Sunday, October 18, 2020

November Jadi Bulan Menegangkan bagi AS

 

Pemilu AS akan berlangsung pada 3 November 2020. Donald Trump dari Republikan dan Joe Biden dari Demokrat bersaing untuk pemilu presiden pada hari yang sama. Jajak pendapat yang jauh lebih saksama, termasuk per negara bagian lokasi pertarungan penting, menunjukkan keunggulan Biden.

Kesaksamaan jajak pendapat oleh lembaga jajak pendapat dilakukan mengingat trauma atas kekalahan Hillary Clinton pada Pemilu 2016. Waktu itu, hasil jajak pendapat menunjukkan Hillary unggul, tetapi hasil pemilihan berkata lain. Hillary memang menang popularitas dengan meraih 65,853 juta suara dan Trump meraih 62,984 juta suara. Akan tetapi, Hillary kalah dalam suara elektoral. Ini merujuk pada suara proporsional berdasarkan negara bagian. Trump meraih 306 suara dan Hillary meraih 232 suara dari total 538 suara elektoral.

Jajak pendapat yang dilakukan Fox News, saluran televisi pendukung Trump, juga menunjukkan keunggulan Biden. Jajak pendapat oleh sejumlah lembaga di beberapa negara bagian, yang dianggap ajang pertarungan sengit, hanya Texas yang hasilnya mengunggulkan Trump. Selebihnya Biden meraih keungggulan atas Trump. Persentase keunggulan Biden atas Trump, jauh melebihi keunggulan Hillary saat akhirnya malah kalah dari Trump pada Pemilu 2016.

Ini menjadi kekhawatiran,” kata John Pudner, veteran pelaksana kampanye Republikan seperti dikutip situs berita The Hill, 2 Oktober 2020.

George W Bush (Kiri) dan Al Gore (Kanan).

Sejarah kemelut pemilu
Nah, apakah Presiden Trump akan bersedia mengakui jika kalah dalam pemilu November nanti? Ini menjadi kekhawatiran yang sudah mulai muncul.

Dalam sejarah Pemilu AS, ada kemenangan yang membuat politik domestik menjadi hiruk pikuk. Hillary berseru soal perubahan suara proporsial, menjadi winner takes it all secara nasional, bukan per negara bagian. Akan tetapi, Hillary dengan cepat mengakui kekalahan dan hadir saat inagurasi kepresidenan Trump.

Kemenangan George W Bush atas Al Gore pada Pemilu 2000 sempat diwarnai ketegangan. Lantas dilakukan penghitungan ulang suara di Negara Bagian Florida AS, di mana gubernurnya ketika itu adalah Jeff Bush, adik George W Bush. Akan tetapi, Al Gore tetap dengan jentelmen menerima kekalahan.


Kemelut dengan kasus serupa Hillary, walau tidak separah saat Hillary kalah dari Trump, juga pernah muncul. Ini terjadi pada pemilu 7 November 1876 saat Rutherford B Hayes (Republikan) mengalahkan Samuel J Tilden (Demokrat).

Kisah Hayes serupa dengan Trump, yang tidak meraih suara paling banyak secara nasional. Adalah Tiden, sama seperti Hillary, yang meraih suara popularitas. Tiden meraih sebanyak 4.288.546 suara (50,9 persen), unggul atas Hayes yang meraih 4.034.311 suara (47,9 persen).

Namun, berdasarkan suara proporsional, Hayes meraih 185 suara dan Tiden meraih 184 dari total 369 suara elektoral ketika itu. Sempat amat tegang, tetapi Hayes akhirnya berhasil menjabat.

Dari Kiri ke Kanan: Mike Pence, Donald Trump, Joe Biden, Kamala Harris.

Trump tolak debat daring
Jajak pendapat yang konstan memperlihatkan indikasi kemenangan Biden, kini memunculkan kekhawatiran. Diduga akan ada potensi kemelut pada pemilu November dan setelahnya. Ketua DPR AS Nancy Pelosi telah melihat potensi penolakan Trump jika kalah dari Biden.

Mengapa ada kekhawatiran? Trump itu petarung, apa pun caranya. Setidaknya secara verbal dia sudah terkesan Machiavelis. Dia pakai segala kalimat untuk menyerang musuh-musuh politiknya. Trump akan mendaulat apa saja yang menguntungkan baginya.

Terbaru, Trump menjuluki Kamala Devi Harris ––cawapres dari Joe Biden–– sebagai monster dan komunis serta menyebutkan Wapres Mike Pence mengalahkan Harris dalam debat cawapres pada 7 Oktober 2020 yang lalu. Padahal, jajak pendapat berkata lain. Trump juga mendaulat kemenangan atas debatnya dengan Biden pada 29 September 2020 lalu. Padahal jajak pendapat tidak berkata demikian.

Keledai (Partai Demokrat) versus Gajah (Partai Republik).

Harris tidak menjawab kecuali menyebut Trump sebagai kekanak-kanakan. Namun, Biden menyebutkan, Trump tidak kuat menghadapi perempuan tangguh.

Trump juga sudah mulai menyuarakan pencoblosan lewat pos sebagai rawan kecurangan. Kubu Trump sudah menyusun strategi pemenangan termasuk menggugat jika kalah. “Risiko atas penolakan (Trump) pada kekalahan meningkat,” kata Ned Foley, akademisi tentang hukum pemilu dari Ohio State University, seperti dikutip situs harian The Los Angeles Times, 24 September 2020.

Trump juga kembali berulah. Biden setuju dengan debat daring mengingat Trump baru saja terkena Covid-19. Namun, Trump menolak debat kedua dengan Biden secara daring yang seharusnya berlangsung 15 Oktober. “Saya tidak akan buang-buang waktu untuk debat daring,” kata Trump.
Komisi Debat Kepresidenan akhirnya memutuskan debat kedua 15 Oktober ditiadakan dan hanya ada debat terakhir pada 22 Oktober. Inilah salah satu indikasi terbaru, Trump bisa melakukan apa saja semaunya.


November akan menegangkan
Tim kampanye Trump membantah strategi penolakan atas kekalahan jika kekalahan benar-benar terjadi. Akan tetapi, seorang pejabat senior lain dari kubu Trump mengatakan, tim hukum Trump akan mendalami setiap pilihan untuk memastikan kemenangan Trump.

Jika ada pencurian suara, kita akan bertarung beringas,” kata seorang manajer kampanye Trump. Akan tetapi, sumber ini mengatakan, Trump tidak akan bertahan jika kalah secara terhormat.

Andaikan Trump kalah dan menolak kekalahan, para komandan militer akan turun tangan dan memaksa Trump mundur. Richard Hasen, penulis buku Election Meltdown: Dirty Tricks, Distrust, and the Threat to American Democracy, mengatakan, jika Trump kalah dan sudah menyuarakan penolakan kekalahan, “Bukan berarti ini akan terjadi. Akan tetapi, tidak salah juga jika khawatir kalau hal itu akan terjadi.”
Alex Conant, seorang ahli strategi Republikan, mengatakan, kubu Republikan tidak melihat ancaman tentang penolakan Trump atas kekalahan.


Cara terbaik untuk transisi kekuasaan, jika Trump kalah, adalah kemenangan telak atau meyakinkan Biden dalam pemilu nanti. Jika kemenangan mendekati hasil jajak pendapat, yang tergolong besar, potensi penolakan Trump niscaya akan melemah.

Sebaliknya, kubu Trump juga telah dimunculkan isu serupa. Bagaimana jika Biden yang kalah? Ini pertanyaan dari sisi Republikan, yang juga masuk akal sekaligus mungkin pula. Ini sehubungan dengan isu pengaruh Rusia pada Pemilu 2016 untuk kemenangan Trump.

Situs The Atlantic, edisi 13 September 2020, sudah menyuarakan isu kekalahan Biden, yang dikatakan akan membuat Demokrat sulit menerimanya. Jadi, bisa dipastikan, bulan November mendatang adalah bulan menegangkan bagi politik AS.

Simon Saragih
Wartawan senior Kompas
KOMPAS, 12 Oktober 2020

No comments: