Showing posts with label Chandra Hamzah. Show all posts
Showing posts with label Chandra Hamzah. Show all posts

Monday, November 2, 2009

Tikus di antara Buaya dan Cicak


Penahanan Kepolisian terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terus mendatangkan gelombang protes. Fakta menunjukkan ada yang tidak tepat dan terkesan dipaksakan. Selain itu, berbau skenario tidak sedap, sehingga kalau banyak pihak menduga ada hubungan penahanan ini dengan rekaman yang beredar, boleh jadi benar adanya.

Secara yuridis dibutuhkan syarat objektif dan subjektif dalam melakukan penahanan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa. Secara objektif, seharusnya ada ketentuan pidana yang dilanggar dengan ancaman lebih dari lima tahun.

Boleh jadi, pasalnya memang ada. Tetapi, kelihatannya Kepolisian belum dapat membuktikan substansi tuduhan pasal tersebut. Kepolisian terlihat gagap menjelaskan tuduhan sesungguhnya pada dua komisioner KPK nonaktif ini.

Tuduhan berubah-ubah. Bahkan, tempat dan waktu pelaksanaan yang dituduhkan juga berubah mengiringi bantahan Bibit dan Chandra. Perubahan ini termasuk adanya pelanggaran kewenangan karena adanya penyuapan. Bahasa Kepolisian, kewenangan yang dilanggar itu karena KPK bersifat kolegial-kolektif dan karenanya semua keputusan harus diambil lima komisioner dan tidak boleh orang-per orang.

Kita tidak paham darimana Kepolisian mengambil pandangan hukum seperti itu. Karena, secara hukum sifat kolegial-kolektif itu terasa mustahil jika mau diterjemahkan sebagai paripurna seperti anggapan Kepolisian.

Pasal 21 Ayat (5) tentang kolektivitas KPK berbunyi "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif", mustahil diterjemahkan sebagai kewajiban untuk mengambil keputusan dengan lima orang. Apalagi, ada Pasal 36 huruf b yang memungkinkan keputusan tidak diambil secara kolektif. Pasal tersebut memungkinkan, jika komisioner mengalami konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan, maka komisioner yang dimaksud harus mengundurkan diri dari perkara tersebut dan berarti pengambilan keputusan tidak dilakukan secara lengkap oleh lima orang.


Bahkan, dalam klausula Pasal 36 huruf b ini membuka kemungkinan cuma tersisa satu orang yang mengambil keputusan. Berarti logika jumlah adalah logika yang keliru. Yang paling mungkin adalah pengambilan keputusan secara kelembagaan sebagai penerjemahan kolegialitas dan kolektivitas KPK. Sepanjang itu diambil secara lembaga, sebagai keputusan lembaga, maka walau dua orang tetap saja merupakan keputusan kelembagaan yang sah.

Tuduhan penyuapan pun terasa aneh dan ganjil. Bukan hanya karena memang ada kreasi di rekaman yang beredar perihal itu, tetapi juga karena tuduhan Kepolisian terhadap mereka sudah dibantah oleh yang bersangkutan, yakni orang yang dalam skenario Kepolisian menjadi pembawa uang suap. Ia jelas-jelas membantah dan mengatakan tidak melakukan seperti yang terskenario dalam tuduhan Kepolisian atas Bibit dan Chandra. Herannya, Kepolisian tetap "maju tak gentar", bahkan dengan fakta-fakta yang gagap untuk dijelaskan.

Hal yang sama terlihat pada alasan subjektif penahanan. Pasal 21 Ayat (1) KUHAP menyebutkan,"Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana."


Sulit untuk mengatakan Bibit dan Chandra mau melakukan satu di antara ketiga alasan subjektif penahanan tersebut. Jika ingin melarikan diri, fakta mengatakan ia sudah dicekal. Jika ingin mengulangi perbuatan dan menyembunyikan alat bukti, kedua komisioner ini telah diberhentikan sementara dari KPK, sehingga jika memang tuduhan atas keduanya berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki, maka mustahil keduanya mampu mengulangi perbuatan dan menyembunyikan alat bukti dari kewenangan yang dihasilkan dengan bekerja sebagai komisioner.

Lebih lucu lagi, Kepolisian kemudian memasukkan unsur melakukan penahanan karena Bibit dan Chandra sering melakukan penggalangan opini publik. Mengherankan, dalam memperkarakan Bibit dan Chandra, Kepolisian terlihat seperti membela kepentingan koruptor yang sudah lari ke luar negeri, dan melakukan penahanan karena tak ingin Bibit dan Chandra memperjuangkan keyakinan dan kepentingannya.

Pertanyaannya, mengapa mereka tetap dipaksakan untuk ditahan? Padahal secara yuridis terasa aneh, ganjil, dan berbau tidak sedap.

Kerja Tikus
Yang paling harus kita waspadai adalah adanya kemungkinan kerja tikus di antara konflik besar buaya dan cicak ini. Rasanya terlalu aneh jika Kepolisian yang merupakan lembaga penegak hukum dengan mudah membuat kesalahan-kesalahan yuridis seperti di atas. Rasanya, agak mustahil Kepolisian tidak mengerti, tidak paham, lalu melakukan kekeliruan, sehingga gagap menjelaskan penahanan Bibit dan Chandra, kecuali ada kerja tikus yang invisible.

Apalagi, kalau memori kita susun dengan melihat secara jeli serangan-serangan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi beberapa bulan atau beberapa tahun terakhir. Tahun-tahun belakangan, banyak dihiasi upaya menghancurkan UU KPK melalui judicial review, bahkan menghalang-halangi pembentukan aturan perihal kelengkapan alat pemberantasan korupsi.


Dalam beberapa bulan belakangan, serangan tidak kalah gencar juga terjadi. Ada beberapa hal yang belum jelas dan hingga kini belum terjawab, misalnya di balik kekeuh-nya BPKP untuk masuk dan segera melakukan audit atas KPK. Hingga saat ini, kita tidak jelas, antara memang diperintahkan oleh Presiden ataukah hanya inisiatif BPKP. Ketidakjelasan itu semakin mengundang kecurigaan publik. Jangan-jangan ada peran tertentu yang dimainkan untuk mematikan pemberantasan korupsi.

Karenanya, patut diwaspadai adanya peran pihak ketiga dalam konflik yang semakin meruncing antara buaya dan cicak ini.

Sejujurnya, jika kita analisis maka yang paling diuntungkan dari konflik ini adalah para tikus-tikus koruptor. Mereka kelihatan tidak lagi terurus karena adanya konflik ini. KPK belakangan dipaksa untuk lebih sibuk dan bertahan menghadapi kemungkinan kriminalisasi terhadap dirinya. Praktis, hampir tidak ada lagi koruptor yang sedang dikejar KPK. KPK lebih banyak bertahan daripada menyerang. KPK mengalami kesulitan menghajar tikus karena terlalu banyak serangan atas dirinya.

Hal yang sama mungkin juga terjadi pada Kepolisian dan Kejaksaan. Boleh jadi, kedua lembaga ini tetap saja bekerja melakukan pemberantasan korupsi, tetapi banyak hal yang mengakibatkan kualitasnya dipertanyakan. Apalagi, jika rekaman yang beredar selama ini memang benar adanya, maka kepercayaan itu akan semakin runtuh dan boleh jadi tidak akan berbekas sama sekali.


Karenanya, sekali lagi harus diingatkan, jika analisis dengan pertanyaan, "Who got the cheese?” (siapakah yang paling diuntungkan?) dari kasus ini, sangat besar kemungkinan jawabannya adalah para tikus. Merekalah pemenangnya, jika perseteruan ini berlanjut tanpa ujung. Boleh jadi merekalah yang merekayasa perseteruan ini. Karenanya, mari kita bersatu melawan ketidakadilan bagi pelaksana pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya menggebuk tikus-tikus yang berdiri di antara buaya dan cicak.

Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
suarapembaruan.com, 2 November 2009

Friday, October 9, 2009

Preseden Buruk Sepanjang Sejarah


Kuasa Hukum KPK Mengadu kepada Presiden

Hasil pemeriksaan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Susno Duadji oleh Inspektorat Pengawasan Umum Polri dipandang sebagai preseden terburuk sepanjang sejarah. Karena itu, perlu pemeriksaan ulang oleh tim independen.

Penilaian itu disampaikan Ahmad Rivai, anggota Tim Kuasa Hukum Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, Kamis (8/10) di Jakarta, sebelum menemui Kepala Rumah Tangga Kepresidenan Setia Purwaka. Kuasa hukum Bibit dan Chandra meminta waktu untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hasil pemeriksaan terhadap Susno itu.

Seperti diberitakan, Rabu, Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani mengumumkan, tak ada pelanggaran etika, profesi, dan pidana yang dilakukan Susno terkait penanganan kasus Bank Century dan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK. Namun, pemeriksaan terhadap Susno tidak menyangkut pertemuannya dengan Direktur Utama PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo di Singapura. Anggoro adalah buron dan tersangka kasus korupsi proyek radio komunikasi terpadu di Departemen Kehutanan yang disidik KPK (Kompas, 8/10).

Rivai menilai pemeriksaan atas Susno menjadi preseden buruk antara lain karena pada pemeriksaan itu orang-orang yang seharusnya paling mengetahui duduk persoalan justru tidak dimintai keterangan. ”Semestinya orang yang mengetahui harus dimintai keterangan, bukan justru orang yang tak tahu masalah dimintai keterangan. Kalau itu terjadi, pasti tak akan terbukti,” ujarnya.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap Susno, Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri menyatakan Susno tidak terbukti melakukan pelanggaran. Tim Kuasa Hukum Bibit dan Chandra menuntut dilakukannya pemeriksaan ulang terhadap Susno oleh tim independen. ”Kita seharusnya mendudukkan masalah hukum ini di tempatnya. Jangan sampai pemeriksaan hanya formalitas dan akhirnya diindikasikan tidak ada pelanggaran. Ini sangat menyakitkan. Orang yang tahu duduk persoalan tidak dimintai keterangan. Ini penyalahgunaan wewenang,” kata Rivai.

Sebelumnya, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Adnan Pandu Praja, menuturkan, Kompolnas tak dilibatkan dalam pemeriksaan terhadap Susno. Padahal, Kompolnas sudah minta dilibatkan dan mengusulkan agar Itwasum juga mengorek keterangan terkait pertemuan Susno dengan Anggoro.


Kepala Polri membantah
Secara terpisah, Kamis siang, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menghadap Presiden. Kepala Polri membantah kabar ia diminta ke Istana untuk menjelaskan hasil pemeriksaan Itwasum terhadap Susno kepada Presiden.

Kepala Polri mengatakan, kedatangannya ke Istana Kepresidenan cuma untuk meminta izin mengikuti sidang Interpol di Singapura pada 11-15 Oktober mendatang.

Menurut Bambang, Presiden tidak menyinggung soal pemeriksaan Susno dalam pembicaraan dengannya. ”Itu, kan, berkaitan dengan keputusan internal. Presiden tidak ikut campur, kecuali ada hal-hal yang sangat prinsip,” ujarnya.

Bambang menambahkan, proses pemeriksaan terhadap Susno sudah final serta didasarkan pada keterangan saksi yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, Rivai optimistis Presiden akan mendorong penyelesaian kasus Susno sampai tuntas. Apalagi, tim sudah menyampaikan laporan disertai dengan bukti yang lengkap.

Rivai juga menuding Itwasum Polri tidak serius dalam menyelidiki Susno. ”Kami mendorong dibentuk tim independen. Jika tidak, kepercayaan publik kepada polisi kian luntur,” katanya.

Rivai juga mendesak KPK memeriksa Susno terkait dugaan pertemuan Kepala Bareskrim Polri itu dengan Anggoro di Singapura. ”Jika memang polisi tak bisa diharapkan, kini giliran KPK yang harus bergerak memeriksa Susno,” katanya. Chandra mengaku tidak bisa berkomentar soal putusan Itwasum terhadap Susno.


Tak dinonaktifkan
Kepala Polri memastikan tidak akan menonaktifkan Susno sebagai Kepala Bareskrim Polri. ”Nonaktif, kan, ada ketentuannya, kalau sudah jadi tersangka dan terdakwa,” kata Bambang seusai penandatanganan kesepahaman antara Polri dan Komisi Yudisial, Kamis. Kepala Polri juga memastikan proses terhadap Susno telah selesai. ”Kalau sudah diumumkan Irwasum, itu sudah seizin saya. Itu suatu akhir dari proses yang dilakukan tim Itwasum,” ujarnya lagi.

Soal langkah Tim Kuasa Hukum Chandra dan Bibit yang mengadukan persoalan Susno itu kepada Presiden, Bambang menuturkan, ”Itu hak setiap warga negara. Siapa saja melapor ke siapa silakan saja. Itu hak warga negara.”

Bergerak cepat
Di Yogyakarta, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, meminta tiga anggota pimpinan sementara KPK harus mampu menepis anggapan negatif dari publik kepada mereka. Caranya, mereka harus bekerja cepat, terutama mampu mengusut penyelesaian kasus Bank Century atau kriminalisasi pimpinan KPK. ”Dua kasus itu yang membuat kita berpikir tentang mengapa KPK perlu dilemahkan,” tuturnya.

Kerja cepat penting untuk mengembalikan kewenangan dan wibawa KPK. Selama ini dukungan presiden dan elite politik sangat lemah sehingga KPK harus mampu mendukung keberadaannya sendiri.

Dalam kasus Bank Century, Zainal berharap KPK segera menyelesaikan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Susno. Penyelesaian bisa dimulai dengan mengusut bukti yang sudah tersedia.

KOMPAS, 9 Oktober 2009

Tuesday, July 7, 2009

Susno Duadji: Cicak Kok Mau Melawan Buaya


Wawancara TEMPO dengan Susno Duadji

ISU tak sedap menerjang Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Telepon genggamnya disadap oleh penegak hukum lain. Penyadapan itu diduga terkait dengan penanganan kasus Bank Century.

Susno menyatakan dirinya tak marah atas penyadapan itu. ”Saya hanya menyesalkan,” ujarnya. Siapa penyadapnya, ia tak mau buka mulut. Lulusan Akademi Kepolisian 1977 ini menyebut penyadapan itu sebagai tindakan bodoh. Sehingga, ujarnya, ia justru sengaja mempermainkan para penyadap dengan cara berbicara sesuka hati.

Sebelumnya, polisi memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Pemeriksaan Chandra dituding sebagai upaya polisi untuk melumpuhkan komisi yang galak terhadap koruptor itu. Apa yang terjadi sebenarnya? Pekan lalu, wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika menemui Susno Duadji di ruang kerjanya untuk sebuah wawancara. Berikut petikan wawancara tersebut.

Polisi dituduh hendak menggoyang KPK karena memeriksa pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang penyadapan. Komentar Anda?
Kalangan pers harus mencermati, apakah karena dia (Chandra Hamzah) pimpinan KPK lalu ada masalah seperti ini tidak disidik. Katanya, asas hukum kita semua sama di muka hukum. Jelek sekali polisi kalau ada orang melanggar undang-undang lalu dibiarkan. Kami sudah berupaya netral dan menjadi polisi profesional.

Apa memang ditemukan penyalahgunaan wewenang untuk penyadapan itu?
Saya tidak mengatakan penyalahgunaan atau apa. Silakan masyarakat menilai. Menurut aturan, yang boleh disadap itu orang yang dalam penyidikan korupsi. Kalau Rhani Juliani, apa itu korupsi? Dia bukan pengusaha, bukan pegawai negeri, bukan juga rekanan dari perusahaan. Kalau korupsi, korupsi apa, harus jelas.


Tapi sikap Anda ini dinilai menggembosi KPK?
Kalau kami mau menggembosi itu gampang. Tarik semua personel polisi, jaksa. Nanti sore juga bisa gembos. Lalu Komisi III nggak usah beri anggaran. Kami berteriak-teriak ini supaya baik republik ini.

Kami mendapat informasi, saat diperiksa Antasari membeberkan keburukan pimpinan KPK yang lain.
Saya tidak tahu, tanya ke Antasari. Lha, sekarang kalau pimpinannya yang mengatakan lembaga itu bobrok, berarti parah, dong. Dia kan yang paling tahu. Dia kan pimpinannya.

Ada kesan polisi dan KPK justru berkompetisi, bukan bersinergi. Benar?
Tidak, yang melahirkan KPK itu polisi dan jaksa. Saya anggota tim perancang undang-undang (KPK). Kami sangat mendukung. Tapi karena opini yang dibentuk salah, seolah-olah jadi pesaing. Padahal 125 personel yang melakukan penangkapan dan penyelidikan (di KPK) itu kan personel polisi. Penuntutnya juga dari kejaksaan. Kalau nggak gitu, ya matek (mati) mereka. Jadi, tak benar jika dikatakan ada persaingan.

Anda, kabarnya, juga akan ditangkap tim KPK karena terkait kasus Bank Century?
Ah, ya enggak, itu kan dibesar-besarkan. Mau disergap, timbul pertanyaan siapa yang mau menyergap. Mereka kan anak buah saya. Kalau bukan mereka, siapa yang mau nangkap? Makanya, Kabareskrim itu dipilih orang baik, agar tidak ditangkap.

Kalau penyidik KPK yang menangkap?
Mana berani dia nangkap?


Karena adanya berita itu, Anda katanya marah sekali sehingga kemudian memanggil semua polisi yang bertugas di KPK?
Tidak, saya tidak marah. Mereka kan anak buah saya. Mereka pasti memberi tahu saya. Saya cuma kasih tahu kepada mereka, gunakan kewenangan itu dengan baik.

Apa benar Anda minta imbalan untuk penerbitan surat kepada Bank Century agar mencairkan uang Boedi Sampoerno?
Imbalan apa? Apanya yang dikeluarkan? Semua akan dibayar, kok. Bank itu tidak mati, semua aset diakui dan ada. Terus apa lagi yang mesti diurus? Yang perlu diurus, uang yang dilarikan Robert Tantular itu.

Jadi, apa konteksnya saat itu Anda mengirim surat ke Bank Century?
Konteksnya, saya minta jangan dicairkan dulu rekening yang besar-besar. Kami teliti dulu. Paling besar kan punya Boedi Sampoerna, nilainya triliunan rupiah. Kami periksa dulu, kenapa Boedi Sampoerna awalnya nggak mau melaporkan.

Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?
Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.

MBM TEMPO, 20/XXXVIII 6 Juli 2009