Kalahnya kesadaran, tentu saja, tidak hanya dalam konteks banjir atau bencana. Dalam segala hal, kesadaran kita makin terkikis. Justru yang makin menguat adalah kesadaran terhadap “ke-aku-an” (ego). “Aku” sadar harus berbuat sesuatu demi keuntungan atau kepentingan “aku” sendiri. Kita makin jarang berpikir “aku” sadar harus berbuat sesuatu untuk “mereka” atau “kita” bersama.
Terlepas dari itu, memang ada kenyataan lain yang tak dapat dibantah. Hidup yang padat agenda dan kota yang makin macet mungkin menjadi salah satu penyebab interaksi langsung itu makin menipis. Namun, masalahnya, saat bertatap muka pun, orang lebih suka sibuk sendiri-sendiri. Akibatnya, interaksi yang ada menjadi begitu dingin dan tak mampu membangkitkan emosi tertentu.
Padahal, interaksi sosial semacam itu justru bisa membangunkan kesadaran yang tertidur. Misalnya, ketika seseorang sahabat menceritakan banjir, ada kemungkinan besar kesadaran kita akan terlonjak bahwa banjir itu benar-benar nyata, bukan sekadar peristiwa yang kita tonton di televisi. Sebab, sering kali, apa yang ditayangkan di televisi adalah hiperealitas, yakni sebuah dunia yang melampaui apa yang sesungguhnya terjadi.
Dalam konteks bencana, banjir misalnya, ketika secara kultural sedikit sekali atau tidak ada yang peduli secara serius terhadap hal tersebut, maka “aku” pun merasa tidak perlu memikirkannya. Pikiran bawah sadar dengan gampang berbicara: sistem yang seharusnya bekerja saja tidak berjalan dengan baik, buat apa “aku” sibuk memikirkannya?
Lalu, ketika sesuatu terjadi, kita pun ramai-ramai mencari kambing hitam. Bahkan, tak jarang, kita buru-buru melempar tanggung jawab kepada Tuhan. Seolah-olah Tuhan gemar menimpakan bencana kepada manusia.
Dianing Widya,
Novelis
TEMPO.CO, 4 Maret 2014
No comments:
Post a Comment