Friday, May 21, 2010

Cul-de-Sac


POLITIK jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya ditentukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya anteng di komidi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang mungkin saja.

Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain -katakanlah yang muluk dan rumit- yang bisa menyeru dan memukau di luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih, bukan berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang "baik" bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia bukan sekadar angka-angka sebuah negeri?

Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makin lama makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme. Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang di luar itu. Juga ketentuan mana yang "baik" dan "buruk" dianggap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu kepentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transendental.


Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan "bukti" bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diperlakukan sebagai berhala besar yang berdiri di belakang para ventriloquist. Orang-orang ini berpura-pura menghadirkan suara yang datang dari langit, ya, dari berhala itu, tapi berangsur-angsur orang tahu bahwa yang bicara adalah perut manusia juga. Maka makin lama firman pun diragukan dasarnya: siapa tahu kata-kata suci itu hanya cerminan kecemasan satu kelompok manusia dalam kondisi sejarah tertentu. Sabda Tuhan yang meletakkan perempuan sebagai the second sex, misalnya, makin lama makin ditafsirkan sebagai ekspresi sebuah masyarakat yang dikuasai patriarki. Ayat yang menyuruh menghancurkan umat lain mulai ditafsirkan sebagai pantulan perebutan ruang hidup sebuah masyarakat lama.

Manusia lebih dewasa, tapi juga lebih mudah putus asa. Zaman modern adalah zaman yang menggugat. Di zaman inilah terjadi apa yang bisa disebut sebagai "transisi dari sukma ke jiwa", sebagaimana kata Terry Eagleton dalam bukunya yang terbaru, On Evil (Yale University Press, 2010). Dengan kata lain, manusia telah bergeser "dari theologi ke psikoanalisis".


Dan itu bukan transisi yang sulit. Sebab, tulis Eagleton pula, kedua-duanya adalah "kisah hasrat manusia". Kedua-duanya menganggap manusia dilahirkan dengan cacat. Agama Kristen menyebutnya "dosa asal", sedang kaum psikoanalis, dimulai oleh Freud, menyebutnya sebagai "neurosis".

Tak semuanya muram. Baik agama maupun psikoanalisis menganggap manusia yang cacat itu masih bisa diselamatkan. Bila bagi agama, penyelamatan itu tersedia dengan cara masuk Kristen atau agama yang lain; bagi psikoanalisis, orang bisa selamat dengan mengurai dan mengarahkan traumanya. Kedua-duanya mengakui ada yang tak terjangkau oleh bahasa dan pengetahuan manusia: bagi psikoanalisis, itulah "antah" atau "dunia bawah sadar"; bagi agama: yang "antah berantah" itu Tuhan.

Dengan transisi dari theologi ke psikoanalisis itu -ketika sukma manusia tak lagi diakui, dan yang diakui hanya jiwa (psyche)- orang diam-diam makin tak percaya bahwa ada hal-hal yang bisa disebut "transendental". Dalam ketidakpercayaan itu, nilai-nilai jadi sepenuhnya nisbi. Tak ada apa pun yang bisa mengatasi ruang dan waktunya sendiri. Yang "baik" bagi orang Kristen tak berarti "baik" bagi orang Islam. Yang "busuk" bagi orang Eropa abad ke-20 tak berarti "busuk" bagi orang Cina abad ke-21. Transendensi pergi. Imanensi menetap.


Tapi yang bagi saya menarik dan penting dalam pemikiran Eagleton ialah bahwa ia, seorang Marxis, tak melihat transendensi sepenuhnya bisa pergi. Banyak hal, misalnya seni dan bahasa, yang bukan sekadar respons dan pantulan keadaan sosialnya. Tapi itu tak berarti hal-hal itu "jatuh dari langit".

Demikian pula manusia. Jika tak ada konflik antara hal-hal yang lahir dari sejarah ("the historical") dan hal-hal yang melampau sejarah ("the transcendental"), hal itu karena sejarah justru "merupakan sebuah proses transendensi-diri". Inilah arti manusia sebagai "makhluk sejarah"; artinya ia yang mampu mengatasi dirinya sendiri. Maka ada transendensi yang "vertikal" dan ada yang "horizontal" -kata Eagleton. Yang pertama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tuhan, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus loncatan melampaui batas-batas sejarah.

Saya kira di sinilah kita bisa percaya bahwa politik mampu untuk bergerak meloncat melampaui pusarannya sendiri: politik yang terpanggil untuk menjangkau sesuatu yang transendental meskipun tak membawa-bawa Tuhan; politik yang merasa diseru untuk melakukan yang "baik" bagi semua orang meskipun itu usaha perjuangan sekelompok orang.


Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada politik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai yang menggugah manusia di luar cul-de-sac kita. Kita tak usah selalu menghalalkan bahwa politik tak lebih dan tak kurang adalah perhitungan kekuatan. Kita masih bisa menampik pandangan "siapa yang kuat akan dapat" dan "yang lemah tak akan pernah benar".

Maka kita perlu kembali ke politik yang tergoda oleh cakrawala: politik yang terpanggil untuk memperoleh dan memberikan nilai-nilai yang transendental.

Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat. Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi manusia.

Goenawan Mohamad
MBM TEMPO, 10 Mei 2010

No comments: