PPI. PPI bukan properti Anas dan keluarga Anas. PPI adalah kumpulan komitmen, semangat, idealisme, tanggung jawab, kecakapan, keberanian, dan tenaga pergerakan dari anak-anak bangsa yang terbuka dan majemuk untuk mencintai dan bekerja demi Indonesia yang lebih baik.

Ada Anas atau tidak ada Anas, PPI harus tetap berjalan. PPI harus hadir dengan logika organisasi yang terlembaga, bukan logika personalisasi. Meskipun berat, karena modal utamanya adalah semangat dan keberanian, percobaan sejarah ini harus ditempuh sehingga bisa memberi warna baru sekecil apa pun. Apakah ini akan berhasil? Biarlah sejarah yang memutuskan. Yang penting adalah ikhtiar sungguh-sungguh dengan bermodalkan optimisme dan kerja keras.

Di antara para pengunjung yang menjenguk keluarganya masing-masing, saat itu saya baru kenal Airin, istri Wawan.

Saya juga menandatangani urusan keluarga, yaitu rapor anak-anak. Tugas orang tua yang paling simpel adalah tanda tangan rapor anak-anaknya sebelum dikembalikan ke pihak sekolah. Selama ini, urusan anak-anak --Akmal, Nawal, Najih, dan Najma-- detailnya diurus oleh Tia. Hal-hal yang prinsip saja yang kami putuskan bersama. Selain karena istri saya lebih telaten dan waktunya lebih memungkinkan, anak-anak sejak kecil memang sudah terbiasa dengan pola itu. Saya banyak di luar, Tia fokus di dalam. Anehnya, yang bertugas tanda tangan tetap saja saya, padahal Tia yang lebih berhak. Tradisinya begitu. Ya, sudah, saya laksanakan saja dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.

Soal anak memang selalu menjadi pikiran dan perhatian. Tak ada orang tua yang tidak terkena rumus itu, terkecuali yang mau dikategorikan tak bertanggung jawab.

Sejak awal serangan pemberitaan miring dan tuduhan-tuduhan yang menyangkut kasus hukum, anak-anak saya pelan-pelan melakukan adaptasi. Adaptasi yang dipaksa keadaan. Pasti anak-anak seusia Akmal, Nawal, Najih, dan Najma masih terbatas pengetahuan dan pemahamannya tentang apa yang terjadi. Pasti juga pemberitaan-pemberitaan yang bergelombang dahsyat punya pengaruh kepada anak-anak.

Yang saya syukuri adalah anak-anak paham bapaknya berada di dunia politik yang keras dan apa yang terjadi adalah terkait dengan apa yang menjadi peran bapaknya. Pada saatnya kelak mereka akan memiliki kapasitas yang cukup untuk melihat dan mencerna apa yang terjadi. Yang pasti, saya merasa telah membebani anak-anak dengan sesuatu yang tidak seharusnya dan tidak tepat waktunya. Mereka masih anak-anak untuk menerima beban yang terlalu berat.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

No comments: