Tuesday, March 18, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (11)


Kamis, 16 Januari 2014. Hari ini adalah jadwal dijenguk keluarga. Kamis jam 10-12 adalah kesempatan bertemu wajah-wajah lain diluar kami berempat dan penjaga. Khususnya keluarga, kerabat, handai taulan dan sahabat.

Waktunya diatur ketat dan pendek. Pasti ada alasannya. Kalau mau panjang ya jangan jadi tahanan begitu logikanya. Sama dengan ucapan Johan Budi, “Kalau Anas mau nyaman, ya tidur saja di hotel”.

Bagi para petugas yang berkuasa di rutan, makin ketat, makin tegas, makin bikin sulit tahanan dan keluarganya, mungkin dianggap sebagai prestasi. Itu kata beberapa tahanan lama yang saya dengar. Saya tidak peduli dengan kesulitan-kesulitan dan pembatasan-pembatasan yang saya rasakan sebagai tahanan. Silahkan saja dilaksanakan, meski acap kali tidak rasional.

Selesai saya tulis surat balasan untuk Akmal, Nawal, Najih dan Najma, serta surat khusus untuk sahabat-sahabat aktivis PPI, saya bersiap menuju ruang jengukan. Dalam pikiran saya pastilah banyak keluarga dan sahabat yang akan bertemu.Ternyata yang bisa masuk hanya istri saya Tia, Mbak Dina dan Aci.

Teman-teman adalah orang-orang yang merdeka dalam berpikir dan merdeka dalam bersikap.

Tiga perempuan yang lain terhalang di lobi KPK, menunggu izin dari penyidik. Namun sampai selesai jam 12 siang, sahabat-sahabat yang lain tetap tidak bisa masuk. Alasan petugas karena penyidik tidak ada di tempat, karena sedang ada penggeledahan. Apakah semua? Semua tidak ada di tempat, begitu kata petugas penjaga rutan. Padahal tim penyidik saya ada 10 orang. Apakah info dari petugas itu benar? Saya tidak bisa mengkonfirmasi.

Tapi, ya sudahlah. Sebagai tahanan kategori “tapol” saya tak dalam posisi banyak menuntut, bahkan untuk hal-hal yang biasanya diperbolehkan bagi tahanan yang lain. Itu konsekuensi biasa saja. Apalagi teman-teman diluar terus melakukan usaha-usaha untuk menjelaskan kepada publik tentang apa yang terjadi. Meskipun itu inisiatif mandiri mereka, tetap saja akan dikaitkan dengan saya.

Wajar kalau ada persepsi bahwa itu atas perintah saya atau hasil koordinasi dengan saya, walau kenyataannya tidak. Teman-teman adalah orang-orang yang merdeka dalam berpikir dan merdeka dalam menyikapi perkembangan keadaan sesuai dengan informasi, pengetahuan dan pemahaman mereka. Mereka punya indera sosial, politik, dan hukum untuk dapat mencerna apa yang terjadi dan bagaimana memberikan respons.

Minimal ada komunikasi, meskipun hanya berupa tulisan pendek.

Agar ada komunikasi, saya menulis surat pendek untuk teman-teman yang dilarang masuk, seperti Saan Mustopa, Sudewo, Andy Soebjakto, Nur Iswan, Tridianto, Aidul Fitri dan yang lain-lain. Beberapa di antara mereka sudah datang dua atau tiga kali untuk menjenguk, tetapi nasibnya belum cocok. Surat saya isinya sederhana: permohonan maaf, saran untuk bersabar dan informasi bahwa nama mereka sudah ada dalam daftar yang saya serahkan kepada penyidik, baik langsung maupun melalui penasihat hukum. Surat itu saya titipkan kepada Tia. Minimal ada komunikasi, meskipun hanya berupa tulisan pendek.

Dari keluarga, selain dapat kiriman logistik, baju-baju ganti dan beberapa peralatan lain, saya dapat banyak titipan bacaan, doa, amalan untuk memperkuat jalur spiritual. Spiritualitas adalah kekuatan dan jalur yang tak terbantahkan. Hal ini memang transenden, tetapi saya yakini nyata.

Kembali ke kamar, Prof. Rudi, Budi dan Wawan sudah siap. Rudi dan Budi berbatik panjang. Wawan berbaju putih panjang. Tentu saja semua dengan baju kebesaran Tahanan KPK. Semuanya cakep dan rapi. Bahkan saya menggoda Wawan, apakah kalau diperiksa penyidik harus rapi seperti dia? Semua tertawa. Lalu keluar alasan karena harus lewat lobi dan disorot kamera. Mirip pertunjukan sirkus.

Semua tahanan harus bermain sirkus dulu di depan wartawan dan disorot kamera.

Bagi setiap tahanan yang dieksekusi, harus lewat lobi KPK dan diantar oleh mobil KPK. Meskipun ruang tahanannya di KPK. Apakah di bawah atau di atas yang bisa pakai lift dalam gedung. Semua tahanan harus bermain sirkus dulu di depan wartawan dan disorot kamera. Motivasinya pastilah untuk mempermalukan, atau dalam bahasa resminya memberikan efek jera.

Bagi tahanan yang di bawah, kalau berangkat dan pulang pemeriksaan juga harus lewat lobi untuk dipertemukan dengan kamera. Berbeda dengan tahanan di lantai atas. Cukup turun dengan memakai lift saja, tanpa harus bersentuhan dengan wartawan di depan pintu masuk. Rapi anti kusut jadi penting untuk kesan yang tidak negatif tentang kesehatan jasmani dan rohani.

Persis jam 13.00 mereka bertiga berangkat. Wawan diperiksa penyidik di Gedung KPK, Prof. Rudi dan Budi ke pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang letaknya masih berada di Jl. HR Rasuna Said juga. Untuk Prof. Rudi akan menjalani sidang pemeriksaan sedangkan Budi akan mendengarkan putusan hakim. Keduanya berangkat dengan tujuan yang berbeda: yang satu mendengarkan putusan, yang satu berkesempatan bertanya kepada para saksi.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

No comments: