Friday, October 9, 2009

Trauma Bencana yang Tidak Boleh Diabaikan


"Ma, tadi ada gempa, ya...?” Fanny masih ingat betul bagaimana Nawang Wulan bertanya di pelukannya. Seraya menahan isak dan berusaha menyembunyikan kegalauan hati, Nawang bertutur kepada sang ibu, ”Ma, tadi ada gempa, ya?

Pertanyaan itu bukan untuk memastikan, tetapi lebih menunjukkan ketakutan yang menghantui setelah gempa. Saat gempa, Nawang sedang mandi. Tanpa dibilas, sang ayah langsung melilitkan handuk dan membopong Nawang keluar dari rumah.

Dinding rumah keluarga itu yang terletak di Kompleks Rajawali, Tunggul Hitam, Padang, retak. Secara fisik tidak ada luka, tetapi dari situlah trauma melanda.

Tidak hanya itu, Fanny juga mengamati betapa gempa telah membuat anak-anak hidup dalam kosakata tentang gempa. Saat bermain, mereka membuat permainan yang berkisah tentang gempa.

”Anak-anak menyusun payung-payung yang terbuka sehingga membentuk tumpukan. Nawang lalu bersembunyi di balik tumpukan payung itu sembari meminta temannya menggoyangkan tumpukan payung seolah adalah gempa,” ucap Fanny yang juga bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat di bidang pencegahan dan penanggulangan bencana.


Tindakan anak-anak ini dianggap Fanny sebagai sisa trauma pascagempa. Apalagi, mereka baru pertama kali merasakan gempa besar, 7,6 skala Richter, seperti yang terjadi pada Rabu (30/9).

Serupa dengan Nawang, Oyong (37) juga masih membawa trauma setelah bencana hebat tersebut. Di rumah yang terletak di kawasan Air Tawar, Padang, dia menyaksikan tutup sumur yang terbuat dari beton terangkat karena semburan air dari dalam sungai sesaat setelah gempa. ”Semburan air itu mengagetkan saya. Air yang menyembur bercampur lumpur sehingga tampak kecoklatan. Saya khawatir saja betapa tekanan air begitu besar sehingga ketakutan akan tsunami semakin kuat,” kata Oyong.

Istri dan mertuanya yang sakit saat gempa terjadi juga ada di dalam rumah. Satu hal yang melintas dalam pikirannya adalah kemungkinan tsunami. Segera, istri dan mertuanya dibawa ke lantai dua rumah tetangga. ”Saya minta mereka tenang di sana karena saya masih harus menyelamatkan yang lain,” ucap Oyong.

Oyong kembali ke rumah. Ternyata pamannya masih terjebak di dalam rumah. Pamannya juga luka kakinya sehingga harus dibopong keluar rumah dan ditempatkan di tangga menuju lantai dua rumah tetangga.


Beberapa jam
Beberapa jam setelah gempa berlalu, baru Oyong tenang dan bisa memaksa istri dan keluarga istrinya itu untuk mengungsi ke rumah orangtua Oyong di Siteba, Padang.

Rentetan peristiwa ini membuat Oyong trauma jika mengingat gempa. Apalagi, sampai empat hari setelah gempa, masih ada sanak saudara di Pariaman yang belum memberikan kabar. ”Saya masih mau mencari mereka,” ujarnya.

Trauma juga masih melingkupi Farida (38). Rumah-bengkel yang terletak di Siteba hancur. ”Bangunan runtuh dari belakang sampai ke depan. Cepat sekali kejadiannya,” kata Farida.


Tidak hanya bangunan yang roboh yang menyisakan ketakutan pada Farida. Ketika rumah roboh, Puput, mahasiswi yang menyewa kamar di lantai tiga rumahnya itu, terimpit reruntuhan tembok rumah. Jaraknya tidak sampai 1 meter dari pintu keluar.

”Cepat-cepat kami usahakan reruntuhan bangunan diangkat dan Puput bisa diselamatkan. Setelah itu, dia dilarikan ke rumah sakit. Sampai sekarang, Puput masih dirawat,” ucap Farida menahan isak.

Saat gempat, tinggal satu sepeda motor yang tersisa dan sudah selesai diservis. Kalau masih banyak orang, tentu korban akan lebih banyak.

Barangkali tidak banyak pihak yang tahu kalau sejumlah bangunan di Siteba hancur total. Itu sebabnya hingga Sabtu siang kemarin, bantuan logistik atau tenaga apa pun belum singgah ke kawasan itu. Jika bantuan untuk masa darurat saja terlupakan, barangkali trauma yang dialami para korban gempa semakin terabaikan.

Trauma ini merupakan peninggalan pascagempa yang perlu dipikirkan pemulihannya seusai tanggap darurat mendatang. Bila tidak, trauma ini mungkin terbawa dan mengganggu para korban gempa ini.

Agnes Rita S
KOMPAS, 4 Oktober 2009

No comments: