Thursday, October 8, 2009

Melenggang Pulang

Hotel Ambacang, Padang, sebelum diterjang gempa

Mari pulang,
marilah pulang,
Pulanglah kita bersama-sama.


Ketika bencana menerjang Indonesia dengan jumlah korban ratusan ribu manusia, ada yang menulis Indonesia, Natural disaster or mass murder.

Dengan cara pandang ini, bencana tidak punya wajah lain terkecuali buruk.

Namun, ia yang merenung di tengah bentangan sejarah, bercakap-cakap dengan alam, melihat tidak ada satu pun putaran waktu di mana kehidupan hanya berisi kebahagiaan. Amerika Serikat sebagai contoh, sebelum menjadi kekuatan ekonomi nomor satu, dunia sempat mengalami sejarah yang berdarah-darah. Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia bangkit justru setelah dua kotanya hangus oleh bom atom. China yang kini duduk sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga juga serupa. Beberapa puluh tahun lalu, bahkan memakan nasi pun sudah terhitung mewah.

Becermin dari sini, mendengar ada korban manusia akibat gempa tentu mengundang keprihatinan sekaligus doa semoga semua berbahagia. Berbuat untuk meringankan beban korban tentu lebih mulia. Namun yang layak direnungkan, alam sebagai guru sedang berbicara apa?

Di Timur dikenal beberapa jenis guru. Dari guru hidup, guru buku suci, guru simbolik, sampai dengan guru rahasia di dalam diri. Menyangkut guru hidup dan guru buku suci, lebih mudah mencapai kesepakatan. Namun menyangkut guru simbolik, apa lagi guru rahasia di dalam diri, hanya mereka yang dibekali kepekaan yang bisa merasakan.

Bila boleh lari, semua mau lari dari bencana. Karena tidak bisa lari, para suci kemudian merenung dalam-dalam dan menemukan cahaya. Yesus bercahaya ribuan tahun karena disakiti. Mahatma Gandhi menerangi banyak jiwa karena ditembak mati. Jalaludin Rumi rangkaian katanya menggetarkan sukma juga karena mengalami kesedihan kehilangan guru.

Hotel Ambacang setelah runtuh ....

Pelajarannya, bencana tidak saja hulunya air mata. Ia juga awal kehidupan yang bercahaya. Kehilangan orang dekat akibat bencana tentu menyedihkan. Cacat tubuh karena terkena reruntuhan bangunan, sungguh kejadian yang menyentuh hati.

Namun, kehidupan penuh guru simbolik. Di antara demikian banyak simbolik, kematian adalah yang teragung. Di tengah kebahagiaan, sedikit yang mau merenung dalam-dalam. Namun di depan kematian, kita terpaksa menggali dalam-dalam.

Wajah dukacita
Siapa saja yang pernah ”bercakap-cakap” dengan kematian akan dibukakan makna, dukacita memiliki dua wajah.

Pertama, ia membuat manusia menjadi semakin terhubung ke atas, samping, bawah. Terutama karena melalui dukacita, kita sadar ternyata manusia hanya makhluk tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan, kita hanya saling menyayangi yang menyembuhkan.

Kedua, dukacita berfungsi seperti mesin turbo yang mendorong manusia keluar dari alam derita ini. Andaikan kehidupan hanya berisi kebahagiaan, maka manusia akan terus berputar dalam lingkaran kelahiran, penderitaan, kematian.


Bila begini cara memandangnya, Indonesia bukanlah neraka yang hanya berisi hukuman dan kesalahan. Indonesia adalah lahan subur pertumbuhan jiwa. Perhatikan apa yang terjadi ketika Aceh diterjang tsunami, tidak saja sahabat Islam yang menyediakan tangan untuk membantu. Orang Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu ikut bersama-sama berdoa sekaligus mengulurkan bantuan. Dalam bahasa seorang guru, saat manusia membantu, sesungguhnya tidak saja sedang meringankan beban pihak lain, tetapi juga membangkitkan energi kasih sayang yang ada dalam dirinya.

Di Peru pernah ditulis oleh para tetua ribuan tahun lalu, tidak ada yang kebetulan, semuanya hanya rangkaian pesan. Di tempat di mana alam kerap menggoda manusia dengan dukacita, mungkin layak bertanya, seberapa banyak manusia yang sudah menemukan cahaya di balik dukacita kemudian mengizinkan cahaya itu membimbing dirinya?

Serupa rumah
Kehidupan serupa rumah. Bila rumahnya kotor penuh sampah, ia mengundang lalat dan nyamuk berdatangan. Jika taman penuh bunga bermekaran, ia mengundang kupu-kupu warna-warni berdatangan dari segala penjuru.

Di hadapan alam yang kerap berbicara dengan bahasa dukacita, memaki dan mencaci mungkin hanya akan menambah tumpukan sampah. Mencari cara bertumbuh di tengah lumpur dukacita mungkin lebih membuat Indonesia menjadi taman jiwa yang menawan.


Dalam perspektif ini, bisa dimaklumi bila Ezra Bayda memberi judul karyanya At Home In The Muddy Water. Di Timur, puncak perjalanan ke dalam kerap disimbolkan dengan bunga padma yang bertumbuh dan mekar di lumpur, tetapi tidak kotor oleh lumpur.

Ibarat lumpur
Bencana ibarat lumpur. Hanya mereka yang penuh cinta dan keikhlasan yang bisa mekar seperti bunga padma. Dikatakan demikian, karena kekuatan suci dari atas sedang memancing manusia dengan kasih sayang, dan siapa yang mengisi hidupnya dengan cinta dan keikhlasan, sedang mencoba memakan kail yang datang dari atas.

Bila ini terjadi, bencana bukan hukuman, ia hanya bimbingan untuk segera pulang. Persis seperti lirik lagu anak-anak yang dikutip di awal. Senang-sedih dan dualitas lainnya ada dalam pikiran. Belajar melampauinya dengan memeluk semua apa adanya. Inilah yang dilakukan para guru tercerahkan di Timur.

Gede Prama Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing
KOMPAS, 3 Oktober 2009

No comments: