Tuesday, March 25, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (12)

Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika beserta isteri masing-masing.

Kamis, 16 Januari 2014. Sambil menunggu mereka kembali, saya berolahraga di lantai sembilan. Ini adalah hari pertama saya diperbolehkan berolahraga. Informasinya, saya tidak boleh bertemu Andi Mallarangeng ketika berolahraga. Demikian sebaliknya.

Ketika olahraga, para tahanan tetap harus memakai identitas Tahanan KPK. Jika untuk aktivitas non-olahraga harus pakai rompi, maka untuk olahraga diwajibkan memakai kaos warna biru berkerah kuning dan di bagian belakang ada tulisan “Tahanan KPK”. Untuk olahraga cukup naik lift ke lantai 8, lalu naik tangga ke lantai 9. Di lantai 9 ini ada kamar tahanan dan sebagian adalah “lapangan terbuka” di puncak Gedung KPK.

Olahraga adalah tuntutan kesehatan. Kalau hanya makan, tidur dan berpikir di kamar tahanan, pastilah akan mengganggu kesehatan. Apalagi jika mental tidak kokoh dan jiwa tidak tenang, dijamin sebentar saja akan kolaps. Karena itu, memaksa diri untuk olahraga adalah pilihan yang paling bertanggung jawab. Bagi tahanan yang tidak ada larangan bertemu dengan tahanan lain, bisa berolahraga dua kali sehari, pagi dan sore. Budi Santoso, misalnya, bebas olahraga pagi dan sore. Sama halnya dengan Budi Mulya dan Ahmad Fathanah. Ada beberapa yang lain juga dapat kesempatan serupa.


Selesai buka puasa dan shalat Maghrib, Rudi dan Budi tiba. Rupanya sidang Rudi ditunda Selasa pekan depan. Ada apa? Karena jadwal persidangan sangat banyak sehingga waktunya tidak memungkinkan. Hal yang sama dialami oleh Deviardi, pada kasus yang terkait dengan Rudi. Ketika olahraga di lantai 9, Deviardi mengenalkan diri dan ketika ditanya oleh Akil Mochtar, dia menjawab sidang untuk dia ditunda. Alasannya sama, persidangan penuh.

Budi hari ini diputus hakim berupa pidana penjara selama delapan tahun dan membayar uang pengganti sebanyak Rp. 17 milyar. Tentu saja Budi tidak puas dengan putusan hakim itu. Sebagai pihak yang ditipu oleh Sukotjo S Bambang, dia merasa diperlakukan tidak adil. Tetapi ada putusan yang membuat dia lega, yakni seluruh asset yang telah disita dikembalikan dan ditempatkan sebagaimana semula. Ini yang dianggapnya sebagai bagian dari putusan yang seharusnya.

Apakah akan banding? Budi masih pikir-pikir. Kesan saya dia akan menerima putusan yang pahit, karena musimnya sedang tidak bagus terhadap perkara-perkara yang banding dan kasasi. Mungkin dia akan cari waktu yang tepat untuk upaya hukum lanjutan.


Budi menjelaskan bahwa proses persidangan di Pengadilan Tipikor hanyalah sandiwara. Tak ada gunanya melakukan perlawanan hukum di dalam persidangan. Mau dihadirkan kesaksian-kesaksian dan fakta-fakta yang mematahkan dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) sebaik apa pun, tetap saja tuntutan yang diajukan sama dengan dakwaan. Hakimnya sudah dikepung opini untuk hanya menjatuhkan bahwa terdakwa bersalah. Hakim bukan memutuskan soal salah dan benar, tetapi hanya memutuskan berapa besar hukuman. Mengapa? Karena (dianggap) sudah pasti bersalah dan (karenanya) harus diputuskan bersalah.

Pengalaman dan pandangan Budi tentu menarik bagi Rudi yang tengah memasuki persidangan, dan untuk Wawan yang salah satu kasusnya sudah selesai pemberkasan. Dan tentu saja buat saya yang baru tahap awal pemeriksaan.

Kata Budi, penjelasan dan bantahan terdakwa, keterangan saksi yang mematahkan dakwaan dan keterangan ahli yang menguntungkan terdakwa tidak terserap dengan baik, bahkan cenderung diabaikan saja. Makanya konsep dakwaan dan tuntutan JPU seperti copy paste saja.


Dinamika persidangan dengan segala macam kesaksian, keterangan, penjelasan dan bantahan yang bermutu dan berbasis fakta sekalipun tidak akan bermakna di mata JPU. Siapa JPU? Ya KPK itu sendiri. Penyidik dan penuntut ada di lembaga yang sama. Satu atap dan menyatu di KPK. Siapa yang mengarahkan penyidik dan penuntut? Ya sudah jelas Pimpinan KPK. Berapa tahun seorang terdakwa dituntut misalnya, itu arahan Pimpinan KPK.

Meskipun begitu konteksnya, Prof. Rudi tidak berkecil hati. Semangat untuk membela harkat dan martabat diri dan mencari keadilan tidaklah surut. Dia merencanakan di setiap sidang akan membuat semacam “summary” poin-poin apa dari dakwaan JPU yang berhasil dipatahkannya. Harapannya adalah publik jadi tahu dan hakim akan mempertimbangkan hal tersebut ketika kelak putusan dijatuhkan. Sedangkan Wawan tidak banyak bicara. Tetapi tampak pula semangatnya untuk berjuang demi yang terbaik. Tidak tampak kegelisahan yang mengganggu.

Siapa pun tahu bahwa perjuangan saya akan berat, karena ada tambahan faktor-faktor non hukum yang terus bekerja. Termasuk mesin opini yang terus digalang dengan kekuatan yang sangat hebat.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

No comments: